Beranda blog Halaman 2

Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan

0
Sujud dalam Perspektif Tafsir: Ibadah yang Penuh Kehormatan
Ilustrasi gerakan sujud (sumber: Unsplash).

Dari semua gerakan dalam salat, sujud adalah yang paling “membumi”. Dahi bersentuhan dengan tanah, lutut dan telapak menekan bumi, tubuh menunduk sepenuhnya, dan mulut melafazkan subḥāna rabbiyal aʿlā—“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”. Ironis, bukan? Tubuh merendah, tapi yang diucap justru tentang keagungan. Itulah kontradiksi indah dari sujud: makin rendah posisi tubuh, makin tinggi posisi jiwa.

Alquran menyebut sujud tidak hanya sebagai gerakan ibadah, tapi juga bentuk tertinggi dari penghormatan spiritual. Bahkan sejak penciptaan manusia, sujud sudah menjadi simbol ketaatan penuh malaikat kepada perintah Tuhan (al-Baqarah [2]: 34). Maka tidak mengherankan bila sujud terus menerus ditafsir ulang oleh para mufasir, ulama sufi, bahkan ilmuwan Barat yang menyimak kebudayaan Islam dari kejauhan.

Sujud: Gerakan Tubuh, Pusat Jiwa

Dalam struktur salat, sujud menempati posisi sentral. Ia dilakukan dua kali dalam satu rakaat, lebih sering dari rukuʿ. Dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, ar-Rāghib al-Aṣfahānī menyebut kata “sajada” mengandung arti “tawāḍuʿ” dan “khuḍūʿ”—rendah hati dan patuh total.

Alquran menggambarkan orang-orang saleh sebagai:

“يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًۭا”

“Mereka bersujud dengan dagu-dagu mereka menyentuh tanah.” (al-Isrāʾ [17]: 107)

Ibnu ‘Āsyūr dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr (juz 15, hlm. 312) menafsirkan bahwa penggunaan kata “adzqān” (dagu) menunjukkan intensitas dan kekhusyukan sujud, bukan sekadar bentuk ritual, tapi momentum pembebasan jiwa dari ego.

Dalam konteks psikologi kontemporer, Carl Jung menyebut dalam esainya Modern Man in Search of a Soul bahwa manusia butuh semacam “ritual depersonalisasi” untuk terhubung dengan realitas transenden. Dalam Islam, sujud menjadi ruang paling sunyi dan jujur untuk itu.

Sujud dan Ketundukan Kosmik

Alquran tidak hanya menyuruh manusia bersujud, tapi juga menyebut bahwa seluruh alam semesta bersujud:

“وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلْأَرْضِ طَوْعًۭا وَكَرْهًۭا”

“Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud kepada Allah, dengan sukarela maupun terpaksa.” (ar-Raʿd [13]: 15)

Baca juga: Makna Sujud para Malaikat kepada Nabi Adam

Fakhruddīn al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr (juz 19, hlm. 201) menjelaskan bahwa sujud kosmis ini bukan gerakan fisik, melainkan penyerahan hakiki semua makhluk kepada sistem ilahi. Planet-planet, musim, dan bintang semuanya “bersujud” dalam ketaatan hukum ciptaan.

Dalam perspektif astrofisika, gerakan planet yang berputar dalam orbit tetap dan patuh terhadap gravitasi adalah bentuk keteraturan kosmis yang mencerminkan submission, istilah yang bahkan senada dengan makna Islam. Karen Armstrong dalam bukunya, A History of God menulis, “Sujud dalam Islam bukan hanya ketundukan manusia pada Tuhan, tapi juga refleksi harmoni alam dengan yang Mahatinggi.”

Sujud sebagai Antitesis Kesombongan

Kisah Iblis yang menolak sujud kepada Adam adalah narasi klasik tentang arogansi:

“أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَـٰفِرِينَ”

“Ia enggan dan menyombongkan diri, dan termasuk golongan kafir.” (al-Baqarah [2]: 34)

Baca juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

Ibn Qayyim dalam Miftāḥ Dār al-Saʿādah (juz 1, hlm. 123) menyebut bahwa dosa pertama dalam sejarah adalah istiktbār (kesombongan) yang menolak sujud. Maka sujud dalam Islam bukan hanya ibadah, tapi latihan antiarogansi paling fundamental. Ia memecah keangkuhan, meletakkan kepala di tempat paling rendah, dan menjadikan tanah sebagai tempat kembali segala kesombongan.

Sujud juga menjadi titik rawan bagi yang lalai. Bukan tidak mungkin, dalam era citra dan branding personal hari ini, sujud bisa berubah dari makna spiritual menjadi gaya simbolik. Sujudnya panjang, tapi pikirannya sibuk menata unggahan Instagram. Karenanya, tafsir sujud hari ini harus mencakup kesadaran batin, bukan hanya ketepatan posisi.

Sujud dan Data Kehidupan

Dalam riset medis yang dimuat di Journal of Physical Therapy Science (Vol. 27, 2015), sujud terbukti memberikan efek relaksasi psikosomatik. Posisi kepala di bawah jantung memperlancar sirkulasi darah ke otak, menurunkan stres, dan menenangkan sistem saraf. Ini menguatkan posisi sujud sebagai ibadah yang menyentuh tubuh dan jiwa secara simultan.

Di sisi lain, data sosial dari Pew Research (2020) menyebutkan bahwa generasi muda muslim, terutama di perkotaan, lebih jarang salat lengkap dengan kekhusyukan. Banyak yang terburu-buru, bahkan melewatkan sujud. Maka menjadi penting untuk menghidupkan kembali kesadaran tafsir sujud sebagai momen berhenti sejenak dari sirkus dunia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Bagi sebagian orang, sujud menjadi tempat terakhir untuk menangis diam-diam. Tidak perlu caption panjang, tidak ada penonton, tidak ada peran yang harus dimainkan. Hanya ada hamba dan Tuhan—dahi, debu, dan derai air mata.

Sujud tidak mengenal kasta, tak peduli jabatan. Semua orang bertemu tanah. Dan dari sanalah martabat sejati justru dibangun: bukan karena tinggi posisi berdiri, tapi dalam rendahnya sujud yang tulus.

Tafsir QS. Ar-Ra’d Ayat 28: Dzikir Perpsektif Buya Hamka

0

Alquran sebagai kalam Illahi merupakan sumber utama pedoman hidup bagi umat Islam. Di antara pesan utamanya adalah ajakan untuk senantiasa melakukan dzikir, yakni mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dalam suka maupun duka. Salah satu ayat yang secara eksplisit menyampaikan nilai dzikir sebagai penenteram jiwa dalam firman Allah QS. Ar-Ra’d [13]: 28:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ  اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

“Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.” Ayat ini tidak hanya mengandung makna spiritual yang dalam, tetapi juga menjadi sandaran bagi banyak ulama dan cendekiawan Muslim dalam menjelaskan hubungan antara ketenangan batin dan kekuatan iman.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna 

Penulis mengangkat kajian ini untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman hidup Buya Hamka selama masa tahanan memengaruhi pemahaman dan penafsirannya tentang dzikir dalam konteks ketenteraman jiwa.

Penulis percaya bahwa pendekatan personal dan pengalaman spiritual Buya Hamka sangat penting dalam menyingkap tafsir ayat ini. Dzikir dipahami sebagai kekuatan batin untuk menghadapi krisis dan tekanan hidup, relevan bagi umat Islam di era modern yang penuh kecemasan dan disrupsi.

Definisi Dzikir dan Pentingnya dalam Kehidupan

Kata dzikir (ذِكْر) berasal dari akar dzakara (ذَكَرَ) yang berarti “mengingat” atau “menyadari”. Dalam Al-Quran, dzikir memiliki berbagai makna sesuai konteks ayat. Berbagai mufasir dan sarjana Muslim memberikan definisi beragam namun saling melengkapi.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (13: 3761) menjelaskan dzikir bukan hanya ibadah lisan, tapi penguatan rohani, ketenangan jiwa, dan kesadaran akan Tuhan dalam setiap keadaan. Dzikir disebutnya sebagai penyegar jiwa, penenang hati, penghapus gelisah, dan penuntun batin menuju cahaya Ilahi.

