Beranda blog Halaman 2

Empat Fase Pembentukan Karakter Nabi Musa dalam Al-Qur’an

0
Empat Fase Pembentukan Karakter Nabi Musa dalam Al-Qur’an
Empat Fase Pembentukan Karakter Nabi Musa dalam Al-Qur’an

Kisah Nabi Musa adalah salah satu kisah paling lengkap yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Bukan hanya karena keluasan peristiwa yang dialami beliau, tetapi juga karena setiap tahap hidupnya memuat pelajaran tentang bagaimana karakter seorang nabi dibentuk sedikit demi sedikit hingga siap memikul amanah besar. Melalui surah al-Qaṣaṣ dan Ṭāhā, kita dapat melihat empat fase pembentukan karakter Nabi Musa: perlindungan ilahi sejak bayi, pendidikan sosial di masa muda, panggilan kenabian, dan ujian kepemimpinan dalam menghadapi umat.

Melalui keempat fase dalam hidup Nabi Musa, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia tidak dilahirkan langsung menjadi tokoh besar. Akan tetapi, ia ditempa oleh pengalaman, ujian, dan bimbingan Tuhan. Dengan bahasa yang lembut namun kuat, Al-Qur’an mengajak pembaca meresapi perjalanan panjang ini sebagai cermin pembentukan diri.

Perlindungan Ilahi: Fondasi Emosional dan Spiritualitas Nabi Musa

Kisah Nabi Musa dimulai dari situasi paling menegangkan, yaitu ketika Fir‘aun membantai setiap bayi laki-laki pada masa itu. Di tengah bahaya itu, Allah menenangkan hati ibu beliau melalui firman-Nya:

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْ ۚاِنَّا رَاۤدُّوْهُ اِلَيْكِ وَجَاعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

Artinya: “Kami mengilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas (keselamatan)-nya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil dalam sebuah peti yang mengapung). Janganlah engkau takut dan janganlah (pula) bersedih. Sesungguhnya Kami pasti mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.” (Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 7).

Baca juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Ayat ini menunjukkan bagaimana Allah menanamkan fondasi ketenangan dan keamanan sejak awal kehidupan Nabi Musa. Muhammad Ridwan dalam Karakter Nabi Musa dalam Menjalankan Misi Dakwah dan Relevansinya dengan Era Kontemporer (2023) menyebut bahwa perlindungan ilahi ini adalah dasar pembentukan karakter spiritual yang penuh kepercayaan kepada Allah. Yang menunjukkan bahwa janji ilahi bukan sekadar kata-kata, tetapi menjadi pengalaman langsung yang mewarnai perjalanan hidup seterusnya.

Di sinilah kita belajar bahwa karakter seseorang tidak dimulai dari panggung besar, tetapi dari pengalaman batin yang menghadirkan rasa aman, kedekatan dengan Tuhan, dan ketenangan emosional.

Fase Muda: Pendidikan Sosial dan Latihan Kepedulian

Setelah dewasa, Nabi Musa memasuki fase kedua, yaitu: ujian sosial dan spiritual yang membentuk kedewasaannya. Al-Qur’an menceritakan bahwa beliau terlibat dalam sebuah perkelahian yang tidak disengaja hingga membuatnya harus meninggalkan Mesir (Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 15–22). Pelarian ini mengantarkan beliau ke kota Madyan.

Baca juga: Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Di Madyan, Nabi Musa hidup sederhana, bekerja keras, menolong orang-orang lemah, dan menggembala ternak. Pengalaman ini melatih empati, kemandirian, dan kesabaran. Khairul Hidayat dalam Kisah Nabi Musa di Kota Madyan dalam Q.S. Al-Qashash Ayat 23-28 Menurut Tafsir Ibnu Katsir (Studi tentang Kisah Nabi Musa dan Ibrah di Dalamnya) (2024) menekankan bahwa di kota Madyan inilah “pendidikan sosial” yang membentuk karakter rendah hati dan kepekaan sosial Nabi Musa terjadi.

Di tengah kehidupan yang jauh dari keluarga dan istana, Nabi Musa belajar memahami kerasnya hidup, jatuh bangun pekerjaan, serta dinamika masyarakat kecil. Nilai-nilai itu membentuk kepribadian beliau seperti: tidak sombong, tidak terbiasa hidup nyaman, dan dekat dengan rakyat kecil.

Panggilan Kenabian: Pembentukan Mentalitas Kepemimpinan

Tahap ketiga adalah peristiwa paling besar bagi Nabi Musa, yaitu ketika beliau menerima wahyu sebagaimana yang tergambar dalam Q.S. Ṭāhā ayat 9 sampai 36. ketika beliau melihat cahaya di Bukit Ṭūr dan menghampirinya, Allah berfirman:

اِنِّيْٓ اَنَا۠ رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَۚ اِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى ۗ

“Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Lepaskanlah kedua terompahmu karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yaitu Tuwa.” (Q.S. Ṭāhā [20]: 12).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa tugas besar membutuhkan kesiapan spiritual. Perintah melepas kedua terompah (alas kaki) adalah simbol penyucian diri dan penyerahan total. Taufiq dkk. dalam Internalisasi Pendidikan Islam dalam Al-Qur’an: Kajian Atas Surat Al-Qashash Ayat 7 (2021) menjelaskan bahwa dialog panjang antara Allah dengan Nabi Musa pada momen ini merupakan proses pembentukan mentalitas kenabian Nabi Musa.

Baca juga: Penafsiran Esoterik Peristiwa Eksodus Nabi Musa as. dalam Tafsir al-Alusi

Manik dalam The Preaching of Prophet Musa in Improving the Integrity of the Nation’s Children in the Era of Society 5.0 (2023) menggambarkan fase ini sebagai transformasi yang membawa Nabi Musa dari seorang pelarian menjadi pembawa risalah besar. Ia dididik untuk menghadapi Fir‘aun bukan dengan kemarahan, tetapi dengan lemah lembut dan argumentasi yang kuat.

Menghadapi Bani Israil: Ujian Kepemimpinan yang Sesungguhnya

Setelah menyelamatkan Bani Israil, Nabi Musa memasuki tahap paling rumit dalam pembentukan karakternya: memimpin umat yang sering berubah-ubah, mudah kecewa, dan tidak jarang melanggar aturan. Peristiwa penyembahan anak sapi menjadi contoh bagaimana umat bisa goyah meski telah menyaksikan mukjizat besar.

Ridwan mencatat bahwa pada tahap ini, kesabaran Nabi Musa ditempa melalui dinamika umat yang ruwet. Beliau harus menghadapi sikap keras kepala, protes, dan perdebatan internal. Afiati menunjukkan bahwa kemampuan sosial yang dipelajari Nabi Musa di Madyan sangat berperan dalam menghadapi karakter sulit Bani Israil.

Di sinilah terlihat bahwa pemimpin tidak hanya diuji oleh musuh, tetapi oleh orang-orang yang dipimpinnya sendiri. Nabi Musa mengajarkan bahwa ketegasan harus berjalan seimbang dengan empati. Beliau tidak membiarkan penyimpangan, tetapi juga tidak memimpin dengan kemarahan. Keseimbangan inilah yang membuat kepemimpinan beliau bertahan di tengah badai ujian.

Penutup

Kisah Nabi Musa bukan sekadar rangkaian peristiwa besar dalam sejarah kenabian. Ia adalah gambaran tentang bagaimana seorang manusia ditempa sedikit demi sedikit oleh pengalaman hidup, ujian batin, dan bimbingan langsung dari Allah. Melalui surah al-Qaṣaṣ dan Ṭāhā, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana Allah membentuk karakter Nabi Musa melalui empat fase: perlindungan ilahi sejak beliau masih bayi, pendidikan sosial di masa mudanya, panggilan kenabian yang menguatkan mentalitas beliau, hingga ujian kepemimpinan ketika menghadapi karakter sulit Bani Israil.

Setiap fase menghadirkan pelajaran yang sangat manusiawi. Bahwa seorang pemimpin, sebelum memikul amanah besar, lebih dulu melewati masa-masa sunyi, kesederhanaan, kegelisahan, bahkan kesalahan yang membentuk kedewasaan. Dalam perjalanan Nabi Musa itu, Al-Qur’an seakan mengajak pembaca untuk merenung: bahwa tidak ada karakter mulia yang lahir dalam sekejap, melainkan melalui proses panjang yang penuh arahan dan kasih sayang Tuhan. Dengan memahami kisah ini, kita belajar melihat kehidupan bukan sebagai kebetulan, tetapi sebagai rangkaian pendidikan yang halus dan terus menerus. Wallāhu a‘lam.

