Beranda blog Halaman 562

Al-Quran sebagai Sumber Perdamaian

0
macam sebab turunnya Al Quran
macam sebab turunnya Al Quran

Ketentraman dan ketenangan merupakan kondisi yang diharapkan oleh setiap orang, karena itu adalah fitrah manusia. Sehingga wajar sekali apabila di luar sana ada aksi-aksi non-manusiawi maka tindakan tersebut akan cepat menyulut suhu emosional seseorang. Namun sangat disayangkan jika ada persepsi dari sekelompok orang atau golongan bahwa Islam dipandang sebagai agama yang jauh dari kata perdamaian. Lantas bagaimana kita menjawab tuduhan tersebut terhadap Islam?

Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri, pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah swt., ia adalah agama yang membawa kedamaian di muka bumi ini bagi siapapun.

Al-Quran sebagai pegangan umat Islam, di dalamnya terdapat nilai-nilai agama yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Diantaranya adalah seruan untuk menjadi muslim secara Kaffah (keseluruhan) dan memegang erat perdamaian.

Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).           

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, kata “as-Silm” bermakna berserah diri dan tunduk kepada Allah swt. lalu kemudian diartikan dengan istilah perdamaian dan agama Islam. Dan pada ayat tersebut al-Maraghi menjelaskan makna “Kaffah” dalam berislam:

كافة : أي في أحكامه كلها التي أساسها الاستسلام والخضوع لله والإخلاص له، ومن أصوله الوفاق والمسالمة بين الناس وترك الحروب بين المهتدين بهديه

Artinya: “(Kaffah), yakni pada semua hukum-hukumnya yang terdiri dari asas menyerahkan diri, tunduk dan tulus kepadaAllah Swt. dan termasuk pokok-pokok ajaran (Islam) adalah kerukunan, berdamai dengan manusia dan tidak berperang dengan orang-orang yang mendapat petunjuknya”.

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa  dalam ajaran Islam, perdamaian merupakan kunci pokok menjalin hubungan antar umat manusia, sedangkan perang dan pertikaian adalah sumber malapetaka yang berdampak pada kerusakan sosial. Agama mulia ini sangat memperhatikan keselamatan dan perdamaian, juga menyeru kepada umat manusia agar selalu hidup rukun dan damai dengan tidak mengikuti hawa nafsu dan godaan Syaitan yang merupakan musuh yang nyata dan penyebab perpepacahan.

Islam hadir untuk menjadi penyelamat dan penyejuk di muka bumi ini, oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak diragukan lagi. Dan sebagai agama damai, Islam tidak membenarkan adanya praktek kekerasan atau cara-cara yang bukan islami untuk mencapai tujuan politis. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Allah Sw. menyampaikan dalam firman-Nya:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiyaa’ : 107).

Dari ayat diatas para mufassir menjelaskan bahwa Islam diturunkan oleh Allah swt. ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad saw. semata.

As-Sya’rawi juga memberi komentar atas ayat tersebut dalam tafsirnya, bahwa semestinya umat Islam atau non-Islam hendaknya berkumpul dan bertemu pada ayat ini untuk mengambil rahmat dari sumbernya, sehingga akan terdapat titik temu yang baik dengan sama-sama memulai memperbaiki diri sendiri. Kehadiran damai dalam kehidupan setiap makhluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan.

Islam pada intinya bertujuan menciptakan perdamaian dan keadilan bagi seluruh manusia, Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasāmuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslim terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahl al-Kitab maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan kedamaian. Maka semua tidakan arogansi, radikalisme dan terorisme adalah tidakan yang bukan bersumber dari Islam. Wallahu A’lam.

Tafsir QS. Ali Imran [3] ayat 14-15: Cintai Dia Sewajarnya, Cintai Tuhan Sepenuhnya

0
Red heart on white 3

Mencintai adalah fitrah manusia. Baik mencintai keluarga, pekerjaan, harta, dan berbagai hal duniawi lainnya. Akan tetapi, terkadang kecintaan pada dunia yang berlebihan akan berdampak negatif untuk manusia. Agar hal tersebut tidak berdampak negatif, Allah mengingatkan manusia, khususnya umat Muslim bahwa cinta yang sebenarnya adalah cinta di sisi Allah. QS. Ali Imran [3]: 14 berbicara tentang cinta

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbikang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”

Dalam tafsir Kemenag RI dijelaskan, kecintaan terhadap wanita (istri), anak, harta, atau beberapa hal yang disebutkan dalam ayat tersebut bukanlah suatu hal yang dilarang, akan tetapi sebagai pengingat agar seseorang mencitai sewajarnya. Serta, menggunakan segala kecintaan kepada hal yang disebutkan di ayat tersebut hanya untuk Allah.