Tulisan Buya Hamka sangat dipengaruhi pengalaman hidupnya. Saat dipenjara, jauh dari keluarga, dzikir menjadi kekuatan batin utama. Ia gunakan waktu itu untuk memperbanyak dzikir dan menulis tafsir. Kesunyian penjara memberi ruang dekat dengan Allah, sehingga dzikir baginya nyata, bukan sekadar teori.

Surah ar-Ra‘d ayat 28 di atas menegaskan bahwa ketenangan sejati hanya dapat dicapai lewat dzikir. Di tengah kekacauan informasi dan kegelisahan sosial, dzikir menjadi jalan untuk kembali ke kesadaran yang benar dan ketenangan hakiki. Dzikir juga mengingatkan tujuan hidup dan menjaga hati dari kelalaian.

Melalui kajian ini, penulis ingin mengeksplorasi secara mendalam bagaimana Buya Hamka memahami dan menafsirkan konsep dzikir, sekaligus mengkaji relevansi dzikir dalam konteks kehidupan modern yang penuh tantangan dan dinamika bagi umat Islam saat ini.

Baca Juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Penafsiran Buya Hamka terhadap Surah Ar-Ra’d [13]: 28

Dalam Tafsir Al-Azhar (13: 3761), Buya Hamka menafsirkan dzikir bukan sekadar ucapan lisan, melainkan proses batin yang mendalam. Dzikir membawa ketenangan jiwa dan mendekatkan diri pada Tuhan, berdasarkan pengalaman spiritualnya yang kaya dan penuh makna.

Menurut Buya Hamka, manusia sering menghadapi kegelisahan seperti kesempitan rezeki, ketidakpastian masa depan, kesedihan, dan kesendirian. Dalam situasi ini, hanya dengan mengingat Allah melalui shalat, doa, membaca Alquran, dan dzikir sadar, hati akan menemukan ketenteraman sejati.

Kesimpulan

Buya Hamka menegaskan bahwa dzikir sejati bukan hanya bacaan di bibir, tapi menghidupkan kesadaran spiritual. Dzikir yang benar mampu memperkuat jiwa menghadapi ujian, mengurangi ketakutan, serta mengarahkan hati pada harapan dan keteguhan iman yang kokoh dalam hidup.

Dalam tafsir QS. Ar-Ra’d ayat 28, Buya Hamka menegaskan dzikir sebagai sumber ketenangan hati sejati. Dzikir bukan hanya ucapan lisan, melainkan jalan batin menuju ketenteraman yang bergantung pada kesadaran ilahiah dan hubungan hati yang kuat dengan Allah.

Baca Juga: Dzikir Yasin Fadhilah KH. Maimun Zubair Serta Tata Cara Bacanya

Dzikir yang benar menurut Hamka mencerminkan iman matang dan batin terjaga, bukan sekadar simbol kosong. Ayat ini harus dihayati dan diamalkan. Di tengah tekanan hidup, dzikir jadi penawar jiwa, benteng ketenangan, serta penguat hati menghadapi ujian zaman.

Cabaran dan Peluang Tafsir Alquran dalam Konteks Malaysia

0
Cabaran dan Peluang Tafsir Alquran dalam Konteks Malaysia
Masjid "Pink" Putra, salah satu ikon masyarakat muslim di Putrajaya, Malaysia.

Tafsir Alquran dalam konteks Malaysia menghadapi dinamika yang kompleks antara tradisi keilmuan Islam klasik dengan realitas sosial-budaya masyarakat multietnik. Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi dengan Islam sebagai agama rasmi, Malaysia memiliki posisi unik dalam pengembangan tafsir yang relevan dengan konteks lokal.

Perkembangan tafsir di Malaysia tidak dapat dipisahkan dari sejarah kedatangan Islam dan proses islamisasi yang berlangsung secara bertahap. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri dalam menghasilkan interpretasi yang autentik dengan tetap mempertahankan esensi ajaran Islam yang universal.

Cabaran dalam Tafsir Alquran

Pluralitas Sosial dan Keharmonian Antara Kaum

Salah satu cabaran (tantangan) utama dalam tafsir Alquran di Malaysia adalah bagaimana menginterpretasikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan antara umat Islam dan nonmuslim. Dalam masyarakat majemuk Malaysia, penafsiran yang eksklusif berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. Para mufasir Malaysia perlu mengembangkan pendekatan yang menekankan nilai-nilai toleransi dan keadilan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip teologis Islam.

Konsep wasatiyyah (moderasi) menjadi kunci dalam menangani isu ini. Tafsir yang dikembangkan harus mampu menjelaskan bagaimana Islam dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam) dalam konteks kehidupan berbangsa yang plural.

Pengaruh Globalisasi dan Modernitas

Globalisasi membawa tantangan baru dalam tafsir Alquran di Malaysia. Penetrasi ideologi liberal dan sekuler melalui media massa dan teknologi informasi mempengaruhi cara pandang masyarakat muslim terhadap ajaran agama. Para mufasir dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan-persoalan kontemporer seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan demokrasi.

Baca juga: Jejak Manuskrip Alquran Malaysia di Pulau Dewata

Cabaran ini memerlukan pendekatan hermeneutika yang mampu menjembatani antara teks suci dengan realitas zaman. Tafsir tidak lagi dapat bersifat literal semata, tetapi harus mempertimbangkan maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariah) dalam memberikan interpretasi yang relevan.

Metodologi dan Otoritas Penafsiran

Persoalan metodologi tafsir juga menjadi cabaran tersendiri. Terdapat perdebatan antara pendekatan tradisional yang berpegang pada tafsir bi al-ma’thur (tafsir berdasarkan riwayat) dengan pendekatan modern yang menggunakan tafsir bi al-ra’y (tafsir berdasarkan pemikiran). Selain itu, pertanyaan tentang siapa yang berhak menafsirkan Alquran juga menjadi isu yang sensitif.

Dalam konteks Malaysia, otoritas penafsiran seringkali dikaitkan dengan institusi-institusi formal seperti Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan majelis-majelis agama negeri. Hal ini menimbulkan ketegangan antara kebebasan akademik dengan kontrol institusional.

Peluang dalam Tafsir Alquran

Tradisi Keilmuan Islam Nusantara

Malaysia memiliki tradisi keilmuan Islam Nusantara yang kaya dan beragam. Warisan ulama-ulama terdahulu seperti Syeikh Daud al-Fatani, Syeikh Muhammad Arshad al-Banjari, dan Syeikh Zainal Abidin al-Fatani dapat menjadi fondasi untuk pengembangan tafsir yang sesuai dengan karakteristik masyarakat Malaysia.

Baca juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Pendekatan tafsir bi al-isyarah (tafsir simbolik) yang berkembang dalam tradisi tasawuf Nusantara dapat diintegrasikan dengan metodologi tafsir modern untuk menghasilkan interpretasi yang holistik dan spiritual.

Kemajuan Teknologi dan Digitalisasi

Perkembangan teknologi informasi membuka peluang besar dalam penyebaran dan aksesibilitas tafsir Alquran. Platform digital memungkinkan pengembangan aplikasi tafsir yang interaktif dan multimedia. Hal ini dapat meningkatkan minat masyarakat, terutama generasi muda, untuk mempelajari dan memahami Alquran. Digitalisasi juga memungkinkan pengembangan database tafsir yang komprehensif, memudahkan penelitian komparatif dan analisis tematik terhadap berbagai karya tafsir.

Pendidikan dan Institusi Akademik

Universitas-universitas di Malaysia seperti Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Islam Antarabangsa Malaysia memiliki program pengajian (prodi) Islam yang berkualitas tinggi. Institusi-institusi ini dapat menjadi pusat pengembangan tafsir yang ilmiah dan metodologis. Kerjasama dengan kampus-kampus luar negeri juga membuka peluang untuk pertukaran pengetahuan dan pengembangan metodologi tafsir yang lebih komprehensif.