Dari Udara ke Jagat Aksara: Jejak Anomali Tafsir Ahmad Sonhadji

0
Dari Udara ke Jagat Aksara: Jejak Anomali Tafsir Ahmad Sonhadji
Sampul Tafsir ‘Abr al-Aṡīr Karya Ahmad Sonhadji

Tafsir dalam kesejarahan Islam telah melalui pelbagai dinamika yang panjang dan pelik, oleh karena tafsir lebih dari sekadar pengalihbahasaan dari teks asli al-Qur’an. Dari bahasa Arab kepada bahasa-bahasa lain seperti bahasa Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan termasuk Melayu (Malaysia, Brunei, Singapura)—dalam hal ini disesuaikan dengan bahasa yang lazim dipergunakan di suatu wilayah masyarakat muslim. Tafsir lahir dari keterpaduan antara keluasan wawasan, kedalaman pemahaman, ketekunan, ketelitian, kebijaksanaan, dan kelurusan niat atau tujuan dari seorang mufasir.

Salah satu fase krusial dalam jejak tumbuh dan mekarnya tafsir adalah terjadinya transformasi perwujudan tafsir dari oral (lisan) kepada tulisan. Perwujudan tafsir oral oleh mayoritas ulama dalam praktik lazimnya dilakukan di majelis-majelis ilmu. Namun, dengan laju perkembangan teknologi yang semakin pesat, kehadiran tafsir tidak lagi terbatas hanya dalam ruang-ruang fisik, melainkan meluas ke dalam ruang-ruang virtual seperti platform YouTube, Instagram, dan Tiktok. Lebih tua lagi, sebelum sampai kepada ruang-ruang virtual sebagaimana yang telah disebutkan, media elektronik seperti radio tradisional, telah lebih dulu menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi yang ikut memainkan peran dalam mekarnya kehadiran karya-karya tafsir. Sementara, perwujudan tafsir tulisan banyak dijumpai dalam karya-karya tulis para ulama seperti kitab tafsir, monograf keislaman, dan karya ilmiah lainnya. 

Tafsir yang Tumbuh dari Gelombang Udara

Ahmad Sonhadji tidaklah menjadi satu-satunya ulama yang memanfaatkan media elektronik seperti radio sebagai alat dalam mengoptimalkan perwujudan tafsir secara oral. Figur-figur intelektual terkemuka seperti Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), M. Quraish Shihab, dan Yusuf al-Qardhawi turut dikenal melalui penyiaran ceramah dan kajian tafsir yang beredar luas melalui radio ataupun televisi. Namun demikian, pemanfaatan media tersebut hanya sampai pada level transmisi dakwah dan penyampaian ilmu kepada khalayak umat. Lain dengan Ahmad Sonhadji, radio menjadi cikal bakal dalam proses kelahiran karya tafsirnya sebelum kemudian tertuang dalam himpunan lembaran aksara sarat makna yang masyhur dengan nama tafsir ‘Abr al-Aṡīr. Inilah yang penulis maksud atas anomali terhadap karya Ahmad Sonhadji.

Langkah awal Sonhadji dalam perannya di studio radio dimulai saat ia diundang sebagai narasumber untuk mengisi kajian Islam. Sonhadji tidak tergesa mengamini undangan tersebut, sebab ia memiliki pertimbangan baik sekaligus keresahan atas tawaran tersebut. Baginya, kajian tentang Islam ini tidak cukup efektif dilakukan dalam durasi waktu yang relatif singkat. Atas keresahan Sonhadji, perusahaan penyiaran radio menanggapi dengan meminta Sonhadji mengirimkan contoh ceramah yang akan disampaikannya tersebut. Selanjutnya, Sonhadji mengirim 4 bagian tafsir surah an-Nur yang masing-masing bagiannya diselaraskan dengan siaran radio dengan durasi waktu 30 menit.

Stasiun radio memberikan persetujuan atas pengajuan Sonhadji, tetapi tidak bersedia memberi honorarium. Sonhadji mengajukan ketidaksepakatan atas keputusan stasiun radio tersebut. Sebab, bagaimana mungkin seorang narasumber yang menyampaikan ilmu harus sekaligus menanggung biaya produksi siaran dari saku pribadi, kemudian tidak memperoleh tunjangan apapun dari pihak stasiun radio/penyiar. Menurutnya, stasiun radio mestinya menyediakan alokasi dana setidaknya untuk menopang kebutuhan dasar siaran, seperti biaya produksi siaran radio, transportasi dan honorarium narasumber. Jadi, adalah hal yang wajar jika Sonhadji melayangkan ketidaksepakatan atas keputusan stasiun radio tersebut. Setelah menempuh proses negosiasi, pihak produser akhirnya menyetujui untuk memberikan honorarium sebagai wujud apresiasi serta dukungan atas program siaran tafsir tersebut.

Baca juga: Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis

Sonhadji banyak memperoleh respons positif dari para audiens selama proses siaran tafsir di radio berlangsung. Bahkan beberapa audiens menghendaki agar supaya Sonhadji berkenan menyampaikan siaran tafsir lengkap yang diawali dari surah pertama dalam al-Qur’an. Oleh karena usul tersebut, pihak penyiar menetapkan jadwal tetap atas siaran tafsir Sonhadji pada setiap Kamis malam dengan mengawali siaran tafsirnya dari surah pertama dalam al-Qur’an. Segelintir sumber menyatakan bahwa Sonhadji mengawali siaran tafsirnya dari surah al-Baqarah.

Dalam proses perjalanannya melakukan siaran tafsir di radio, Sonhadji sempat dialihtugaskan ke Brunei. Dalam situasi ini, Abdillah Jufri menggantikan Sonhadji dalam siaran tafsir di radio. Situasi ini berlangsung selama 4 tahun dan setelahnya, Sonhadji menduduki kembali posisinya untuk kemudian melanjutkan siaran tafsir di radio. Kontrak Sonhadji sebagai narasumber di stasiun radio berakhir saat siaran tafsir yang disampaikannya tengah menapaki bagian penghujung surah al-Hujurat. Dalam kondisi demikian, Sonhadji memperoleh dukungan dari para ulama muslim untuk merampungkan apa yang telah ia mulai. Sehingga pada akhirnya, Sonhadji mampu merampungkan tugasnya dalam menyampaikan penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an secara utuh.

Gelombang Udara yang Menjelma Menjadi Karya Tafsir

Sepanjang Sonhadji menyiarkan tafsirnya lewat gelombang radio, program tersebut berhasil memperoleh perhatian luas termasuk penerbit Pustaka Nasional di Singapura. Mereka berupaya menerbitkan siaran tafsir tersebut dalam format buku yang lebih tertata dan sistematis. Jilid pertama dalam format buku ini berhasil terbit pada bulan Desember tahun 1960, dan disusul oleh jilid-jilid berikutnya. Memasuki tahun 1981, kontrak dengan penerbit dihentikan. Sehingga, penerbitan atas tafsiran Sonhadji terhenti pada jilid ke-13, sementara jilid ke-14 belum sempat diterbitkan dan dipublikasikan kepada khalayak.

Penerbit Simal di Kuala Lumpur kemudian mengambil alih proses penerbitan tersebut, hingga terbitlah 8 jilid lanjutan. Namun, sangat di sayangkan, penerbitan atas tafsiran Sonhadji di radio lagi-lagi mesti terhenti—bukan oleh karena pemutusan kontrak, tetapi karena krisis ekonomi yang melanda. Atas hal tersebut, Sonhadji tetap mengupayakan agar karyanya bisa diterbitkan secara utuh. Hingga ia mengetahui bahwa Pustaka Al-Mizan di Kuala Lumpur tertarik dan berkenan untuk melanjutkan penerbitan karyanya—lebih dari itu, Pustaka Al-Mizan bahkan berkenan untuk menerbitkan ulang karya Sonhadji yang sebelumnya telah diterbitkan di dua pustaka penerbit.

Baca juga: Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara

Maka, pada tahun 1988, Pustaka Al-Mizan berhasil menerbitkan karya Sonhadji secara utuh 30 jilid. Namun, jalinan relasi antara Sonhadji dengan Pustaka Al-Mizan ini berhenti di tahun 1992, karena terdapat kesalahpahaman antara kehendak yang dimaksud oleh Sonhadji dalam penerbitan karyanya dengan realitas penerbitan. Sonhadji menghendaki versi Jawi dari buku tersebut seharusnya terbit lebih awal, namun penerbit malah tidak memenuhi kehendaknya tersebut. Pada akhirnya, Sonhadji melangsungkan kontrak baru dengan penerbit Pustaka Salam Shd. Bhd. di Kuala Lumpur. Setelah kontrak terjalin, Pustaka Salam kemudian menerbitkan 30 jilid karya Sonhadji secara utuh dalam versi Romanisasi dan Jawi.

Dalam kesimpulannya, sepenggal narasi tentang perjalanan sosok Ahmad Sonhadji bersama dengan karyanya tersebut di atas, telah memberikan kita pelajaran mahal dan berharga. Ia membuktikan bahwa sebuah karya tak melulu hadir dan dinilai berharga oleh karena ia lahir dari ruang-ruang dengan dinding emas nan berkilau. Sebab karyanya, justru lahir dari ruang dengan gelombang udara yang menggetarkan pendengaran setiap manusia, mengisi wajan-wajan kosong dari jiwa-jiwa yang telah lama kehausan akan wawasan, menyulut api-api minat para cendekia, dan memberikan secercah cahaya bagi generasi muda.

