Beranda blog Halaman 561

Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib

0

Dalam Islam, bekerja menjadi salah satu kewajiban utama agar manusia dapat bertahan hidup dan  menebar kebaikan. Saking wajibnya, diksi yang berarti bekerja seringkali dijumpai beriringan dengan perintah untuk beriman kepada Allah, yang notabene merupakan syarat keabsahan seseorang menjadi mukmin. Setidaknya, terdapar 50 ayat dalam Alquran yang memuat redaksi demikian, dan jumlah sebesar itu menunjukkan betapa pentingnya bekerja bagi manusia.

Akan tetapi, ketika disandingkan dengan fakta yang ada, terjadi sikap yang menunjukkan marginalisasi terhadap gender perempuan berupa anggapan bahwa perempuan bukat subjek yang pantas untuk bekerja. Budaya patriarkhi yang sebagian besar masyarakat masih menganutnya, adalah penyebab perlakukan marginalisiasi seperti itu terus bergulir hingga saat ini. Padahal, Islam sendiri menyerukan untuk bekerja tidak khusus kepada laki-laki, tetapi menyangkup seluruh manusia.

Bukti nyata bahwa perempuan juga dapat berperan dalam dunia pekerjaan salah satunya ialah kisah dua putri Nabi Syu’aib yang tertera dalam QS al-Qashas [28: 23]:

ولما ورد ماء مدين وجد عليه أمة من الناس يسقون ووجد من دونهم امرأتين تذودان قال ما خطبكما قالتا لا نسقي حتى يصدر الرعاء وأبونا شيخ كبير ٢٣

Dan ketika dia sampai di sumber air Negeri Madyan, dia (Musa) menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang memberi minum (ternaknya), dan dia menjumpai di belakang orang banyak itu, dia orang perempuan sedang menghambat (ternaknya). Dia (Musa) berkata, “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” kedua perempuan itu menjawab. “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.

Ayat 23 tersebut mengisahkan dua putri Nabi Syu’aib bekerja sebagai peternak dan sedang mencari air untuk minum ternaknya. Jika melihat pada konteksnya, beternak merupakan pekerjaan yang didominasi oleh kaum laki-laki pada saat itu. Namun, hal itu tidak lantas membuat perempuan tidak boleh untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan pada masa Nabi Syu’aib dapat melakukan pekerjaan sebagaimana laki-laki, dan bahkan jenis pekerjaannya dapat pula sederajad dengannya.

Putri Syu’aib dan Wawasannya dalam Bidang Menejemen

Selain bekerja selayaknya laki-laki, yakni menjadi peternak, putri Nabi Syu’aib juga memiliki wawasan mengenai dunia menejemen. Seperti yang dinarasikan pada ayat setelahnya, QS al-Qashash [28:26]:  

قالت إحداهما يا أبت استأجره إن خير من استأجرت القوي الأمين ﴿٢٦

Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”

Saran salah satu putri Nabi Syu’aib untuk merekrut Musa as sebagai karyawannya dengan pertimbangan kekuatan dan amanahnya menunjukkan bahwa putri Syu’aib ini mengerti bagaimana menilai seseorang untuk kemudian dipekerjakan. Ia lebih mengedepankan kredibilitas dan integritas untuk menimbang kelayakan seseorang menjadi karyawannya, tidak mengedepankan wujud fisik atau latar belakang nasabnya. Pola pikir yang demikian itu setidaknya membuktikan bahwa putri Syu’aib memiliki wawasan tentang menejemen yang baik.

Bias-Bias Patriarkhi yang Sangat Kontekstual

Bila kita cermati lebih lanjut, sebenarnya kondisi sosial yang melatari kisah ini masih dalam sistem patriarkhi. Sebagaimana yang disampaikan Nasharuddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Gendernya, dalam kisah putri Syu’aib tersebut struktur sosial masih bersistem patriarki. Beberapa indikasi dapat ditemukan dalam ayat 23 di atas. Sikap putri Syu’aib yang lebih memilih untuk menunggu sekerumunan peternak lain selesai mengambil air dan pernyataannya bahwa ayahnya sudah renta, menunjukkan bahwa kendatipun keluar rumah, mereka tetap menjaga etika saat berhadapan dengan lawan jenis, menghindari kerumunan dengan laki-laki, dan bekerja karena mendesak saja –karena ayahnya sudah tua, mereka lantas mengganti peran ayahnya

Selain itu, sistem patriarki juga tampak dalam ayat setelahnya, QS al-Qashash [28: 25] berikut ini:

فجائته إحداهما تمشي على استحياء قالت إن أبي يدعوك ليجزيك أجر ما سقيت لنا فلما جاءه وقص عليه القصص قال لا تخف نجوت من القوم الظالمين ﴿٢٥

Kemudian datanglah kepada Musa as salah seorang dari perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, “Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.” Ketika (Musa) mendatangi ayahnya (Syu’aib) dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia (Syu’aib) berkata, “janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang dzalim itu.

Dalam Qashashul Anbiya’ karya ‘Abdul Qodir Syaibah, dijelaskan bahwa saat pergi menemui Musa as untuk menyampaikan pesan ayahnya, putri Nabi Syu’aib itu berjalan dan tertunduk malu. Dengan demikian, semakin memperkuat distingsi perempuan dengan laki-laki. Perempuan yang cenderung pemalu saat berhadapan dengan laki-laki menunjukkan bahwa mereka pada saat itu tidak biasa berinteraksi dengan lawan jenis. Dan faktanya, memang patriarki masih menjadi sistem sosial signifikan saat itu.

Sistem patriarki yang kuat dalam mengatur interaksi perempuan dan laki-laki, yang tercermin pada kisah Putri Nabi Syu’aib tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat kontekstual. Menurut Allan G Johnson dalam Human Arrangements an Introduction to Sosiologynya, stuktur sosial yang berkembang dahulu memang menempatkan perempuan sebagai subjek yang marginal dan minoritas. Sebagai akibatnya, terciptalah sistem patriarki yang mengatur interaksi perempuan dengan laki-laki. Maka, sekaligus menjadi hal yang niscaya, bila suatu saat terjadi rekonstruksi sistem patriarki, karena perubahan struktur sosial.