Kesimpulan

Cabaran dan peluang tafsir Alquran dalam konteks Malaysia menggambarkan kompleksitas dinamika agama dalam masyarakat modern. Pendekatan yang seimbang antara mempertahankan autentisitas teks suci dengan responsivitas terhadap realitas sosial menjadi kunci keberhasilan. Pengembangan tafsir yang kontekstual namun tidak kehilangan substansi ajaran Islam merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para ulama dan cendekiawan muslim Malaysia.

Baca juga: Siratan Pesan Azyumardi Azra untuk Kebangkitan Islam Asia Tenggara

Dengan memanfaatkan kekayaan tradisi keilmuan Islam Nusantara, kemajuan teknologi, dan institusi pendidikan yang berkualitas, Malaysia berpotensi menjadi rujukan dalam pengembangan tafsir Alquran yang relevan dengan konteks Asia Tenggara dan dunia Islam secara keseluruhan.

Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri

0
Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri
Solusi Alquran terhadap Orang yang Terpaksa Mencuri

Belakangan ini, publik dikejutkan oleh berbagai kisah tragis yang tersebar luas di media sosial: nenek mencuri bawang karena terpaksa, ibu mencuri susu formula untuk anaknya, ayah mengambil beras dari toko karena tak sanggup melihat anaknya kelaparan, atau remaja mencuri makanan karena tak punya keluarga dan tempat tinggal.

Mirisnya, kasus-kasus ini tak jarang langsung diseret ke ranah hukum tanpa diselami alasan di baliknya. Masyarakat terburu-buru menghakimi, padahal sering kali pencurian itu dilakukan karena terpaksa demi bertahan hidup.

Fenomena pencurian karena kebutuhan mendesak atau keterpaksaan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah cermin dari kegagalan sistem sosial. Ketika seseorang mencuri demi sesuap nasi, pertanyaannya bukan hanya “mengapa mencuri?”, tapi juga “di mana kita saat mereka kelaparan sehingga terpaksa mencuri?”

Dalam realitas sosial hari ini, kemiskinan struktural, minimnya jaminan sosial, dan ketimpangan ekonomi menjadi akar dari tindak kriminal semacam ini. Namun, bagaimana Alquran memandang tindakan seperti ini? Apakah Islam hanya menghukum tanpa mempertimbangkan latar belakang pelaku?

Alquran dan Perspektif Keadilan yang Berkeadaban

Alquran memang menegaskan bahwa pencurian adalah perbuatan terlarang. Dalam Q.S. al-Mā’idah: 38 disebutkan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Namun, ayat ini tidak berdiri sendiri. Ulama tafsir, seperti al-Qurṭubī dalam al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qur’ān, menjelaskan bahwa penerapan hukuman potong tangan tidak berlaku sembarangan. Ada banyak syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi: barang curian harus mencapai nilai nisab tertentu, dilakukan dengan niat mencuri, bukan karena terpaksa atau dalam kondisi darurat, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bukan terang-terangan karena kebutuhan hidup.

Ibnu Taymiyyah bahkan secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang mencuri karena kelaparan, maka tidak dikenakan hukum potong tangan, melainkan negara wajib memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, hukum pidana tidak kaku, melainkan memperhatikan konteks sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.

Solusi Alquran: Bukan Hanya Hukuman, tapi Perlindungan Sosial

Jika ditelusuri lebih jauh, Alquran banyak berbicara tentang keadilan sosial dan kewajiban menolong fakir miskin. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 273, Allah berfirman:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ ࣖ

(Apa pun yang kamu infakkan) diperuntukkan bagi orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah dan mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak mengetahuinya mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka memelihara diri dari mengemis. Engkau (Nabi Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya (karena) mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Kebaikan apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Tahu tentang itu.

Baca juga: Al-Baqarah Ayat 188 dan Relevansinya dengan Tindakan Korupsi

Ayat ini menggambarkan bahwa sebagian orang miskin tidak meminta-minta, tetapi kebutuhan mereka tetap mendesak. Di sinilah masyarakat dan negara seharusnya hadir. Memberi sebelum diminta. Menyantuni sebelum terlambat.

Alquran tidak hanya menurunkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi juga mewajibkan zakat, infak, dan sedekah sebagai mekanisme pencegahan terhadap munculnya kejahatan karena kemiskinan.

Maqāṣid al-Syari’ah: Menjaga Jiwa dan Kesejahteraan

Dalam kerangka maqaṣid al-syari‘ah, tindakan mencuri karena kelaparan termasuk dalam situasi darurat (ḍarūrah). Tujuan utama syariat adalah menjaga agama (ḥifẓ al-din), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-mal). Namun, dalam kondisi darurat, menjaga jiwa menjadi prioritas utama.

Ketika seseorang mencuri demi menyelamatkan hidupnya atau anak-anaknya dari kelaparan, maka perbuatan itu tidak bisa disamakan dengan pencurian karena serakah. Dalam kaidah fikih disebutkan:

“Ad-darūrātu tubīḥ al-maḥẓūrāt”

Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang terlarang.

Namun, bukan berarti Islam melegalkan pencurian. Justru, Islam mengajak semua pihak; individu, masyarakat, dan negara untuk menciptakan sistem sosial yang adil sehingga tak seorang pun harus memilih antara mencuri atau mati kelaparan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertama, hentikan budaya menyalahkan korban keadaan. Bukan berarti membenarkan pencurian, tapi memahami latar belakangnya. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang sibuk menghukum tanpa menyediakan solusi.

Kedua, dorong sistem jaminan sosial yang lebih adil. Islam sudah mencontohkan lewat konsep zakat, baitul mal, dan infak wajib untuk orang miskin. Negara modern pun bisa menyesuaikannya lewat program bantuan langsung yang menyeluruh dan tepat sasaran.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

Ketiga, jadikan Alquran bukan hanya sebagai bacaan, tapi sumber inspirasi sosial. Ayat-ayat yang menekankan pentingnya membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan melindungi hak orang lemah, harus menjadi pedoman dalam merancang kebijakan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pencurian karena terpaksa bukan hanya persoalan kriminalitas, ia bisa juga karena jeritan sosial dari mereka yang tersisih. Nah, di sini Alquran mengajarkan bahwa keadilan bukan hanya memberi hukuman, tetapi juga mencegah penderitaan. Sudah saatnya kita membaca Alquran bukan hanya dengan lidah, tapi juga dengan hati dan empati.

Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital

0
Relevansi Menghafal Alquran di Era Digital
Ilustrasi anak-anak menghafal Alquran (sumber: Unsplash).

Di tengah gelombang digitalisasi global, hampir seluruh aktivitas manusia termasuk dalam beragama mengalami transformasi signifikan. Alquran kini dapat diakses dengan cepat melalui berbagai platform digital, mulai dari aplikasi hingga teknologi pencarian suara. Namun, tradisi menghafal Alquran (tahfiz) tidak hanya tetap eksis, tetapi justru mengalami peningkatan, terutama di kalangan generasi muda dan santri. Meskipun hanya 0,01% penduduk Indonesia yang menjadi penghafal Alquran (sekitar 28.444 orang), jumlah tersebut menunjukkan ketertarikan yang tetap kuat di tengah era digital.

Pernyataan kontroversial dari figur publik seperti Kumaila, yang menyebut bahwa menghafal Alquran tidak memiliki manfaat jika tidak disertai pemahaman, turut memancing perdebatan. Pernyataan ini perlu dikaji secara ilmiah dan kontekstual. Menghafal Alquran tidak hanya sekadar aktivitas memori, tetapi juga merupakan proses internalisasi spiritual, edukatif, dan bahkan psikologis.