Kata Hubbus syahawaat  dalam ayat tersebut, jika dipahami bahwa Allah yang memperindah syahwat, maka keseluruhan itu baik. Karena, hal tersebut menurut Quraish Shihab relevan dengan kalimat selanjutnya,” itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” 

Kata mata’ yang diartikan kesenangan dalam ayat  tersebut memiliki makna kesenangan yang hanya bersifat sementara. Maka, jelas jika apa sajanyang ada di dunia ini hanya sementara, hanya sebuah titipan yang nanti akan dipertanggungjawabkan.

M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan, bahwa syahwat adalah kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat indrawi. Jika kecenderungan itu berasal dari Allah, maka kebajikan-kebajikan yang akan menyertainya. Seperti keimanan yang dijadikan indah oleh Allah dalam hati orang yang beriman (baca QS. al-Hujurat [49] : 7).

Sedangkan, jika kecederungan hati, kecintaannya yang diperindah syaitan, akan dijadikan indah dalam bentuk kecintaan yang berlebihan, dan menjadikan sesuatu yang buruk terlihat baik. Seperti halnya kaum musyrikin yang menganggap indah pembunuhan terhadap anak (baca QS. Al-An’am [6] : 137).

Lantas bagaimana mencintai apa yang Allah anugerahkan kepada kita dengan sikap sewajarnya?

Dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah, manusia ditugaskan oleh Allah untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini supaya dunia ini makmur. Agar maksud itu tercapai, Allah memberikan manusia naluri. Naluri atau dorongan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan segala aktivitasnya. Termasuk pada naluri untuk memelihara diri dan memelihara jenisnya. kemudian, naluri yang bersifat fitrah ini dinamai hubbu asy-syahawaat.

Mencintai dengan wajar syahwat-syahwat yang disebutkan oleh Allah dalam ayat ke-14 tersebut berarti seseorang perlu menyadari bahwa ada keuntungan yang lebih baik dari semua itu, yakni “wa Allahu, ‘indahu husnul ma’aab”. Hanya disisi Allah kesudahan yang baik.

Kecintaan terhadap syahwat-syahwat tersebut harus berorientasi pada masa depan yang lebih jauh (akhirat). Mencintai pasangan halal, melakukan hubungan badan demi memelihara diri dan keturunan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Menyayangi keturunan (anak) dengan menanamkan nilai-nilai islami, untuk keberlangsungan ajaran Islam pada generasi selanjutnya merupakan hal yang sangat baik. Mencintai harta dengan menggunakannya di jalan yang baik, serta membuat harta tersebut dialokasikan untuk hal-hal yang bermanfaat untuk orang banyak, termasuk tindakan yang sangat baik. Begitupun kecintaan lainnya, yang didasarkan dan disandarkan pada nilai, maksud, yang positif, serta dengan maksud mengharap ridho Allah merupakan maksud dari ayat 14 surat Ali Imran ini.

Lebih jauh, jika semua syahwat yang disebut di atas, wanita (pasangan), anak, harta, adalah baik, akan tetapi ada yang lebih baik daripada itu. Ini lebih diperjelas dalam ayat selanjutnya (Ali Imron [3] : 15), yaitu mencintai Allah sepenuhnya.

قُلْ اَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِّنْ ذٰلِكُمْ ۗ لِلَّذِيْنَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَاَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِالْعِبَادِۚ

Katakanlah, “Inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa, pada sisi Tuhan mereka, ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dianugerahi) pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan yang sangat besar bersumber dari Allah. Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.”

Ayat sebelumnya (Ali Imran [3] : 14) telah menginformasikan tentang anugerah Allah berupa hubbu asy-syahawaat pada beberapa hal yang telah disebutkan. Nah, ayat ke-15 ini melanjutkan bahasan ayat sebelumnya dengan pertanyaan, “inginkah kuberitahukan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”

Kata aunabbiukum merupakan kata yang terambil dari naba’,  yang berarti berita penting. Artinya hal yang akan disebutkan setelah pertanyaan itu adalah jauh lebih penting dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya.