Referensi:

Ceramah Buya Hamka Kembali di Putar di RRI Pro 3. 

Yusoff, M. Y. Zulkifli Haji Mohd (2000) A study of Tafsir Abr al-Athir and Sonhadji s Methodology in Tafsir al – Qur an. Doctoral thesis, University of Wales Trinity Saint David.

Yusuf al-Qaradawi, the Muslim scholar who influenced millions. 

Quraish Shihab. Wikipedia.

Q.S. Albaqarah 204-206: Potret Hipokrit dan Relevansinya dengan Kekuasaan

0

Ada satu jenis manusia yang sejak dulu sampai sekarang masih eksis. Dan sepertinya akan tetap eksis. Dalam sejarah, mulai dari masa para nabi, masa kerajaan, masa kolonial, sampai masa modern saat ini, manusia dengan perilaku hipokrit masih banyak, terutama dalam lingkup kekuasaan. Anehnya, mereka melakukannya secara terang-terang

Orang hipokrit adalah orang yang wajahnya bisa berubah sesuai siapa yang berkuasa. Kata-katanya manis sekali, senyumnya ramah, dan pembawaannya tampak halus. Ternyata, Alquran telah menggambarkan mereka dengan jelas dalam Surah Albaqarah ayat 204-207.

Baca Juga: Q.S Albaqarah Ayat 205: Sifat Munafik dan Perusak Lingkungan

Allah memulai dengan firman-Nya:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُۥ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَيُشْهِدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا فِى قَلْبِهِۦ وَهُوَ أَلَدُّ ٱلْخِصَامِ

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS. Albaqarah[2]: 204)

Ulama menjelaskan bahwa ucapan yang “membuat kagum” ini bisa berupa pujian, kata-kata manis, atau tampilan seolah mendukung kebenaran. (Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn Muḥammad al-Māwardī, al-Nukat wa al-ʿUyūn, 265)

Dalam konteks kekuasaan, ini adalah tipe orang yang pandai merangkai kalimat untuk menyenangkan penguasa: memuji kebijakan apa pun, mengagungkan pemimpin, bahkan seakan-akan membela rakyat, padahal semuanya demi kedudukan aman, atau keuntungan pribadi. Dan biasanya orang seperti ini sangat sensitif, ngotot kalau dikritik.

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Sebagian mufasir mengatakan: ia tampak mencintai Rasulullah, tampak ingin berada di pihak yang benar, tetapi hatinya tidak demikian. Dengan kata lain: ia pandai membungkus ambisinya dengan kata-kata agama dan kebaikan.

Lalu Allah berfirman: “Dan ia menjadikan Allah sebagai saksi atas apa yang ada dalam hatinya…”. Inilah ciri klasik orang hipokrit, yakni bersumpah dengan nama-nama suci, bersikap religius di depan umum, berbicara seolah untuk kepentingan bangsa dan umat—padahal niatnya bukan itu. Ulama menafsirkan bahwa ia berkata, “Allah menjadi saksi bahwa aku benar,” padahal isi hatinya sebaliknya. Bahkan dalam qira’ah Ibnu Mas‘ud di lafadz “wa yastashhidu Allāha” ia menghadirkan Allah sebagai saksi, padahal ia tahu ia sedang berbohong.

Menurut Ibnu Abbas, orang-orang hipokrit semacam itu biasanya suka berdebat. Mujahid dan As-Suddi mengatakan ia berdebat dengan cara bengkok. Mereka memutar fakta, mengaburkan kesalahan, membela yang salah, dan melempar tuduhan kepada yang benar. Al-Hasan mengatakan ia pembohong dalam argumen. Qatadah menambahkan: hatinya keras dalam bermaksiat kepada Allah.

Karakter ini sangat mirip dengan mereka yang berdiri di dekat kekuasaan hanya untuk kepentingan diri. Membela bukan karena benar, tetapi karena takut kehilangan posisi atau ingin mendapat bagian. Mereka bisa sangat agresif dalam menyerang siapa pun yang mengkritik penguasa, seakan-akan mereka sendiri sedang membela negara, padahal hanya membela kursi mereka.

Jadi tidak mengherankan jika Nabi ﷺ bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Āṣim dari Ibn Jurayj dari Ibn Abī Mulaykah dari ‘Āisyah r.a. dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras dalam berdebat (dengan cara buruk)”.(Shahih Bukhari 2277).

Kemudian Allah melanjutkan gambaran perilaku orang seperti itu dengan ayat:

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِى ٱلْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ ٱلْحَرْثَ وَٱلنَّسْلَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْفَسَادَ

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (QS.Al-Baqarah: 205)

Baca Juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20

Imam Syafi‘i menjelaskan bahwa kata sya‘i dalam firman Allah, bukan berarti berjalan kaki, tetapi bermakna melakukan tindakan. Dengan kata lain, kerusakan yang dibawa orang ini bukan karena langkah kakinya, tetapi karena perbuatan dan manuvernya. Beliau mengutip syair dalam kitabnya:

قال الشافعي رحمه الله تعالى: قال زهير: سعى بعهدِهم قومٌ لكي يُدرِكوهمُ فلم يفعلوا ولم يَليِموا ولم يَألوا

“Suatu kaum berusaha memenuhi janji mereka untuk menyusul orang-orang itu, tetapi mereka tidak melakukannya, tidak condong (kepada janji itu), dan tidak pula mengurangi (apa yang diwajibkan atas mereka).” (Tafsīr al-Imām ash-Shāfi‘ī.  323)

Penjelasan ini relevan dengan para penjilat penguasa. Di depan manis dan loyal, di belakang, ia mengatur siasat, menyingkirkan orang-orang yang tidak ia suka, melemahkan lawan politik, menyebar isu, atau memelintir informasi demi memperkuat posisinya. “Merusak tanaman dan keturunan” dalam tafsir dipahami bukan hanya kerusakan fisik, tetapi kerusakan tatanan masyarakat, ekonomi, moral, dan keadilan, semuanya rusak demi kepentingan sekelompok kecil.

Dan saat seseorang mencoba menegurnya, Allah menggambarkan reaksinya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ

“Dan ketika dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah,’ maka kesombongannya mendorongnya berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 206)

Inilah sikap yang sering terlihat. Ia membalas kritik dengan kemarahan, memperkeras sikap, bahkan menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara yang mengingatkan. Nasihat agama baginya dianggap ancaman, bukan tuntunan.

Ayat itu ditutup dengan hukuman yang tepat: “Cukuplah baginya Jahannam…”. Jadi keadilan yang pantas buat kriteria orang seperti itu memang neraka. Di sini bukan ingin menghakimi, tapi faktanya memang begitu. Dan sebagai peringatan kepada diri pribadi untuk tidak menjadi orang semacam itu.

Perbedaan Qira’at Alquran dan Pengaruhnya terhadap Hukum Fikih

0
Qira'at Alquran dan pengaruhnya
Qira'at Alquran dan pengaruhnya

Alquran, sedari masa Nabi Muhammad saw. mempunyai bacaan yang beragam yang keragaman itu diafirmasi oleh beliau. Pasca wafat Nabi Muhammad saw. keragaman bacaan itu berkembang menjadi satu bagian dari bahasan ilmu Al-Qur’an yang dikenal dengan ilmu Qira’at Alquran.

Ada satu kitab khusus yang membahas persoalan ini, berjudul al-Qira’at al-Qur’aniyyah wa Atsaruha fi Ikhtilaf al-Ahkam al-Fiqhiyyah, karya Khairuddin Sayyib. Kitab ini merupakan tesis beliau saat menempuh studi di Universitas Islamiyyah, jurusan Usul Fiqh, sekitar tahun 2001/2002. Dalam kitab tersebut dijelaskan betapa besar pengaruh perbedaan bacaan al-Qur’an terhadap kesimpulan hukum yang dirumuskan oleh fuqaha.

Salah satu riwayat yang sering dijadikan dasar tentang adanya ragam qira’at Alquran disampaikan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab hadisnya,

Al-Miswar bin al-Mukhramah dan Abdurrahman bin Abd al-Qari menceritakan bahwa mereka pernah mendengar Umar bin Khatab berkata,

“Aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan pada masa Rasulullah masih hidup. Aku pun menyimak bacaannya, dan ternyata dia membaca dengan cara yang berbeda, dengan beberapa variasi bacaan yang belum pernah diajarkan kepadaku oleh Rasulullah.

Aku hampir saja menegurnya saat itu juga di tengah salat, tapi aku masih sabar menungu sampai dia selesai. Setelah salat, aku langsung menegurnya dan bertanya: siapa yang mengajarkan bacaan ini kepadamu?

Dia menjawab: Rasulullah yang mengajarkannya kepadaku.

Aku berkata: Kamu keliru! Rasulullah mengajarkan surah ini kepadaku dengan bacaan yang berbeda dari yang kamu baca.

