Beranda blog Halaman 8

Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital

0
Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital
Ilustrasi anak-anak menghafal Alquran (sumber: Unsplash).

Di tengah gelombang digitalisasi global, hampir seluruh aktivitas manusia termasuk dalam beragama mengalami transformasi signifikan. Alquran kini dapat diakses dengan cepat melalui berbagai platform digital, mulai dari aplikasi hingga teknologi pencarian suara. Namun, tradisi menghafal Alquran (tahfiz) tidak hanya tetap eksis, tetapi justru mengalami peningkatan, terutama di kalangan generasi muda dan santri. Meskipun hanya 0,01% penduduk Indonesia yang menjadi penghafal Alquran (sekitar 28.444 orang), jumlah tersebut menunjukkan ketertarikan yang tetap kuat di tengah era digital.

Pernyataan kontroversial dari figur publik seperti Kumaila, yang menyebut bahwa menghafal Alquran tidak memiliki manfaat jika tidak disertai pemahaman, turut memancing perdebatan. Pernyataan ini perlu dikaji secara ilmiah dan kontekstual. Menghafal Alquran tidak hanya sekadar aktivitas memori, tetapi juga merupakan proses internalisasi spiritual, edukatif, dan bahkan psikologis.

Menghafal sebagai Bentuk Penjagaan dan Pendalaman Wahyu

Akses digital yang cepat tidak menjamin keterhubungan emosional dan spiritual dengan wahyu Ilahi. Alquran secara eksplisit menyatakan kemudahan bagi manusia untuk menghafalnya, seperti dalam Q.S. al-Qamar [54]: 17:

“Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Alquran sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

Baca juga: Menghafal Alquran di Somalia: Semangat, Sejarah dan Metodenya

Menurut al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, makna “zikir” (yang diterjemahkan sebagai pelajaran) dalam ayat tersebut bukan hanya sekadar hafalan literal, tetapi juga mencakup pemahaman dan penghayatan. Sementara itu, Ibn Katsir menegaskan bahwa penjagaan Alquran oleh Allah Swt, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Hijr [15]: 9, dilakukan melalui dua jalur: tertulis dan dihafal dalam dada para hafiz. Maka dari itu, menghafal Alquran adalah bagian integral dari sistem ilahiah dalam menjaga kemurnian wahyu.

Nilai Psikologis dan Spiritual Hafalan

Tahfiz Alquran bukan hanya mendekatkan seseorang kepada Tuhan, tetapi juga membentuk struktur mental dan emosional yang sehat. Penelitian Ainur Rofiq dan Niken Ayu Khoirinnada (2024) menunjukkan bahwa ada korelasi signifikan antara kegiatan menghafal Alquran dengan peningkatan kecerdasan emosional pada siswa madrasah. Para penghafal menunjukkan kestabilan emosi, empati, dan kemampuan mengelola stres yang lebih baik dibandingkan siswa nonpenghafal.

Studi lain oleh Yusron Masduki (2018) juga menyatakan bahwa hafalan Alquran berfungsi sebagai terapi spiritual. Ia mampu mengatasi kecemasan, memberikan ketenangan jiwa, serta meningkatkan motivasi belajar dan kedisiplinan. Dalam budaya digital yang penuh distraksi, hafalan menjadi ruang kontemplatif yang mampu menenangkan pikiran dan mengarahkan kembali pada nilai-nilai spiritual yang stabil.

Kritik terhadap Hafalan Tanpa Pemahaman

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian penghafal hanya fokus pada hafalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Kritik seperti ini, sebagaimana diutarakan Kumaila, perlu dipahami bukan sebagai penolakan atas hafalan itu sendiri, melainkan sebagai tantangan dalam metodologi pembinaan.

Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 121 yang menyebut yatluunahu haqqo tilaawatihi berarti membaca dengan tajwid yang benar, menghafal, dan mengamalkan. Ini menunjukkan bahwa hafalan adalah tahap awal yang membuka jalan menuju pemahaman dan pengamalan. Bahkan, al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut hafalan sebagai pondasi awal untuk menjaga ilmu dan membentuk hati yang hidup. Maka, kelalaian dalam pemahaman bukan berarti hafalan tidak berguna, melainkan pembinaan yang perlu ditingkatkan.

Baca juga: Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya

Secara pedagogis, tahfiz dapat dikaitkan dengan teori konstruktivisme ala Bruner (1960), yang menyebut bahwa pembelajaran terjadi secara bertahap, dari hafalan menuju pemahaman dan aplikasi. Proses ini membutuhkan waktu dan sistem pembinaan yang tepat agar dapat membentuk generasi Qur’ani yang tidak hanya cakap menghafal, tetapi juga memahami dan mengamalkan isi Alquran.

Kesimpulan

Menghafal Alquran di era digital tidak hanya relevan, tetapi juga semakin penting. Ia berfungsi sebagai jembatan spiritual antara manusia dan Tuhan, sebagai bentuk penjagaan wahyu, serta sebagai terapi psikologis yang efektif di tengah tekanan informasi dan distraksi digital. Kritik terhadap hafalan yang tidak disertai pemahaman hendaknya diarahkan pada peningkatan metode pendidikan, bukan pada penghapusan tradisi tahfiz itu sendiri.

Sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama klasik dan kontemporer, menghafal adalah langkah awal dari perjalanan panjang untuk memahami, mengamalkan, dan menyebarkan nilai-nilai Qur’ani. Era digital membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, sabar, dan memiliki kedalaman spiritual dan semua itu bisa dibentuk melalui proses menghafal Alquran yang dilakukan dengan niat ikhlas dan pembinaan yang berkesinambungan.

Kepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman

0
Kepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman
Ilustrasi singgasana raja (sumber: Unsplash)

Dalam galeri agung para pemimpin dunia, di balik kisah para nabi, sosok Sulaiman as. muncul sebagai pemimpin dengan paradoks yang menarik. Dia memiliki kekuasaan terbesar dalam sejarah, tetapi tetap menjaga sikap rendah hati yang luar biasa. Paradoks inilah yang menjadikan model kepemimpinannya relevan untuk dikaji di tengah budaya kesombongan yang sering mengiringi kekuasaan di era modern. Bagaimana mungkin kekuasaan absolut tak menghasilkan kesombongan mutlak? Kisah Sulaiman membuka tabir jawaban atas pertanyaan mendasar ini.

Doa Kerajaan: Bukan Ambisi, Tapi Misi

Melalui doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Sulaiman meminta: Dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi” (Q.S. Shad [38]: 35).

Permintaan Sulaiman akan kerajaan yang tak tertandingi sering disalahpahami sebagai ambisi duniawi belaka. Dalam kajian tafsirnya, Al-Marâghî (23/165) menguraikan bahwa makna “kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku” bukan manifestasi ambisi pribadi, melainkan mukjizat yang relevan dengan misinya sebagai nabi. Sebagai putra Daud as. yang merupakan seorang raja sekaligus nabi, Sulaiman meminta bukti kenabian dan sarana dakwah yang sesuai dengan konteksnya, yakni kerajaan dengan keajaiban yang menjadi bukti bagi umatnya.

Perspektif menarik datang dari Ibnu ’Âsyûr (23/263) yang menyoroti bagaimana Sulaiman menutup doanya dengan pengakuan bahwa “hanya Allah yang Maha Pemberi” menunjukkan kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah hak, melainkan anugerah yang memerlukan pertanggungjawaban. Di era pemimpin yang menganggap posisi sebagai hak istimewa, model doa Sulaiman ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati selalu terjalin dengan tanggung jawab spiritual.

Menyadari Sumber Kekuatan

“Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.’” (Q.S. An-Naml [27]: 16).

Al-Qurthubî (13/164) menjelaskan bahwa dari sembilan belas putra Daud, hanya Sulaiman yang dianugerahi kenabian dan kerajaan, bukan warisan umum, melainkan pilihan khusus dari Allah. Sikap Sulaiman yang menekankan “telah diberi” bukan “telah memperoleh” menunjukkan kesadaran bahwa kemampuannya adalah pemberian, bukan pencapaian pribadi.

