Beranda blog Halaman 2

Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

0
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran
Dua Kata Bermakna Tuhan dalam Alquran

Berbicara tentang agama atau kehidupan, tidak terlepas dari “figur sentral” yang disebut dengan tuhan. Kata ini merupakan poros dan inti dari ajaran baru agama. Di dalam Alquran ada beberapa kata yang menunjukkan pada makna Tuhan. Di antaranya adalah kata “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun”( إِلٰهٌ).

Kata ilahun muncul dalam surah Al-Baqarah ayat 221. Kata rabbun muncul dalam Alquran surah Al-Fatihah ayat 2. Dalam terjemah standar mushaf Indonesia terbitan Kementerian Agama (Kemenag) RI, dua kata ini diartikan sebagai tuhan.

Maka dari itu terdapat kemenarikan untuk mengkaji pembahasan ini dengan mengambil perspektif salah satu ulama tafsir, yakni Ash-Shabuni. Artikel ini akan memaparkan pandangan Ash-Shabuni tentang kedua lafaz bermakna tuhan, yaitu “rabbun”( رَبٌّ) dan “ilahun” ( إِلٰهٌ).

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Rabbun” (رَبٌّ)

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (Q.S. Al-Fatihah: 2).

Dalam kitab Safwat al-Tafasir, Ash-Shabuni menafsirkan kata rabbun yang diambil dari potongan Q.S. Al-Fatihah: 2 sebagai berikut.

“Ar-rabbu (الرَّبُّ) merupakan derivasi dari kata tarbiyah  (تَرْبِيَّةُ), yang memiliki arti memperbaiki perkara-perkara orang lain dan memelihara urusannya. Al-Harawi berkata, dikatakan terhadap orang yang melakukan upaya perbaikan sesuatu dan menyempurnakaannya dengan istilah qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), artinya orang tersebut telah memperbaikinya atau telah mebuat baik baginya. Dari kata Rabbun (رَبٌّ) muncul kata Rabbaniyu (رَّبَّنِيُّوْنَ), karena mereka melaksanakan perbuatan-perbuatan berdasarkan kitab.

Kata Ar-rabbu (الرَّبُّ) dimutlaqkan atas banyak makna, yaitu al-malik artinya pemilik, al-mushlih artinya orang yang membuat baik atau perbaikan, al-ma’bud yang disembah, dan sayyid al-mutha’ artinya tuan yang ditaati.”

Baca juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Keempat makna ini saling melengkapi dan memperkaya pemahaman kita tentang keagungan nama “Ar-rabbu”. Ketika seorang muslim menyebut “Ya Rabb”, ia tidak hanya mengakui Allah sebagai pemilik, tetapi juga sebagai pengatur, pemelihara, yang berhak disembah, dan tuan yang wajib ditaati.

Jika kita tarik lebih dalam, pemaknaan kata rabbun yang didasarkan pada perkataan Al-Harawi qad rabbahu (قَدْ رَبَّهُ), bahwa kata rabbun digunakan untuk menggambarkan tindakan memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu.

Ini sebagaimana contoh penggunaan rabbun dalam salah satu doa yang terdapat dalam Q.S. Ibrahim ayat 14 berikut.

رَبَّنَا ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ ٱلْحِسَابُ

Ya Tuhan kami, berilah ampunan kepadaku, kedua ibu bapaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).

Di sini, “rabbun”  digunakan dalam konteks permohonan kepada Allah sebagai Tuan yang memiliki kekuasaan untuk mengampuni.

Penafsiran Ash-Shabuni pada Lafaz “Ilahun” ( إِلٰهٌ).

وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Menurut As-Shabuni dalam kitab tafsir Safwat al-Tafasir:

“Al-Ilahu (الإله) adalah sesuatu yang disembah, baik benar atau batil. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 163, ilahun ( إِلٰهٌ) di sini bermakna zat yang disembah dengan hak, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam.”

Menurut Ash-Shabuni, surah Al-Baqarah 163, bermakna “Tuhan kalian yang berhak untuk disembah adalah Tuhan Yang Esa. Tidak ada yang menyamainya dalam zat-Nya dan tidak ada pula yang menyamainya dalam sifat-sifat-Nya maupun dalam perbuatan-perbuatan-Nya.”

Baca juga: Sepuluh Perintah Tuhan dalam Alquran dan Al-Kitab: Membaca Argumen Sebastian Günter

Penjelasan Ash-Shabuni mengenai kata “ilahun” yang pada dasarnya berarti sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil, memberikan konteks penting mengapa penekanan dalam Islam adalah pada “ilahun” yang hak, yaitu Allah Swt. bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam zat, sifat, maupun perbuatan.

Begitu pula dengan penafsiran kalimat “La ilaha illallah” yang tidak hanya sekadar peniadaan sesembahan selain Allah, tetapi juga penegasan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah, sumber segala nikmat dan kebaikan.

Kesimpulan Analisis Rabb dan Ilah Perspektif Ash-Shabuni

Menurut Ash-Shabuni, kata rabb (رَبٌّ) dan ilah ( إِلٰهٌ), meskipun keduanya diterjemahkan sebagai “Tuhan”, tetapi memiliki perbedaan konseptual yang signifikan. Rabb memiliki makna yang lebih luas, berakar dari kata tarbiyah yang mencakup kepemilikan, perbaikan, pengaturan, pemeliharaan, ketaatan, hingga penyembahan.

Ini mengimplikasikan peran aktif Tuhan dalam memelihara, membimbing, dan menyempurnakan seluruh alam semesta, baik secara spiritual maupun material. Fokus konseptual rabb terletak pada relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur dengan ciptaan-Nya, mengakui kekuasaan dan bimbingan Allah dalam segala aspek kehidupan.

Baca juga: Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan

Sebaliknya, kata ilah (إِلٰهٌ) secara fundamental merujuk pada sesuatu yang disembah, baik secara benar maupun batil. Dalam konteks Islam, ilah yang hakiki adalah Allah Swt, dan penekanannya terletak pada aspek ketauhidan, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Zat yang berhak diibadahi.

Fokus konseptual ilah tertuju pada akidah dan ibadah, sebagaimana termanifestasi dalam kalimat la ilaha illallah, yang menegaskan keesaan Tuhan dalam peribadatan dan menolak segala bentuk penyekutuan. Dengan demikian, rabb menyoroti peran aktif Tuhan dalam pemeliharaan alam semesta, sementara ilah menekankan keesaan dan hakikat Allah sebagai satu-satunya yang layak disembah.

Tanda Hari Kiamat dalam Q.S An-Naml Ayat 82: Dabbah

0

Kepercayaan terhadap hari kiamat merupakan bagian dari rukun iman, kiamat digambarkan sebagai peristiwa dahsyat yang akan mengakhiri seluruh kehidupan di alam dunia. Sebelum saat itu tiba, berbagai tanda telah disebutkan dalam Alquran dan hadis. Salah satu tanda besar yang disebut secara khusus dalam Alquran adalah kemunculan Dabbah.

Dabbah digambarkan sebagai makhluk dari bumi yang akan berbicara kepada manusia dan menandai kondisi keimanan mereka. Oleh sebab itu, Dabbah menjadi sebuah peringatan tertutupnya pintu taubat. Kehadiran Dabbah tidak hanya menjadi bukti kekuasaan Allah Swt, tetapi Dabbah juga merupakan simbol bahwa batas antara kehidupan dan akhir zaman semakin dekat.