Akhirnya, aku membawa Hisyam menghadap Rasulullah saw. Sesampainya di sana, Nabi meminta Hisyam membaca surah al-Furqan seperti yang dia baca sebelumnya, dan Nabi pun membenarkan bacaannya. Kemudian Rasulullah memintaku membaca sesuai bacaan yang aku pelajari darinya, dan beliau juga membenarkan bacaanku. Kemudian beliau bersabda:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam dialek. Maka bacalah yang mudah untuk kalian.” (H.R Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

Imam az-Zarkasyi mendefinisikan ilmu qira’at sebagai perbedaan dalam lafal-lafal wahyu (al-Qur’an), baik dalam bentuk huruf maupun cara membacanya. Perbedaan ini mencakup hal-hal seperti takhfif (pelafalan ringan), tatsqil (pelafalan penekanan), penambahan, pengurangan, penggantian lafal, atau perbedaan harakat. (al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid 1, 138)

Menariknya, perbedaan qira’at ini tidak cuma berpengaruh pada cara membaca, tetapi juga bisa berdampak pada pemahaman makna ayat. Dari sinilah sebagian fuqaha kadang punya pandangan hukum yang berbeda, padahal dalilnya sama-sama diambil dari satu ayat. Dengan kata lain, perbedaan dalam qira’at sering kali menjadi faktor yang melahirkan perbedaan dalam kesimpulan hukum fikih.

Contoh Perbedaan Qira’at yang Berpengaruh pada Hukum

Pertama, surah al-Ma’idah ayat 89:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُه اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍۗ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍۗ ذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْۗ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang sengaja. Maka kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya).”

Ayat ini menjelaskan ketentuan bagi seseorang yang melanggar sumpahnya. Sebagai sanksi atau kafarat karena pelanggaran tersebut, Allah memberikan tiga pilihan. Pertama, memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang lazim ia konsumsi, atau pakaian yang setara dengan pakaian yang ia kenakan. Kedua, memerdekakan budak. Ketiga, apabila tidak mampu melakukan keduanya, maka diwajibkan berpuasa sebanyak tiga hari.

Dalam versi bacaan lain,  seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, dan Qais al-Nakha’i membaca potongan ayat di atas dengan tambahan lafal “al-mutatabi’at”, sehingga berbunyi:فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ. Dengan demikian, makna ayat tersebut menjadi: “Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka kafaratnya berpuasa tiga hari berturut-turut”.

Dari kalangan Mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan minoritas Hanabilah berpendapat bahwa puasa tiga hari sebagai sanksi karena melanggar sumpah tidak harus dilakukan secara berturut-turut. Alasannya, karena lafal “al-mutatabi’at” memang tidak disebutkan dalam al-Qur’an menurut mayoritas ulama qira’ah.

Sementara dari ulama Mazhab Hanafiyyah dan mayoritas Hanabilah mengatakan bahwa puasa berturut-turut adalah syarat untuk keabsahan kafarat sumpah. Mereka berargumen dengan qira’ahnya Ibnu Mas’ud yang menyebut tambahan lafal “al-mutatabi’at”. Meskipun qira’at tersebut tidak diakui oleh mayoritas ulama qira’ah sebagai bacaan mutawatir, ulama Hanafiyyah tetap menganggapnya memiliki kedudukan seperti hadis ahad, sehingga bisa dijadikan hujjah.

Baca Juga: Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4

Kedua, surah al-Baqarah ayat 196:

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ

“Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah Swt.”

Perbedaan bacaan terletak pada lafal “al-umrata”. Dalam qira’ah Ali bin Abu Thalib, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Umar, lafal tersebut dibaca “al-umratu” dengan harakat dammah pada huruf ta’, menjadikannya sebagai mubtada. Sedangkan mayoritas qurra’ membacanya dengan harakat fathah (al-umrata).

Bagi yang membaca lafal al-umrah dengan harakat fathah, berarti menjadikannya sebagai ma’tuf, sedangkan ma’tuf alaih-nya adalah lafal al-hajj. Lafal al-hajj sendiri berkedudukan maf’ul dari kata atimmu. Makna dari atimmu adalah datangkanlah secara sempurna. Kata ini berbentuk amar (perintah) yang menunjukkan mewajibkan. Dengan demikian, makna ‘sempurnakanlah ibadah haji dan umrah’ adalah bahwa keduanya wajib dilaksanakan. Pendapat ini dipegang oleh ulama Mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Sedangkan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa umrah tidak wajib, melainkan sunnah. Sebab, menurut bacaan mereka, lafal al-umrah bukan sebagai ma’tuf dari al-hajj, sehingga menghasilkan hukum yang berbeda.

Wallah a’lam.

Isti’dzān: Fondasi Al-Qur’an dalam Menjaga Privasi dan Kehormatan Anak

0
Isti'dzān: Fondasi Al-Qur'an dalam Menjaga Kehormatan Anak
Isti'dzān: Fondasi Al-Qur'an dalam Menjaga Kehormatan Anak

Isu tentang interaksi fisik orang dewasa terhadap anak-anak, bahkan dalam konteks yang dianggap sebagai “kasih sayang”, belakangan menjadi sorotan tajam di ruang publik. Kejadian viral yang melibatkan influencer atau pendakwah muda berfoto dengan anak-anak yang disertai sentuhan tidak pantas, memicu perdebatan publik.

Perdebatan ini bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga menyinggung ranah hukum perlindungan anak. Sebenarnya, jauh sebelum isu ini viral, Islam telah meletakkan fondasi yang sangat kuat mengenai hak privasi dan batas sentuhan bagi anak-anak.

Anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Mereka adalah amanah yang memiliki kemuliaan (karāmah) dan hak privasi yang harus dijaga, baik secara fisik maupun psikis. Al-Qur’an, dalam keagungan ajarannya, tidak hanya berbicara tentang ibadah, tetapi juga memberikan pedoman rinci terkait etika keluarga dan interaksi sosial. Salah satu ayat yang menjadi dasar penting bagi pendidikan etika dan privasi anak dalam Islam adalah QS. An-Nur: 58.

Surah An-Nur: Konsep Privasi yang Sering Terlupakan

Dalam surah An-Nur ayat 58, Allah memberikan perintah yang mendalam tentang pentingnya menjaga batasan waktu dan ruang dalam rumah tangga. Perintah ini ditujukan kepada orang dewasa dan anak-anak yang belum baligh. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِّن قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُم مِّنَ الظَّهِيرَةِ وَمِن بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُم بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Terjemahan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam sehari): sebelum sembahyang Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang Isya’. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (waktu) itu. Mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS. An-Nur/24: 58].

Ayat ini mewajibkan anak-anak yang belum baligh untuk meminta izin (isti’dzān) sebelum memasuki kamar orang dewasa pada tiga waktu kritis (tsalātsu ‘awrāt). Waktu-waktu ini adalah saat orang dewasa sangat mungkin berada dalam kondisi yang kurang tertutup atau sedang beristirahat secara pribadi.

Dalam Tafsīr al-Thabarī, dijelaskan bahwa tujuan dari perintah ini adalah untuk mengajarkan anak tentang batasan privasi, sekaligus melindungi orang dewasa dari godaan dan aurat yang tidak sengaja terlihat oleh anak.

Prinsip Isti’dzān dan Hifzh al-Aurat

Perintah isti’dzān (meminta izin) ini merupakan fondasi pendidikan etika dan perlindungan anak dalam Islam. Para ulama tafsir, seperti Al-Qurthubī, menjelaskan bahwa kewajiban isti’dzān tersebut berfungsi untuk menanamkan kesadaran akan ruang pribadi dan kemaluan (hifzh al-‘aurāt) sejak dini. Jika dalam rumah sendiri saja ada batasan ruang, apalagi di ruang publik, batasan sentuhan harus diperhatikan secara ekstra hati-hati.

Konteks yang terjadi, di mana orang dewasa mencium atau memeluk anak yang bukan mahramnya secara berlebihan, seringkali didasari oleh anggapan bahwa kasih sayang tidak mengenal batas. Padahal, kasih sayang dalam Islam harus berjalan dalam bingkai adab dan syariat.

Kasih Sayang Nabi dan Batasan Syariat

Islam, melalui teladan Nabi Muhammad saw, adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kasih sayang terhadap anak-anak. Banyak hadis menunjukkan betapa Nabi sering mencium dan memeluk cucu-cucu beliau, Hasan dan Husain, serta anak-anak lain.

Suatu ketika, seorang Badui melihat Nabi mencium seorang anak dan berkata dengan heran, “Anda mencium anak-anak kecil? Demi Allah, kami tidak pernah mencium mereka.” Menanggapi hal tersebut, Nabi saw. bersabda, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hatimu.” (H.R. al-Bukhari, no. 5998).

Hadis ini menegaskan bahwa kasih sayang adalah fitrah dan perintah dalam Islam. Mencium anak adalah ekspresi rahmah (kasih) yang mendatangkan pahala. Namun, kasih sayang yang diajarkan Nabi saw. selalu terbingkai oleh adab dan syariat.