Baca juga: Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi

Sikap ini sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazâlî (3/342) yang dengan jernih menguraikan bahwa pada dasarnya jiwa manusia telah dicampur dengan tiga penyakit batin: kesombongan, ketamakan, dan kedengkian. Ketika seorang pemimpin seperti Sulaiman mampu mengenali asal-usul kekuasaannya sebagai pemberian Allah, ia sebenarnya sedang melawan kecenderungan alami manusia untuk merasa superior karena pencapaian dan kelebihannya.

Perspektif ini sangat berbeda dengan cerita “usaha sendiri” yang sering digembar-gemborkan dalam kepemimpinan masa kini. Pemimpin modern sering terjebak dalam ilusi bahwa kesuksesan adalah murni hasil jerih payah sendiri. Sulaiman menunjukkan model kepemimpinan yang mengakui bahwa kekuatan sejati berasal dari luar diri, menciptakan dasar kerendahan hati yang kokoh.

Kepekaan Terhadap Suara Rakyat Kecil

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.” (Q.S. An-Naml [27]: 18-19).

Ibnu Katsir (6/166) meriwayatkan bahwa Sulaiman dapat memahami peringatan semut yang khawatir kaumnya akan terinjak pasukan kerajaan. Respons Sulaiman sungguh menakjubkan, bukannya tersinggung dengan kekhawatiran yang mungkin mencerminkan ketidakpercayaan pada kehati-hatiannya, ia justru tersenyum dan berdoa syukur.

Kisah ini seperti cermin bagi para pemimpin masa kini. Semut dapat dianalogikan sebagai rakyat kecil atau kelompok marjinal dalam sebuah negara. Suara-suara mereka sering tak terdengar, yang kekhawatirannya sering diabaikan. Ketika mereka mencoba menyampaikan keresahan, pemimpin besar seperti Sulaiman tidak menganggapnya sebagai kritik yang mengancam wibawa, melainkan sebagai perspektif berharga yang patut diapresiasi.

Baca juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Al-Ghazâlî (3/343) memperkuat pesan ini dengan kisah teladan tentang seseorang yang dulunya angkuh di Mekkah, tetapi kemudian ditemui dalam keadaan hina di Baghdad. Orang itu berkata, “Aku mengangkat diriku di tempat orang-orang merendahkan diri, maka Allah merendahkanku di tempat orang-orang mengangkat diri.” Kisah ini mengingatkan bahwa kesombongan terhadap suara-suara kecil akan berujung pada kehilangan kehormatan dan legitimasi kepemimpinan.

Dalam era kepemimpinan yang sering mengabaikan suara dari bawah, sikap Sulaiman ini menawarkan model kepemimpinan yang mendengarkan dengan empati, bahkan terhadap “bisikan-bisikan lemah” yang mungkin mengandung kritik tersembunyi. Kemampuan menerima masukan dari bawah tanpa merasa terancam merupakan kualitas kepemimpinan yang semakin langka namun sangat dibutuhkan.

Memaknai Kesuksesan Ujian Singgasana

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).’” (Q.S. An-Naml [27]: 40).

Al-Marâghî (19/131) menguraikan bahwa ketika dihadapkan dengan keajaiban perpindahan singgasana Ratu Balqis, Sulaiman tidak tergoda membanggakan diri. Sebaliknya, ia memahami momen tersebut sebagai ujian spiritual, apakah akan bersyukur dengan mengakui sumber kekuatannya atau mengklaim keberhasilan sebagai prestasi pribadi.

Al-Qurthubî (13/206) memperdalam makna ini dengan penjelasan bahwa syukur sejati adalah “pengikat nikmat yang ada dan pembuka nikmat yang belum ada.” Melengkapi perspektif para ahli tafsir ini, Al-Ghazâlî (1431, 3/344) menyumbangkan wawasan psikologis yang tajam dengan membedakan antara kesombongan (kibr) dan ujub (bangga diri).

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Menurutnya, kesombongan membutuhkan orang lain yang dipandang rendah, sedangkan ujub hanya membutuhkan diri sendiri yang dipandang tinggi. Sulaiman berhasil menghindari kedua perangkap ini dengan melihat pencapaian spektakuler sebagai ujian, bukan kesempatan untuk meninggikan diri.

Dalam budaya kepemimpinan yang terobsesi dengan pencapaian dan pengakuan, cara pandang Sulaiman menawarkan pemahaman alternatif bahwa kesuksesan bukanlah tujuan akhir, melainkan ujian yang menentukan kualitas spiritual pemimpin.

Poin-Poin Pelajaran

Model kepemimpinan anti kesombongan Sulaiman menawarkan beberapa pelajaran kontekstual untuk direnungkan:

Pertama: Kepemimpinan sebagai Amanah

Di era yang mengagungkan pemimpin yang mengubah segalanya dengan visi pribadi, Sulaiman mengingatkan bahwa jabatan sejati adalah amanah, bukan hak istimewa. Pemimpin hebat tidak terobsesi dengan membangun monumen kebesaran pribadi, melainkan dengan mengelola kekuasaan yang menyejahterakan rakyat.

Kedua: Mengakui Keterbatasan

Berbeda dengan cerita “dari nol” yang sering dipuja, kepemimpinan autentik menyadari peran faktor-faktor di luar kendali pribadi. Di mana kesempatan, keistimewaan, dukungan sistem, dan bahkan keberuntungan. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati yang tulus, bukan pura-pura.

Ketiga: Kepekaan pada Suara Rakyat Kecil

Kemampuan Sulaiman mendengarkan kekhawatiran seekor semut mengajarkan pentingnya pemimpin mempertimbangkan perspektif dari kelompok paling rentan dalam masyarakat. Era digital semakin membuktikan bahwa ide-ide inovatif sering muncul dari pinggiran, bukan dari pusat kekuasaan.

Keempat: Memaknai Ulang Kesuksesan

Dalam budaya yang memuja angka dan pencapaian terukur, sosok Sulaiman menawarkan tolok ukur kesuksesan alternatif, bukan pada pencapaian lahiriah, melainkan pada kemampuan untuk tetap bersyukur dan berkontribusi. Kesuksesan sejati adalah yang tidak mengubah karakter menjadi buruk, melainkan yang memurnikannya.

Penutup

Model kepemimpinan Sulaiman mengundang para pemimpin masa kini untuk merenungkan paradoks yang jarang dibahas: bahwa kebesaran sejati terletak pada kemampuan mengelola kekuasaan tanpa diperbudak olehnya. Dalam era yang didominasi oleh ego dan ambisi pribadi, teladan anti kesombongan Sulaiman bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan resep spiritual untuk mengembalikan keaslian pada kepemimpinan yang semakin terputus dari nilai-nilai luhur. Wallahu ‘alam.

Konsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

0

Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun ada satu dimensi yang jarang dibahas, yakni makna pendidikan keluarga dalam peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam momen paling menentukan itu, seorang ayah menerima perintah untuk menyembelih anaknya dan anak itu justru merespons dengan penuh kesabaran dan ketundukan.

Peristiwa itu bukan hanya kisah spiritual, tetapi juga kisah pendidikan rumah tangga. Bagaimana mungkin seorang anak bisa setaat dan sesabar itu? Apa rahasia pendidikan Nabi Ibrahim terhadap Ismail? Dan bagaimana relevansinya bagi orang tua dan anak-anak hari ini?

Komunikasi Seorang Ayah dan Anak

Komunikasi merupakan ruh dari keberlangsungan dunia pendidikan. Dengan adanya komunikasi yang baik, maka isi dari pendidikan dapat tersampaikan kepada objek pendidikan. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail melalui firman Allah Swt. berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Maka ketika anak itu telah sampai pada usia sanggup berusaha bersama ayahnya, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?’ Ia (Ismail) menjawab: ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (QS. as-Saffat [37]: 102)

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mencapai puncaknya dalam sebuah dialog yang menggugah hati. Di dalamnya tergambar bukan hanya perintah Ilahi, tetapi juga kedalaman hubungan emosional antara ayah dan anak yang dibangun di atas fondasi iman dan kasih sayang.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7/h. 29) menyatakan bahwa tujuan Nabi Ibrahim memberitahukan mimpinya tersebut kepada anaknya Islamil adalah untuk meringankan baginya sekaligus menguji kesabaran, ketangguhan dan kemauannya untuk taat kepada Allah san taat kepada ayahnya. Ketaatan kepada ayah di sini tentu merupakan pondasi yang kuat dalam mendidik anak menuju predikat berbakti kepada orang tua, terlebih lagi perintah ayah tersebut adalah perintah langsung dari Allah Swt.