Untuk orang-orang yang bertakwa‘, yaitu orang-orang yang naluri kecintaannya melekat pada dirinya dengan cara dan ketentuan Allah. Mereka yang mencintai dengan tanpa melanggar ketentuan-Nya, yang mencitai dia (dunia) dengan sewajarnya, dan mencintai Dia (Allah) dengan penuh pengabdian. Disampaikan, bahwa di sisi Tuhannya, akan ada sungai-sungai yang mengalir, kekekalan untuk mereka yang kelak tinggal di sana. Disertai pasangan-pasangan yang disucikan.

Ibnu Katsir menyebutkan, kata ‘disucikan’ berarti suci dari kotoran, najis, haid, nifas dan penyakit yang biasa ditimpakan di dunia. Di tempat yang kekal itu, hanya ada kesenangan yang tak ada batasnya, mereka kekal di dalamnya.

M. Quraish Shihab menafsirkan, dalam sungai yang mengalir , artinya mereka (para penghuni) tidak perlu bersusah payah mengairinya. Terlebih, banyak yang disediakan di dalam sungai itu yang tidak pernah telintas dalam penglihatan dan  pendengaran, atau bahkan dalam imajinasi manusia di muka bumi. Mereka yang ada di dalamnya dianugerahi pasangan yang suci,  jauh dari kotoran jasmani dan rohani. Yang lebih besar adalah karena adanya keridhoan Allah.

Lebih lajut, dalam tafsir Al Misbah, Quraish Sihab menjelaskan makna ridha (رضى). Menurutnya, kata ridha yang ditambah dengan alif dan nun menunjukkan kebesaran, dan keagungan. Keridhaan yang bersumber dari Allah adalah anugerah yang sangat besar. Ini semua merupakan janji Allah, tak ada keraguan di dalamnya.

Jika keridhoan Allah telah didapat, maka apapun yang dikehendaki makhluknya akan Ia berikan. Memberikan bukan dengan setengah-setengah, tetapi dengan penuh keridhaan yang amat agung.

Dalam Tafsir Kemenag terkutip sabda Rasulullah;

Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berkata kepada ahli surga.

“Hai Penghuni Surga.”

“Labbaika Rabbana Wasa’daika.”

Allah berkata, “sudah puaskah kalian semua?”

Mereka menjawab, “mengapa kami tidak puas. Sungguh, Engkau telah mmberikan kepada kami sesuatu yang belum pernab Engkau berikan kepada seorang dari makhluk-Mu.”

Allah berfirman, “aku akam berikan kepadamu yang lebih baik daripada itu?”

Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, apakah yang lebih daripada itu?”

Allah menjawab, ” Aku akan melimpahkan kepadamu Keridhaan-Ku. Lalu, aku tidak akan marah kepadamu selama-lamanya.”

(Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al Khudri)

Jika demikian, keridhaan Allah adalah yang lebih baik dari yang terbaik. Ketika Allah ridha, segala sesuatu akan dilancarkan, diberkahi, dan dipenuhi kebaikan-kebaikan. Keridhaan (cinta) Allah adalah tujuan akhir dari penghambaan di muka bumi. Mencapai Ridha Allah merupakan tujuan yang harus diperjuangkan dengan sepenuhnya.

Cintai istri/suami, anak, harta, jabatan, kendaraan dan sebagainya yang ada di dunia, atas dasar kecintaanmu pada Rabb mu, untuk mencapai Keridhaan Tuhanmu.

Wallahu A’lam bissowab

Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

0
menggali pesan tuhan

Tafsiralquran.id – Al-Qur’an hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai kitab cinta bagi umat Islam. Di dalamnya berisikan pesan-pesan yang ingin Allah swt sampaikan kepada makhluk-Nya. Melalui al-Quran Allah senantiasa mengajak makhluk-Nya untuk berinteraksi dengan diksi yang variatif. Agar interaksi Allah kepada manusia berlangsung dengan baik, sudah menjadi tugas manusia untuk berupaya memahami pesan-pesan yang hendak Allah sampaikan dalam ayat-Nya tersebut.

Historitas menjelaskan, teks al-Quran yang disampaikan dengan bahasa Arab ini memiliki tingkat sastra yang sangat tinggi, sehingga mampu mengalahkan ribuan syair para pujangga di semenanjung Arab kala itu, keistimewaan inilah yang kemudian menjadikan al-Qur’an tiada tanding serta menjadi kitab peripurna sepanjang masa.