Baca Juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran

Telaah Tafsir Q.S An-Naml Ayat 82

Beberapa tanda hari kiamat secara terang-terangan telah disinggung Allah Swt dalam firman-Nya sebagai peringatan bagi seluruh umat manusia, bahwa akan datang masa akhir kehidupan di dunia. Salah satu tanda besar yang disebutkan dalam Alquran adalah kemunculan Dabbah, yaitu pada surah an-Naml ayat 82, berbunyi:

وَإِذَا وَقَعَ ٱلْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَآبَّةً مِّنَ ٱلْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ ٱلنَّاسَ كَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا لَا يُوقِنُونَ

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya (Jilid 6, hlm. 190), “Binatang tersebut akan keluar saat akhir zaman ketika kerusakan melanda manusia dan sudah berani meninggalkan perintah-perintah Allah Swt serta mengubah agama yang haq. Allah Swt mengeluarkan binatang tersebut dari bumi (sebagian mengatakan di Makkah) dan dapat berbicara dengan manusia.”

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Sufyan dari Furat dari Abi Thufail dari Hudzifah bin Usai dal-Ghifari berkata, “Rasulullah Saw mengawasi kami dari saat mendialogkan tentang hari kiamat, beliau bersabda: ‘Hari kiamat tidak akan terjadi hingga terlihat 10 tanda; Terbitnya matahari dari barat, kepulan asap, binatang (Dabbah), keluarnya Ya’jud dan Ma’jud, keluarnya ‘Isa bin Maryam dan keluarnya Dajjal serta tiga kelongsoran (barat, timur dan Jazirah Arab), api yang keluar di bawah bumi ‘Adn yang menggiring manusia bermalam untuk tidur’.”

Mengutip riwayat dari Muhammad bin Amru al-Muqaddasi dari Asy’ats bin Abdullah as-Sijistani dari Syu’bah dari Athiyah dalam Tafsir Ath-Thabari (Jilid 20, hlm.19-20), “Firman Allah Swt ‘وَإِذَا وَقَعَ ٱلْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَآبَّةً مِّنَ ٱلْأَرْضِ’, maksudnya adalah, apabila mereka tidak melakukan perbuatan baik dan tidak mengingkari kemungkaran.” Diriwayatkan pula dari Abu Kuraib dari al-Asyja’i dari Fudhail bin Marzuq dari Athiyah dari Ibnu Umar “Binatang itu keluar dari retakan yang terdapat di bukit Shafa, seperti larinya kuda, selama tiga hari, yang keluar sepertiganya.”

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Adapun riwayat Ibnu Humaid dari al-Hakam bin Busyair dari Amru bin Qais dari al-Furat  al-Qazzaz dari Amir bin Watsilah Abu Thufail dari Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari, “Ketika binatang itu keluar, sebagian orang melihatnya, lalu mereka berkata, ‘Demi Allah, kami melihat binatang’. Berita itu sampai pada raja, namun raja tidak mampu bertindak.

Binatang itu keluar lagi, mereka mengadu pada raja, namun sang raja tidak melihatnya. Saat binatang itu keluar lagi dan banyak orang menyaksikannya, mereka berbondong masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan salat. Binatang itu datang seraya berkata, ‘Sekarang kalian baru melaksanakan salat?,’ binatang itu pun menumpas orang-orang kafir dan mengusap kening orang-orang mukmin.”

Baca Juga: Tiga Kondisi Kaget Manusia pada Hari Kiamat

Penutup

Dari berbagai riwayat dan penafsiran yang telah dikemukakan, jelas bahwa kemunculan Dabbah merupakan salah satu tanda besar hari kiamat yang memiliki makna mendalam, baik secara teologis maupun eskatologis. Surah an-Naml ayat 82 memberi gambaran bahwa Dabbah muncul sebagai peringatan Allah Swt, khususnya bagi manusia yang telah mengabaikan kebenaran wahyu-Nya.

Keberadaan Dabbah juga sebagai manifestasi kekuasaan Allah Swt yang menunjukkan bahwa setiap janji-Nya pasti terjadi. Pemahaman terhadap ayat ini menuntut refleksi serius atas kondisi keimanan dan ketaatan, agar manusia tidak termasuk golongan yang lalai hingga pintu taubat benar-benar tertutup.

Iqra’: Titik Awal Revolusi Pendidikan dalam Islam

0

Dalam sejarah peradaban Islam, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga merupakan ibadah, pembebasan, dan pembangunan karakter. Menariknya, revolusi besar dalam Islam dimulai bukan dengan perang atau kekuasaan, melainkan dengan satu kata, yaitu iqra’ ; bacalah.

Perintah untuk membaca menjadi perintah pertama dalam Alquran kepada Rasulullah Saw. dalam Surat al-‘Alaq ayat 1-5 yang menjadi ayat pertama yang diturunkan, Alah Swt. berfirman:

{قْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 1 – 5]

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1–5)

Baca Juga: Perintah Iqra’: Dari Gua Hira hingga Layar Gawai

Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca secara literal, tetapi merupakan panggilan intelektual dan spiritual untuk menggali ilmu dalam bingkai tauhid. Menurut Syaikh Izzat Darwazah, ayat-ayat ini menekankan akan pentingnya kegiatan-kegiatan intelektual sepetti membaca menulis dan menuntut ilmu. Sebab ilmu pengetahuan, berikut perantara untuk memperolehnya, merupakan nikmat terbesar yang diterima oleh umat manusia. [Al-Tafsir al-Hadis, Juz 1, 317]

Dalam hal ini, Alquran sebagai sumber utama syariat Islam memberikan landasan teologis yang paling otoritatif terkait pentingnya kedudukan ilmu pengertahuan. Ia menjadi penggerak geliat keilmuan umat manusia, khususnya umat Islam yang pada akhirnya melahirkan peradaban yang maju. Karena tidak ada peradaban maju di dunia ini kecuali dilandasi dasar intelektual yang kuat.

Dalam Tafsir al-Munir, Syaikh Wabah al-Zuhaili bahwa membaca dan menulis merupakan dua instrumen keilmuan yang memicu perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Proses transmisi ilmu termasuk wahyu Alquran juga tidak akan lepas dari kegiatan membaca dan menulis. Dengan ilmu pengetahuan, kemajuan dalam bidang ilmu, sains, karakter dan tata negara akan diraih sehingga muncul peradaban baru yang maju. [Tafsir al-Munir, Juz 30, 319]

Jika dilihat pada konteks sejarah, masyarakat Arab sebelum Islam berada dalam kondisi jahiliyah minim literasi, tidak memiliki tradisi keilmuan yang kuat, serta dipenuhi dengan takhayul dan ketidakadilan. Namun hanya dalam waktu beberapa dekade setelah turunnya wahyu, umat Islam berubah menjadi peradaban ilmu yang gemilang. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Semua itu berawal dari perintah iqra’ yang menggugah kesadaran umat

Baca Juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Sayangnya, semangat iqra’ yang revolusioner ini mulai meredup dalam sistem pendidikan modern yang seringkali terlepas dari nilai spiritual. Ilmu dipandang sebagai alat semata untuk mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Banyak lembaga pendidikan yang lebih menekankan capaian akademik dibanding pembentukan karakter dan akhlak.

Padahal dalam Islam, ilmu yang hakiki adalah ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’), yaitu ilmu yang mampu menumbuhkan keimanan, memperbaiki diri, dan memberi manfaat bagi masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda:

من ازداد علماً ولم يزدد هدى لم يزدد من الله إلا بعداً

Barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah hidayahnya maka ia hanya akan bertambah jauh dari Allah Swt. (HR. Al-Dailamiy)

Semangat iqra’ harus dihidupkan kembali, terutama dalam dunia pendidikan hari ini. Membaca bukan hanya tugas siswa di ruang kelas, tetapi menjadi panggilan seumur hidup bagi siapa pun yang ingin hidup dengan penuh makna. Belajar bukan semata untuk mengejar gelar, tetapi untuk menunaikan amanah sebagai khalifah di bumi.