Baca Juga: Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

Ayat ini mencerminkan dialog yang luar biasa antara seorang ayah dan anak. Ibrahim tidak serta-merta memaksakan perintah Allah, melainkan mengajak anaknya berdiskusi. Ini menunjukkan penghargaan terhadap perasaan dan akal anak. Sebaliknya, Ismail menanggapi dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Respons Ismail bukan sekadar bentuk keberanian, tapi hasil dari pola asuh dan pendidikan spiritual yang kuat sejak dini.

Perhatikan bagaimana ayah dan anak berdialog. Nabi Ibrahim tidak serta-merta mengeksekusi perintah mimpi itu. Ia melibatkan anaknya dalam proses spiritual. Padahal ini wahyu! Tetapi beliau tetap membuka ruang dialog, “Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” Menurut Syafruddin, Jurnal Ilmiah Pendidikan (h. 66), mengemukakan bahwa metode dialog dengan memberikan kesempatan anak untuk menjawab adalah cara yang tepat untuk merangsang anak dalam belajar dan berpikir kritis. Dari sini maka ia akan terlatih untuk mengeluarkan pendapat secara rasional dan mandiri.

Ketaatan Anak: Hasil Didikan, Bukan Keajaiban

Ketaatan Ismail terhadap perintah Allah Swt. bukanlah suatu keajaiban. Melainkan hasil didikan dari Nabi Ibrahim yang penuh dengan nilai spritualitas. Respon Ismail yang sangat menggetarkan melalui kalimat ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ    merupakan tanda ketaatan Ismail kepada ayahnya Ibrahim (Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq/Tafsir Ibnu Katsir, 29).

Kalimat yang maknanya “Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” menurut Hasbie Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’anul Majid (h. 3470) adalah untuk meneguhkan hatinya untuk disembelih. Ismail yakin bahwa ketetapan Allah Swt. tersebut akan mampu dipikulnya tanpa harus berkeluh kesah. Dari sini terlihat bahwa pada diri Ismail terdapat akhlak kepada Allah Swt. yang sangat luar biasa. Terpancar penghayatakan iman yang benar disertai penyerahan diri yang sempurna, serta sabar dan rela terhadap ketetapan Allah Swt. dengan sepenuh-penuhnya.

Baca Juga: Kurban Perasaan Nabi Sulaiman

Hal ini merupakan pelajaran penting dalam keluarga bahwa anak tidak mungkin tiba-tiba menjadi taat dan sabar tanpa proses pendidikan panjang. Bahkan Nabi Ibrahim dalam banyak ayat digambarkan sebagai ayah yang mengajarkan tauhid sejak awal (QS. Al-Baqarah [2]: 132), mendoakan keturunan yang saleh bahkan sebelum punya anak (QS. Ash-Shaffat [37]: 100), memberi contoh nyata dalam amal dan doa (QS. Ibrahim [14]: 40).

Menjadi Ismail-Ismail Kecil di Era Digital

Era digital telah melahirkan banyak anak yang cerdas secara akademik namun rapuh secara spiritual. Sementara itu, tak sedikit orang tua yang begitu sibuk mencari nafkah untuk anak-anaknya, tetapi lupa memberi asupan bagi jiwa dan batin mereka. Peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail memberi pesan bahwa kedekatan ruhani dalam keluarga jauh lebih penting daripada sekadar kedekatan fisik. Anak-anak hari ini tidak menuntut kita untuk menyembelih mereka, tapi mereka menuntut kita untuk membimbing mereka dan menghadirkan Allah dalam percakapan sehari-hari.

Apakah kita pernah mengajak anak berdiskusi soal Allah? Pernahkah kita berkata seperti Ibrahim: “Aku bermimpi bahwa Allah menyuruhku begini. Apa pendapatmu, Nak?” Ataukah selama ini ibadah hanya menjadi rutinitas orang tua yang tidak menyentuh hati anak?

Penutup

Kurban sejatinya bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan menyembelih keakuan, melepas kepentingan diri, dan menyalurkan cinta yang tulus. Kurban adalah latihan kepasrahan dan ketundukan yang paling indah, terlebih lagi jika ditanamkan pertama kali dalam lingkaran keluarga.

Saat Nabi Ismail telah siap untuk disembelih, lalu Allah Swt. menggantikannya dengan sembelihan yang agung, di sanalah pesan besar tersimpan, yakni Allah tidak menginginkan darah, melainkan keikhlasan. Keikhlasan tertinggi tercermin saat seorang ayah membimbing anaknya untuk menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya.

Baca Juga: Ibadah Kurban dan Permasalahan Kontemporer

Zaman sekarang menuntut kurban yang lebih dari sekadar menyembelih hewan. Kita perlu mengorbankan waktu, perhatian, dan hati untuk membimbing anak tumbuh seperti Ismail. Idul Adha seharusnya menjadi momentum untuk membangun ruh keluarga yang Qurani, bukan sekadar seremoni tahunan. Semoga Allah Swt. menjadikan kita sebagai orang tua yang mampu meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim dan membesarkan anak-anak yang berhati seperti Ismail, kokoh dalam iman dan lembut dalam taat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Empat Pilar Kesejahteraan Negara: Syaikh Musthafa al-Maraghi

0

Kesejahteraan merupakan impian bersama setiap bangsa. Cita-cita ini muncul dari kesadaran kolektif setiap individu dalam kelompok tertentu sehingga terbentuklah sebuah negara yang menjadi wasilah untuk mewujudkan impian tersebut. Namun, jalan mencapainya tidak semata-mata diukur dari pertumbuhan ekonomi atau pembangunan infrastruktur, tetapi mencakup dimensi moral, ilmu, dan stabilitas sosial.

Banyak para ahli dan cendikiawan muslim yang menawarkan strategi guna menggapai kesejahteraan sebuah bangsa. salah satunya adalah gagasan yang disampaikan oleh seorang ulama besar dari al-Azhar Mesir, yaitu Syaikh Musthafa al-Maraghi.

Dalam masterpiece-nya dalam bidang tafsir yang berjudul Tafsir al-Maraghi, beliau menjelaskan bahwa kemakmuran suatu bangsa akan diraih oleh mereka yang mampu mengatur dunia dengan baik, tanpa memandang agama maupun mazhab tertentu.

Hal ini juga sejalan dengan dengan ungkapan yang menyatakan:

الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة

Allah mendukung negara yang adil, bahkan jika itu adalah negara kafir, dan Dia tidak mendukung negara yang zalim, bahkan jika itu adalah negara beriman. [Al-Hisbah fi al-Islam, hal. 7]

Baca Juga: Surah Ali Imran [3]: 103: Menjaga Integrasi Negara

Dalam hal ini, Syaikh Musthafa al-Maraghi menawarkan empat pondasi utama yang dapat menyokong kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 76]

Pertama, dipimpin oleh soerang pemimpin yang ahli, bijak dan adil. Keberadaan seorang pemimpin merupakan hal yang niscaya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia berfungsi untuk mengarahkan, menggerakkan dan menghidupkan seluruh elemen masyarakat menuju tujuan bersama.

Negara yang dipimpin oleh sosok yang berintegritas dan memiliki kapabelitas yang tinggi memiliki peluang untuk makmur sejahtera. Hal ini karena seorang pemimpin yang memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni akan memiliki langkah yang terstruktur dalam membuat kebijakan. Selain itu, sikap integritas juga penting dimiliki agar nantinya ketika mejalankan tugas dan membuat keputusan ia tidak bertindak zalim dan semena-mena kepada msyarakat.

Kedua, memiliki pasukan militer yang kuat dan terstruktur. Keberadaan kekuatan militer dibutuhkan untuk melindungi suatu negara dari rongrongan bangsa lain. selain itu, kekuatan militer juga berfungsi untuk menjaga stabilitas negara dari pemberontakan dan intervensi internal yang dapat mengancam kesatuan bangsa.

Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan yang mencakup semua sektor, baik dari pertanian, industri, perniagaan dan lain sebagainya. Lapangan pekerjaan yang sudah tersedia kemudian harus diisi oleh masyarakat agar roda perekonomian berjalan lancar.

Baca Juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 2)

Selain untuk mencari nafkah, bekerja di sektor-sektor yang ada secara tidak langsung juga memberikan kontribusi kepada masyarakat secara umum. Bayangkan saja jika tidak ada petani, maka siapa yang akan menggarap lahan persawahan untuk menghasilkan bahan makanan pokok?

Keempat, mengatur pemerataan tugas dan kewajiban masing-masing individu sesuai job dan pekerjaan mereka. keahlian masing-masing anggota masyarakat tentu berbeda-beda. Sehingga seorang petani hendaknya fokus mengurusi masalah pertanian, jangan sampai ikut campur urusan industri yang bukan bidangnya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertanian agar tidak ikut campur dalam masalah pertanian.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Apabila suatu perkara diserhkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat. HR. Al-Bukhari

Dengan adanya pemerataan seperti ini, diharapkan mayarakat yang bekerja di satu bidang tertentu menjadi lebih profesional dalam pekerjaannya. Profesionalitas ini penting agar sebuah pekerjaan dapat terselesaikan dengan maksimal.

Baca Juga: Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

Dengan adanya empat hal di atas, sebuah negara akan mengalami masa kejayaan. Menurut al-Maraghi, peradaban-peradaban besar seperti Persia, Romawi, kekhalifahan dan kerajaan-kerajaan Islam pernah mendominasi dan menguasai dunia karena dibangun di atas empat pondasi di atas.

Meneladani Integritas Burung Hudhud: Asas Work From Anywhere

0

Tulisan ini diangkat berdasarkan sambutan orasi ilmiah oleh Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dalam salah satu acara. Seorang Mentri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih tersebut melandaskan kisah absensi burung Hudhud sebagai dasar Work From Aywhere (WFA) yang berlangsung selama 46 detik sebagai berikut:

WFA Work Form Anywhere, itu artinya ya bekerjalah di mana saja anda berada. Saya kira WFA itu adalah contoh dari burung Hudhud yang tidak datang waktu diabsen oleh Nabi Sulaiman. Ketika Nabi Sulaiman ngabsen para pejabatnya, Hudhud tidak hadir sehingga Nabi Sulaiman agak marah “ke mana ini Hudhud kok tidak ada?”, kemudian Hudhud menjawab “saya memang tidak datang, tapi saya kerja”, “bukti kerjanya apa?”, “ada Ratu yang dia itu kaya raya, cerdas, cantik cuma belum masuk Islam”. Itu membuktikan Hudhud sudah Work From Anywhere, kira-kira begitu.

Baca Juga: Kisah Burung Hudhud, Pasukan Intelijen Nabi Sulaiman

Pengertian WFA (Work from Anywhere)

Dilansir dari https://www.bkn.go.id/ tentang Sistem Work From Anywhere (WFA) bagi ASN bahwa WFA secara global dikenal dengan istilah Flexible Working Arrangements (FWA). Bagi ASN, ia adalah sebagian dampak kecil di era VUCA yang berimplikasi pada timbulnya ragam fenomena yang menuntut pemerintah untuk bergerak cepat dan melakukan perubahan demi terjaminnya pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik.

FWA sebagai dasar dari pengembangan konsep WFA di Indonesia didefinisikan oleh PBB/ UN sebagai “penyesuaian terhadap ketentuan waktu dan tempat kerja yang normal di mana ketentuan jam kerja normal dimungkinkan bervariasi antar setiap unit kerja dengan tujuan memungkinkan para pengelola/ pejabat mengimplementasikan “work life-balance” secara optimal sembari memastikan tercapainya sasaran kerja organisasi secara efektif dan efisien”.

Dalam konteks implementasi sistem WFA, terdapat beberapa kode etik bagi ASN. Secara ringkas, ia adalah sikap kolaboratif, adaptif, loyal, harmonis, kompeten, akuntabel dan berorientasi pelayanan. Seluruh sikap tersebut dapat didasarkan secara umum pada asas bersemangat, tanggung jawab, disiplin, kerja sama dan jujur serta pelayanan prima.

Absensi Hudhud dengan sikap loyal dan tanggung jawabnya

Apabila diperhatikan, kisah burung Hudhud dan Nabi Sulaiman paling tidak dapat terlihat secara ringkas pada rangkaian Q.S. Al-Naml [27]: 20-22

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ اَرَى الْهُدْهُدَۖ اَمْ كَانَ مِنَ الْغَاۤىِٕبِيْنَ ٢٠ لَاُعَذِّبَنَّهٗ عَذَابًا شَدِيْدًا اَوْ لَاَا۟ذْبَحَنَّهٗٓ اَوْ لَيَأْتِيَنِّيْ بِسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍ ٢١ فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقَالَ اَحَطْتُّ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ ۢبِنَبَاٍ يَّقِيْنٍ ٢٢

Artinya: “[20]. Dia (Sulaiman) memeriksa (pasukan) burung, lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud?, Ataukah ia termasuk yang tidak hadir?. [21]. Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.” [22]. Tidak lama kemudian (datanglah Hudhud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita penting yang meyakinkan (kebenarannya.)

Berdasarkan refleksi Prof. Mu’ti sebelumnya, paling tidak ditemukan dua poin menarik yang dapat ditangkap. Pertama, tidak terlihat dan tidak hadirnya Hudhud di dalam ayat 20 tetap diiringi oleh rasa tanggung jawab dan loyalitas terhadap Nabi Sulaiman sebagai pemimpin melalui bukti berupa hasil pengamatannya terhadap negeri Saba’ sebagaimana ayat 22. Implikasi dari alasan yang jelas tersebut, Hudhud tidak terkena konsekuensi hukum yang berat atau disembelih sebagaimana ayat 21.

Baca Juga: Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba

M. Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 10, h. 210) berpandangan bahwa Hudhud tidak terbang tetapi menanti di satu tempat untuk memperhatikan kaum Saba’. Hal ini mengindikasikan ketidakhadiran Hudhud tidaklah menafikan sikap loyalnya. Kesedian Hudhud untuk mengantar surat Nabi Sulaiman ke negeri Saba’, baik terhadap sang Ratu maupun masyarakatnya sebagaimana keterangan tafsir ayat 29-31 juga memperkuat adanya sikap tanggung jawab moral sang burung tersebut.

Kedua, bertolak pada konteks kepemimpinan Nabi Sulaiman bahwa beliau tidak tergesa-gesa di dalam menetapkan suatu keputusan. Hal ini didasarkan pada absensi Hudhud yang dipertanyakan Nabi Sulaiman berikut konsekuensinya tetaplah diiringi oleh pengecualian melalui alasan yang jelas.

Kejelasan alasan ini juga sejalan dengan penafsiran M. Quraish Shihab (jilid 10, h. 216) bahwa Nabi Sulaiman tidak segera mengambil sikap membenarkan ataupun mempermasalahkannya, namun bersegera untuk mengambil langkah-langkah progresif berkaitan dengan keyakinan batil kaum Saba’. Dengan demikian, secara tidak langsung Hudhud tidak terkena konsekuensi atas absensinya berdasar bukti penugasan pengiriman surat oleh Nabi Sulaiman sebelumnya.

Baca Juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

Kesimpulan

Berdasarkan kisah Hudhud dan Nabi Sulaiman dalam korelasinya dengan sistem kerja WFA, setidaknya ada dua hikmah teladan yang patut dipetik. Pertama, kehadiran memang poin penting di dalam satu sisi, namun rasa tanggung jawab dan sikap loyal sebagai cerminan sebuah integritas diri juga tidak kalah penting bahkan dapat menjadi hal yang bersifat substansi.

Hal tersebut tentu sejalan dengan tujuan implementasi WFA yang menjadi kode etik bagi para pegawai negeri. Bahkan, sikap tersebut dapat berlaku bagi setiap insan dengan ragam statusnya, seperti status pelajar hingga warga negara dengan tanggung jawabnya masing-masing. Kedua, menghindari sikap berburuk sangka, sering melakukan tabāyun/ klarifikasi, bersikap skeptis terhadap sebuah kebenaran fenomena dan berita sehingga ditemukan bukti-bukti yang kuat.