Menghafal sebagai Bentuk Penjagaan dan Pendalaman Wahyu

Akses digital yang cepat tidak menjamin keterhubungan emosional dan spiritual dengan wahyu Ilahi. Alquran secara eksplisit menyatakan kemudahan bagi manusia untuk menghafalnya, seperti dalam Q.S. al-Qamar [54]: 17:

“Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Alquran sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”

Baca juga: Menghafal Alquran di Somalia: Semangat, Sejarah dan Metodenya

Menurut al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, makna “zikir” (yang diterjemahkan sebagai pelajaran) dalam ayat tersebut bukan hanya sekadar hafalan literal, tetapi juga mencakup pemahaman dan penghayatan. Sementara itu, Ibn Katsir menegaskan bahwa penjagaan Alquran oleh Allah Swt, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Hijr [15]: 9, dilakukan melalui dua jalur: tertulis dan dihafal dalam dada para hafiz. Maka dari itu, menghafal Alquran adalah bagian integral dari sistem ilahiah dalam menjaga kemurnian wahyu.

Nilai Psikologis dan Spiritual Hafalan

Tahfiz Alquran bukan hanya mendekatkan seseorang kepada Tuhan, tetapi juga membentuk struktur mental dan emosional yang sehat. Penelitian Ainur Rofiq dan Niken Ayu Khoirinnada (2024) menunjukkan bahwa ada korelasi signifikan antara kegiatan menghafal Alquran dengan peningkatan kecerdasan emosional pada siswa madrasah. Para penghafal menunjukkan kestabilan emosi, empati, dan kemampuan mengelola stres yang lebih baik dibandingkan siswa nonpenghafal.

Studi lain oleh Yusron Masduki (2018) juga menyatakan bahwa hafalan Alquran berfungsi sebagai terapi spiritual. Ia mampu mengatasi kecemasan, memberikan ketenangan jiwa, serta meningkatkan motivasi belajar dan kedisiplinan. Dalam budaya digital yang penuh distraksi, hafalan menjadi ruang kontemplatif yang mampu menenangkan pikiran dan mengarahkan kembali pada nilai-nilai spiritual yang stabil.

Kritik terhadap Hafalan Tanpa Pemahaman

Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian penghafal hanya fokus pada hafalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Kritik seperti ini, sebagaimana diutarakan Kumaila, perlu dipahami bukan sebagai penolakan atas hafalan itu sendiri, melainkan sebagai tantangan dalam metodologi pembinaan.

Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 121 yang menyebut yatluunahu haqqo tilaawatihi berarti membaca dengan tajwid yang benar, menghafal, dan mengamalkan. Ini menunjukkan bahwa hafalan adalah tahap awal yang membuka jalan menuju pemahaman dan pengamalan. Bahkan, al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut hafalan sebagai pondasi awal untuk menjaga ilmu dan membentuk hati yang hidup. Maka, kelalaian dalam pemahaman bukan berarti hafalan tidak berguna, melainkan pembinaan yang perlu ditingkatkan.

Baca juga: Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya

Secara pedagogis, tahfiz dapat dikaitkan dengan teori konstruktivisme ala Bruner (1960), yang menyebut bahwa pembelajaran terjadi secara bertahap, dari hafalan menuju pemahaman dan aplikasi. Proses ini membutuhkan waktu dan sistem pembinaan yang tepat agar dapat membentuk generasi Qur’ani yang tidak hanya cakap menghafal, tetapi juga memahami dan mengamalkan isi Alquran.

Kesimpulan

Menghafal Alquran di era digital tidak hanya relevan, tetapi juga semakin penting. Ia berfungsi sebagai jembatan spiritual antara manusia dan Tuhan, sebagai bentuk penjagaan wahyu, serta sebagai terapi psikologis yang efektif di tengah tekanan informasi dan distraksi digital. Kritik terhadap hafalan yang tidak disertai pemahaman hendaknya diarahkan pada peningkatan metode pendidikan, bukan pada penghapusan tradisi tahfiz itu sendiri.

Sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama klasik dan kontemporer, menghafal adalah langkah awal dari perjalanan panjang untuk memahami, mengamalkan, dan menyebarkan nilai-nilai Qur’ani. Era digital membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, sabar, dan memiliki kedalaman spiritual dan semua itu bisa dibentuk melalui proses menghafal Alquran yang dilakukan dengan niat ikhlas dan pembinaan yang berkesinambungan.

Kepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman

0
Kepemimpinan Tanpa Kesombongan ala Nabi Sulaiman
Ilustrasi singgasana raja (sumber: Unsplash)

Dalam galeri agung para pemimpin dunia, di balik kisah para nabi, sosok Sulaiman as. muncul sebagai pemimpin dengan paradoks yang menarik. Dia memiliki kekuasaan terbesar dalam sejarah, tetapi tetap menjaga sikap rendah hati yang luar biasa. Paradoks inilah yang menjadikan model kepemimpinannya relevan untuk dikaji di tengah budaya kesombongan yang sering mengiringi kekuasaan di era modern. Bagaimana mungkin kekuasaan absolut tak menghasilkan kesombongan mutlak? Kisah Sulaiman membuka tabir jawaban atas pertanyaan mendasar ini.

Doa Kerajaan: Bukan Ambisi, Tapi Misi

Melalui doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an, Sulaiman meminta: Dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi” (Q.S. Shad [38]: 35).

Permintaan Sulaiman akan kerajaan yang tak tertandingi sering disalahpahami sebagai ambisi duniawi belaka. Dalam kajian tafsirnya, Al-Marâghî (23/165) menguraikan bahwa makna “kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku” bukan manifestasi ambisi pribadi, melainkan mukjizat yang relevan dengan misinya sebagai nabi. Sebagai putra Daud as. yang merupakan seorang raja sekaligus nabi, Sulaiman meminta bukti kenabian dan sarana dakwah yang sesuai dengan konteksnya, yakni kerajaan dengan keajaiban yang menjadi bukti bagi umatnya.

Perspektif menarik datang dari Ibnu ’Âsyûr (23/263) yang menyoroti bagaimana Sulaiman menutup doanya dengan pengakuan bahwa “hanya Allah yang Maha Pemberi” menunjukkan kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah hak, melainkan anugerah yang memerlukan pertanggungjawaban. Di era pemimpin yang menganggap posisi sebagai hak istimewa, model doa Sulaiman ini mengajarkan bahwa kekuasaan sejati selalu terjalin dengan tanggung jawab spiritual.

Menyadari Sumber Kekuatan

“Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: ‘Hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.’” (Q.S. An-Naml [27]: 16).

Al-Qurthubî (13/164) menjelaskan bahwa dari sembilan belas putra Daud, hanya Sulaiman yang dianugerahi kenabian dan kerajaan, bukan warisan umum, melainkan pilihan khusus dari Allah. Sikap Sulaiman yang menekankan “telah diberi” bukan “telah memperoleh” menunjukkan kesadaran bahwa kemampuannya adalah pemberian, bukan pencapaian pribadi.

Baca juga: Alquran Mengajarkan Kepemimpinan Berdasarkan Meritokrasi

Sikap ini sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazâlî (3/342) yang dengan jernih menguraikan bahwa pada dasarnya jiwa manusia telah dicampur dengan tiga penyakit batin: kesombongan, ketamakan, dan kedengkian. Ketika seorang pemimpin seperti Sulaiman mampu mengenali asal-usul kekuasaannya sebagai pemberian Allah, ia sebenarnya sedang melawan kecenderungan alami manusia untuk merasa superior karena pencapaian dan kelebihannya.

Perspektif ini sangat berbeda dengan cerita “usaha sendiri” yang sering digembar-gemborkan dalam kepemimpinan masa kini. Pemimpin modern sering terjebak dalam ilusi bahwa kesuksesan adalah murni hasil jerih payah sendiri. Sulaiman menunjukkan model kepemimpinan yang mengakui bahwa kekuatan sejati berasal dari luar diri, menciptakan dasar kerendahan hati yang kokoh.

Kepekaan Terhadap Suara Rakyat Kecil

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’ Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.” (Q.S. An-Naml [27]: 18-19).