Sebagai penutup, wahyu pertama ini bukan hanya awal dari turunnya Alquran, tetapi juga pondasi utama sistem pendidikan Islam. Pendidikan yang islami adalah pendidikan yang menumbuhkan ilmu, iman, dan akhlak secara seimbang. Maka dari itu, mari kita kembalikan ruh iqra’ ke dalam setiap ruang belajar, agar generasi saat ini tumbuh sebagai insan berilmu yang beriman dan bertanggung jawab.

Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan

0
Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan
Harmonisasi Alquran dan Oseanografi: Fenomena Dua Lautan (sumber: Unsplash).

Kilauan mutiara yang memukau dan pesona warna-warni marjan telah lama memikat hati manusia, menjadi simbol keindahan dan kekayaan alam. Namun, tahukah Anda bahwa Alquran, telah menyingkap tabir di balik fenomena menakjubkan ini berabad-abad yang lalu?

Dalam surah Ar-Rahman ayat 19, Allah Swt. berfirman tentang “dua lautan” yang bertemu, dan ayat 22 menyebutkan bahwa dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Lantas, apa sebenarnya makna “dua lautan” ini, dan bagaimana karunia berupa mutiara dan marjan ini terwujud di alam semesta yang luas?

Agus S. Jamil, seorang pemikir yang mendalami khazanah Alquran dengan sentuhan ilmu pengetahuan modern, menawarkan perspektif yang menarik dan relevan. Pemikirannya mengajak kita semua untuk lebih memperluas makna suatu ayat yang telah diturunkan berabad-abad yang lalu dapat selaras dengan penemuan modern tentang kompleksitas lautan.

Interpretasi Ayat tentang Pertemuan Dua Lautan dalam Perspektif Kontemporer

Q.S. Ar-Rahman ayat 19-22 berbunyi sebagai berikut.

يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ. فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ. بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيَانِ. مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.

Diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, terkait firman Allah “keduanya kemudian bertemu” menurut Ibnu Zaid, Allah Swt. mencegah keduanya bertemu dengan menjadikan pemisah antara keduanya. Yang dimaksud dengan “dua lautan” adalah air asin dan air tawar. Air asin di sini diartikan sebagai laut sedangkan air tawar diartikan sebagai sungai-sungai.

Namun, menurut Agus S Djamil dalam bukunya, Al-Quran Menyelami Rahasia Lautan, apabila dua lautan tersebut dikatakan sebagai air laut dan air tawar, maka dua lokasi tersebut akan sulit ditemukan al-lu’lu’ wa al-marjan (Q.S. Ar-Rahman:22) yang ditafsirkan sebagai mutiara dan marjan/koral karang.

Baca juga: Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

Mutiara dan koral karang hanya dapat hidup pada kawasan laut yang jernih, dangkal, dan mendapatkan cahaya matahari yang cukup hangat. Sedangkan di muara sungai biasanya dipenuhi dengan lumpur, pasir, bebatuan serpih, dan batang kayu yang dibawa dari hasil erosi di daratan.

Kondisi ini mengakibatkan air sungai menjadi keruh yang mengandung berbagai endapan bahan organik seperti batang kayu. Hal ini menjadikan mutiara dan koral karang tidak dapat tumbuh di daerah tersebut. Karena pada umumnya, koral karang tumbuh pada perairan jernih dan hangat, tetapi kaya akan nutrisi yang menjadi bahan makanannya.

Oleh sebab itu, oleh Agus S Jamil, “dua lautan” dalam Q.S. Ar-Rahman: 19 diartikan sebagai laut dangkal dan laut dalam. Yang menjadi pembatas antara keduanya adalah batas paparan, self margin, di mana kondisi masih dangkal, jernih, hangat, tetapi terdapat suplai plankton cukup banyak yang didorong oleh aliran arus laut dari laut dalam yang dingin dan gelap.

Baca juga: Fenomena Api Di Dasar Laut dalam Tafsir Surah At-Tur Ayat 6

Hal ini mengingatkan kita terhadap kekuasaan Allah yang menunjukkan rezeki bagi manusia yang mata pencahariannya bergantung terhadap laut. Misalnya ketika terdapat aliran yang mengandung banyak plankton naik ke permukaan laut, maka dapat dipastikan pada kawasan tersebut terdapat banyak ikan.

Interpretasi ini memberikan dimensi baru dalam memahami bagaimana Alquran, meskipun diturunkan berabad-abad lalu, dapat selaras dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern tentang kompleksitas lautan. Interpretasi ini juga memperkuat pemahaman akan keajaiban ciptaan Allah yang menciptakan kondisi spesifik yang mendukung kehidupan dan menghasilkan keindahan.

Relevansi Konsep Pertemuan Lautan Skala Besar sebagai Manifestasi Karunia Ilahi

Lalu apakah pertemuan dua lautan dalam skala besar dapat dipahami dalam konteks karunia di ayat-ayat tersebut? Misalnya pertemuan antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia yaitu kawasan Indonesia terdapat karunia Allah yang bernilai bagaikan al-lu’lu’ wa al-marjan?

Agus S Jamil berpendapat bahwa apabila penafsiran al-lu’lu’ wa al-marjan hanya dibatasi kepada mutiara dan karang, jelas keduanya sulit atau bahkan tidak ditemui di muara sungai. Maka dari itu perlu adanya perluasan makna dari kata ini. Yaitu diartikan al-lu’lu’ wa al-marjan sebagai karunia yang amat bernilai dan berharga.

Ketika al-lu’lu’ wa al-marjan diartikan sebagai karunia maka pertemuan antara sungai dengan laut pun merupakan tempat yang memiliki banyak karunia. Karunia di sini bisa berupa cadangan sumber daya lain, seperti minyak bumi dan gas alam yang tidak kalah bernilai dan berharga dari mutiara dan karang.

Baca juga: Mensyukuri Eksistensi Laut Bagi Umat Manusia

Interpretasi Agus S. Jamil yang memperluas makna “al-lu’lu’ wa al-marjan” sebagai karunia Allah yang amat bernilai dan mengaitkannya dengan pertemuan dua lautan skala besar seperti di Indonesia sangat relevan dan memberikan pemahaman yang lebih luas terhadap ayat-ayat dalam surah Ar-Rahman.

Kekayaan alam Indonesia, baik berupa keanekaragaman hayati laut, sumber daya perikanan, maupun potensi sumber daya alam lainnya di wilayah pertemuan laut, dapat dipandang sebagai manifestasi dari karunia Allah yang nilainya setara dengan keindahan dan kemewahan mutiara dan marjan. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk lebih mengapresiasi ayat-ayat Alquran dalam konteks kekayaan alam yang kita miliki.

Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur

0
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur
Meningkatkan Literasi Keuangan sebagai Bentuk Syukur (sumber: pixabay)

Setiap kali mendapat rezeki—gaji, hadiah, hasil jualan, atau sekadar uang jajan—banyak orang yang terbiasa mengucap “Alhamdulillah.” Namun, muncul pertanyaan penting: apakah ucapan syukur itu cukup? Dalam Islam, syukur bukan sekadar kata-kata. Ia adalah bentuk kesadaran yang dalam yang seharusnya tercermin dalam perbuatan. Salah satu bentuk paling nyata dari rasa syukur kepada Allah atas rezeki-Nya adalah dengan mempelajari literasi keuangan, yaitu memahami cara mengelola, membelanjakan, dan mengembangkan uang secara bijak dan bertanggung jawab.