Hal ini tentu senada dengan sikap integritas moral yang tercermin melalui asas tanggung jawab, jujur dan berorientasi pelayanan prima yang menjadi kode etik dan seharusnya dimiliki oleh para Aparatur Sipil Negara. (wallāhu a’lam)

Mengenal Kitab-Kitab Tafsir dari Kalangan Syiah

0

Tafsir Alquran merupakan salah satu bidang kajian Islam yang terus berkembang dari masa kemasa. Tak hanya dari kalangan Sunni, para ulama dari kalangan Syiah juga telah menghasilkan banyak karya tafsir yang kaya akan pemikiran dan sudut pandang yang khas. Kitab-kitab tafsir ini tidak hanya menunjukkan cara mereka memahami Alquran, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai teologis dari madzhab Syiah itu sendiri. Berikut merupakan beberapa kitab-kitab tafsir dari kalangan Syiah dari abad klasik hingga modern:

  1. Tafsir Al-Qummi

Tafsir Al-Qummi merupakan tafsir klasik dari kalangan Syiah yang ditulis oleh Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qummi di abad ke 3 H. Meskipun ada beberapa ulama dari kalangan Syiah berpendapat bahwa tafsir ini tidak sepenuhnya ditulis oleh Al-Qummi, melainkan muridnya yakni Abu Fadh Abas bin Muhammad. Namun ulama seperti Al-Thusi dan Allamah al-Hilli percaya bahwa tafsir ini ditulis sepenuhnya oleh Al-Qummi. Al-Qummi merupakan seorang ulama Syiah Imamiyah dari kota Qum, Iran. Ia lahir di Kufah, Irak, dan dikenal sebagai tokoh pertama yang menyebarkan hadis Nabi di Qum. Tafsir Al-Qummi memiliki pengaruh besar dalam tradisi Syiah karena banyak dirujuk oleh murid-muridnya, termasuk Al-Kulaini. Tafsir ini dikenal karena kedekatannya dengan sumber ajaran Ahlul Bait, dan sering disebut sebagai cerminan tafsir Imam Ja’far Al-Shadiq.

  1. Asas Al-Ta’wil

Tafsir Asas Al-Ta’wil merupakan karya dari Nu’man Ibn Hayyun. Tidak ada yang mengetahui secara pasti tahun dan tempat kelahirannya. Beberapa pendapat memperkirakan Ia lahir sekitar tahun 283 H atau 302 H, namun kedua pendapat itu dianggap kurang meyakinkan karena tidak didukung oleh data yang kuat. Nu’man Ibn Hayyun bertumbuh dewasa di kota Qairawan, Magrhib, Maroko, pada masa dinasti Fatimiyyah. Dalam tafsirnya, Ia mentakwilkan ayat-ayat tentang kisah para nabi dengan pendekatan  ra’yu ‘aqli (pendapat akal), meskipun sebagian juga menggunakan khabar dan hadis sebagai rujukan. Kitab ini terdiri dari 416 halaman dan dibagi kedalam enam fasal, masing-masing membahas kisah para nabi yang disebut “natiq”, mulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad. Setiap fasal tidak hanya menjelaskan kisah para nabi dalam makna lahiriyah, tetapi juga menafsirkan makna bathiniah dari peristiwa tersebut.

Baca Juga: Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

  1. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an

Kitab Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran yang dikarang oleh Abu Ali al-Fadl bin Al-Hasan Al-Tabarsi, yang lahir di Masyhad , Iran pada tahun 468 H dan wafat di Sabwizar pada tahun 548 H.  Tabarsi merupakan ulama besar Syiah dari abad ke 6 Hijriah dan dikenal sebagai ahli tafsir, fiqih, dan hadis. Tabarsi menulis tafsir ini sebagai nazar setelah selamat dari peristiwa Ajaib, Ia dikira meninggal (mati suri) karena stroke, dikuburkan hidup-hidup, lalu diselamatkan oleh seorang pencuri kain kafan. Tafsir ini selesai ditulis pada bulan Dzulqa’dah tahun 534 H dengan pembahasan yang mencakup aspek Bahasa, gramatika, perbedaan bacaan qiraat, hukum-hukum dalam Alquran, serta pandangan teologis mazhab Syiah. (Tafsir Wal Mufassirun, Juz 2, Hal. 74-75) Selian itu tafsir ini juga menaruh perhatian khusus pada tanasub al-ayat (kesesuaian antara ayat satu dengan ayat yang lainnya). Dari sini, ia dianggap sebagai salah satu mufassir Syiah yang langka karena menaruh perhatian khusus terhadap ilmu munasabat.

  1. Tafsir Al-Shafi

Tafsir Al-Shafi ditulis oleh Muhammad bin Syah Murtadha bin Syah Mahmud, yang dikenal dengan Mulla Muhsin dan juga Al-Fayd Al-Kashani. Ia adalah salah satu tokoh dari kalangan Syiah Imamiyah dua belas (Itsna ‘Asyariyah). Al-Kashani lahir pada tahun 1007 H di Kashan, dan meninggal pada tahun 1091 H. Al-Kashani menganggap motivasi menulis tafsir Al-Shafi ialah permintaan dari ikhwannya unutk menulis tafsir Alquran berdasarkan keterangan dan Riwayat para imam maksum. Tafsir Al-Shafi sendiri terdiri dari 2 jilid dengan metode penafsiran ijmali, dimana tafsir ini menjelaskan ayat-ayat Alquran secara global dan ringkas, kecuali ayat-ayat yang menyangkut tentang aqidahnya, dan juga ayat kisah-kisah dalam Alquran. (Tafsir Wal Mufassirun, Juz 2, Hal. 108-110) Selain itu dalam tafsirnya, Al-Kashani menunjukkan pengaruh kuat dari gaya penulisan Tafsir Baidhawi. Ketika tidak ditemukan Riwayat terkait suatu ayat, Ia cenderung mengutip pernyataan Baidhawi secara persis dengan apa yang ada dalam tafsir Baidhawi, meskipun terkadang disertai sedikit penyesuaian.

Baca Juga: Mengenal Kitab Ahkam Alquran Karya Imam Al-Tahawi

  1. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an

Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an atau biasa dikenal dengan tafsir Al-Mizan dikarang oleh Muhammad Husain Thabathaba’i. Ia lahir di Tibriz pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H/1892 M dan Wafat pada tahun 1402 H/1981 M. Latar belakang penulisan tafsir Al-Mizan berawal dari permintaan para mahasiswa Syaikh Husain Thabathaba’I di Universitas Qum, Iran, yang menginginkan materi tafsir kuliah beliau dibukukan dalam bentuk yang lebih lengkap. Menanggapi permintaan itu Thabathabai Menyusun sebuah tafsir yang Bernama Al-Mizan. Kitab ini diberi nama Al-Mizan karena Syaikh Thabathaba’I ingin menjadikannya sebagai sarana untuk memberikan pandangan yang adil dan kuat bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan, dengan mengutamakan metode penafsiran Alquran dengan Alquran. Selain itu, dalam tafsir ini juga dimuat berbagai pandangan dari ulama klasik dan modern, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Bahkan, dalam beberapa bagian, Ia juga mengkritisi pendapat para ulama tersebut.

Kelima tafsir Syiah diatas cukup menarik untuk dipelajari karena memeberikan sudut pandang yang berbeda dalam memahami isi Alquran. Tafsir-tafsir tersebut juga menawarkan penjelasan mendalam tentang keyakinan dan praktik keagamaan dalam ajaran Syiah. Oleh karena itu, memahami tafsir Syiah tidak hanya bermanfaat bagi penganutnya saja, tetapi juga bisa memperluas wawasan umat Muslim secara umum dalam memahami isi Alquran.

Batasan Kajian Living Qur’an: Renungan Buku The Walking Qur’an

0
1.90.3-TBCEN4KKHI2PP6YETW4T73HAOM.0.1-3

Sampai mana kajian Living Qur’an mencapai batasnya? Pertanyaan itu muncul dalam salah satu diskusi ilmiah. Dalam satu momen diskusi itu, Lukman, salah satu peserta diskusi yang juga merupakan Dosen Tafsir UIN Sunan Kalijaga, berujar bahwa ragam kajian tafsir pada akhirnya akan mencapai batasnya bila para pembaca rajin mengembangkan kajian tersebut.