Ibnu Katsir (6/166) meriwayatkan bahwa Sulaiman dapat memahami peringatan semut yang khawatir kaumnya akan terinjak pasukan kerajaan. Respons Sulaiman sungguh menakjubkan, bukannya tersinggung dengan kekhawatiran yang mungkin mencerminkan ketidakpercayaan pada kehati-hatiannya, ia justru tersenyum dan berdoa syukur.

Kisah ini seperti cermin bagi para pemimpin masa kini. Semut dapat dianalogikan sebagai rakyat kecil atau kelompok marjinal dalam sebuah negara. Suara-suara mereka sering tak terdengar, yang kekhawatirannya sering diabaikan. Ketika mereka mencoba menyampaikan keresahan, pemimpin besar seperti Sulaiman tidak menganggapnya sebagai kritik yang mengancam wibawa, melainkan sebagai perspektif berharga yang patut diapresiasi.

Baca juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Al-Ghazâlî (3/343) memperkuat pesan ini dengan kisah teladan tentang seseorang yang dulunya angkuh di Mekkah, tetapi kemudian ditemui dalam keadaan hina di Baghdad. Orang itu berkata, “Aku mengangkat diriku di tempat orang-orang merendahkan diri, maka Allah merendahkanku di tempat orang-orang mengangkat diri.” Kisah ini mengingatkan bahwa kesombongan terhadap suara-suara kecil akan berujung pada kehilangan kehormatan dan legitimasi kepemimpinan.

Dalam era kepemimpinan yang sering mengabaikan suara dari bawah, sikap Sulaiman ini menawarkan model kepemimpinan yang mendengarkan dengan empati, bahkan terhadap “bisikan-bisikan lemah” yang mungkin mengandung kritik tersembunyi. Kemampuan menerima masukan dari bawah tanpa merasa terancam merupakan kualitas kepemimpinan yang semakin langka namun sangat dibutuhkan.

Memaknai Kesuksesan Ujian Singgasana

“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).’” (Q.S. An-Naml [27]: 40).

Al-Marâghî (19/131) menguraikan bahwa ketika dihadapkan dengan keajaiban perpindahan singgasana Ratu Balqis, Sulaiman tidak tergoda membanggakan diri. Sebaliknya, ia memahami momen tersebut sebagai ujian spiritual, apakah akan bersyukur dengan mengakui sumber kekuatannya atau mengklaim keberhasilan sebagai prestasi pribadi.

Al-Qurthubî (13/206) memperdalam makna ini dengan penjelasan bahwa syukur sejati adalah “pengikat nikmat yang ada dan pembuka nikmat yang belum ada.” Melengkapi perspektif para ahli tafsir ini, Al-Ghazâlî (1431, 3/344) menyumbangkan wawasan psikologis yang tajam dengan membedakan antara kesombongan (kibr) dan ujub (bangga diri).

Baca juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Menurutnya, kesombongan membutuhkan orang lain yang dipandang rendah, sedangkan ujub hanya membutuhkan diri sendiri yang dipandang tinggi. Sulaiman berhasil menghindari kedua perangkap ini dengan melihat pencapaian spektakuler sebagai ujian, bukan kesempatan untuk meninggikan diri.

Dalam budaya kepemimpinan yang terobsesi dengan pencapaian dan pengakuan, cara pandang Sulaiman menawarkan pemahaman alternatif bahwa kesuksesan bukanlah tujuan akhir, melainkan ujian yang menentukan kualitas spiritual pemimpin.

Poin-Poin Pelajaran

Model kepemimpinan anti kesombongan Sulaiman menawarkan beberapa pelajaran kontekstual untuk direnungkan:

Pertama: Kepemimpinan sebagai Amanah

Di era yang mengagungkan pemimpin yang mengubah segalanya dengan visi pribadi, Sulaiman mengingatkan bahwa jabatan sejati adalah amanah, bukan hak istimewa. Pemimpin hebat tidak terobsesi dengan membangun monumen kebesaran pribadi, melainkan dengan mengelola kekuasaan yang menyejahterakan rakyat.

Kedua: Mengakui Keterbatasan

Berbeda dengan cerita “dari nol” yang sering dipuja, kepemimpinan autentik menyadari peran faktor-faktor di luar kendali pribadi. Di mana kesempatan, keistimewaan, dukungan sistem, dan bahkan keberuntungan. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati yang tulus, bukan pura-pura.

Ketiga: Kepekaan pada Suara Rakyat Kecil

Kemampuan Sulaiman mendengarkan kekhawatiran seekor semut mengajarkan pentingnya pemimpin mempertimbangkan perspektif dari kelompok paling rentan dalam masyarakat. Era digital semakin membuktikan bahwa ide-ide inovatif sering muncul dari pinggiran, bukan dari pusat kekuasaan.

Keempat: Memaknai Ulang Kesuksesan

Dalam budaya yang memuja angka dan pencapaian terukur, sosok Sulaiman menawarkan tolok ukur kesuksesan alternatif, bukan pada pencapaian lahiriah, melainkan pada kemampuan untuk tetap bersyukur dan berkontribusi. Kesuksesan sejati adalah yang tidak mengubah karakter menjadi buruk, melainkan yang memurnikannya.

Penutup

Model kepemimpinan Sulaiman mengundang para pemimpin masa kini untuk merenungkan paradoks yang jarang dibahas: bahwa kebesaran sejati terletak pada kemampuan mengelola kekuasaan tanpa diperbudak olehnya. Dalam era yang didominasi oleh ego dan ambisi pribadi, teladan anti kesombongan Sulaiman bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan resep spiritual untuk mengembalikan keaslian pada kepemimpinan yang semakin terputus dari nilai-nilai luhur. Wallahu ‘alam.

Konsep Pendidikan Keluarga dalam Ibadah Kurban

0

Ibadah kurban dalam Islam bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah simbol ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Namun ada satu dimensi yang jarang dibahas, yakni makna pendidikan keluarga dalam peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail. Dalam momen paling menentukan itu, seorang ayah menerima perintah untuk menyembelih anaknya dan anak itu justru merespons dengan penuh kesabaran dan ketundukan.

Peristiwa itu bukan hanya kisah spiritual, tetapi juga kisah pendidikan rumah tangga. Bagaimana mungkin seorang anak bisa setaat dan sesabar itu? Apa rahasia pendidikan Nabi Ibrahim terhadap Ismail? Dan bagaimana relevansinya bagi orang tua dan anak-anak hari ini?

Komunikasi Seorang Ayah dan Anak

Komunikasi merupakan ruh dari keberlangsungan dunia pendidikan. Dengan adanya komunikasi yang baik, maka isi dari pendidikan dapat tersampaikan kepada objek pendidikan. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail melalui firman Allah Swt. berikut:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Maka ketika anak itu telah sampai pada usia sanggup berusaha bersama ayahnya, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?’ Ia (Ismail) menjawab: ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” (QS. as-Saffat [37]: 102)

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mencapai puncaknya dalam sebuah dialog yang menggugah hati. Di dalamnya tergambar bukan hanya perintah Ilahi, tetapi juga kedalaman hubungan emosional antara ayah dan anak yang dibangun di atas fondasi iman dan kasih sayang.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 7/h. 29) menyatakan bahwa tujuan Nabi Ibrahim memberitahukan mimpinya tersebut kepada anaknya Islamil adalah untuk meringankan baginya sekaligus menguji kesabaran, ketangguhan dan kemauannya untuk taat kepada Allah san taat kepada ayahnya. Ketaatan kepada ayah di sini tentu merupakan pondasi yang kuat dalam mendidik anak menuju predikat berbakti kepada orang tua, terlebih lagi perintah ayah tersebut adalah perintah langsung dari Allah Swt.

Baca Juga: Menyembelih Ego dan Sifat Kepemilikan di Hari Raya Kurban

Ayat ini mencerminkan dialog yang luar biasa antara seorang ayah dan anak. Ibrahim tidak serta-merta memaksakan perintah Allah, melainkan mengajak anaknya berdiskusi. Ini menunjukkan penghargaan terhadap perasaan dan akal anak. Sebaliknya, Ismail menanggapi dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Respons Ismail bukan sekadar bentuk keberanian, tapi hasil dari pola asuh dan pendidikan spiritual yang kuat sejak dini.