Al-Qur’an menyampaikan pesan yang sangat jelas tentang pentingnya bersyukur. Dalam surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman, “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Ayat ini bukan hanya janji tentang bertambahnya rezeki, tapi juga peringatan bahwa mengabaikan amanah rezeki bisa membawa pada kerugian. Maka, mengelola uang secara bijak adalah bentuk nyata dari rasa terima kasih kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki. Namun, bagaimana sebetulnya bimbingan Al-Qur’an dalam mengelola keuangan?

Keseimbangan dalam Membelanjakan Harta

Pertama-tama, Al-Qur’an menanamkan prinsip keseimbangan dalam membelanjakan harta. Dalam surah Al-Furqan ayat 67, Allah menyebutkan bahwa hamba-hamba-Nya yang baik adalah mereka yang tidak boros, tidak pula kikir, melainkan berada di tengah-tengah.

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ۝٦٧

Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.

Buya Hamka saat menafsirkan ayat ini pada Tafsir Al-Azhar menulis bahwa “dua sikap itu, royal dan bakhil, terhadap harta benda adalah alamat jiwa yang tidak ‘stabil’.” Ia menegaskan bahwa sifat boros mencerminkan kurangnya pertimbangan dan ketidakmampuan memikirkan masa depan, sementara kebakhilan adalah penyakit yang membuat seseorang tidak memanfaatkan hartanya sebagaimana mestinya.

Harta, menurutnya, harus diperlakukan sebagai “pemagar maruah, penjaga kehormatan diri,” bukan untuk diperbudak. Prinsip ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pengelolaan keuangan secara bijak, proporsional, dan bertanggung jawab—bukan hanya demi kelangsungan hidup pribadi, tetapi juga demi menjaga keseimbangan sosial dan kehormatan diri.

Memberikan Hak Orang Lain

Salah satu indikator bahwa seseorang memahami literasi keuangan dengan baik adalah kemampuannya untuk tidak hanya mengelola uang untuk dirinya sendiri, tetapi juga memahami tanggung jawab sosialnya. Dalam Islam, harta bukan sepenuhnya milik pribadi. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Isra ayat 26-27 agar manusia memberikan hak kepada kerabatnya dan orang miskin serta menghindari pemborosan.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيراً ﴿٢٦﴾ إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً ﴿٢٧﴾

Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.

Baca juga: Tawakal dan Rezeki: Menyeimbangkan Kepasrahan dan Usaha

Buya Hamka menafsirkan dua ayat ini dengan menekankan pentingnya berbagi kepada keluarga yang membutuhkan sebagai bentuk penguatan ikatan kekeluargaan. Ia menyebut bahwa rezeki tidak terbuka merata, “berhaklah keluarga itu mendapat bantuan dari kamu yang mampu.” Namun, di sisi lain, ia mengingatkan agar tidak terjebak dalam pemborosan.

Ia memilih kata “boros” sebagai padanan dari mubazzir, dan mengutip Imam Syafi’i bahwa mubazir adalah “membelanjakan harta tidak pada jalannya.” Sikap boros ini, menurut Hamka, bukan hanya soal jumlah, tetapi juga soal kesesuaian tujuan dan cara, karena bahkan pengeluaran yang sedikit pun bisa jadi mubazir jika tidak pada tempatnya.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 261, Allah bahkan mengumpamakan infak di jalan-Nya seperti biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, dengan setiap tangkai menghasilkan seratus biji. Ini adalah gambaran betapa besar balasan bagi mereka yang bersedekah. Maka, mengelola keuangan dengan menyisihkan untuk kebaikan bukanlah kerugian, justru itu adalah investasi abadi.

Bekerja, Bersungguh-sungguh, dan Merasa Cukup

Meningkatkan literasi keuangan juga berarti memahami pentingnya usaha yang halal dan mengelola pendapatan. Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10, Allah mendorong umat Islam untuk mencari karunia-Nya setelah menunaikan salat Jumat.

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۝١٠

Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.

Ayat ini menjadi motivasi agar umat Islam tidak pasif, tetapi aktif mencari nafkah. Literasi keuangan yang sehat harus dimulai dari kesadaran akan pentingnya bekerja dan menghasilkan pendapatan secara jujur. Namun, semua itu perlu dibarengi dengan sikap merasa cukup—tidak berlebihan dalam konsumsi dan tidak selalu merasa kekurangan. Rasa cukup ini pula yang ditekankan dalam surah Al-Baqarah ayat 172:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ ۝١٧٢

Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.

Makan dari yang baik tidak hanya berarti halal dan sehat, tetapi juga dalam batas yang wajar dan penuh kesyukuran. Inilah nilai utama dalam literasi keuangan dalam Islam, yaitu mengelola uang bukan semata untuk memperkaya diri, tetapi agar bisa hidup layak, berbagi, dan tetap rendah hati.

Baca juga: Sejarah Legalitas Pungutan Pajak dalam Islam

Bayangkan dua orang. Yang pertama selalu mengucap “Alhamdulillah” saat menerima gaji, tetapi langsung menghabiskannya tanpa perencanaan, membeli barang tak penting, lupa sedekah, dan tak punya simpanan masa depan. Yang kedua, juga mengucap “Alhamdulillah,” namun ia membuat anggaran bulanan, menyisihkan untuk orang tuanya, rutin bersedekah, dan menabung.

Yang pertama mengandalkan syukur lisan, yang kedua mengamalkan syukur dengan literasi keuangan. Di situlah bedanya, syukur sejati tidak berhenti di mulut, tapi tercermin dalam kebiasaan mengelola harta yang bijak dan bertanggung jawab.

Akhirnya, perlu kesadaran bahwa setiap keputusan keuangan—apakah akan membeli, memberi, atau menyimpan—adalah bagian dari bentuk ibadah dan rasa syukur. Literasi keuangan bukan sekadar keterampilan, tetapi juga cermin dari kedewasaan diri dalam memperlakukan rezeki yang Allah berikan.

Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran

0
Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran
Pendekatan Neuroteologi dalam Memahami Alquran (sumber: pixabay).

Apa sih kaitannya neuroteologi dengan Alquran? Menurut Dr. Al-Qadhi, ternyata membaca dan menghayati Alquran itu bukan sekadar ibadah semata, tetapi juga membawa manfaat bagi ketenangan jiwa dan kesehatan mental. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa tilawah Alquran dapat merangsang bagian otak yang berhubungan dengan ketenangan dan keseimbangan emosional (Analisis Tingkat Intensitas Membaca Alquran Terhadap Kesehatan Mental Pada Mahasiswa/i UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, 2024).

Dengan menggabungkan neuroteologi dan studi Alquran, kita bisa melihat bagaimana wahyu Allah berperan dalam kehidupan manusia, baik secara spiritual maupun ilmiah. Pendekatan ini membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan mental dan emosional. Mari kita simak di pembahasan berikut.

Definisi Neuroteologi

Neuroteologi merupakan bidang ilmu yang istimewa karena mengkaji keterkaitan antara fungsi otak dan aspek-aspek keagamaan, atau lebih luasnya, antara kesadaran batin dan pengalaman spiritual. Dengan kemajuan dalam riset neurosains, disiplin ini mulai menarik perhatian lebih luas di kalangan ilmuan dan pemikir agama (Mencari Tuhan di dalam Otak? Mengurai Prinsip-prinsip Dasar Neuroteologi, 2023).