Konteks yang melatari kisah tersebut sangat berbeda dengan keadaan saat ini, yang antara laki-laki dan perempuan sudah banyak terjalin komunikasi dan interaksi, sehingga tumbuh habit yang baru, yang pada gilirannya memunculkan perubahan struktur sosial. Tetapi, setidaknya, kisah putri Nabi Syu’aib itu dapat memberikan contoh untuk kita dapat renungkan, bahwa sebelum Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW datang, perempuan secara kultural sudah menunjukkan perannya di ranah publik. Dan tidak hanya itu, peran publiknya pun sederajat dengan peran mainstream laki-laki. Sehingga, jika pada saat ini, yang konstruksi masyarakatnya sudah jauh lebih modern, menjadi keanehan bagi perempuan saat dibatasi ruang geraknya dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi bakat dan minatnya di dunia pekerjaan, hanya berlandaskan faktor kultural. Karena, pada faktanya, kultur patriarki perlahan telah bergeser menuju gender equality. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat al-A’raf Ayat 12: Congkak Bentuk Pembangkangan Iblis terhadap Allah

0
Ilustrasi Iblis

Sebelum manusia diciptakan, Allah terlebih dulu menciptakan makhluk lain seperti Malaikat, jin, dan Iblis. Ketika Allah menciptakan mahkluk berupa manusia, para malaikat pun khawatir akan eksistensi manusia yang akan berbuat kerusakan di muka bumi, namun Allah pun tetap akan mencitpakan makhluk tersebut sebagai Khalifah di muka bumi.

Tatkala Allah menciptakan Nabi Adam As. Sebagai manusia pertama, Allah Memerintahkan para malaikat untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada makhluk ciptaan-Nya. Akan tetapi terdapat salah satu makhluk Allah yang menolak dan membangkang terhadap hal tersebut. Mereka adalah iblis. Dengan congkaknya, iblis menyatakan bahwa dirinya terbuat dari api sedangkan Nabi Adam As. terbuat dari tanah. Dari sinilah dialog antara Allah Swt. dengan iblis dimulai dan diabadaikan dalam beberapa ayat Al Quran, salah satunya firman Allah pada QS. Al-A’raf [7] ayat 12:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”

Menurut Imam Ismail ibn Kathir, ayat di atas menerangkan mengenai dialog antara Allah dengan iblis. Allah memerintahkan makhluk-Nya untuk bersujud kepada nabi Adam As. sebagai tanda penghormatan. Namun ada satu makhluk yang menolak melakukan hal tersebut, sehingga Allah pun berdialog dengan makhluk tersebut.

Ketika Allah bertanya Ma Mana’aka Alla Tasjuda (Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam As.)), makhluk tersebut menjawab Ana Khayrun Minhu (Saya lebih baik daripadanya). Bahkan makhluk tersebut menegaskan dengan redaksi Khalaqtani Min Nar Wa Khalaqtahu Min Tin (Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah). Karena itulah makhluk tersebut disebut dengan iblis yang berarti pembangkang. Dari ayat inilah dapat diketahui mengapa makhluk yang satu ini membangkang perintah Allah.

 Jika melihat pada redaksi Ma Mana’aka Alla Tasjuda Imam ibn Kathir mengutip pendapat ahli ilmu Nahwu bahwa redaksi Ma merupakan tambahan atau Ziyadah yang berfungsi untuk menguatkan penegasian atau Li Ta`kid al-Jahd (Ismail ibn ‘Umar ibn Kathir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azim, Juz 3, Cet 2, hal. 392)

Imam ibn Kathir pun mengutip pula hadis Rasulullah berkenaan dengan ayat di atas sebagai berikut:

حدثنا محمد بن رافع وعبد بن حميد. قال عبد أخبرنا. قال ابن رافع, حدثنا عبد الرزاق, أخبرنا معمر, عن الزهري, عن عروة, عن عائشة. قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خلق الملائكة من نور, وخلق الجان من مارج من نار, وخلق ادم مما وصف لكم

Dari ‘Aisyah ia berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya (Nur), Jin diciptakan dari kobaran api, dan Adam diciptakan dari apa yang kalian sifati (tanah)”” (Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri, Sahih Muslim, hal. 1464)

Menurut Imam al-Tabari ayat di atas menjelaskan tentang bentuk pembangkangan Iblis terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Pada dialog tersebut Allah mempertanyakan mengenai hal apa yang memberatkan makhluk Allah ini untuk melaksanakan perintah-Nya. Makhluk tersebut menjawab dengan menyatakan bahwa dirinya tercipta dari api sedangkan Nabi Adam As. Tercipta dari tanah. Sehingga karena jawaban ini, Allah mengusir dan melaknat makhluk ini hingga hari kiamat. Karena komentar Iblis tersebut, ia dianggap sebagai pembangkang (Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Juz 3, hal. 409)

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Iblis memberontak kepada Allah karena sifat congkak dan sombong. Apalagi dengan bangga menyatakan dirinya lebih baik daripada makhluk Allah lain.

Dari ayat ini dapat diambil hikmah bahwasanya kesombongan akan membawa seseorang pada kehancuran sebagaimana yang telah terjadi pada Iblis. Dengan demikian, marilah kita menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak diri serta membawa pada kehancuran. Wallahu A’lam

Bagaimana Al-Quran Diturunkan? Simak Penjelasannya

0
ilustrasi proses diturunkannya alquran

Tafsiralquran.id – Diturunkannya Alquran oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. adalah bentuk mukjizat terbesar bagi Rasul saw dan umat Islam. Kita tahu bahwa Alquran diturunkan secara mutawatir melalui malaikat Jibril, membacanya bernilai ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.

Lalu pertanyaannya, bagaimana proses kronologi Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw? Berikut penjelasannya.

Dalam Alquran, setidaknya tiga ayat ini cukup merepresentasikan turunnya Alquran, yakni:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ ….. (البقرة: ١۸٥ )

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (القدر: ١ )

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ (الدخان:٣)

Menurut Manna’ al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, ketiga ayat ini tidaklah bertentangan. Sekalipun secara dzahirnya seakan-akan bertentangan. Sebab, ketiga ayat di atas seakan mengisyaratkan bahwa Alquran diturunkan sekaligus di malam yang diberkahi, yakni malam lailatul qadr. Yang dalam realitanya, Alquran turun kepada Nabi Muhammad saw. selama kurang lebih 23 tahun.