Baca juga: Menimbang Ulang Kata Pepatah “Banyak Anak Banyak Rezeki”

Penting untuk membedakan antara sentuhan kasih sayang (rahmah) yang dibolehkan (seperti yang dilakukan Nabi kepada anak-anak beliau atau mahram) dengan sentuhan yang melanggar batasan mahram. Hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kasih sayang ini biasanya merujuk pada interaksi beliau dengan anak-anak mahram beliau, seperti cucu-cucu.

Ketika berinteraksi dengan anak yang bukan mahram, sentuhan dan ciuman harus dihindari jika mengandung potensi fitnah atau jika anak sudah memasuki usia yang sensitif.

Para ulama fikih menjelaskan, bahwa meskipun anak kecil yang belum mumayyiz (dapat membedakan) umumnya tidak terikat hukum aurat dan sentuhan, kehati-hatian tetap diperlukan bagi orang dewasa. Hal ini untuk menjaga kehormatan orang dewasa itu sendiri, melatih batasan sejak dini bagi anak, dan yang terpenting, menutup celah (sadd al-żarī’ah) menuju pelanggaran yang lebih besar.

Oleh karena itu, tindakan mencium atau memeluk anak-anak secara berlebihan—terutama yang bukan mahram, apalagi di area sensitif—meskipun niat awalnya adalah kasih sayang, dapat dikategorikan sebagai sentuhan tidak pantas jika melanggar prinsip isti’dzān (meminta izin) dan hifzh al-‘aurāt (menjaga kehormatan) yang ditekankan dalam surah An-Nur. Kasih sayang terbaik adalah kasih sayang yang melindungi, bukan yang berpotensi melanggar privasi dan kehormatan.

Baca juga: Tafsir Juz ‘Amma for Kids: Tafsir Ilustrasi untuk Anak-Anak

Sebagai orang dewasa, kita wajib memahami bahwa interaksi berlebihan, meskipun bertujuan baik, dapat menciptakan contoh buruk dan menormalisasi pelanggaran privasi anak.

Dalam konteks anak yang bukan mahram, kehati-hatian harus berlipat ganda, sebab batasan aurat dan sentuhan wajib dijaga sesuai hukum fikih, bahkan pada anak yang belum mencapai usia tamyīz (mampu membedakan baik dan buruk), untuk mencegah fitnah dan menjaga kehormatan.

Islam menetapkan batasan yang kokoh demi menjaga kemuliaan (karāmah) setiap individu, termasuk anak. Batasan ini adalah bentuk kasih sayang yang paling murni, yaitu kasih sayang yang berbasis pada syariat dan perlindungan hukum.

Semoga isu ini menjadi momentum untuk kembali mendalami ajaran Al-Qur’an. Tugas kita sebagai muslim adalah menjadi teladan dalam menghormati dan memelihara hak privasi anak-anak, sesuai dengan tuntunan dari Allah.

Kedudukan Penafsiran Nabi Muhammad

0
Kedudukan Penafsiran Nabi Muhammad
Kedudukan Penafsiran Nabi Muhammad

Penafsiran Nabi Muhammad terhadap Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia tafsir. Sebab, apa yang diucapkan beliau berasal dari wahyu itu sendiri. Nabi menjelaskan hal ini dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Dāud dari Miqdām bin Ma’dī Karib. Beliau bersabda:

أَلَا وَ إِنِّيْ قَدْ أُوْتِيْتُ الكِتَابَ وَ مِثْلَهُ مَعَهُ

Ketahuilah Aku diberi Al-Kitab dan yang semisal dengannya bersamanya…” (H.R. Abu Daud)

Kata مثله pada teks hadis tersebut memiliki dua makna:

Makna pertama: beliau diberi wahyu batin (yang tidak dibacakan sebagai Al-Qur’an) yang setara dengan wahyu zahir yang diberikan kepadanya.

Makna kedua: beliau diberi Al-Kitab sebagai wahyu yang dibacakan, dan juga diberi kemampuan al-bayan (penjelasan) yang serupa dengan Al-Qur’an. Maksudnya, beliau diizinkan untuk menjelaskan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka, penjelasan Nabi memiliki kewajiban untuk diamalkan dan diterima sebagaimana teks-teks Al-Qur’an.

Bentuk-Bentuk Perhatian Para Mufasir terhadap Tafsir Nabi

Setelah menyadari betapa agungnya kedudukan penafsiran Nabi Muhammad terhadap Al-Qur’an, para mufasir memberikan perhatian mereka pada penafsiran Nabi melalui beberapa hal berikut:

Sering Dikutip oleh Para Mufasir

Banyak sekali kitab-kitab karangan para mufasir yang mengutip riwayat (tafsir) Nabi. Misalnya pada penjelasan firman Allah:

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

“(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (Al-Fatihah/1:7)

Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan المغضوب adalah orang-orang Yahudi, dan الضّالّين adalah orang-orang Nasrani. Mayoritas mufasir seperti Imam al-Ṭabarī, Ibn al-Jauzī, dan al-Rāzī, menggunakan riwayat ini untuk menafsirkan surah Al-Fatihah ayat ketujuh ini.

Adapun penafsiran Nabi yang lain pada ayat:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.” (Al-Baqarah/2:238)

Nabi menafsirkan kalimat صلاة الوسطى pada ayat tersebut adalah salat Asar. Para mufasir seperti Imam al-Ṭabarī, Ibn al-Jauzī, dan al-Rāzī juga menyebutkan riwayat ini dalam penafsiran mereka.

Iktifa’ (Kecukupan) Para Mufasir terhadap Tafsir Nabi

Para mufasir menganggap bahwa hanya dengan mengutip penafsiran Nabi Muhammad itu sudah dianggap cukup dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tanpa merasa perlu merujuk pada pendapat para sahabat ataupun tabi’in. Contohnya pada pembahasan ayat berikut.

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Pada hari ini Kami membungkam mulut mereka. Tangan merekalah yang berkata kepada Kami dan kaki merekalah yang akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Yasin/36:65)

Baca juga: Polemik dan Contoh Tafsir Nabi

Imam al-Qurthubi menjelaskan makna ayat tersebut dengan mengutip riwayat Nabi, yang terdapat pada kitab Shahih Muslim. Dari Anas bin Malik, ia berkata: Saat kami sedang bersama Rasulullah saw., kemudian beliau bertanya: ‘Apakah kalian tahu mengapa aku tertawa?’ Kami menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasul menjawab: ‘Ketika seorang hamba berdialog dengan Rabb-nya, ia (hamba) berkata: ‘Wahai Tuhanku, tidakkah engkau melindungiku dari kezaliman?’ Allah menjawab: ‘Benar’ Seorang hamba berkata: ’Sesungguhnya aku tidak akan menerima sesuatu tentang diriku kecuali jika saksinya berasal dari diriku sendiri’

Kemudian Allah berkata: ‘Pada hari ini (kiamat), cukuplah kau beserta para malaikat pencatat (yang mulia) sebagai saksi atas dirimu sendiri’ Nabi kemudian menjelaskan: ‘Mulutnya (hamba) pun dibungkam dan dikatakan pada anggota tubuhnya: ‘Bicaralah’. Maka mereka (anggota tubuh) pun menjelaskan seluruh perbuatan yang dilakukannya (selama di dunia)…

Pada hari kiamat, seluruh umat manusia tidak akan bisa berbohong dengan apa yang mereka perbuat. Karena tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh mereka akan menjadi saksi dan menjelaskan kepada Allah terhadap apapun yang telah mereka perbuat selama di dunia.

Paling Diunggulkan dalam Tafsir Bi al-Ma’tsūr

Dalam tradisi penafsiran, tafsir bi al-ma’tsūr adalah sumber utama yang paling sering digunakan, yakni penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat Nabi, sahabat, ataupun tabi’in. Namun, para mufasir lebih mengunggulkan periwayatan Nabi dibandingkan sahabat atau tabi’in. Hal ini nampak pada penafsiran ayat pertama surah al-Kautsar:

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ

“Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak.” (Al-Kautsar/108:1)

Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Para mufasir menyebut ada sekitar 16 penafsiran terhadap makna al-kautsar, lima diantaranya yakni:

  1. Sungai yang ada di surga.

Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, diriwayatkan juga oleh Imam Tirmidzi dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang ada di surga, kedua tepi sungai tersebut terbuat dari emas, airnya mengalir di atas mutiara dan batu rubi. Tanahnya lebih harum dari misk (parfum). Airnya lebih manis dari madu dan warnanya lebih putih dari salju.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)

  1. Telaga milik Nabi Muhammad ﷺ

Dalam riwayat shahih muslim, diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: “Ketika kami sedang bersama Rasulullah saw., beliau dalam keadaan tidur sejenak (tidak nyenyak). Lantas beliau mengangkat kepalanya sembari tersenyum. Kami pun bertanya: ‘Mengapa engkau tertawa wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab; ‘Baru saja turun kepadaku sebuah surat; (Al-Kautsar ayat 1-3)Rasulullah berkata: “Apakah kalian tau apa itu kautsar?” kami menjawab: ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah menjawab: Sesungguhnya ia (kautsar) adalah sebuah sungai di surga yang telah dijanjikan oleh Allah, di dalamnya terdapat kebaikan yang sangat banyak. Sungai itu adalah telaga tempat umatku akan datang pada hari kiamat. Bejana-bejananya sebanyak jumlah bintang di langit. Lalu ada seseorang dari mereka yang ditarik (disingkirkan) darinya, maka aku berkata: Sesungguhnya ia termasuk umatku.(H.R. Muslim)

Namun dikatakan: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan sepeninggalmu.