Beragam buku dan artikel ilmiah berkualitas telah diterbitkan untuk mengeksplorasi tema ini. Kajian tersebut lahir dari dialog yang terbuka, rasional, dan kritis antara ilmu pengetahuan modern, teologi, dan agama. Sebagaimana lazimnya dalam pertemuan dua dunia yang berbeda, muncul pula berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mempertanyakan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang jernih secara filosofis dan ilmiah agar diskusi ini tetap berada pada jalur yang konstruktif.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan

Walaupun demikian, gagasan mengenai hubungan antara pikiran dan spiritualitas sebenarnya bukan hal baru. Sejak dahulu kala, para filsuf dan pemikir telah mencoba memahami bagaimana pengalaman religius berakar dari dimensi terdalam kesadaran manusia. Kini, dengan bantuan teknologi mutakhir seperti neuroimaging, pertanyaan-pertanyaan klasik tersebut dapat ditinjau kembali melalui lensa sains modern yang berbasis data empiris.

Neuroteologi dan Alquran

Q.S. Al-Isra: 70 berbunyi sebagai berikut.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa Allah Swt. menganugerahkan keistimewaan kepada manusia berupa akal, sebuah kemampuan unik yang menjadikannya makhluk yang mampu menyelami hakikat segala sesuatu. Dengan akal yang dalam pemahaman ilmiah modern terletak pada otak, manusia diberi kecerdasan untuk memahami isi wahyu, seperti Alquran, serta menalar dan mengambil pelajaran darinya.

Baca juga: Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran

Potensi ini juga membuat manusia mampu mengembangkan berbagai aspek kehidupan: mulai dari cara memproduksi makanan, bertani, berdagang, hingga menciptakan dan memahami bahasa. Semua itu tak lepas dari kapasitas otaknya dalam mengelola informasi, menganalisis pola, dan membangun sistem yang teratur.

Otak manusia juga menjadi alat penting dalam membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, baik dalam urusan dunia maupun dalam menjaga nilai-nilai agama. Kemampuan menilai dan membuat keputusan moral ini menunjukkan bahwa akal bukan sekadar sarana berpikir rasional, tetapi juga pusat kesadaran spiritual yang memungkinkan manusia memahami petunjuk Allah dengan lebih dalam.

Penutup

Neuroteologi membawa kita pada pemahaman baru bahwa proses spiritual bukanlah sesuatu yang terpisah dari sistem biologis manusia, melainkan sangat terkait erat dengan fungsi otak. Dalam Alquran, ajakan untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal menunjukkan bahwa wahyu ditujukan kepada manusia yang sadar, cerdas, dan aktif secara mental.

Otak sebagai pusat kesadaran dan nalar menjadi sarana utama untuk menangkap kedalaman makna Alquran. Dengan demikian, semakin dalam seseorang mengaktifkan potensi akalnya dalam membaca dan mentadabburi ayat-ayat suci, semakin besar pula kemungkinan munculnya kesadaran spiritual yang utuh.

William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

0

Living Qur’an sebagai kajian yang tenar digandrungi sarjanawan bukanlah menjadi kajian yang hanya spesifik dikaji di Indonesia. Sesuai dengan namanya, ide gagasan penelitian ini adalah bahwa adanya kajian atas Alquran yang bukan hanya berkutat pada teks saja.

Secara garis besar, kajian ini mencakup dua dimensi: oral dan teks. Banyak istilah yang digunakan untuk memotret fenomena ini, misalnya, Natalia K. Suit menyebutnya Quranic Matters (Materialitas Alquran) (Qur’anic Matters: Material Mediations and Religious Practice in Egypt [Bloomsbury Studies in Material Religion).  Sementara itu, meskipun Farid Essack belum secara spesifik menamai fenomena ini, ia telah menyadarinya dan menorehkannya pada buku yang berjudul The Qur an: A User’s Guide pada bab 1.

Pada prinsipnya, apa yang disebut materialitas Alquran ini merupakan sebuah fenomena yang ada bahkan sejak zaman Nabi Saw., dan tidak selalu linier atau termaktub dalam teks Alquran, namun eksistensinya ada dan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Tulisan ini hendak melihat tulisan William Graham dan Kermani yang berjudul “Recitation and Ashtetic Reception” dalam The Cambridge Companion To The Qur’an.

Baca Juga: Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik

Pertama-tama, tulisan ini secara garis besar mencakup dua pembahasan besar: pertama, objek material, yakni ragam temuan Graham terhadap fenomena pembacaan Alquran dalam berbagai kondisi dan aspek. Kedua, analisis. Pada bagian ini ia melihat makna yang terselubung atas adanya fenomena pada pembahasan pertama.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dua dimensi yang ada pada Alquran: oral dan teks. Pada bagian pertama, penjelasan terkait fenomena pembacaan Alquran dijelaskan dalam sepuluh keadaan, mulai dari hal-hal yang bersifat privat sampai publik.

Pertama, membaca Alquran (Qiraah/tilawah) merupakan satu bentuk kesalehan yang telah melekat bagi tiap muslim. Dalam tulisannya, ia juga mengulas bahwa adanya varian dialek pembacaan Alquran yang disebut dengan qiraah. Pembacaan yang lain adalah dengan melihat makna, struktur bahasa atau biasa disebut dengan tafsir. Tak lupa, ia mengulas tajwid dan qiraah.

Aspek lainnya yang menjadi sorotan adalah pembacaan Alquran dalam praktik kesalehan muslim tiap harinya. Selain itu, pembacaan Alquran juga mnejadiritual wajib pada peribadatan muslim seperti salat. Alquran juga dipraktikkan pada pendidikan tiap uslim mana kala ia tumbuh. Ia dipelajari, mula-mulanya, tidak untuk memahami maknanya, melainkan untuk dapat membacanya dengan tartil. Hal itu terjadi pada muslim baik itu yang faham bahas arab maupun tidak.

Dari banyak sisi Alquran itu dibaca, ia juga hidup baik di komunitas komunal maupun kehidupan privat. Sebagai contoh, perlombaan membaca Alquran, membaca Alquran pada malam bulan ramadhan atau menjelang salat wajib di masjid  adalah beberapa fenomena yang ada di kehidupan komunal. Sementara itu, pada kehidupan yang lebih privat, Alquran dibaca pada ritual seperti zikir, pada momen melahirkan, dan kematian.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Resepsi Estetik Alquran

Bagian kedua menjelaskan tentang aspek resepsi dari semua objek material yang telah dijelaskan sebelumnya. Sederhananya, resepsi adalah bentuk penerimaan atas seusatu. Pertanyaannya, apa nilai resepsi estetik pada Alquran?

Selain sebagai kitab pedoman yang harus diikuti isinya, Alquran memuat nilai-nilai estetik. Hal ini dapat dilihat dengan feomena sebelumnya, bagaimana masyaratkat meembacanya secara tartil. Hal itu bukanlah berjalan dengan sendiri, melainkan perintah tuhan (Allah) yang termaktub dalam kitab ini (Muzammil [73] ayat 4).

Untuk itu, Graham juga menyinggung bahwa praktik membaca Alquran secara tartil telah dipraktikkan pada zaman Nabi Saw. dan berhasil menarik banyak orang, khususnya masyarakat Arab untuk masuk Islam. Hal itu bukan karena isi atau ajarannya, melainkan mereka tertarik dari sisi estetiknya.