Maka, dalam menyikapi ketiga ayat di atas, pendapat ulama terbagi menjadi 2 aliran, yakni, pertama pendapat dari Ibnu ‘Abbas dan segenap ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umunya ulama. Bahwa maksud dari ketiga ayat di atas adalah turunnya Alquran secara sekaligus ke baitul ‘izzah di langit dunia, agar malaikat mengagungkannya. Kemudian, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

Pendapat ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang shahih dari Ibnu ‘Abbas. Yakni, (a) riwayat Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan bahwa, “Alquran diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr. Kemudian, setelah itu Alquran diturunkan selama dua puluh tahun”, dan dibacakan surat al-Furqan ayat 33 dan al-Isra’ ayat 106. (b) Ibnu ‘Abbas berkata, “Alquran itu dipisahkan dari adz-dzikr, lalu diletakkan di baitul ‘izzah di langit dunia. Maka, Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi Muhammad Saw.”

Dan, (c) Ibnu ‘Abbas juga berkata, “Allah menurunkan Alquran sekaligus ke langit dunia, tempat turunnya berangsur-angsur. Lalu, Allah menurunkannya kepada Nabi Muhammad Saw. bagian demi bagian”. Serta, (d) Ibnu ‘Abbas juga mengatakan bahwa, “Alquran diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadr di bulan Ramadhan ke langit dunia, kemudian Alaquran diturunkan secara berangsur-angsur”.

Aliran kedua, yakni sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi atau ‘Amir bin Syarahil adalah seorang tabi’in yang wafat tahun 109 H, ahli hadis dan salah seorang guru dari Imama Abu Hanifah.

Asy-Sya’bi menjelaskan bahwa ketiga ayat di atas merupakan permulaan turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad Saw, yang dimulai di malam lailatul qadr di bulan Ramadhan. Selanjutnya, diturunkan kepada Nabi Saw. secara bertahap sesuai dengan kajadian dan peristiwa, selama kurang lebih 23 tahun.

Kedua aliran ini, menurut al-Qattan tidak bertentangan. Selain itu, juga ada pendapat dari hasil ijtihad sebagian mufassir, namun tidak ada dalil pendukungnya. Menurut mereka, Alquran diturunkan selama 23 malam lailatul qadr. Ada yang menyebutnya 20 atau 25 malam lailatul qadr, hal ini sesuai dengan perbedaan pendapat berapa lama Nabi Saw. tinggal di Mekkah.

Pada setiap malamnya, di malam-malam lailatul qadr itu, ada yang ditentukan oleh Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan, jumlah wahyu yang diturunkan ke langit dunia  di malam lailatul qadr, untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Saw. sepanjang tahun.

Di akhir penjelasan ini, al-Qattan memberikan penegasan, bahwa pendapat yang paling kuat dalam persoalan ini adalah Alquran diturunkan sebanyak dua kali, yakni diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadr ke baitul ‘izzah di langit dunia. Lalu, dari langit dunia ke bumi, kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.[]

Tafsir Surat Shad Ayat 29: Memahami Tujuan Diturunkannya Al Quran

0
Ilustrasi tadabur Al Quran

Al Quran, kitab suci umat Islam memiliki makna mendalam jika kita benar benar membacanya dan memahaminya. Tidak hanya itu, keindahan lafadz Al Quran juga memberikan rasa ketentraman ketika hati sedang merasakan kegundahan.

Akan tetapi meski membaca dan memahami Al Quran mampu memberikan ketentraman dan memberikan solusi atas segala permasalahan, namun tidak banyak orang yang bertadabur, belajar, membaca dengan baik dan benar, memahami makna Al Quran serta mengamalkanya. Padahal Allah menurukan Al Quran pasti ada tujuannya.

Sebagimana Allah berfirman dalam surahnya bahwa tujuan diturunkannya Al Quran adalah agar manusia membaca dan berusaha menghayatinya, sebagaimana firmanNya ada pada QS. Shad [38] ayat 29:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Kitab (Al Quran) yang Kami turunkan kepada-mu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (QS. Shad: 29).

Al-Qurtubi memaparkan bahwa bagi orang-orang yang telah dikhususkan Allah dengan hafalan Al Quran, maka hendaklah ia membaca Al Quran dengan bacaan yang baik, menghayati hakikat isinya, memahami keajaiban-kejaibannya, dan menjelaskan apa yang unik darinya. Syekh An-Nawawi al-Bantani pada kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Al Quran diturunkan agar menjadi petunjuk bagi orang yang memahami Al Quran.

Pada kitab Tafsir Ibnu Katsir dituliskan bahwa makna al-albab pada surah Shad [38] ayat 29 adalah bentuk jamak dari lub yang artinya akal. Maka Allah akan memberikan pelajaran dari Al Quran bagi yang memahami Al Quran. Kemudian al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa pada intinya cara mengambil pelajaran dari Al Quran itu bukan hanya dengan menghafal, akan tetapi menyia-nyiakan batasannya. Sehingga seseorang dari mereka yang tidak mengindahkan batasannya mengatakan, “ aku telah membaca seluruh Al Quran”. Tetapi pada dirinya tidak ada ajaran Al Quran yang disandarkannya, baik dalam bentuk akhlaknya ataupun pada amal perbuatannya.

Menurut Al- Biqa’i dalam Metode Tafsir Maqasidi karya Wafi’ Asyur Abu Zayd, sebuah surat ibarat sebatang pohon besar yang rimbun dan tinggi, setiap surah memiliki keindahan yang menajubkan dan dapat berdiri sendiri, surah selalu dihiasi dengan berbagai hiasan yang ditata baik di antara dedaunannya secara artistik. Dari sini para mufassir bisa mendapatkan pelajaran dari al-quran dan akan merasa sejuk setelah benar-benar bertadabur dengan Al Quran, memahami segala keindahan bahasa Al Quran dengan saksama.