  1. Nubuwwat (kenabian) dan Al-Qur’an. Ini adalah pendapat Ikrimah
  2. Al-Qur’an. Menurut Hasan, al-kautsar adalah Al-Qur’an
  3. Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Mughirah

Para mufasir lebih mengunggulkan pendapat pertama dan kedua, karena kedua pendapat tersebut diriwayatkan oleh Nabi. Imam al-Qurthubi mengatakan: “Pendapat yang paling sahih adalah yang pertama dan kedua, karena berasal dari Nabi dan merupakan nash (dalil penjelasan) mengenai al-kautsar.”

Hari Pahlawan dan Spiritualitas Rahmatan lil ‘Alamin

0

Setiap tanggal 10 November, ingatan kolektif bangsa Indonesia tertuju pada pertempuran heroik di Surabaya. Hari Pahlawan adalah monumen penghargaan atas tadhiyah (pengorbanan) tertinggi para pejuang yang merelakan nyawa demi kedaulatan bangsa. Semangat mereka melampaui sekat suku, agama, dan golongan, menyatu dalam satu tujuan mulia: kemerdekaan.

Kini, di tengah hiruk pikuk zaman modern, medan juang telah bergeser. Musuh kita bukan lagi penjajah bersenjata, melainkan ancaman perpecahan dari dalam. Polarisasi sosial, sentimen keagamaan yang eksklusif, dan egoisme kelompok menjadi tantangan nyata bagi harmoni kebangsaan. Di sinilah relevansi Hari Pahlawan harus dimaknai kembali.

Refleksi Hari Pahlawan menuntut lahirnya pahlawan-pahlawan baru. Bukan lagi pahlawan angkat senjata, melainkan pahlawan yang mampu membumikan nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin di tengah masyarakat majemuk. Alquran, sebagai sumber inspirasi abadi, menawarkan panduan spiritual untuk menjadi pahlawan perdamaian di era sekarang.

Baca Juga: Hukum Mendoakan Pahlawan Non-Muslim

Meneladani Syuhada: Tafsir Pengorbanan untuk Kepentingan Bersama

Gelar tertinggi bagi seorang pahlawan dalam Islam adalah syahid. Alquran menggambarkan kemuliaan mereka bukan pada kematiannya, melainkan pada kehidupan hakiki yang mereka raih karena pengorbanan tulusnya. Ini adalah fondasi spiritualitas kepahlawanan.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 169:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki.”

M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan, pengorbanan di jalan Allah melahirkan kehidupan abadi yang penuh anugerah. Konteks “jalan Allah” (sabīlillāh) hari ini sangatlah luas. Menjaga keutuhan bangsa yang majemuk dari ancaman perpecahan adalah salah satu bentuk jihad sosial yang paling relevan.

Menjadi pahlawan masa kini berarti meneladani semangat syuhada dalam bentuk yang berbeda. Yaitu dengan mengorbankan ego pribadi dan kepentingan kelompok demi harmoni yang lebih besar. Heroisme ini terwujud saat seorang Muslim berani melawan narasi kebencian, bahkan ketika narasi itu datang dari kelompoknya sendiri.

Baca Juga: Lima Tanda Kepahlawanan Perspektif Alquran

Fondasi Heroisme: Membumikan Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Pesan utama risalah Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam. Semangat kepahlawanan dalam Islam tidak boleh lepas dari fondasi agungnya, yakni menjadi rahmat bagi sesama. Ini adalah antitesis dari segala bentuk arogansi dan pemaksaan.

Allah SWT menegaskan misi universal ini dalam Q.S. al-Anbiya [21]: 107:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Menurut para mufasir, kata al-‘ālamīn (seluruh alam) mencakup seluruh manusia, tanpa memandang agama, suku, dan ras, bahkan meluas hingga ke alam semesta. Menjadi pahlawan berarti menjadi agen aktif dari rahmat ini. Ia adalah sosok yang kehadirannya membawa keteduhan, keadilan, dan rasa aman bagi semua orang di sekitarnya.

Dalam konteks Indonesia, pahlawan rahmatan lil ‘alamin adalah mereka yang berdiri di garda depan melindungi hak-hak kaum minoritas, memperjuangkan keadilan sosial, dan membangun jembatan dialog antar umat beragama. Mereka berjuang bukan untuk supremasi kelompok, melainkan untuk kebaikan bersama sebagai wujud nyata dari Islam yang merahmati.

Baca Juga: Hari Pahlawan: Ini 3 Artikel Refleksi Peringatan Pahlawan dalam Al-Quran dan Tafsir

Arena Juang Pahlawan Masa Kini: Merajut Ta’aruf di Tengah Perbedaan

Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan adalah bukti bahwa para pahlawan adalah sosok yang mampu mengelola perbedaan. Mereka tidak menafikan adanya suku Jawa, Sunda, Batak, atau Bugis, tetapi mereka menemukan titik temu dalam identitas Indonesia. Spirit ini sangat selaras dengan ajaran Alquran.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li ta’ārafū).”

Ayat ini adalah cetak biru bagi masyarakat majemuk. Arena juang pahlawan hari ini adalah mewujudkan semangat lita’ārafū (saling mengenal). Bukan sekadar kenal, tetapi memahami, berempati, dan bekerja sama. Di tengah era media sosial yang sering kali mengunci kita dalam “gelembung” informasi, pahlawan sejati adalah ia yang berani keluar untuk berdialog dengan yang berbeda.

Mereka adalah pemuda yang menginisiasi kegiatan lintas iman, aktivis yang mengadvokasi kesetaraan, atau bahkan warganet yang konsisten melawan hoaks dan ujaran kebencian. Tindakan-tindakan sederhana ini adalah bentuk jihad kebangsaan untuk merawat harmoni yang diwariskan para pahlawan terdahulu.

Sebagai penutup, Hari Pahlawan adalah momentum untuk merefleksikan kembali makna perjuangan. Pahlawan masa kini adalah setiap insan yang mendedikasikan dirinya untuk merawat persatuan, menebarkan rahmat, dan menjaga Indonesia sebagai rumah bersama yang damai. Merekalah para syuhada perdamaian di zaman saat ini.

Ketika Langit Bersuara: I‘jāz al-Qur’ān dan Fenomena Kosmis

0
ketika langit bersuara_fenomena kosmis dan i'jaz Alquran
ketika langit bersuara_fenomena kosmis dan i'jaz Alquran

Sesekali coba renungkan fenomena kosmis di waktu malam, ketika langit dipenuhi bintang berkelip, dan bulan dengan cahayanya yang teduh. Mungkin bagi sebagian orang, mungkin terlihat hanya sebagai keindahan, tapi bagi sebagian orang yang beriman, setiap bintang adalah ayat tanda kebesaran Allah yang berbicara dalam bahasa semesta. Di setiap cahaya yang berkelip, terdapat kisah panjang tentang penciptaan, keteraturan, dan kehendak Tuhan yang begitu indah dan menakjubkan yang terkadang tak terjangkau dengan nalar manusia.

Langit bukan sekadar ruang yang hanya dipenuhi benda-benda angkasa. Ia adalah kitab terbuka yang mengajarkan manusia tentang kebesaran dan kerendahan dirinya. Ketika para astronom modern mempelajari gelombang mikro kosmik  sisa dari ledakan besar yang menjadi awal mula alam semesta mereka seakan mendengar gema pertanyaan lama yang telah diwahyukan lebih dari empat belas abad lalu:

اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (Q.S. Nūh: 15)

Suara langit itu bukan sekadar bunyi. Ia adalah zikrullah dalam bentuk lain tasbih semesta yang hanya bisa didengar oleh hati yang hidup. Ketika seseorang menatap langit malam hari dan mendengar “suara” gelombang kosmik dari sisa ledakan purba, sejatinya dia sedang menyaksikan ayat-ayat Tuhan yang tidak tertulis di kertas, melainkan di langit dan bumi.
Langit yang bersuara itu bukanlah mitos, tapi realitas yang mengajarkan kita: setiap partikel, setiap galaksi, setiap denyut cahaya semuanya bertasbih menyebut nama-Nya.

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.” (Q.S. Al-Isrā’: 44)

Dalam kesunyian malam, bintang-bintang itu seolah berbicara kepada jiwa yang gelisah. Mereka mengingatkan bahwa manusia bukan pusat semesta, melainkan bagian kecil dari rencana besar Sang Pencipta. Barangkali ketika hati manusia mulai kering oleh hiruk-pikuk dunia, langitlah yang akan kembali bersuara mengajaknya untuk menunduk, berpikir, dan beriman.