Baca Juga: Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

Hal yang tak luput dari penjelasan Graham adalah mengenai i’jaz Alquran. Sebagai teks yang berasal dari tuhan, keistimewaan Alquran ada pada keindahan bahasa dan tak dapat ditiru baik dari isi maupun struktur kalimat. Ia juga memperkaya perbendaharaan Bahasa Arab. Banyak karya sastra maupun ilmu kebahasaan yang muncul pasca diturunkannya Alquran.

Solusi Alquran Menghadapi Fenomena Religious Trauma

0

Belakangan ini, dunia maya digegerkan dengan isu religious trauma. Sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa agama yang seharusnya menjadi tempat menentramkan dan menenangkan bagi jiwa semua penganutnya, justru menjadi suatu hal yang menakutkan. Terlebih fenomena trauma ini marak terjadi pada agama Islam. Pasalnya, fenomena semacam ini sebetulnya didatangkan dari bagaimana agama disampaikan, bukan ajaran agamanya yang salah.

Etika Dakwah yang Diajarkan dalam Alquran

Hakikatnya, Islam merupakan agama raḥmatan li al-‘ālamīn. Agama yang membawakan kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Dan hendaknya, tindakan amar ma’rūf nahi munkar kepada sesama muslim dilakukan dengan penuh kasih sayang, didasarkan atas ilmu, tanpa menghakimi dengan cara yang kurang dibenarkan. Sebagaimana hal ini telah disinggung dalam surah al-Naḥl ayat 125 berikut.

ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.

Ayat tersebut mencerminkan bagaimana cara menyampaikan dakwah yang baik dan benar. Menyeru pada kebenaran haruslah dibangun di atas dasar ilmu dan pendekatan yang bijak. Sebagaimana ayat menyampaikan, bahwa dakwah hendaknya dengan hikmah dan al-mau’iẓah al-ḥasanah.

Dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, sederhananya, makna al-ḥikmah ialah menghadirkan kebenaran kepada jalan Tuhan dengan argumentasi yang kuat dan logis berdasarkan ilmu, mampu dicerna dan diterima dengan baik, bersama dengan pemahaman karakter dan kondisi orang yang diseru kepada jalan kebenaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Hal ini dapat dipelajari dari salah satu kisah Rasulullah dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad oleh Abu Umamah [Musnad Ahmad, 36/545], berkata: Suatu ketika, datang seorang pemuda kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata,
“Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”

Para sahabat yang mendengar itu geram dan ingin menghardiknya. Namun Nabi ﷺ tidak marah. Beliau malah dengan tenang mendekatkan diri secara emosional dan intelektual kepada si pemuda, lalu bertanya dengan nada lembut:

“Apakah engkau rela jika (zina itu) dilakukan terhadap ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”
Rasul pun melanjutkan: “Begitu juga orang lain tidak rela jika itu dilakukan terhadap ibu mereka.”

Kemudian beliau bertanya hal serupa tentang anak perempuan, saudari, dan bibi si pemuda—dan setiap kali dijawab “tidak”, Rasulullah ﷺ memberikan logika timbal balik yang menyadarkan pemuda itu tanpa kekerasan, tanpa celaan, melainkan dengan pendekatan logis dan hati-hati. Setelah itu, Rasulullah ﷺ meletakkan tangannya di dada si pemuda dan mendoakannya. Maka sejak saat itu, pemuda tersebut tidak pernah tertarik lagi kepada zina.

Inilah al-ḥikmah yang dimaksud. Rasulullah ﷺ menyampaikan kebenaran dengan dalil akal, bukan langsung vonis hukum. Selain itu, beliau memahami bahwa yang dihadapi adalah seorang pemuda dengan gejolak syahwat, bukan penentang agama. Maka tindakan tepat dalam menghadapi hal demikian adalah dengan pendekatan argumentatif dan rasional, bukan malah dengan kekerasan atau debat di atas nafsu.

Selain menyeru kebaikan dengan al-ḥikmah, juga perlu dengan al-mau’iẓah al-ḥasanah. Yakni dengan ajakan yang menyentuh hati, melunakkan jiwa, dan memotivasi seseorang agar melakukan kebaikan dan meninggalkan tindakan batil. Mau’iẓah bersifat lebih emosional, menyapa perasaan, dan menggunakan gaya bahasa yang lebih lembut.

Kata ḥasanah atau baik, dalam ayat ini menunjukkan bahwa nasihat harus disampaikan dengan cara yang lembut, penuh kasih, dan mudah diterima oleh pendengarnya. Bukan dengan celaan atau kekerasan, melainkan dengan pendekatan yang membuat orang merasa dihargai dan mau memilih berubah atas dasar kesadaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Re-humanisme Dakwah Islam

Akar masalah dari religous trauma berasal dari cara penyampaian yang kurang tepat, mengajak kebaikan dengan ancaman siksa dan azab Allah tanpa disertai dengan rahmah-Nya yang tidak terbatas luasnya. Sebagai salah misal, perempuan tidak berjilbab, dihantui ancaman siksa neraka yang kelak akan menarik rambut mereka di atas api neraka.

Alangkah baiknya, jika disampaikan dengan: perempuan akan lebih terjaga kehormatannya dengan menutup anggota tubuh yang sangat berharga. Allah mencintai hambanya dengan memerintahkan menutup aurat, anugerah dari-Nya yang amat berharga yang tidak boleh sembarang orang boleh melihatnya.

Di balik ancaman siksa dan azab dalam Alquran, sejatinya selalu tersimpan pesan kasih sayang dan peringatan yang mendidik. Allah tidak serta merta menakut-nakuti hamba-Nya tanpa memberikan harapan. Bahkan, dalam banyak redaksi ayat, Allah selalu mendahulukan sifat rahmat-Nya sebelum menyebut azab. Lihatlah bagaimana Allah berfirman dalam surah al-A‘rāf ayat 156:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…

Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah Islam tidak boleh kehilangan rasa kemanusiaannya. Tidak cukup hanya menyampaikan hukum, tanpa menyentuh nurani manusia yang sedang terluka atau tersesat. Ketika seseorang sedang menjauh dari agama karena trauma, maka tugas para pendakwah bukan menambah luka, melainkan menjadi jembatan untuk kembali.

Inilah yang dimaksud dengan re-humanisme dakwah Islam—mengembalikan wajah dakwah kepada wajah yang ramah, membumi, dan penuh kasih. Bukan hanya berbicara tentang hukum, tapi juga tentang kasih sayang, pengampunan, dan pelukan-Nya yang selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin kembali.

Baca Juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Menghadapi fenomena religious trauma bukan dengan menjauh dari agama, tetapi dengan mengembalikan agama kepada wajah aslinya. Maka, mari kita menjadi bagian dari generasi dakwah yang memeluk, bukan memukul; yang mendidik, bukan menghakimi.

Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna

0
Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna
Penetapan Waqaf Ideal: Antara Akhir Ayat dan Keterkaitan Makna (sumber: Unsplash).

Bagi pembaca Al-Qur’an, memahami ilmu waqaf dan ibtida merupakan perkara sunah. Ibnu Al-Jazari (w. 833 H) menegaskan bahwa tidak sedikit anjuran para imam qari untuk mempelajari dan memhami disiplin ilmu waqaf dan ibtida. Begitu juga dengan Al-Syuyuthi (w. 911 H) yang menyebut bahwa mengetahui waqaf dan ibtida menjadi urgensi penting di dalam memahami pemaknaan Al-Qur’an dan berimplikasi sebagai wasilah di dalam pengambilan dalil-dalil syari’at. Dasar argumentasi ini diambil oleh Al-Syuyuthi berdasar Q.S. Al-Muzzammil [73]: 4:

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ

Bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan dengan bacaan yang baik dan benar.