Ada pesan  yang menarik dari Muhammad Abduh untuk orang-orang yang bertadabur dengan Al Quran, isinya adalah istiqamahlah dalam membaca Al Quran, pahami perintah dan larangannya, ikuti nasihat dan ajarannya sebagaimana para mukminin pada masa diturunkannya wahyu. Hindarilah kitab-kitab tafsir kecuali untuk memahami lafadz-lafadz Arab yang tidak kamu pahami atau ketika hubungan satu kata dengan kata lain tidak jelas bagimu. Ikutilah apa yang telah al-quran tunjukkan padamu dan bawalah dirimu pada apa yang ditunjukkan Al Quran padanya. Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mengikuti jalan ini, maka setelah beberapa waktu dirinya akan memiliki kemampuan untuk menjadikan pemahaman sebagai tabiat dan cahaya yang menerangi dunia dan akhiratnya dengan izin Allah.

Sebagaimana kisah sahabat Nabi SAW yang diceritakan oleh Abu Abd al-Rahman al-Sulami, seperti Usman bin Affan, Abdullah ibn Mas’ud dan lainnya, ketika ia belajar Al Quran sepuluh ayat langsung kepada Nabi, maka mereka tidak langsung menambah ayat lainnya, sebelum mereka mengerti isi kandugannya serta mengamalkannya. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan bisa menjadi sosok yang qur’ani kecuali dengan ilmu, amal serta perjuangan mengajarkannya kembali.

Nama-nama Al-Quran dan Tujuannya

0
alhuda, salah satu nama alquran

Tafsiralquran.id – Alquran diturunkan ke muka bumi berfungsi sebagai buku pedoman umat muslim dalam menjalani kehidupannya. Dibalik penamaan Alquran ternyata sarat akan berbagai tujuan yang melingkupinya. Sebut saja, dalam surat al-Baqarah ayat 2 disebutkan bahwa Alquran adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya sedikitpun. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

Dalam hal ini, Muhammad Syahrur memberikan definisi makna dari al-kitab. Menurutnya, ­al-kitab berarti kumpulan dari berbagai macam tema yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk teks, beserta kandungannya sekaligus, yang secara keseluruhan menyusun ayat-ayat dalam bentuk mushaf mulai dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas.

Al-kitab adalah salah satu nama lain dari Alquran. Selain disebut dengan nama al-kitab, Alquran juga menyebut dirinya dengan Alquran itu sendiri. Menurut Muhammad Abdullah Daraz, Alquran dan al-kitab adalah penyebutan yang begitu populer dari nama-nama Alquran yang lain. Sebab, menurutnya, dinamakan Alquran karena ia dibaca dengan lisan, dan dinamakan al-kitab karena ia ditulis dengan pena.

Dengan nama-nama tersebut, juga memudahkan kita untuk mengetahui tujuan Alquran diturunkan. Selain dua penyebutan di atas, Alquran juga dinamakan dengan al-furqan, sebagaimana dalam surat al-Furqan ayat 1, yang berarti pembeda. Maksudnya, Alquran adalah pembeda antara yang haq dan bathil. Alquran berperan sebagai ukuran timbangan Ilahi akan segala hakikat yang bertentangan dengan kebenaran.

Kedua penamaan Alquran tersebut sebetulnya memberikan isyarat bahwa selayaknya Alquran dipelihara, baik dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apabila terjadi kesalahan di antara salah satunya, maka yang lain akan meluruskannya. Hafalan berdasarkan tulisan, dan tulisan harus sesuai dengan hafalan yang berisnad sahih dan mutawattir.

Kemudian, Alquran juga memiliki nama sebagai adz-dzikr, sebagaimana dalam surat al-Hijr ayat 9. Dan, juga disebut dengan nama at-tanzil, sebagaimana dalam surat asy-Syu’ara ayat 192. Selain itu, Alquran disebut sebagai an-nur yakni cahaya, yang tertera dalam surat an-Nisa’ ayat 174.

Alquran juga disifati sebagai al-huda yakni sebagai petunjuk, asy-syifa’ yaitu sebagai obat, dan al-mau‘izha’ yang bermakna nasihat. Hal ini sesuai dengan yang ada dalam surat Yunus ayat 57. Alquran juga memiliki sifat yang diberkahi atau yang sebut sebagai al-mubarak, sebagaimana dalam surat al-An‘am ayat 92. Dan juga, sebagaimana yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 97, yakni al-busyra yang bermakna kabar gembira.

Dan yang terakhir, Alquran juga memiliki nama lain sebagai al-‘Aziz yang berarti mulia, seperti yang tertera dalam surat Fushshilat ayat 41. Al-Majid yang berarti yang dihormati, yang dipaparkan dalam surat al-Buruj ayat 21. Serta, al-Basyir yang berarti pembawa kabar gembiran dan an-nadzir yakni pembawa peringatan, sebagaimana dalam surat Fushshilat ayat 3-4.[]

Ketika Iblis Membangkang Sujud Kepada Adam

0
ilustrasi iblis membangkang sujud kepada adam

Tafsiralquran.id – Alquran telah mengisahkan pembangkangan Iblis terhadap Allah swt. manakala ia diperintah sujud kepada Adam a.s. Kisah yang diulang-ulang di beberapa surat menunjukkan begitu pentingnya manusia untuk mengambil ibrah dari kisah tersebut. Dibalik pembangkangan iblis terdapat dosa-dosa yang dapat menjerumuskan siapa pun pelakunya ke jalan kehinaan dan kesesatan, karenanya manusia dilarang mengikuti langkah-langkah Iblis (setan). Lantas, langkah-langkah apakah yang harus dihindari dari Iblis?

Dari pengulangan kisah ingkarnya Iblis sujud kepada Adam, dengan struktur kalimat nash ayat yang berbeda-beda, setidaknya ada 3 sikap tercela dari Iblis untuk tidak diikuti. Sebagaimana disebutkan Imam as-Shawi ketika mengomentari beberapa ayat berikut dalam surat al-A’raf [7]:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ  … (الأية: 12)

“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?’ ”. (Q.S. al-A’raf [7]: 12).

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا لَكَ أَلَّا تَكُونَ مَعَ السَّاجِدِينَ (32)

“Allah berfirman: ‘Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?’ “. (QS. Al-Hijr: 32).

قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ  … (الأية: 75)

“Allah berfirman: ‘Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’. (Q.S. Shad [38]: 75 ).

Imam as-Shawi berkata:  

اختلاف العبارات عند الحكاية دل على أن اللعين قد أدرج في معصية واحدة ثلاث معاص: مخالفة الأمر ومفارقة الجماعة والاستكبار مع تحقير ادم

Artinya: “perbedaan ungkapan pada ayat-ayat kisah (Adam dan Iblis) menunjukkan bahwa Iblis (yang terlaknat) telah berbuat tiga kemaksiatan dalam satu tindakan (kemaksiatan), yaitu: melanggar perintah, keluar dari jamaah, dan takabbur serta merendahkan Adam”.

Pada lanjutan setiap ayat-ayat tersebut, terdapat ungkapan bahwa Iblis diusir dari surga dan digolongkan bersama makhluk yang hina. Hal ini menunjukkan jika perbuatan maksiat Iblis tersebut bukanlah kemaksiatan yang ringan, bahkan merupakan gerbang dijauhkannya dari rahmat Allah.

Pertama, melanggar perintah. Esensi suatu ibadah adalah ketundukan dan kepatuhan seorang hamba terhadap Allah swt. Maka sangat tidak pantas jika ada kedurhakaan seperti yang dilakukan Iblis la’natullah.

Kedua, keluarnya dari jama’ah atau persatuan. Terkait makna wajibnya seseorang berada dalam jamaah atau persatuan, al-Qurtubi menyebutkan dalam tafsirnya:

فإن الله تعالى يأمر بالألفة وينهى عن الفرقة فإن الفرقة هلكة والجماعة نجاة

Artinya: “Sungguh Allah Swt. memerintah untuk menjalin persahabatan dan melarang perpecahan, karena sesungguhnya perpecahan adalah kerusakan dan perkumpulan adalah keselamatan”. (al-Qurtubi, 4: 159)

Dan ditegaskan dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dzar r.a.:

فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى

Artinya: “wajib bagi kalian untuk bersama jamaah (kelompok), karena sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku kecuali atas petunjuk”. (Musnad Ahmad: 20331).

Ketiga, merendahkan orang lain. Ancaman bagi orang yang sombong adalah semakin dihinakan oleh Allah. Dan mungkin inilah yang menjadi sebab diturunkannya Iblis dari surga ketika berkata, “saya lebih baik daripada dia (Adam), engkau menciptakannya dari tanah, sementara engkau menciptakanku dari api”. Wallahu A’lam.

Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

0
asal usul dan sinonimitas alquran

Tafsiralquran.id – Asal usul dan sinonimitas Alquran sebagaimana yang dijelaskan secara detail dalam Rekonstruksi Sejarah al-Quran karangan Taufik Adnan Kamal bahwa kitab suci yang dijadikan pedoman oleh umat Islam, berisi kumpulan firman Allah swt., serta diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, secara populer dikenal dengan nama Alquran.

Mayoritas dalam pandangan ulama, kata al-Qur’an itu berasal dari kata kerja qara’a. Jika demikian, kata al-Qur’an memiliki arti bacaan atau yang dibaca. Namun, ada sebagian kecil (minoritas) dari ulama yang memberikan pendapat bahwa aksara kufi yang awal, teks al-Qur’an ditulis dengan tidak menggunakan hamzah, yaitu al-Quraan.

Maka, golongan minoritas tersebut menyatakan bahwa kata al-Qur’an itu berasal dari kata qarana. Dengan begitu, arti dari kata al-Quraan adalah kumpulan atau gabungan. Akan tetapi, pendapat ini harus mendapat kritikan. Bahwa dengan menghilangkan huruf hamzah, justru akan menghilangkan karakteristik dialek Makkah atau Hijazi.

Kajian tentang Alquran tidak hanya diminati oleh bagian Timur saja. Para sarjana Barat, muslim maupun non-muslim, juga menaruh perhatian pada al-Qur’an. Terlepas dengan tujuan untuk mengembangkan atau yang lainnya, yang jelas kajian tentang al-Qur’an tumbuh di sana. 

Berkaitan dengan pembahasan di atas, segolongan dari sarjana Barat mengikuti pendapat dari Friedrich Schwally. Menurut Schwally, kata qur’aan berasal dari bahasa Syiria atau Ibrani, yakni qeryãnã, qiryãnî, yaitu lectio yang berarti bacaan atau yang dibaca. Dan, memang itu digunakan dalam liturgi Kristen.

Diadobsinya bahasa di luar bahasa Arab atau bahasa semit lainnya, sangat dimungkinkan terjadi. Karena, orang-orang Arab juga kerap kali melakukan interaksi dengan dunia luar. Sehingga, kata-kata yang non-Arab kemudian diarabkan. Sekalipun demikian, kata qur’aan memang berasal dari penggunaan al-Quraan itu sendiri, yakni dengan akar kata qara’a.

Sebagaimana dalam al-Quraan, kata qara’a muncul sebanyak 17 kali dengan berbagai bentuk konjugasinya. Kata tersebut di antaranya merujuk pada teks ayat yang membahas tentang pembacaan wahyu oleh Nabi Muhammad saw, atau pun Allah swt yang membacakannya kepada Nabi Muhammad saw, dan lain sebagainya.

Kata qara’a yang berarti membaca itu, juga berkaitan dengan kata kitaab. Sebagaimana ketika Nabi Muhammad saw. ditantang oleh orang-orang kafir untuk menurunkan dari langit sebuah “kitab” yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya (surat al-Isra’ ayat 93). Jadi, dalam konteks apapun, kata kerja qara’a digunakan al-Quraan dalam pengertian membaca, baik dikaitkan dengan qur’aan ataupun kitaab.

Sedangkan, kata qur’aan dengan menggunakan al­ atau tidak, muncul sekitar 70 kali, dengan pengertian yang beragam. Di antaranya, merujuk pada pembahasan wahyu yang secara satu per satu turun kepada Nabi Muhammad Saw. Dan, kata al-qur’aan yang maknanya paling dekat adalah sebagai kitab suci. Yakni, ketika kata tersebut beriringan dengan kitab suci lainnya, Injil dan Taurat.