Perhatikan bagaimana ayah dan anak berdialog. Nabi Ibrahim tidak serta-merta mengeksekusi perintah mimpi itu. Ia melibatkan anaknya dalam proses spiritual. Padahal ini wahyu! Tetapi beliau tetap membuka ruang dialog, “Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?” Menurut Syafruddin, Jurnal Ilmiah Pendidikan (h. 66), mengemukakan bahwa metode dialog dengan memberikan kesempatan anak untuk menjawab adalah cara yang tepat untuk merangsang anak dalam belajar dan berpikir kritis. Dari sini maka ia akan terlatih untuk mengeluarkan pendapat secara rasional dan mandiri.

Ketaatan Anak: Hasil Didikan, Bukan Keajaiban

Ketaatan Ismail terhadap perintah Allah Swt. bukanlah suatu keajaiban. Melainkan hasil didikan dari Nabi Ibrahim yang penuh dengan nilai spritualitas. Respon Ismail yang sangat menggetarkan melalui kalimat ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ    merupakan tanda ketaatan Ismail kepada ayahnya Ibrahim (Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq/Tafsir Ibnu Katsir, 29).

Kalimat yang maknanya “Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” menurut Hasbie Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’anul Majid (h. 3470) adalah untuk meneguhkan hatinya untuk disembelih. Ismail yakin bahwa ketetapan Allah Swt. tersebut akan mampu dipikulnya tanpa harus berkeluh kesah. Dari sini terlihat bahwa pada diri Ismail terdapat akhlak kepada Allah Swt. yang sangat luar biasa. Terpancar penghayatakan iman yang benar disertai penyerahan diri yang sempurna, serta sabar dan rela terhadap ketetapan Allah Swt. dengan sepenuh-penuhnya.

Baca Juga: Kurban Perasaan Nabi Sulaiman

Hal ini merupakan pelajaran penting dalam keluarga bahwa anak tidak mungkin tiba-tiba menjadi taat dan sabar tanpa proses pendidikan panjang. Bahkan Nabi Ibrahim dalam banyak ayat digambarkan sebagai ayah yang mengajarkan tauhid sejak awal (QS. Al-Baqarah [2]: 132), mendoakan keturunan yang saleh bahkan sebelum punya anak (QS. Ash-Shaffat [37]: 100), memberi contoh nyata dalam amal dan doa (QS. Ibrahim [14]: 40).

Menjadi Ismail-Ismail Kecil di Era Digital

Era digital telah melahirkan banyak anak yang cerdas secara akademik namun rapuh secara spiritual. Sementara itu, tak sedikit orang tua yang begitu sibuk mencari nafkah untuk anak-anaknya, tetapi lupa memberi asupan bagi jiwa dan batin mereka. Peristiwa kurban Nabi Ibrahim dan Ismail memberi pesan bahwa kedekatan ruhani dalam keluarga jauh lebih penting daripada sekadar kedekatan fisik. Anak-anak hari ini tidak menuntut kita untuk menyembelih mereka, tapi mereka menuntut kita untuk membimbing mereka dan menghadirkan Allah dalam percakapan sehari-hari.

Apakah kita pernah mengajak anak berdiskusi soal Allah? Pernahkah kita berkata seperti Ibrahim: “Aku bermimpi bahwa Allah menyuruhku begini. Apa pendapatmu, Nak?” Ataukah selama ini ibadah hanya menjadi rutinitas orang tua yang tidak menyentuh hati anak?

Penutup

Kurban sejatinya bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan menyembelih keakuan, melepas kepentingan diri, dan menyalurkan cinta yang tulus. Kurban adalah latihan kepasrahan dan ketundukan yang paling indah, terlebih lagi jika ditanamkan pertama kali dalam lingkaran keluarga.

Saat Nabi Ismail telah siap untuk disembelih, lalu Allah Swt. menggantikannya dengan sembelihan yang agung, di sanalah pesan besar tersimpan, yakni Allah tidak menginginkan darah, melainkan keikhlasan. Keikhlasan tertinggi tercermin saat seorang ayah membimbing anaknya untuk menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya.

Baca Juga: Ibadah Kurban dan Permasalahan Kontemporer

Zaman sekarang menuntut kurban yang lebih dari sekadar menyembelih hewan. Kita perlu mengorbankan waktu, perhatian, dan hati untuk membimbing anak tumbuh seperti Ismail. Idul Adha seharusnya menjadi momentum untuk membangun ruh keluarga yang Qurani, bukan sekadar seremoni tahunan. Semoga Allah Swt. menjadikan kita sebagai orang tua yang mampu meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim dan membesarkan anak-anak yang berhati seperti Ismail, kokoh dalam iman dan lembut dalam taat. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Empat Pilar Kesejahteraan Negara: Syaikh Musthafa al-Maraghi

0

Kesejahteraan merupakan impian bersama setiap bangsa. Cita-cita ini muncul dari kesadaran kolektif setiap individu dalam kelompok tertentu sehingga terbentuklah sebuah negara yang menjadi wasilah untuk mewujudkan impian tersebut. Namun, jalan mencapainya tidak semata-mata diukur dari pertumbuhan ekonomi atau pembangunan infrastruktur, tetapi mencakup dimensi moral, ilmu, dan stabilitas sosial.

Banyak para ahli dan cendikiawan muslim yang menawarkan strategi guna menggapai kesejahteraan sebuah bangsa. salah satunya adalah gagasan yang disampaikan oleh seorang ulama besar dari al-Azhar Mesir, yaitu Syaikh Musthafa al-Maraghi.

Dalam masterpiece-nya dalam bidang tafsir yang berjudul Tafsir al-Maraghi, beliau menjelaskan bahwa kemakmuran suatu bangsa akan diraih oleh mereka yang mampu mengatur dunia dengan baik, tanpa memandang agama maupun mazhab tertentu.

Hal ini juga sejalan dengan dengan ungkapan yang menyatakan:

الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة

Allah mendukung negara yang adil, bahkan jika itu adalah negara kafir, dan Dia tidak mendukung negara yang zalim, bahkan jika itu adalah negara beriman. [Al-Hisbah fi al-Islam, hal. 7]

Baca Juga: Surah Ali Imran [3]: 103: Menjaga Integrasi Negara

Dalam hal ini, Syaikh Musthafa al-Maraghi menawarkan empat pondasi utama yang dapat menyokong kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 76]

Pertama, dipimpin oleh soerang pemimpin yang ahli, bijak dan adil. Keberadaan seorang pemimpin merupakan hal yang niscaya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia berfungsi untuk mengarahkan, menggerakkan dan menghidupkan seluruh elemen masyarakat menuju tujuan bersama.

Negara yang dipimpin oleh sosok yang berintegritas dan memiliki kapabelitas yang tinggi memiliki peluang untuk makmur sejahtera. Hal ini karena seorang pemimpin yang memiliki kapasitas pengetahuan yang mumpuni akan memiliki langkah yang terstruktur dalam membuat kebijakan. Selain itu, sikap integritas juga penting dimiliki agar nantinya ketika mejalankan tugas dan membuat keputusan ia tidak bertindak zalim dan semena-mena kepada msyarakat.

Kedua, memiliki pasukan militer yang kuat dan terstruktur. Keberadaan kekuatan militer dibutuhkan untuk melindungi suatu negara dari rongrongan bangsa lain. selain itu, kekuatan militer juga berfungsi untuk menjaga stabilitas negara dari pemberontakan dan intervensi internal yang dapat mengancam kesatuan bangsa.

Ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan yang mencakup semua sektor, baik dari pertanian, industri, perniagaan dan lain sebagainya. Lapangan pekerjaan yang sudah tersedia kemudian harus diisi oleh masyarakat agar roda perekonomian berjalan lancar.