Pendapat itu didasarkan atas argumen bahwa tulisan Jajang ini dari segi metodologi penelitian stuck pada kajian. Tak mengherankan bila tulisan ini, menurut hemat penulis, tidak mengalami perkembangan sejak pertamakali kajian model serupa diperkenalkan Gusmian 24 tahun lalu (baca: Khazanah Tafsir Indonesia).

Diskusi di atas tampaknya tidak jauh berbeda bila kita membicarakan salah satu genre kajian studi Alquran yakni Living Qur’an. Sejauh ini, penelitian ini banyak menggunakan pendekatan etnografi. Untuk mengukurnya, mari simak tulisan Rudloph T. Ware di bukunya yang berjudul The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa.

Baca Juga: William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

Sesuai dengan judulnya, buku ini menyoroti pendidikan Alquran tradisional di Afrika Barat. Asumsi dasar tulisan ini adalah bahwa perkembangan Islam di daerah ini tidak terlepas dari eksistensi lembaga pendidikan tradisional (madrasah, penulis) ini. Ia tidak hanya mengajarkan murid membaca Alquran, melainkan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ware menggunakan pendekatan multidisipliner dalam penelitiannya. Etnografi dan sejarah menjadi dua pilar besar sudut pandang penelitian ini diambil. Sejarah digunakan untuk memotret perkembangan Islam dan madrasah sejak abad 10 sampai pasca kolonial (baca: Daftar Isi).

Sekalipun Ware berujar bahwa ia bukanlah seorang etnograf (hal. 12), metode etnografi tetap digunakan dalam tulisannya di bab 1 untuk melihat bagaimana institusi (baca: madrasah) di Senegambia melakukan praktik pendidikan Alquran. Selain itu, hasil dari bahasan itu juga untuk menjelaskan makna filosofi pengajaran Alquran yang mana ia bukan hanya dibaca, melainkan dipraktikkan, internalisasi, dan ditransmisikan dalam konteks sosial-budaya setempat.

Pada bab selanjutnya (2 sampai 5) pembahasan lebih berfokus pada aspek kesejarahan perkembangan islam dan pendidikan Alquran. Ada banyak hal yang terjadi di Afrika Barat selama kurun waktu abad 10 sampai pasca kolonial, antara lain:

Bab 2 menjelaskan Aktor utama guru-guru madrasah selama kurun waktu tahun 1000-1770 dalam islamisasi di daerah itu. Pada bab ini juga mulai ditampilkan masa perbudakan Barat kepada warga Afrika Barat akibat dibukanya jalur pelayaran Atlantik (hal. 36). Bab 3 lebih spesifik menjelaskan perbudakan dan refolusi pada 1770-1890. Pada prinsipnya, sebagian dari budak adalah para ulama dan penghafal Alquran yang mana mereka dianggap sebagai Alquran yang berjalan, sehingga memicu gerakan perlawanan.

Baca Juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Bab 4 membahas tentang proses penghapusan perbudakan yang berlangsung sejak 1890-1945. Pada masa ini mulai muncul kelompok sufi dan pendidikan tradisional. Perancis menjajah Senegal dalam kebijakan “Islam Noir” mendiversifikasi kelompok muslim sufi Afrika yang dianggap tidak berbahaya dengan muslim Arab yang dianggap lebih berbahaya (hal 37-38). Sementara bab 5 mengulas perkembangan pendidikan Islam di Senegal pasca Perang Dunia 2. Sekalipun ada dualitas sistem pendidikan Islam (modern dan tradisional), pendidikan tradisional tetap tidak tergantikan.

Sejauh Mana Kajian Living Qur’an Mencapai Batasnya?

Kembali kepada bahasan sebelumnya, tulisan Ware, meski ia tidak menyebut buku ini sebagai kajian Living, menempatkan Alquran sebagai objek kajian yang hidup di Afrika Barat. Dalam hal ini, kajian Alquran yang dimaksud bukanlah Alquran secara fisik, melainkan dalam sebagai objek yang hidup. Alquran dibaca, diajarkan, dan diwariskan sejak zaman Nabi Saw. sampai ke Afrika. Dalam dinamika sejarah ia tetap terpreservasi sekalipun mengalami badai yang terjal.

Pendekatan sejarah yang Ware gunakan berhasil memotret perkembangan Alquran sebagai teks yang dipelajari, dihafal, dan diamalkan oleh umat muslim sejak abad ke 4 Hijriyah sampai era kontemporer di Afrika Barat. Mulanya, ia dibawa oleh pendakwah melalui perantara lisan dan berhasil berkembang di sana. Pengajaran Alquran terus berkembang sampai muncul institusi pendidikan tradisional dan juga modern.

Mengutip pendapat Rafiq, Living Qur’an merupakan sebuah fenomena. Untuk itu ia dapat dibaca dalam bentuk apapun dan dengan kaca mata yang beragam. Tulisan Ware mencontohkan Alquran sebagai fenomena, sedangkan sejarah sebagai kacamata untuk membacanya.

Untuk itu, kajian Living masih memiliki potensi pengembangan yang sangat luas karena tiap daerah baik itu lokal maupun regional memiliki ragam fenomena Alquran yang berbeda. Hal itu dapat terjadi karena ada dua entitas yang saling berinteraksi, Alquran itu sendiri dan sosial-budaya lokal.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Sebaliknya, menurut hemat penulis, penjelasan fenomena itu justru menjadi batasan kajian Living, sedangkan kajian ini berhenti pada “memotret suatu kejadian yang memiliki unsur Alquran dan sosial budaya”.

Haji Lebih dari Sekali: Saat Ibadah Sunah Berhadapan Kepekaan Sosial

0
Ibadah haji
Ibadah haji

Ibadah haji termasuk rukun Islam dan wajib dilakukan apabila seseorang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Q.S. Ali Imran (3):97:

وَلِِلِه عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلا

“Mengerjakan haji merupakan kewajiban manusia terhadap Allah, (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Tolak ukur kemampuan seseorang untuk beribadah haji terdiri dari kemampuan finansial dan kemampuan fisik atau disebut sebagai istita’ah. Meski termasuk dalam ibadah yang perlu banyak persiapan, hal itu lantas tidak menyurutkan semangat umat muslim. Antusias tersebut tidak jarang membuat mereka yang sudah melaksanakan ibadah haji untuk berhaji berkali-kali meskipun dalam syariat Islam, kewajiban ibadah tersebut hanya sekali seumur hidup.

Baca juga: Larangan dan Anjuran ketika Berhaji

Mengingat fakta bahwa agama Islam merupakan agama dengan pemeluk terbanyak kedua di dunia, tentu tidak memungkinkan untuk datang ke Baitullah dalam satu waktu dengan jumlah yang sekian banyak. Oleh sebab itu, pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan terkait kuota jamaah haji untuk masing-masing negara (Fadhilla Ilham dkk., Kajian Hukum Islam Terhadap Kebijakan Pemerintah Atas Pemberian Kuota Lebih Kepada Jemaah Haji, 711).

Penetapan kuota mempengaruhi persiapan pelaksanaan haji, termasuk adanya antrian keberangkatan jamaah. Keinginan untuk melakukan ibadah haji lebih dari sekali tentu akan menambah daftar antrian semakin panjang. Lantas, bagaimana sebaiknya bagi orang-orang yang ingin melaksanakan haji padahal kewajiban haji sudah pernah dijalani?