Selain itu, tidak hanya menggunakan kata al-qur’aan, terkadang juga menggunakan kata al-kitaab, yang muncul sebanyak 255 kali dalam bentuk tunggalnya, serta 6 kali dalam bentuk jamak. Dan, sebagian besar kata al-kitaab tersebut berhubungan dengan wahyu Allah kepada para Nabi-Nya.

Di samping kata al-kitaab, juga digunakan istilah suurah dan aayah. Kata suurah muncul muncul sebanyak 9 kali dalam bentuk tunggal, dan sekali dalam bentuk jamak. Kata tersebut merujuk pada suatu unit wahyu yang diturunkan oleh Allah, bukan “suurat” yang dalam pengertian bagian atau bab dalam al-Qur’aan. Sebagaimana saat Nabi Muhammad saw. menantang musuh-musuhnya untuk membuat semisal suurah, atau sepuluh (surat al-Baqarah ayat 23 dan Hud ayat 13).

Kemudian, kata aayah. Kata ini muncul sebanyak 400 kali dalam al-Qur’aan dalam bentuk tunggal maupun jamak. Dalam kaitannya dengan hal ini, terbagi dalam 4 konteks.

Pertama, kata aayah yang merujuk pada fenomena alam, termasuk manusia di dalamnya, yang terkadang dimaknai dengan tanda-tanda kekuasaan Allah swt. Kedua, kata aayah ada dalam konteks peristiwa atau sesuatu yang luar biasa yakni mukjizat. Ketiga, kata aayah merujuk pada tanda-tanda yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus oleh Allah swt, seperti halnya kisah-kisah umat terdahulu. Dan, yang terakhir yaitu kata aayah disebut sebagai bagian dari al-qur’aan atau kitaab atau suurah yang dturunkan oleh Allah.

Selain pada istilah suurah dan aayah, juga merujuk pada istilah dzakara, tanziil, furqaan, serta hikmah. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut sebagai alternatif dari penyebutan al-qur’aan, pada intinya semuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul ilahiah-nya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam. []

Zainab al-Ghazali: Mufassir Perempuan Pertama Abad ke-20

0
Zainab al-Ghazali (sumber: teller report)

Zainab al-Ghazali mufassir perempuan yang mampu mendobrak keterpurukan perempuan Mesir, ketika masa Perancis menduduki Mesir tepatnya pada tahun 1800 an, ketika itu adanya ekploitasi lahan-lahan sewa, menjadikan para perempuanlah yang turun ke jalan untuk mempertahankan kepemilikan mereka dan bukan pria. Banyak dampak yang tertimpa pada perempuan, ruang gerak mereka menjadi terbatas.

Kejadian tersebut mempengaruhi pemikiran Zainab al-Ghazali, meski dia masih tergolong muda, keresahannya mampu membangkitkan perempuan Mesir serta memobilisasi perempuan kembali kepada Islam, hingga ia mampu menjadi seorang mufassir perempuan pertama pada abad ke 20-an.

Latar Belakang Zainab al-Ghazali

Menurut sumber jurnal yang di tulis oleh Ummi Zainab Mohammad dan  Muhammad Azizan Sabyan dengan judul Zainab al-Ghazali: Sejarah Kebangkitan Mujahidah Islam. Bahwa seorang tokoh mufassir perempuan ini yang mempunyai nama lengkap Zainab Muhammad al-Ghazali al-Jubaili. Beliau dilahirkan pada tanggal 2 Januari 1917M/ 1335 H di Mayeet Ghumar al-Daqiliyah, daerah Buhairah, Mesir. Keluarga beliau sudah tidak diragukan lagi, memiliki jalur nasab yang mulia yaitu dari jalur keturunan para sahabat Rasulullah SAW.  Ayah beliau dari keturunan khalifah Umar al-Khattab ra. sedangkan, ibunya pula dari jalur keturunan saiyidina al-Hasan bin Ali bin Abi Talib.

Lingkungan keluarga telah membentuk keperibadian Zainab al-Ghazali menjadi perempuan yang sangat berpegang kepada ajaran ahli sunnah dan al-Quran. Ketika beliau masih kecil, ayah beliau sering membawa beliau bersama untuk menunaikan solat subuh di masjid dan menghadiri majlis-majlis ta’lim yang turut dihadiri oleh ulama-ulama al-Azhar. Ayahnya berharap, Zainab bisa belajar agama Islam dari majlis majlis tersebut.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Beliau juga belajar di beberapa sekolah kerajaan. Seterusnya, rihlah mempelajari ilmu agama dengan beberapa Masyayikh al-Azhar yang terdiri dari pada tokoh ulama Al-Azhar al-Syarif seperti Syeikh Ali Mahfuz, Syeikh Muhammad Sulaiman al-Najjar dan Syeikh al-Majid al-Labban. Melalui cara ini Zainab mampu belajar menggabungkan antara disiplin ilmu modren dan pengajian tradisi yang berorentasikan pengajaran secara lansung dari para Masyayikh. Perjuangannya turut membuahkan sebuah karya tafsir yang berjudul Nazarat Fi Kitabillah.

Tafsir Nazarat Fi Kitabillah: Karya Zainab al-Ghazali

Tafsir Nazarat Fi Kitabillah yang memiliki pendekatan tarbawi berukuran sederhana. Jilid pertama mengandungi tafsir dari surahal-Fatihah, hingga surah Ibrahim a.s. telah dicetak dan diterbitkan oleh Syarikat Dar al-Syuruq pada 1995. Setelah empat tahun kewafatan Zainab, yaitu tahun 2011, barulah jilid yang kedua diterbitkan oleh Syarikat Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah dan mengandungi tafsir surah-surah al-Quran al-Karim.

Kiprah Pemikiran Zainab al-Ghazali Berawal dari Menulis

Zainab seorang mufassir perempuan yang begitu berbakat dalam bidang penulisan. Beliau sempat menjadi editor di majalah al-Da’wah, hujjah-hujjah yang diberikan sangat berlandaskan dengan nash-nash agama Islam yang dikemas dalam bentuk tulisan. Berharap para perempuan dapat mengambil hikmah ilmu pengetahuan dari yang beliau tulis.