Baca Juga: Tafsir Ilmi Q.S. An-Nur Ayat 34: Proses Terbentuknya Awan

Fenomena Kosmis dalam I’jaz Alquran

Lebih dari 14 abad yang lalu, Alquran sudah membisikkan rahasia besar tentang alam semesta. Dalam Q.S. Al-Anbiyā’[21]: 30, Allah berfirman,

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?” (Q.S. Al-Anbiyā:30)

Kalimat sederhana ini ternyata selaras dengan teori Big Bang yang baru dikenal manusia di abad ke-20, sebuah teori yang menjelaskan bahwa alam semesta bermula dari satu titik padat yang kemudian meledak dan terus berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Jamil dan Khoirun Nidhomdalam Relevansi Ayat-Ayat Kosmologi dalam Q.S. Al-Anbiyā’ 30 dan Q.S. Fussilat:11 dengan Teori Sains, ayat 30 surah Al-Anbiyā’ yang berbunyi “langit dan bumi dahulu merupakan satu kesatuan, lalu Kami pisahkan keduanya” memiliki makna ilmiah yang menakjubkan.

Kata ar-ratq (menyatu) dan al-fatq (terpisah) diartikan oleh para mufasir modern sebagai proses yang selaras dengan teori Big Bang suatu momen ketika seluruh materi alam semesta meledak dan berkembang menjadi galaksi, bintang, dan planet seperti yang kita lihat sekarang.

Ini menunjukkan bahwa wahyu bukan sekadar teks yang beku di masa lalu. Ia hidup, berdialog dengan ilmu pengetahuan, dan terus membimbing manusia yang mau berpikir.
Seperti diungkapkan Abd Rasyid dalam Tafsir Ayat-Ayat Kauniyah: Pendekatan Tematik dalam Bahasa Arab dan Relevansinya di Era Sains Modern memahami ayat-ayat kauniyyah ayat-ayat yang berbicara tentang alam memerlukan pendekatan yang tematik dan reflektif. Ketika sains meneliti hukum-hukum alam, Alquran justru mengarahkan kita untuk menemukan makna spiritual di balik hukum-hukum itu. Bukan hanya bagaimana alam bekerja, tetapi mengapa ia diciptakan.

Baca Juga: Inilah Tiga Mukjizat Al-Quran

Al-Qur’an memang bukan buku fisika atau astronomi, tapi setiap ayatnya mengundang manusia untuk berpikir. Ia berbicara dengan bahasa kebesaran, bukan rumus. Ketika sains menjelaskan “bagaimana,” Alquran menuntun kita untuk merenungi “mengapa.” Mukjizat kosmik ini menjadi pengingat bahwa pengetahuan manusia hanyalah setetes dari lautan ilmu Allah. Semakin dalam kita menyelami semesta, semakin besar pula rasa kagum kita pada Sang Pencipta.

Azimi, Rahmani, dan Al-Khairabadi dalam penelitian mereka, Scientific Miracles in the Quran: Between Religious Texts and Modern Discoveries menegaskan bahwa konsep mukjizat ilmiah (i‘jāz ‘ilmi) menunjukkan adanya jembatan antara teks keagamaan dan penemuan ilmiah modern. Mereka berargumen bahwa Alquran bukanlah buku sains, tetapi mengandung prinsip-prinsip kebenaran universal yang selaras dengan pengetahuan manusia yang terus berkembang. Dengan kata lain, Alquran menuntun sains, bukan ditundukkan oleh sains.

Dalam konteks yang lebih luas, Prakoso dalam Al-Qur’an dan Kosmologi: Kronologis Penciptaan dan Kepunahan Alam Kosmos menyebutkan bahwa kajian terhadap ayat-ayat kosmik membuka ruang dialog antara wahyu dan teori ilmiah tentang asal-usul serta nasib akhir alam semesta. Menurutnya, Alquran mengajarkan bahwa segala sesuatu bermula dan berakhir dengan kehendak Allah, sebuah konsep yang sejalan dengan prinsip entropi dan siklus kosmik dalam astrofisika modern.

Baca Juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Pesan Spiritualitas di Balik Fenomena Kosmis

Ketika manusia menemukan gelombang kosmik, mendengar gema dari awal penciptaan, atau memetakan miliaran galaksi di angkasa, mungkin sebenarnya bukan langit yang baru bersuara tapi hati manusia yang baru mau mendengarkan. Mukjizat Alquran bukan hanya pada kesesuaiannya dengan penemuan ilmiah, tetapi pada kemampuannya menggerakkan hati. Ia menuntun kita dari sekadar takjub pada langit menuju kagum pada penciptanya.

Di balik setiap bintang yang berkilau, setiap galaksi yang berputar, ada pesan lembut dari Tuhan: bahwa alam semesta ini bukan kebetulan, melainkan tanda cinta-Nya yang diatur oleh kemahakuasaanNya agar manusia mau berpikir dan bersyukur.

Langit memang terus berbicara dengan cahaya bintang yang berkelip, dengan dentuman halus gelombang gravitasi, dan dengan ayat-ayat yang abadi dalam mushaf suci.
Setiap foton yang melesat dari galaksi jauh, setiap gerakan planet di orbitnya, seolah menjadi irama dari simfoni besar ciptaan.

Mungkin, tugas kita di zaman penuh kebisingan ini bukan lagi mencari bukti-bukti baru dari keajaiban wahyu, tapi menenangkan hati agar cukup peka mendengar “suara” Tuhan yang tersembunyi dalam keheningan semesta. Sebab mukjizat terbesar bukan hanya yang terlihat di langit, melainkan yang tumbuh di dalam diri ketika akal dan iman berpadu dalam rasa takjub kepada Sang Pencipta. Wallah a’lam.

Membaca al-Qur’an dalam Kerangka Late Antique

0
Angelika Neuwirth
Angelika Neuwirth

Belakangan ini, tampaknya studi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia menitiki jejak yang cukup signifikan jika dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Dapat dilihat, gerak studi ini sebelumnya terpaku pada beberapa tokoh kunci seperti Fazlurrahman, Toshihiko Izutsu, dan Abdullah Saeed yang berjibaku di lingkaran metode kontekstual.

Ini kemudian diikuti oleh beberapa sarjana di Indonesia yang turut mewarnai cabang diskursus tafsir tematik kontekstual, seperti Sahiron Syamsuddin dan Abdul Mustaqim, dengan masing-masing memiliki terminologi sendiri terkait metode yang diusungnya. Arah kajian tersebut cukup mendominasi di Indonesia, sampai-sampai di beberapa PTKIN, tafsir kontekstual dan tema-tema pokok al-Qur’an menjadi beberapa di antara mata kuliah yang wajib diajarkan.

Tafsir al-Qur’an Berbasis Masa Late Antique

Di bawah dominasi tafsir tematik kontekstual pada tubuh akademi ilmu al-Qur’an dan tafsir (IAT), ragam cara pandang para sarjana di belahan bumi lain pun tidak luput ikut diperkenalkan. Satu di antaranya adalah Angelika Neuwirth, sarjana kenamaan dari Jerman. Ia cukup dipertimbangkan untuk menjadi induk kajian intertekstual dan kajian sastrawi pos-modern atas al-Qur’an. Dalam sekali waktu, riset-risetnya bisa menyeimbangkan sinkronisitas dan diakronisitas dari al-Qur’an yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya.

Di antara argumen besarnya adalah memosisikan al-Qur’an pada kerangka pikir zaman late antique, sebuah zaman dalam rentang waktu pasca krisis ketiga kekaisaran Romawi hingga kemunculan Islam di sekitar abad ke-7 M. Dalam paparannya, Peter Brown telah menangkap sentralitas periode ini menjadi satu kunci untuk mengungkap sebuah evolusi sejarah, khususnya dalam hal sejarah agama Abrahamik (Brown, 1971). Tidak heran jika dengan kerangka cakupan masa ini pula, sarjana sekaliber Al-Azmeh meriset sejarah lahirnya Islam, bahkan tentang ketuhanan Allah yang konsepnya telah dikenal sejak lama (Al-Azmeh, 2014).

Al-Qur’an, kemudian dibaca oleh Neuwirth dalam setting tempat dan waktu yang potensial ini. Oleh karenanya, ia jelas mengesampingkan sejenak bukti-bukti sejarah yang keluar dari zona ini. Neuwirth pun mewacanakan risetnya pada pembacaan al-Qur’an pra-kanonisasi. Ia memaksudkan istilah pra-kanonisasi bukan dalam posisi ketika kitab ini sudah berupa mushaf yang termaterialkan, terlebih dalam ragam bacaan yang sudah ter-universalisasi dalam lingkup satu atau banyak mazhab muslim, namun ketika ia masih dalam rupa materi yang disampaikan secara oral dari Nabi kepada audiensnya (Neuwirth, 2015).

Kenapa Harus Pra-Kanonisasi?