Dengan mengutip penafsiran Ali bin Abi Thalib, Al-Syuyuthi menyebut bahwa al-tartīl diartikan sebagai tajwīd al-ḥurūf (memperindah huruf) dan ma’rifat al-wuqūf (mengetahui bacaan waqaf). Namun demikian, Al-Zarkasyi (w. 794 H) tetap menegaskan bahwa disiplin waqaf dan ibtida merupakan seni memahami bacaan yang memerlukan ragam pengetahuan sebagai pondasinya, hal ini didasarkan oleh pernyataan Ibnu Mujahid bahwa penanganan bacaan waqaf secara sempurna hanya diperoleh bagi mereka yang ahli nahu dan qiraat.

Definisi Waqaf dan Ibtida

Al-Asymuni (w. 1100 H) dalam Manār Al-Hudā mendefinisikan waqaf secara bahasa sebagai al-kaffu ‘an al-fi’li wa al-qauli (menghentikan perbuatan dan perkataan). Sementara secara istilah, ia diartikan sebagai menghentikan suara sejenak pada akhir kata terhadap kata yang menyertainya. Dr. Muhammad Al-‘Idi dalam Muqaddimah Tahqiq Ilal al-Wuquf menyebut bahwa kata waqaf berikut derivasinya yang mengindikasikan makna menahan dan sukūn al-ḥarakah (tidak bergerak) disebut sebanyak empat kali di dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. Al-Shaffat [37]: 24, Q.S. Al-An’am [6]: 27 dan 30, serta Q.S. Saba’ [34]: 31. Sementara ibtida diartikan oleh Al-‘Idi sebagai lawan dari waqaf itu sendiri, yakni memulai sesuatu.

Dasar Penetapan Waqaf dan Ibtida

Penentuan tempat waqaf tercatat memiliki perbedaan di kalangan ulama. Sebab, masing-masing dari mereka memberikan penetapan tempat waqaf sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat. Implikasinya, pembagian waqaf di kalangan ulama tidak terbatas. Meski demikian, Zakariya Al-Anshari (w. 926 H) dalam kitab Al-Maqṣad merumuskan tiga dasar di dalam penentuan waqaf: 1). Tolok ukur nafas seseorang, artinya tempat waqaf diukur oleh daya nafas seseorang; 2). Memang akhir ayat, dan 3). Adanya keterkaitan makna.

Al-Anshari dalam hal ini lebih cenderung pada dasar ketiga sebagai penetapan waqaf dengan alasan ia adalah hukum asal, sementara nafas bersifat tābi’ (hukum yang mengikuti). Kecenderungan ini juga tampak dari pernyataannya bahwa kesunahan waqaf di akhir ayat adalah apabila tidak memiliki keterkaitan erat dengan kata setelahnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Dasar keterkaitan makna dalam penetapan waqaf juga cenderung didominasi oleh banyak imam qari. Ini dibuktikan dari perumusan Al-Zarkasyi bahwa waqaf menurut jumhur terbagi ke dalam empat macam, yakni waqaf tām, kāf, ḥasan dan qabīḥ yang secara definisi didasarkan pada keterlibatan makna. Begitu juga dengan Ibnu Al-Anbari (w. 328 H) yang membagi ke dalam tiga jenis, yakni tām, ḥasan dan qabīḥ dan Al-Sajawandi (w. 560 H) ke dalam lima macam, yakni lāzim, muṭlak, jāiz, mujawwaz li wajhin dan murakkhas li ḍarurah yang keduanya tampak didasarkan pada keterkaitan makna.

Pembagian Al-Sajawandi inilah yang diambil oleh MSI (Mushaf Standar Indonesia) secagai acuan utama di dalam penetapan tempat waqaf dan MSI secara tegas merujuk pada ketentuan makna.

Baca juga: Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Kecenderungan mayoritas qari pada dasar keterkaitan makna ini tidaklah dinafikan oleh sebab ujung sebuah ayat. Implikasinya, tidak jarang ditemukan tanda lām alif sebagai simbol ketiadaan waqaf oleh Al-Sajawandi pada akhir ayat di dalam MSI atau “Mushaf Kemenag”. Tanda lām alif juga mengindikasikan adanya anjuran meneruskan bacaan hingga pada tempat waqaf yang tepat sebab keterkaitan makna pada ayat setelahnya. Contoh seperti ini dapat ditemukan misalnya pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 219-220:

۞ ……كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ ٢١٩ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ …..

Kemudian Q.S. Al-Nahl [16]: 15-16:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ ١٥ وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Pada kasus Al-Baqarah, lafal tatafakkarūn masih memiliki keterkaitan dengan jār majrūr pada lafal fi al-dunyā wa al-ākhirah sebagai penyempurna kalam. Begitu juga dengan kasus Al-Nahl ketika lafal ‘alāmāt berstatus ma’ṭūf kepada lafal subulan sebelumnya. Oleh sebab itu, dua penghujung ayat di atas ditandai dengan simbol lām alif sebab keterkaitan makna setelahnya sebagai dasar penetapan tempat waqaf. Contoh-contoh serupa juga sering ditemukan pada kasus istiṡnā (pengecualian) melalui lafal illā yang berada di awal ayat seperti Q.S. Al-Baqarah [2]: 160, Ali Imran [3]: 89, Al-Ashr [103]: 3 dan lain sebagainya.

Sekilas Perdebatan Penetapan Waqaf

Perdebatan penetapan waqaf antara berdasar makna dan akhir ayat berlangsung lama. Al-Zarkasyi dalam Al-Burhān menyebut bahwa sebagian ulama mutaakhirin memperselisihkan pendapat mayoritas qari yang mendasari penetapan waqaf pada keterkaitan makna meski berada di penghujung ayat dengan dalih khilāf al-sunnah.

Argumentasi ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan Al-Tirmidzi dari Ummu Salamah bahwa “Rasulullah ṣallallahu ‘alaihi wa sallama memutus bacaannya ayat demi ayat” dan mayoritas akhir ayat di dalam Al-Qur’an khususnya surah-surah pendek adalah waqaf tām dan kāf. Implikasinya, mengikuti sunah adalah hal yang utama. Di antara tokoh yang sepakat dalam hal ini adalah Abu Bakar Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’ab al-Īmān dan Al-Nuhas dari Al-Akhfasy Ali bin Sulaiman yang lebih mengunggulkan waqaf berdasar ujung ayat meski berkaitan dengan makna setelahnya.

Baca juga: Penjelasan Gus Baha tentang Implikasi Wakaf pada Penafsiran Alquran

Adapun dasar penetapan waqaf sebab ukuran nafas pada akhirnya dijelmakan dengan istilah waqaf qabih dalam pembagian jumhur atau diisitlahkan sebagai waqaf iḍṭirārīy (wakaf darurat) oleh Ibnu Al-Jazari. Secara definisi, waqaf iḍṭirārīy adalah waqaf saat kalam belum sempurna maknanya dan hanya diperbolehkan secara darurat sebab terhentinya nafas seseorang.

Dengan demikian, Al-Dani (444 H) menegaskan bahwa penetapan waqaf jenis ini cenderung dilarang dan diingkari oleh para imam qari. Implikasinya, siapapun yang terhenti nafasnya di tempat waqaf jenis ini maka disunahkan baginya membaca ulang lafal sebelumnya untuk melanjutkan bacaan berikutnya, walaupun tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya.