Apabila Zainab mengadakan suatu pertemuan ramah tamah di rumahnya, Zainab mengeluarkan pernyataan yang sangat bernash, yaitu Islam menyediakan segala-galanya untuk laki-laki dan perempuan. Islam memberikan wanita semuanya yaitu kebebasan, hak dalam ekonomi, politik, dan sosial. Wanita muslim perlu mempelajari Islam agar mereka tahu Islam memberikan mereka semua akan hak-hak mereka.

Beliau merupakan sosok perempuan yang pemberani, tangguh dan pantang menyerah, adapun suatu kejadian pada saat mesir akan mengadakan konser music terbesar pada masanya, dan konser tersebut dihadiri banyak perempuan. Keluarlah kalimatnya yang membuat hati para perempuan terkoyak kembali bangkit ke jalan Allah SWT, “Siapa yang ingin mati syahid dan berada di Surga?” teriaknya dengan lantang kepada jama‟ah. Tanpa berpikir panjang ribuan jamaah yang didominasi oleh wanita muslimah bangkit dan membongkar tenda dan peralatan konser yang sudah disiapkan.

Peristiwa ini mendapat perhatian lansung oleh perdana mentri Mesir waktu itu. Musthafa Basya an-Nuhas. Ia lansung membatalkan acara konser yang digelar untuk menyambut kedatangan tokoh orientalis asal Prancis ke Kairo.

Kemudian cara Zainab mengajarkan ataupun mempelajari kandungan Al-quran dengan mengikuti cara para sahabat Nabi saw. mempelajari Al-Quran setiap malamnya Zainab dan para pemuda berkumpul untuk membawa 10 ayat Al-Quran,merenungi hukum-hukumnya dan meresapi titah-perintahNya yang mengatur prilaku dalam kehidupan masyarakat Muslim, Mereka dalami maksud dan tujuannya serta mengambil hikmahnya.

Setiap harinya Zainab melakukan rutinitas proses belajar dan mengajar, mengajak pemuda tersebut memiliki keberanian dan berani terjun lansung mengumandangkan dakwah keadilan dan kebenaran yang akan menjadi guru dan Pembina dalam membentuk generasi selanjutnya. Wallahu ‘alam

Menilik Kehadiran Tafsir Ilmi

0
ilustrasi tafsir ilmi

Tafsiralquran.id – Dinamika tafsir dalam perjalanannya telah menuai perkembangan yang cukup signifikan. Sejak era klasik hingga era modern-kontemporer tidak sedikit ragam corak penafsiran yang hadir mewarnai geliat tafsir di sepanjang masanya. Salah satunya adalah tafsir ilmi, salah satu disiplin ilmu tafsir al-Quran ini berupaya meyakinkan perspektif Barat pada kesempurnaan syumuliyah al-Quran sebagai wahyu dan mukjizat, bukan berdasar karangan fiksi Rasulullah saw.

Dalam sudut pandang epistimologi, Istilah baru ini dinukil dari dua patah kata yakni tafsir dan ilmi. Tafsir sendiri dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith berarti menerangkan atau menjelaskan, diambil dari akar kata al-fasr yang berarti perkataan atau keterangan. Sedangkan ilmi berasal dari kata ‘Ilm yang berarti ilmu, pengetahuan, sains. Secara sederhana, tafsir ilmi diartikan oleh al-Dhahabi sebagai tafsir yang membahas secara mendalam sisi ilmiah dalam ayat-ayat al-Quran dan berusaha mengeluarkan berbagai pandangan falsafah yang terkandung didalamnya.   

Dalam tapak jejak sejarah, Quraish Shihab menjelaskan, benih corak penafsiran ilmiah ini sebenarnya bermula sejak masa Dinasti Abbasiyah pada pemerintahan Khalifah Ma’mun, dikuatkan oleh Ahmad al-Syirbasyi, bahwa sejak zaman dahulu kaum muslim berupaya menjalin hubungan erat dengan al-Quran sebab penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Upaya ini semakin terlihat hingga pertengahan abad ke-20.

Abdul Manan Syafi’i mengemukakan bahwa prinsip-prinsip tafsir ilmi kemudian didukung kuat oleh al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir Al-Quran dan Ihya’ Ulumuddin dan dilanjutkan dengan Fakhr al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Namun kebangkitan tafsir ilmi mulai berpengaruh luas sejak lahirnya magnum opus Thantawi Jauhari pada tahun 1929, yang berjudul al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, dalam karyanya Thantawi berupaya menggalakkan kembali kajian sains dalam al-Quran. Berdasarkan kalkulasi Tanthawi, terdapat 750 ayat al-Quran yang memuat penjelasan terkait sains. Menurutnya, ayat yang menyinggung terkait sains lebih banyak daripada ayat yang mengulas tentang hukum.  

Sejauh ini, ijtihad para pemikir Islam telah menginspirasi tokoh ilmuwan setelahnya, terbukti dengan hadirnya pelbagai karya yang membahas sisi ke-ilmiah-an al-Quran hingga saat ini. Salah satunya adalah Zaghlul el-Najar dengan karyanya Tafsir al-Ayah al-Kauniyah di al-Quranul al-Karim, Muhammad al-Thahrir ibn Asyur dengan karyanya Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir dan Mahmud Mahdi dengan karyanya I’jaz al-Quran al-‘Ilm.

Di Indonesia, geliat tafsir ilmi terliat sejak tahun 1960 hingga saat ini. secara kalkulasi, tidak terhitung jumlah karya-karya cendekiawan Indonesia yang turut memberikan udara segar penafsiran al-Quran pendektan sains baik dalam tafsir, buku, jurnal, yang mengulas al-Qur’an dalam sudut pandang ilmiah. Transformasi tersebut dapat terlihat dari karya Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy pada tahun 1960 dalam karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Quranul Majied an-Nur, KH. Bishri Musthafa dalam orientasi tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Ibriz, Ahmad Baiquni dalam buku relasi al-Quran dan sains berjudul Seri Tafsir al-Quran bil ‘Ilmi al-Quran dan sebuah karya tafsir oleh tim ITB yang berjudul Tafsir Salman.