Bagi salah satu profesor di bidang studi Qur’an ini, sasaran untuk mengungkap historisitas al-Qur’an bukan dari materi yang ada setelah ia ter-kanon-kan, tetapi ketika ia masih merekam komunikasi kolektif antara Nabi dan orang beriman, antara orang beriman dengan komunitas Kristen, antara orang beriman dengan komunitas Arab Mekah, dan lain sebagainya. Karenanya, setting lokasi dan waktunya pun jelas, yaitu mengikuti di mana dan kapan al-Qur’an itu dibacakan oleh Nabi. Jika sumber riset yang digunakan bercampur dengan apa yang ia sebut sebagai materi pos-kanonisasi, histori peradaban muslim—juga Timur Tengah—awal justru akan semakin terkaburkan. Poin ini yang juga ia kritik dari pendahulu-pendahulunya yang meneliti komunitas muslim awal dengan menyisipkan materi pos-kanonisasi (Neuwirth, 2000).

Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth Terhadap Sarjana Barat dan Muslim dalam Bidang Studi Al-Qur’an

Dengan menyasar materi sebelum kanonisasi al-Qur’an, maka sumber yang ia cari berkisar pada materi-materi peninggalan Arab Jahili, seperti puisi dan syair; teks Bibel Ibrani; teks biblikal di luar yang dikanonkan, seperti materi midrash, apokrif, dan lainnya.

Bagi Neuwirth, sejauh suatu materi jelas beredar secara terbuka di kalangan peradaban Timur Tengah saat itu, ia akan relevan dimasukkan sebagai materi pra-kanonisasi yang kemudian dihadirkan sebagai sumber dalam riset pembacaan late antique-nya. Ini sebab di lingkungan yang demikianlah, al-Qur’an hadir dan kemudian merespons apa yang ada di sekitarnya, berbicara dengan audiensnya, dan bahkan melakukan dialog terbuka dengan komunitas-komunitas sekelilingnya (Neuwirth, 2000).

Siapkah Kita Memasuki Golakan (yang tidak lagi) Baru ini?

Tantangan yang dibutuhkan dalam penelitian model ini jelas adalah kemampuan berbahasa yang cukup memadai dari peneliti untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks kuno. Menjadi seorang poliglot dalam ranah ini tidak lagi tertolak, utamanya ketika digunakan untuk membaca materi-materi biblikal yang kadang menggunakan bahasa Ibrani lama (Hebrew), Syriak, dan Aramaik, juga memahami retorika tuturan syair Jahili menggunakan bahasa Arab.

Di samping itu, kemampuan berbahasa Inggris pasti menjadi barometer minimum untuk terikat pada jenis riset yang sama secara global. Ini yang kemudian menjadi dilema tersendiri bagi akademisi Indonesia. Kita tahu bahwa di tataran kelas perkuliahan, pembelajaran bahasa kuno Timur Tengah bahkan masih jauh untuk dikatakan belum tercapai.

Baca juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Untuk menutup artikel ini, Neuwirth, berikut sarjana setelahnya yang juga melakukan kerja intertekstualitas baru ini telah membawa angin segar dalam dunia studi al-Qur’an. Dalam area akademis, saya rasa kerja seperti ini bukan hanya perlu, tetapi wajib dipertimbangkan. Tidak hanya Neuwirth, di luar sana model kajian intertekstualitas dengan payung late antique sudah digandrungi, tepatnya di lingkup kesarjanaan Ero-Amerika.

Dengan demikian, riset dengan pola tersebut tidak hanya mendekatkan kita pada wacana historisitas al-Qur’an, tetapi juga bisa membantu kita untuk lebih terhubung dengan jaringan studi Qur’an secara global. Pertanyaan finalnya adalah, kapan akademisi Qur’an dan tafsir di Indonesia akan turut memasuki golakan ini?

Q.S Albaqarah Ayat 11: Tafsir al-Ṭabarī dan Logika Kerusakan Alam

0

Dalam kajian lingkungan, khususnya ekoteologi surah Albaqarah ayat 11 biasanya menjadi landasan terdepan. Banyak akademisi atau aktivis lingkungan hari ini yang spontan menghubungkan ayat itu dengan isu lingkungan: polusi, deforestasi, atau kerusakan ekosistem. Memang memaknai seperti ini tentu relevan dan positif. Karena memang menjaga bumi adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Berikut ayatnya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi…” (QS. Albaqarah: [2]: 11)
Baca Juga: Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah (Bag. 1)

Akan tetapi, jika dicek lagi, misalnya dari tafsir klasik, terutama Tafsīr al-Ṭabarī, di situ ada makna yang lebih mendasar. Yaitu, bahwa kerusakan di bumi dalam ayat ini tidak menunjuk langsung kepada perusakan fisik lingkungan, melainkan kepada perusakan spiritual dan moral, yaitu maksiat dan kekufuran terhadap Allah.

Imam al-Ṭabarī menukil dari sejumlah sahabat, seperti ‘Ammār bin al-Ḥasan bahwa firman “janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi” berarti:

وَحُدِّثْتُ عَنْ عَمَّارِ بْنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الرَّبِيعِ: (وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ) يَقُولُ: لَا تَعْصُوا فِي الْأَرْضِ، (قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ)، قَالَ: فَكَانَ فَسَادُهُمْ ذَلِكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ، لِأَنَّ مَنْ عَصَى اللَّهَ فِي الْأَرْضِ، أَوْ أَمَرَ بِمَعْصِيَتِهِ، فَقَدْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ، لِأَنَّ إِصْلَاحَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ بِالطَّاعَةِ

Telah diceritakan kepadaku dari ‘Ammār bin al-Ḥasan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abī Ja‘far, dari ayahnya, dari ar-Rabī‘, bahwa (tentang firman Allah Ta‘ala): “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi”, beliau berkata: “Artinya, janganlah kalian bermaksiat di bumi.” Dan tentang firman-Nya: “Mereka berkata: sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan”, beliau (ar-Rabī‘) berkata: “Maka kerusakan mereka itu adalah karena mereka bermaksiat kepada Allah. Sebab, siapa pun yang bermaksiat kepada Allah di bumi, atau memerintahkan orang lain untuk bermaksiat kepada-Nya, sungguh dia telah berbuat kerusakan di bumi. Karena sesungguhnya, perbaikan (keteraturan) bumi dan langit itu hanya dengan ketaatan kepada Allah.” (Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, 1/288)

Baca Juga: Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

Jadi, menurut Imam al-Ṭabarī, yang dimaksud dalam Albaqarah ayat 11 tersebut bukan mereka yang menebang pohon atau mencemari air, tetapi bahwa mereka mendurhakai Allah, berpura-pura memperbaiki keadaan padahal menyebarkan kezaliman, nifak, dan dosa.

Kerusakan yang dimaksud bersifat moral dan teologis, bukan ekologis dalam teks asalnya. Karena ayat itu memang berbicara tentang orang munafik yang menampakkan kebaikannya dan menyembunyikan kekufuran dan kerusakan.

Meski begitu, tafsir ini tidak berarti meniadakan hubungan antara dosa dan kerusakan alam. Justru, dalam logika Alquran, maksiat kepada Allah memiliki akibat kosmik,  ia membuka jalan bagi bencana di bumi.

Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rūm [30]: 41). Dalam kitabnya Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, diterangkan:

وَمَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ} أَيْ بَانَ النُّقْصُ فِي الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ بِسَبَبِ الْمَعَاصِي.

Adapun makna firman Allah Ta‘ala:‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia,’ialah bahwa telah tampak penurunan dan kerusakan pada hasil tanaman dan buah-buahan disebabkan oleh kemaksiatan manusia. (Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, hlm. 57)

Baca Juga: Qur’anic Green Ethics: Tafsir Ekologis dalam Menjawab Krisis Iklim Global

Mungkin di sini akan terlihat kesinambungan maknanya. Secara logika, maksiat adalah sebab, kerusakan alam adalah akibat. Kekufuran melahirkan keserakahan, keserakahan menimbulkan ketidakadilan, dan dari sanalah bumi mulai rusak. Maka tafsir klasik dan kesadaran ekologis modern sebenarnya saling melengkapi: yang satu bicara tentang akar, yang lain tentang gejala.

Tafsir al-Ṭabarī mengingatkan bahwa akar masalah dunia bukan semata di permukaan bumi, melainkan di hati manusia. Ketika iman retak dan ketaatan goyah, maka bumi akan menjadi sasaran empuk untuk dirusak.

Sebagai bentuk usaha, menjaga bumi tidak cukup dengan teknologi hijau dan kampanye bersih-bersih, tapi dimulai dari taubat, iman, dan ketaatan kepada Allah. Karena hanya dengan tunduk kepada Sang Pencipta, manusia akan memahami arti peduli lingkungan.

Jadi benar saja, Albaqarah ayat 11 tadi tidak berbicara langsung tentang lingkungan, tetapi tentang maksiat. Tapi kalau logikanya diteruskan, makan dengan maksiatlah  akar dari segala kerusakan. Mungkin bisa dismpulkan bahwa setiap kerusakan ekologis, itu pada hakikatnya berawal dari kerusakan spiritual manusia.