Motif Melaksanakan Ulang Ibadah Haji

Ibadah haji merupakan kegiatan atau perjalanan spiritual. Kegiatan semacam ini tentunya memiliki pengaruh pada spiritualitas seseorang. Beberapa hal yang membuat umat muslim ingin melaksanakan ibadah haji berulang kali terdiri sebagai berikut (Claudia Seise, “Saya ingin pergi lagi dan lagi”: Emosi Spiritual Dan Perbaikan Diri Melalui Wisata Ziarah, 9-10):

  1. Emosi Spiritual

Emosi spiritual dapat dirasakan saat melakukan ibadah haji dikarenakan adanya manifestasi di luar ibadah yang dapat diamati orang lain. Manifestasi di luar ibadah di antaranya: iman dan ihsan yang mana adalah manifestasi batin, emosi yang timbul dari beribadah, serta hubungan individu dengan Tuhan. Adanya reformasi batin ini yang mendorong faktor keseimbangan spiritual. Karenanya perjalanan seperti haji yang mengarah pada pusat spiritualitas Islam secara geografis dan kolektif sangat besar kemungkinan mempengaruhi hati dan spiritualitas seseorang.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

2. Perasaan Khusyuk

Khusyuk merupakan perasaan kerendahan hati dalam salat, juga perasaan terhubung dengan Tuhan. Dari pengalaman jemaah haji, mereka merasa aman dan damai serta merasa dekat dengan Tuhan. Seolah Tuhan berbicara dengan kita melalui bacaan imam. Khusyuk merupakan salah satu unsur penting saat melaksanakan salat yang menghubungkan orang beriman dengan Tuhan. Sehingga, tidak heran apabila seseorang dapat merasakan khusyuk yang mendalam saat berada di Baitullah ingin merasakan momen itu lagi.

  1. Pengakuan sosial dan status

Selain alasan yang telah disebutkan, beberapa hal lain -yang juga turut memengaruhi minat untuk berhaji lagi- ialah pandangan masyarakat yang menghormati pelaku haji. Bahkan,  ada pula yang dilandasi oleh hedonisme belaka.

Pandangan Tokoh

Antrian jamaah haji, khususnya di negara dengan jumlah penduduk beragama Islam yang masif seperti Indonesia mencapai angka tinggi, sehingga mengakibatkan daftar tunggu yang lama. Kebijakan dari pemerintah belum mampu mengatasi masalah ini. Hanya saja, telah dibuat beberapa aturan terkait seperti pembatasan pendaftar haji. Orang yang sudah pernah berhaji maka dibatasi. Mereka dapat melaksanakan haji lagi setelah lima hingga sepuluh tahun dari ibadah haji sebelumnya (Achmad Muchaddam Fahham, Penyelenggaraan Ibadah Haji: Masalah dan Penanganannya, 204).

Sebenarnya, tidak mengapa apabila ingin haji berkali-kali. Namun, karena banyaknya antrian, hendaknya bagi yang pernah pergi haji bertoleransi dan tidak menutup mata dengan memberikan kesempatan pada mereka yang baru pertama kali akan berangkat haji.

Para ulama pun telah sepakat bahwa haji wajib satu kali seumur hidup. Dengan peningkatan antrian dan daftar tunggu yang lama, serta keacuhan dari jamaah yang pernah haji menimbulkan respons dari para cendekiawan atau tokoh. Salah satunya Ali Mustafa Yaqub. Pakar ilmu hadis tersebut mengungkapkan rasa heran terkait banyaknya jemaah yang ingin pergi haji namun lingkungan sekitar masih mengalami masalah krusial. Sebagai contoh, masih banyak anak yatim terlantar, tuna wisma, balita busung lapar, keadaan masjid yang tidak layak, dan sebagainya. Dihadapkan dengan realitas ini, tetap masih banyak masyarakat Indonesia yang memilih pergi haji lagi.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial

Kebiasaan haji berkali-kali ini berpotensi menutup kepekaan sosial masyarakat-meski tidak dapat digeneralisir- yaitu dengan lebih memilih menggunakan harta untuk sesuatu yang sunah dibandingkan kewajiban membantu sesama (Muhammad dkk., Problematika Haji dan Umrah Berulang Kali Menurut Ali Mustafa Yaqub Dalam Perspektif Fikih Islam, 314). Argumen tersebut sebagaimana dalam kaidah fikih “ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.” (Al-Suyūṭī , Al-Asybāh Wa Al-Naẓāir, 144).

Dari permasalahan yang telah dibahas, dapat diambil benang merah bahwa haji adalah kewajiban sekali seumur hidup. Dengan demikian, haji untuk kali kedua dan seterusnya termasuk pada ibadah sunah. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, ungkapan itu sekiranya cocok sebagai pengingat. Selanjutnya kewajiban kiranya harus didahulukan daripada ibadah sunah.

Apabila telah melaksanakan kewajiban sebaik mungkin maka bisa untuk melakukan ibadah haji berulang kali. Namun mengingat lamanya antrian, ada baiknya kita berempati dan mempertimbangkan saudara muslim kita yang belum menjalankan ibadah haji. Apabila masih ingin untuk berangkat haji, maka sebaiknya dilakukan dengan tidak mengambil hak orang lain, seperti mengunjungi negara dengan minoritas penduduk muslim dan menggunakan kuota negara tersebut. Wallahu’alam.

Penjelasan Islah Gusmian tentang Tafsir Reformis

0
Islah Gusmian isi seminar Dialog Tafsir Nusantara
Islah Gusmian isi seminar Dialog Tafsir Nusantara

Senin, (19/05), Himpunan Mahasiswa program studi (himaprodi) Ilmu Alquran dan Tafsir Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, menyelenggarakan seminar bertajuk Dialog Tafsir Nusantara untuk membedah Tafsir Reformis dalam perspektif Islah Gusmian. Seminar tersebut fokus pada penafsiran para mufasir untuk memproduksi karya yang memiliki relevansi dalam penyelesaian masalah yang dimiliki oleh masyarakat sosial saat ini.

Biografi Islah Gusmiah

Islah Gusmian merupakan Guru Besar bidang Ilmu Alquran dan Tafsir yang saat ini aktif sebagai dosen sekaligus menjadi dekan di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Beliau lahir di pati pada tanggal 22 Mei 1973, jenjang pendidikan awal masa kuliah strata 1 diselesaikan pada tahun 1997 jurusan tafsir hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kemudian beliau melanjutkan  magister Studi Filsafat Islam Program Pascasarjana di kampus yang sama dan selesai pada tahun 2002. Islah melanjutkan program doktoral hingga tahun 2014 di kampus yang sama.

Baca juga: Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara

Latar belakang keilmuan yang concern di bidang manuskrip serta kajian Tafsir Nusantara membentuk perspektif yang berupaya untuk memformulasikan metodologi dalam memahami Alquran agar sesuai dengan konteks zaman. Beliau akademisi yang cukup prolifik, dengan buah karya khas kedaerahan seperti; Dinamika Tafsir Alquran Bahasa Jawa, Khazanah Tafsir Indonesia, Bencana Alam dalam perspektif Filologis dan Teologis (kajian Tematik Manuskrip keagamaan Wilayah Jawa Tengah, dan masih banyak lagi karya yang lainnya. Maka tidak berlebihan jika beliau disebut sebagai salah satu inisiator metodologi Tafsir Nusantara.

Pengertian Reformasi di Indonesia Menurut Islah Gusmian

Dalam seminar yang beliau sampaikan saat pertemuan di UIN Sunan Ampel, Islah memaknai istilah reformis ke dalam tiga term sesuai masa kehidupan dinamika sosial di Indonesia. Jika ditinjau dari segi bahasa, kata reformasi berasal dari bahasa Latin reformatio, yang berarti “membentuk kembali” atau “menyusun ulang.”

Secara umum, reformasi dapat diartikan sebagai perubahan signifikan untuk memperbaiki suatu sistem, baik dalam bidang sosial, pendidikan, politik, ekonomi, maupun agama. Jika makna reformasi dipersempit dalam konteks politik, yakni upaya untuk mengatasi ketidakadilan, korupsi, atau sistem yang sudah tidak relevan dengan zaman.

Seorang reformer (pembaru) percaya bahwa perubahan harus dilakukan secara bertahap, berbeda dengan penganut paham revolusioner yang mengupayakan transformasi sistem secara cepat dan berskala besar. Dalam konteks keislaman di Indonesia, para tokoh Islam telah mengadopsi pendekatan reformasi yang bersifat inkremental, yakni menyesuaikan diri dengan sistem yang ada sembari memperbaiki kondisi masyarakat secara berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan yang berdampak nyata tanpa menimbulkan kekacauan.