Menimbang Ulang Kata Pepatah “Banyak Anak Banyak Rezeki”

0
Menimbang ulang kata pepatah
Menimbang ulang kata pepatah "banyak anak banyak rezeki"

Anak merupakan amanah, anugerah, dan rezeki dari Allah Swt. Karenanya, cukup sering kita mendengar kata pepatah, “banyak anak banyak rezeki.” Dalam ajaran Islam, tidak ada anjuran untuk membatasi jumlah anak. Di sisi lain, Islam mengharamkan untuk membunuh anak, karena takut miskin atau lain hal. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran surah Al-Isra (17): 31.

وَلََ تَ قْتُ لُوا أَوْلََدَكُمْ خَشْيَةَ إِّمْلََقٍ نََْنُ ن رَْزُقُ هُمْ وَإِّيََّّكُمْ إِّ ن قَ تْ لَهُمْ كا ن خِّطْئًا كبِّيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Banyaknya masyarakat yang menganut pemikiran “banyak anak banyak rezeki” memberikan dampak pada masalah kependudukan. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua atau keluarga yang meyakini pemikiran tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan dalam berbagai aspek seperti kondisi mental dan finansial (Imroatul Mufasirin, Banyak Anak Banyak Rezeki Perspektif Perlindungan Anak Pada Masyarakat Pinggiran, 11).

Baca juga: Meruwat Anak dalam Islam

Pandangan tersebut tidak hanya berpotensi menimbulkan masalah kependudukan, melainkan juga dapat memperparah kondisi kemiskinan atau ketidakmampuan masyarakat untuk hidup layak. Kemiskinan yang dimaksud tidak terbatas pada jumlah penghasilan melainkan juga kondisi kerentanan, tertutupnya akses pada sumber daya produktif seperti kesempatan kerja, rendahnya ketahanan fisik dan intelektual. Di samping juga mengakibatkan ketergantungan secara fisik, sosial, hingga ekonomi pada pihak lain (Fawziah Zahrawati B, Pembebasan Jerat Feminisasi Kemiskinan, 10-11).

Mengingat anak adalah amanah dari Allah Swt, maka perlu bagi calon orang tua untuk memahami kondisi mental, kesiapan ilmu, dan finansial masing-masing agar mampu memberikan hak anak. Kewajiban orangtua untuk memenuhi hak-hak anak telah disinggung dalam Alquran. Berikut ayat yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan keturunan:

Surah al-Baqarah (2):233

وَالۡوَالِدٰتُ يُرۡضِعۡنَ اَوۡلَادَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ​ لِمَنۡ اَرَادَ اَنۡ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ​ ؕ وَعَلَى الۡمَوۡلُوۡدِ لَهٗ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ​ؕ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُوۡدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ…

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya…”

Ayat ini menjelaskan tentang keluarga. Seorang ibu sepantasnya menyusui anak hingga waktu yang cukup. Sedangkan ayah memiliki peran untuk memberikan nafkah seperti pangan sehat untuk ibu agar mampu memberikan nutrisi yang baik melalui air susunya, juga nafkah seperti pakaian.

Penggalan ayat selanjutnya “janganlah seorang ibu menderita karena anaknya memiliki makna bahwa janganlah ayah mengurangi hak wajar bagi sang ibu dari segi pemberian nafkah dan penyediaan pakaian. Begitupun “jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya,” yaitu jangan sampai sang ibu meminta sesuatu di atas kemampuan sang ayah menggunakan anak yang disusui sebagai alasan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jilid 1, 503-505). Nafkah sendiri merupakan kewajiban individu yang diberi tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan istri.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Disebutkan pula kurun waktu untuk menyusui anak, yaitu dua tahun, tetapi dalam penafsiran lain disebutkan bahwa waktu itu bisa kurang hingga dua puluh satu bulan. Ini menunjukkan bahwa anak yang lahir tidak membuat penderitaan bagi orangtuanya. Diperlukan kemampuan orang tua untuk menjamin kesejahteraan anak dan kehidupan mereka, selain itu orang tua harus memiliki pengaturan kelahiran terkait jumlah anak yang sanggup dipelihara dengan baik dari aspek kesejahteraan hidup (Abdul Hakim et al, Analisis Surah Al-Baqarah Ayat 233: Studi Tafsir Ilmi dan Tafsir Tematik Kementerian Agama, 29).

Surah an-Nisa (4):9

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Penting bagi semua orang untuk menjalankan perintah Allah Swt. Ayat ini menekankan untuk berlaku adil dan menjalankan amanah dengan baik. Ayat ini juga menunjukkan tuntunan agar seseorang memiliki kepemimpinan yang bertanggung jawab ( Rahmad Alim Witari & Efi Tri Astuti, Urgensi Pemberantasan Stunting Perspektif Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 9, 84).

al-Maraghi mengungkapkan bahwa orang tua dan mereka yang diwasiati (dititipi anak yatim) diperintahkan untuk memperlakukan anak dengan baik, berbicara dengan baik dan halus serta sopan, memanggil anak-anak dengan panggilan seperti “anakku,” “sayangku,” dan sebagainya (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 192).

Dari ayat ini, tanggung jawab orang tua terhadap anak terdiri dari beberapa aspek (Enok Hilmatus Sa’adah & Abdul Aziz, Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak Menurut Alquran (Analisis terhadap Tafsir Al-Maraghi), 195). Di antaranya:

  1. Mewujudkan generasi berkualitas dengan pendidikan jasmani dan rohani anak, orang tua harus merasa khawatir apabila anaknya dalam kondisi yang lemah.
  2. Membekali anak dengan tauhid dan akidah.
  3. Mendidik dan membentuk akhlak yang baik.Surah al-An’am(6): 151

Surah al-An’am (6): 151

قُلۡ تَعَالَوۡا اَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡ​ اَلَّا تُشۡرِكُوۡا بِهٖ شَيۡـًٔـــا وَّبِالۡوَالِدَيۡنِ اِحۡسَانًا​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوۡۤا اَوۡلَادَكُمۡ مِّنۡ اِمۡلَاقٍ​ؕ نَحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَاِيَّاهُمۡ​ ۚ وَلَا تَقۡرَبُوا الۡفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ​ ۚ وَلَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِىۡ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالۡحَـقِّ​ ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”

Menurut Ibn Kathir, ayat ini menunjukkan larangan menyekutukan Allah Swt dengan apapun, membunuh anak-anak sendiri karena takut miskin, mendekati perbuatan keji, dan membunuh jiwa yang tidak bersalah. Ayat ini juga menunjukkan perintah untuk berbuat kebaikan pada orang tua.

Ayat ini mengingatkan kita akan hak anak, yaitu setiap anak berhak untuk hidup dan tumbuh sesuai fitrahnya. Hak ini harus sudah dipenuhi sejak anak masih berupa janin dalam kandungan (Cut Annisa Syafira, Upaya Perlindungan Anak dalam Pandangan Islam, 904). Orang tua juga berkewajiban mendidik anak agar berbakti kepada mereka (birr al-walidain), didikan yang bagus adalah yang menimbulkan hormat (respect) dan cinta. Penting juga bagi ayah dan bunda untuk memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3, 2442).

Dari ketiga ayat di atas, dapat kita pahami bahwa menjadi orang tua harus bertanggung jawab atas kualitas hidup sang anak dari segi pangan hingga pendidikan. Dengan kesiapan sebagai orang tua, maka akan tercetak generasi yang berkualitas. Karenanya, sekalipun Allah Swt. menjamin rezeki tiap anak, orang tua tetap diharuskan untuk berikhtiar dalam memberikan nafkah lahir dan batin kepada anak. Sehingga, orang tua tidak berpangku tangan lantas secara sembarangan memperbanyak anak dengan alasan kata pepatah “banyak anak banyak rezeki.”