Baca Juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 2)

Selain untuk mencari nafkah, bekerja di sektor-sektor yang ada secara tidak langsung juga memberikan kontribusi kepada masyarakat secara umum. Bayangkan saja jika tidak ada petani, maka siapa yang akan menggarap lahan persawahan untuk menghasilkan bahan makanan pokok?

Keempat, mengatur pemerataan tugas dan kewajiban masing-masing individu sesuai job dan pekerjaan mereka. keahlian masing-masing anggota masyarakat tentu berbeda-beda. Sehingga seorang petani hendaknya fokus mengurusi masalah pertanian, jangan sampai ikut campur urusan industri yang bukan bidangnya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pertanian agar tidak ikut campur dalam masalah pertanian.

Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Apabila suatu perkara diserhkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat. HR. Al-Bukhari

Dengan adanya pemerataan seperti ini, diharapkan mayarakat yang bekerja di satu bidang tertentu menjadi lebih profesional dalam pekerjaannya. Profesionalitas ini penting agar sebuah pekerjaan dapat terselesaikan dengan maksimal.

Baca Juga: Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

Dengan adanya empat hal di atas, sebuah negara akan mengalami masa kejayaan. Menurut al-Maraghi, peradaban-peradaban besar seperti Persia, Romawi, kekhalifahan dan kerajaan-kerajaan Islam pernah mendominasi dan menguasai dunia karena dibangun di atas empat pondasi di atas.

Meneladani Integritas Burung Hudhud: Asas Work From Anywhere

0

Tulisan ini diangkat berdasarkan sambutan orasi ilmiah oleh Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dalam salah satu acara. Seorang Mentri Pendidikan Dasar dan Menengah Kabinet Merah Putih tersebut melandaskan kisah absensi burung Hudhud sebagai dasar Work From Aywhere (WFA) yang berlangsung selama 46 detik sebagai berikut:

WFA Work Form Anywhere, itu artinya ya bekerjalah di mana saja anda berada. Saya kira WFA itu adalah contoh dari burung Hudhud yang tidak datang waktu diabsen oleh Nabi Sulaiman. Ketika Nabi Sulaiman ngabsen para pejabatnya, Hudhud tidak hadir sehingga Nabi Sulaiman agak marah “ke mana ini Hudhud kok tidak ada?”, kemudian Hudhud menjawab “saya memang tidak datang, tapi saya kerja”, “bukti kerjanya apa?”, “ada Ratu yang dia itu kaya raya, cerdas, cantik cuma belum masuk Islam”. Itu membuktikan Hudhud sudah Work From Anywhere, kira-kira begitu.

Baca Juga: Kisah Burung Hudhud, Pasukan Intelijen Nabi Sulaiman

Pengertian WFA (Work from Anywhere)

Dilansir dari https://www.bkn.go.id/ tentang Sistem Work From Anywhere (WFA) bagi ASN bahwa WFA secara global dikenal dengan istilah Flexible Working Arrangements (FWA). Bagi ASN, ia adalah sebagian dampak kecil di era VUCA yang berimplikasi pada timbulnya ragam fenomena yang menuntut pemerintah untuk bergerak cepat dan melakukan perubahan demi terjaminnya pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik.

FWA sebagai dasar dari pengembangan konsep WFA di Indonesia didefinisikan oleh PBB/ UN sebagai “penyesuaian terhadap ketentuan waktu dan tempat kerja yang normal di mana ketentuan jam kerja normal dimungkinkan bervariasi antar setiap unit kerja dengan tujuan memungkinkan para pengelola/ pejabat mengimplementasikan “work life-balance” secara optimal sembari memastikan tercapainya sasaran kerja organisasi secara efektif dan efisien”.

Dalam konteks implementasi sistem WFA, terdapat beberapa kode etik bagi ASN. Secara ringkas, ia adalah sikap kolaboratif, adaptif, loyal, harmonis, kompeten, akuntabel dan berorientasi pelayanan. Seluruh sikap tersebut dapat didasarkan secara umum pada asas bersemangat, tanggung jawab, disiplin, kerja sama dan jujur serta pelayanan prima.

Absensi Hudhud dengan sikap loyal dan tanggung jawabnya

Apabila diperhatikan, kisah burung Hudhud dan Nabi Sulaiman paling tidak dapat terlihat secara ringkas pada rangkaian Q.S. Al-Naml [27]: 20-22

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ اَرَى الْهُدْهُدَۖ اَمْ كَانَ مِنَ الْغَاۤىِٕبِيْنَ ٢٠ لَاُعَذِّبَنَّهٗ عَذَابًا شَدِيْدًا اَوْ لَاَا۟ذْبَحَنَّهٗٓ اَوْ لَيَأْتِيَنِّيْ بِسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍ ٢١ فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقَالَ اَحَطْتُّ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ ۢبِنَبَاٍ يَّقِيْنٍ ٢٢

Artinya: “[20]. Dia (Sulaiman) memeriksa (pasukan) burung, lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud?, Ataukah ia termasuk yang tidak hadir?. [21]. Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.” [22]. Tidak lama kemudian (datanglah Hudhud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita penting yang meyakinkan (kebenarannya.)

Berdasarkan refleksi Prof. Mu’ti sebelumnya, paling tidak ditemukan dua poin menarik yang dapat ditangkap. Pertama, tidak terlihat dan tidak hadirnya Hudhud di dalam ayat 20 tetap diiringi oleh rasa tanggung jawab dan loyalitas terhadap Nabi Sulaiman sebagai pemimpin melalui bukti berupa hasil pengamatannya terhadap negeri Saba’ sebagaimana ayat 22. Implikasi dari alasan yang jelas tersebut, Hudhud tidak terkena konsekuensi hukum yang berat atau disembelih sebagaimana ayat 21.

Baca Juga: Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba

M. Quraish Shihab di dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 10, h. 210) berpandangan bahwa Hudhud tidak terbang tetapi menanti di satu tempat untuk memperhatikan kaum Saba’. Hal ini mengindikasikan ketidakhadiran Hudhud tidaklah menafikan sikap loyalnya. Kesedian Hudhud untuk mengantar surat Nabi Sulaiman ke negeri Saba’, baik terhadap sang Ratu maupun masyarakatnya sebagaimana keterangan tafsir ayat 29-31 juga memperkuat adanya sikap tanggung jawab moral sang burung tersebut.

Kedua, bertolak pada konteks kepemimpinan Nabi Sulaiman bahwa beliau tidak tergesa-gesa di dalam menetapkan suatu keputusan. Hal ini didasarkan pada absensi Hudhud yang dipertanyakan Nabi Sulaiman berikut konsekuensinya tetaplah diiringi oleh pengecualian melalui alasan yang jelas.

Kejelasan alasan ini juga sejalan dengan penafsiran M. Quraish Shihab (jilid 10, h. 216) bahwa Nabi Sulaiman tidak segera mengambil sikap membenarkan ataupun mempermasalahkannya, namun bersegera untuk mengambil langkah-langkah progresif berkaitan dengan keyakinan batil kaum Saba’. Dengan demikian, secara tidak langsung Hudhud tidak terkena konsekuensi atas absensinya berdasar bukti penugasan pengiriman surat oleh Nabi Sulaiman sebelumnya.

Baca Juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

Kesimpulan

Berdasarkan kisah Hudhud dan Nabi Sulaiman dalam korelasinya dengan sistem kerja WFA, setidaknya ada dua hikmah teladan yang patut dipetik. Pertama, kehadiran memang poin penting di dalam satu sisi, namun rasa tanggung jawab dan sikap loyal sebagai cerminan sebuah integritas diri juga tidak kalah penting bahkan dapat menjadi hal yang bersifat substansi.

Hal tersebut tentu sejalan dengan tujuan implementasi WFA yang menjadi kode etik bagi para pegawai negeri. Bahkan, sikap tersebut dapat berlaku bagi setiap insan dengan ragam statusnya, seperti status pelajar hingga warga negara dengan tanggung jawabnya masing-masing. Kedua, menghindari sikap berburuk sangka, sering melakukan tabāyun/ klarifikasi, bersikap skeptis terhadap sebuah kebenaran fenomena dan berita sehingga ditemukan bukti-bukti yang kuat.