Makna Reformasi dalam Tafsir Alquran       

Islah menjelaskan tiga makna term reformasi dalam tafsir Alquran. Pertama, yakni reformasi diartikan sebagai gerakan purifikasi. Penafsiran Alquran yang dilakukan oleh kalangan pertama di abad pertengahan khususnya di Indonesia, adalah gerakan yang melakukan upaya purifikasi Alquran dari praktik yang mengarah pada keyakinan takhayul, bidah, dan khurafat.

Hal itu dilakukan agar umat muslim di Indonesia dapat meneguhkan kembali tauhid dan beribadah sesuai tuntunan Rasulullah saw. seperti pada abad ke-20. Gerakan reformasi dilakukan oleh sejumlah organisasi modern seperti Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam melalui penafsiran Alquran yang melarang praktik tersebut.

Baca juga: Memahami Istilah Bidah dalam Diskursus Para Ulama Tafsir Masa Lalu

Kedua, reformasi penafsiran Alquran dilakukan untuk mencoba menjadikan teks sebagai jawaban atas kehidupan realita saat ini. Gerakan ini mencoba untuk mengombinasikan tradisi dengan kemodernan barat sesuai dengan prinsip Islam. Hal ini tumbuh karena reaksi atas keterpurukan Islam  dan kemajuan barat pada awal abad ke-18. Konsep ini memberikan kesempatan untuk membuka pintu ijtihad. Makna yang terkandung pada term yang kedua ini tidak hanya sebatas melakukan purifikasi terhadap tradisi takhayul, bidah, khurafat, melainkan juga mencoba mengintegrasikan ilmu pengetahuan, kemajuan pendidikan modern Islam, ikut politik, serta mendirikan lembaga yang berfokus pada kesejahteraan umat.

Ketiga, reformasi pemaknaan teks melalui pendekatan saintifik. Pendekatan ini dilakukan dengan membangun keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kondisi sosial-budaya. Dalam praktiknya, para mufasir kontemporer menjadikan sains sebagai salah satu perangkat dalam menafsirkan ayat Alquran. Tokoh seperti Mahmud Yunus dan Hamka menjadi pelopor untuk mengintegrasikan kerangka ilmiah sebagai basis argumentasi dalam penafsiran. Sebagai contoh, pemanfaatan teori sains modern untuk menjelaskan ayat kauniyah. Pendekatan ini mementingkan rasionalitas, relevansi sosial, serta dinamika penafsiran sesuai dengan perkembangan zaman.

 

Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

0
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

Berbicara tentang agama atau kehidupan, tidak terlepas dari “figur sentral” yang disebut dengan tuhan. Kata ini merupakan poros dan inti dari ajaran baru agama. Di dalam Alquran ada beberapa kata yang menunjukkan pada makna Tuhan. Di antaranya adalah kata “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun”( إِلٰهٌ).

Kata ilahun muncul dalam surah Al-Baqarah ayat 221. Kata rabbun muncul dalam Alquran surah Al-Fatihah ayat 2. Dalam terjemah standar mushaf Indonesia terbitan Kementerian Agama (Kemenag) RI, dua kata ini diartikan sebagai tuhan.

Maka dari itu terdapat kemenarikan untuk mengkaji pembahasan ini dengan mengambil perspektif salah satu ulama tafsir, yakni Ash-Shabuni. Artikel ini akan memaparkan pandangan Ash-Shabuni tentang kedua lafaz bermakna tuhan, yaitu “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun” ( إِلٰهٌ).

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Rabbun” (رَبٌّ)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. Al-Fatihah: 2).

Dalam kitab Safwat al-Tafasir, Ash-Shabuni menafsirkan kata rabbun yang diambil dari potongan Q.S. Al-Fatihah: 2 sebagai berikut.

“Ar-rabbu (الرَّبُّ) merupakan derivasi dari kata tarbiyah  (تَرْبِيَّةُ), yang memiliki arti memperbaiki perkara-perkara orang lain dan memelihara urusannya. Al-Harawi berkata, dikatakan terhadap orang yang melakukan upaya perbaikan sesuatu dan menyempurnakaannya dengan istilah qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), artinya orang tersebut telah memperbaikinya atau telah mebuat baik baginya. Dari kata Rabbun (رَبٌّ) muncul kata Rabbaniyu (رَّبَّنِيُّوْنَ), karena mereka melaksanakan perbuatan-perbuatan berdasarkan kitab.

Kata Ar-rabbu (الرَّبُّ) dimutlaqkan atas banyak makna, yaitu al-malik artinya pemilik, al-mushlih artinya orang yang membuat baik atau perbaikan, al-ma’bud yang disembah, dan sayyid al-mutha’ artinya tuan yang ditaati.”

Baca juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Keempat makna ini saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang keagungan nama “Ar-rabbu”. Ketika seorang muslim menyebut “Ya Rabb”, ia tidak hanya mengakui Allah sebagai pemilik, tetapi juga sebagai pengatur, pemelihara, yang berhak disembah, dan tuan yang wajib ditaati.

Jika kita tarik lebih dalam, pemaknaan kata rabbun yang didasarkan pada perkataan Al-Harawi qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), bahwa kata rabbun digunakan untuk menggambarkan tindakan memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu.

Ini sebagaimana contoh penggunaan rabbun dalam salah satu doa yang terdapat dalam Q.S. Ibrahim ayat 14 berikut.

رَبَّنَا ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ ٱلْحِسَابُ

Ya Tuhan kami, berilah ampunan kepadaku, kedua ibu bapaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).

Di sini, “rabbun”  digunakan dalam konteks permohonan kepada Allah sebagai Tuan yang memiliki kekuasaan untuk mengampuni.

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Ilahun” ( إِلٰهٌ).

وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Menurut As-Shabuni dalam kitab tafsir Safwat al-Tafasir:

“Al-Ilahu (الإله) adalah sesuatu yang disembah, baik benar atau batil. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163, ilahun ( إِلٰهٌ) di sini bermakna zat yang disembah dengan hak, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam.”

Menurut Ash-Shabuni, surah Al-Baqarah 163, bermakna “Tuhan kalian yang berhak untuk disembah adalah Tuhan Yang Esa. Tidak ada yang menyamainya dalam zat-Nya dan tidak ada pula yang menyamainya dalam sifat-sifat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatan-Nya.”

Baca juga: Sepuluh Perintah Tuhan dalam Alquran dan Al-Kitab: Membaca Argumen Sebastian Günter

Penjelasan Ash-Shabuni mengenai kata “ilahun” yang pada dasarnya berarti sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil, memberikan konteks penting mengapa penekanan dalam Islam adalah pada “ilahun” yang hak, yaitu Allah Swt. bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan.

Begitu pula dengan penafsiran kalimat “La ilaha illallah” yang tidak hanya sekadar peniadaan sesembahan selain Allah, tetapi juga penegasan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah, sumber segala nikmat dan kebaikan.

Kesimpulan Analisis Rabb dan Ilah Perspektif Ash-Shabuni

Menurut Ash-Shabuni, kata rabb (رَبٌّ) dan ilah ( إِلٰهٌ), meskipun keduanya diterjemahkan sebagai “Tuhan”, tetapi memiliki perbedaan konseptual yang signifikan. Rabb memiliki makna yang lebih luas, berakar dari kata tarbiyah yang mencakup kepemilikan, perbaikan, pengaturan, pemeliharaan, ketaatan, hingga penyembahan.

Ini mengimplikasikan peran aktif Tuhan dalam memelihara, membimbing, dan menyempurnakan seluruh alam semesta, baik secara spiritual maupun material. Fokus konseptual rabb terletak pada relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur dengan ciptaan-Nya, mengakui kekuasaan dan bimbingan Allah dalam segala aspek kehidupan.

Baca juga: Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan

Sebaliknya, kata ilah (إِلٰهٌ) secara fundamental merujuk pada sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil. Dalam konteks Islam, ilah yang hakiki adalah Allah Swt, dan penekanannya terletak pada aspek ketauhidan, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang berhak diibadahi.

Fokus konseptual ilah tertuju pada akidah dan ibadah, sebagaimana termanifestasi dalam kalimat la ilaha illallah, yang menegaskan keesaan Tuhan dalam peribadatan dan menolak segala bentuk penyekutuan. Dengan demikian, rabb menyoroti peran aktif Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta, sementara ilah menekankan keesaan dan hakikat Allah sebagai satu-satunya yang layak disembah.