Sejauh yang kita ketahui, beberapa ilmuwan telah menyambut positif kehadiran tafsir ilmi. Namun, di samping pro terdapat kontra oleh sejumlah kalangan pemikir islam. diantaranya adalah Muhammad Husain al-Zahabi, al-Syathibi, Muhammad Izzat Darwaza, Shubhi al-Shalih dan Mahmud Syaltut. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran tafsir ilmi telah berupaya menguraikan maksud ayat-ayat al-Quran yang senantiasa relevan sepanjang zaman. Wal’afwu minkum, Waallahu a’lam bish shawab.

Studi Alquran: Mengenal Tafsir Era Kontemporer

0
ilustrasi tafsir era kontemporer

Tafsiralquran.id – Tafsir pada umumnya merupakan ilmu yang cukup teknis, berawal dari bagaimana cara membaca al-Quran hingga bagaimana cara menggali makna yang terkadung oleh teks suci tersebut. Sedangkan seorang penafsir (mufasir) merupakan seseorang yang memiliki tanggung jawab dalam meraih maksud yang ingin Allah sampaikan di dalam teks Alquran.

Dari hal ini dapat diketahui bahwa tafsir merupakan produk mufassir sesuai dengan kedalaman keilmuan yang dimilikinya serta latar kehidupan yang melingkupinya. Muhammad Syahrur dalam karya kitabnya al-Kitab wa al-Quran; Qiroaah Mu’ashiroh menyatakan bahwa secara ideal tafsir merupakan kajian ilmiah yang bersifat objektif berlandaskan teks suci keagamaan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dengan kemajuan pemikiran yang kian melaju pesat rupanya menjadi tempaan semangat bagi para mufasir untuk menyajikan pembaharuan tafsir al-Quran yang signifikan di era modern (kontemporer). Sebagimana istilah al-Quran sahih likulli zaman wa makan kehadiran tafsir kontemporer merupakan penjelas ayat-ayat al-Quran yang disesuaikan dengan situasi saat ini.

Tafsir kontemporer dengan berbagai metode dan pendekatannya memiliki kontribusi besar dalam menyelaraskan pesan al-Quran dengan kondisi zaman yang begitu dinamis, pun menjadikan al-Quran senantiasa komplit dalam menanggapi pergolakan umat Islam dari berbagai persoalan yang begitu kompleks. Dalam kitabnya al-Quran wa Qodaya al-insan, seorang mufasir sekaligus sastrawan Mesir perempuan, Aisyah Abd al-Rahman Bintu Syati’ memberi pengakuan bahwa hak-hak manusia pada abad modern juga harus dibahas dari segi prespektif al-Quran.

Dalam subjeknya, makna kontemporer dalam KBBI memiliki makna se-zaman atau se-masa. Ahmad Syirbasyi dalam buku Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tasir Al-Qur’anul Karim menyebut istilah kontemporer berkisar pada abad ke 13 Hijriah hingga saat ini, sedangkan sebagian pakar menyebutkan bahwa makna kontemporer identik dengan konteks peradaban modern. Tidak heran jika tafsir kontemporer memiliki cara pandang yang berbeda dengan tafsir klasik, jika penafsiran klasik cenderung dipahami secara literal, tekstual dan mengarah pada makna kata, tafsir kontemporer berupaya mengkolaborasikan penggunaan analisis makna dengan ideal konteks moral penafsiran, pun susuai dengan analisa sosial dan historis. 

Tafsir kontemporer telah memberikan warna baru dalam memahami Islam. dalam ruang lingkup tafsir kontemporer, sebagian mufasir berhasil mengemas beberapa bahasan secara tematik, baik pembahsan pada ayat-ayat ekonomi, ayat-ayat lingkungan, ayat-ayat sosial budaya, ayat-ayat sains dan masih banyak lagi. Cakupan tafsir kontemporer juga berfokus pada kajian tentang tafsir ilmi, tafsir feminis atau gender, tasir al-maqashidi, living Quran dan masih banyak lagi. Dengan beberapa pendekatan seperti semantik, semiotik, hermeneutik, fenomenologi, sosiologi, sosiohistoris dan beberapa pendekatan lainnya.

Sebagaimana salah satu mufasir kontemporer bernama Ingrid Mattson dalam bukunya The Story of the Qur’an: Its History and Place in Muslim Life mengganggap penting kajian terkait nash al-Qur’an dengan menangkap pemahaman simbol-simbol yang terkandung pada nash, pun tidak lepas memahami doktrin-doktin di dalamnya secara konteks. Baik dalam kehidupan personal, budaya pop, hukum, seni, atsitekture, sains dan sastra.

Ulama modern lainnya ialah Fazlur Rahman, ia telah menciptakan gagasan baru dengan metode tematik kontekstualnya telah merumuskan hermeneutika double movement, yakni model penafsiran yang menarik situasi masa kini ke masa sejak al-Quran dirunkan kemudian menyelaraskan kembali ke masa kini, sehingga al-Quran bagi Fazlur Rahman tidak dapat dipahami secara harfiah saja melainkan ide moral yang tersimpan pada ayat-ayat al-Quran.

Berdasarkan pandangan para mufasir kontemporer, mengungkapkan bahwa sedikitnya dalam menafsirkan mufasir mememiliki beberapa paradigma yang harus ditekankan dalam tafsir kontemporerdiantaranya adalah:

  1. Menciptakan tafsir kontemporer bersifat kontekstual yang berpacu dengan prinsip keuniversalan al-Quran
  2. Tafsir kontemporer yang bertumpu pada spirit al-Quran
  3. Menasirkan al-Quran dengan sifat terbuka untuk dikritisi demi mengungkap makna dari teks suci.
  4. Menafsirkan Al-Quran dengan pendektan historis, hermeneutis, sosiologis dan pendekatan lainnya.

Sejauh ini tidak bisa dipungkiri bahwa tafsir kontemporer tela menduduki posisi yang cukup penting dalam perkembangan ilmu al-Quran karena telah melahirkan paradigma yang masih segar pada pemahaman al-Quran yang terkesan mengalami stagnasi penafsiran.