Hal ini tentu senada dengan sikap integritas moral yang tercermin melalui asas tanggung jawab, jujur dan berorientasi pelayanan prima yang menjadi kode etik dan seharusnya dimiliki oleh para Aparatur Sipil Negara. (wallāhu a’lam)

Mengenal Kitab-Kitab Tafsir dari Kalangan Syiah

0

Tafsir Alquran merupakan salah satu bidang kajian Islam yang terus berkembang dari masa kemasa. Tak hanya dari kalangan Sunni, para ulama dari kalangan Syiah juga telah menghasilkan banyak karya tafsir yang kaya akan pemikiran dan sudut pandang yang khas. Kitab-kitab tafsir ini tidak hanya menunjukkan cara mereka memahami Alquran, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai teologis dari madzhab Syiah itu sendiri. Berikut merupakan beberapa kitab-kitab tafsir dari kalangan Syiah dari abad klasik hingga modern:

  1. Tafsir Al-Qummi

Tafsir Al-Qummi merupakan tafsir klasik dari kalangan Syiah yang ditulis oleh Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qummi di abad ke 3 H. Meskipun ada beberapa ulama dari kalangan Syiah berpendapat bahwa tafsir ini tidak sepenuhnya ditulis oleh Al-Qummi, melainkan muridnya yakni Abu Fadh Abas bin Muhammad. Namun ulama seperti Al-Thusi dan Allamah al-Hilli percaya bahwa tafsir ini ditulis sepenuhnya oleh Al-Qummi. Al-Qummi merupakan seorang ulama Syiah Imamiyah dari kota Qum, Iran. Ia lahir di Kufah, Irak, dan dikenal sebagai tokoh pertama yang menyebarkan hadis Nabi di Qum. Tafsir Al-Qummi memiliki pengaruh besar dalam tradisi Syiah karena banyak dirujuk oleh murid-muridnya, termasuk Al-Kulaini. Tafsir ini dikenal karena kedekatannya dengan sumber ajaran Ahlul Bait, dan sering disebut sebagai cerminan tafsir Imam Ja’far Al-Shadiq.

  1. Asas Al-Ta’wil

Tafsir Asas Al-Ta’wil merupakan karya dari Nu’man Ibn Hayyun. Tidak ada yang mengetahui secara pasti tahun dan tempat kelahirannya. Beberapa pendapat memperkirakan Ia lahir sekitar tahun 283 H atau 302 H, namun kedua pendapat itu dianggap kurang meyakinkan karena tidak didukung oleh data yang kuat. Nu’man Ibn Hayyun bertumbuh dewasa di kota Qairawan, Magrhib, Maroko, pada masa dinasti Fatimiyyah. Dalam tafsirnya, Ia mentakwilkan ayat-ayat tentang kisah para nabi dengan pendekatan  ra’yu ‘aqli (pendapat akal), meskipun sebagian juga menggunakan khabar dan hadis sebagai rujukan. Kitab ini terdiri dari 416 halaman dan dibagi kedalam enam fasal, masing-masing membahas kisah para nabi yang disebut “natiq”, mulai dari nabi Adam hingga nabi Muhammad. Setiap fasal tidak hanya menjelaskan kisah para nabi dalam makna lahiriyah, tetapi juga menafsirkan makna bathiniah dari peristiwa tersebut.

Baca Juga: Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

  1. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an

Kitab Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran yang dikarang oleh Abu Ali al-Fadl bin Al-Hasan Al-Tabarsi, yang lahir di Masyhad , Iran pada tahun 468 H dan wafat di Sabwizar pada tahun 548 H.  Tabarsi merupakan ulama besar Syiah dari abad ke 6 Hijriah dan dikenal sebagai ahli tafsir, fiqih, dan hadis. Tabarsi menulis tafsir ini sebagai nazar setelah selamat dari peristiwa Ajaib, Ia dikira meninggal (mati suri) karena stroke, dikuburkan hidup-hidup, lalu diselamatkan oleh seorang pencuri kain kafan. Tafsir ini selesai ditulis pada bulan Dzulqa’dah tahun 534 H dengan pembahasan yang mencakup aspek Bahasa, gramatika, perbedaan bacaan qiraat, hukum-hukum dalam Alquran, serta pandangan teologis mazhab Syiah. (Tafsir Wal Mufassirun, Juz 2, Hal. 74-75) Selian itu tafsir ini juga menaruh perhatian khusus pada tanasub al-ayat (kesesuaian antara ayat satu dengan ayat yang lainnya). Dari sini, ia dianggap sebagai salah satu mufassir Syiah yang langka karena menaruh perhatian khusus terhadap ilmu munasabat.

  1. Tafsir Al-Shafi

Tafsir Al-Shafi ditulis oleh Muhammad bin Syah Murtadha bin Syah Mahmud, yang dikenal dengan Mulla Muhsin dan juga Al-Fayd Al-Kashani. Ia adalah salah satu tokoh dari kalangan Syiah Imamiyah dua belas (Itsna ‘Asyariyah). Al-Kashani lahir pada tahun 1007 H di Kashan, dan meninggal pada tahun 1091 H. Al-Kashani menganggap motivasi menulis tafsir Al-Shafi ialah permintaan dari ikhwannya unutk menulis tafsir Alquran berdasarkan keterangan dan Riwayat para imam maksum. Tafsir Al-Shafi sendiri terdiri dari 2 jilid dengan metode penafsiran ijmali, dimana tafsir ini menjelaskan ayat-ayat Alquran secara global dan ringkas, kecuali ayat-ayat yang menyangkut tentang aqidahnya, dan juga ayat kisah-kisah dalam Alquran. (Tafsir Wal Mufassirun, Juz 2, Hal. 108-110) Selain itu dalam tafsirnya, Al-Kashani menunjukkan pengaruh kuat dari gaya penulisan Tafsir Baidhawi. Ketika tidak ditemukan Riwayat terkait suatu ayat, Ia cenderung mengutip pernyataan Baidhawi secara persis dengan apa yang ada dalam tafsir Baidhawi, meskipun terkadang disertai sedikit penyesuaian.

Baca Juga: Mengenal Kitab Ahkam Alquran Karya Imam Al-Tahawi

  1. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an

Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an atau biasa dikenal dengan tafsir Al-Mizan dikarang oleh Muhammad Husain Thabathaba’i. Ia lahir di Tibriz pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H/1892 M dan Wafat pada tahun 1402 H/1981 M. Latar belakang penulisan tafsir Al-Mizan berawal dari permintaan para mahasiswa Syaikh Husain Thabathaba’I di Universitas Qum, Iran, yang menginginkan materi tafsir kuliah beliau dibukukan dalam bentuk yang lebih lengkap. Menanggapi permintaan itu Thabathabai Menyusun sebuah tafsir yang Bernama Al-Mizan. Kitab ini diberi nama Al-Mizan karena Syaikh Thabathaba’I ingin menjadikannya sebagai sarana untuk memberikan pandangan yang adil dan kuat bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan, dengan mengutamakan metode penafsiran Alquran dengan Alquran. Selain itu, dalam tafsir ini juga dimuat berbagai pandangan dari ulama klasik dan modern, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Bahkan, dalam beberapa bagian, Ia juga mengkritisi pendapat para ulama tersebut.

Kelima tafsir Syiah diatas cukup menarik untuk dipelajari karena memeberikan sudut pandang yang berbeda dalam memahami isi Alquran. Tafsir-tafsir tersebut juga menawarkan penjelasan mendalam tentang keyakinan dan praktik keagamaan dalam ajaran Syiah. Oleh karena itu, memahami tafsir Syiah tidak hanya bermanfaat bagi penganutnya saja, tetapi juga bisa memperluas wawasan umat Muslim secara umum dalam memahami isi Alquran.