Sejauh ini, kapasitas manusia yang serba terbatas menjadi problem umat dalam menangkap makna al-Quran. Bahkan orang Arab dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tergolong dekat dengan Nabi sekalipun tidak mampu menangkap pesan ilahi secara sempurna. Misal pada kisah seorang sahabat Nabi bernama Adi bin Hatim yang mendapati kebingungan terkait prihal puasa dalam al-Quran :

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ لْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.

Sebab kebingungannya, sahabat ‘Adi bin Hatim mengambil benang putih dan benang hitam seraya melihatnya, namun ia tak kunjung mendapat jawaban terkait maksud ayat tersebut, sehingga pagi harinya ia menanyakan perihal tersebut kepada Nabi. Maka Nabi menjelaskan bahwa al-khaithul abyadhi bermakna siang, sedangkan al-khaitul aswadi bermakna malam.

Dalam hal ini, sudah menjadi  tugas Nabi untuk memberikan penjelasan atas wahyu yang diturunkan kepadanya, namun setalah Nabi wafat, kesulitan itu menyadarkan para sahabat dan generasi berikutnya dalam memahami al-Quran. Terlebih perkembangan Islam yang semakin meluas di penjuru dunia membuat para Ulama berusaha keras mencetuskan berbagai cabang ilmu Ulumul Quran sebagai rambu-rambu dalam memahami al-Quran agar manusia mampu mengetahui pesan yang terkandung dalam kitab cinta tersebut.

Sebagaimana TM Hasbi al-Siddiqie dalam bukunya menjelaskan muatan-muatan yang menjadi ranah kajian ulumul Quran meliputi:

  1. Ilmu Muwathin al-Nuzul, mengkaji tempat, musim, awal dan akir ayat al-Quran
  2. Ilmu tawarikh al nuzul, mengkaji seputar turunnya ayat
  3. Ilmu  Asbab al-Nuzul,mengkaji latar belakang  turunya ayat.
  4. Ilmu Qiroaat, mengkaji ragam bacaan al-Quran. 
  5. Ilmu Tawid, mengkaji tata cara membaca al-Quran.
  6. Ilmu Garibul Quran, mengkaji makna dan lafadz-lafadz yang ganjil.
  7. Ilmu I’rabul Quran, mengkaji posisi subjek dan objek pada ayat.
  8. Ilmu Wujuh wa al-Nadzair, mengkaji pilian makna yang paling tepat.
  9. Ilmu Muhkan dan Mutasyabih, mengkaji makna yang jelas dan makna yang masih ambigu.
  10. Ilmu Nasikh dan Mansukh, mengkaji ayat-ayat yang diganti.
  11. Ilmu Badi’ al-Quran, mengkaji keindahan gaya bahasa al-Quran.
  12. Ilmu I’jaz al-Quran, mengkaji kemukjizatan al-Quran.
  13. Ilmu Munasabah, mengkaji keserasian ayat dan suroh al-Quran.
  14. Ilmu Aqsam al-Quran, mengkaji ayat pernyataan sumpah dari Allah.  
  15. Ilmu Amtsilah al-Quran, mengkaji indikasi perumpamaan dalam al-Quran.
  16. Ilmu Jadal al-Quran, mengkaji ayat-ayat perdebatan dalam al-Quran.
  17. Ilmu Adab al-Tilawah, mengkaji tentang tata krama membaca al-Quran.

Sedemikian banyak cabang ilmu ‘Ulumul Quran yang dirumuskan oleh para Ulama tidak lain ingin menyampaikan urgensi ilmu-ilmu al-Quran sebagai sarana menggali pesan Tuhan, terlebih akir-akhir ini banyak fenomena pemahaman masyarakat yang keliru dalam memaknai ayat-ayat al-Quran, mereka cenderung memaksakan makna ayat sesuai dengan argumentasi dengan dasar pemahaman yang kosong, hal inilah yang kemudian melahirkan istilah cocokologi ayat.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia dengan keterbatasannya memerlukan ilmu utuk memahami al-Quran. Pun perlu mengetahui ilmu apa saja yang menjadi dasar untuk dapat mengungkap pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Quran.

Ulumul Qur’an [2]: Sejarah dan Perkembangannya

0
ulumul quran

Tafsiralquran.id – Di masa pemerintahan khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, diperintah seorang tokoh untuk meletakkan kaidah-kaidah bahasa Arab, yakni Abu al-Aswad al-Duwali. Pada perkembangan selanjutnya, ini dikenal dengan ilmu I’rab al-Qur’an. Sedangkan upaya dalam pembukuan pembahasan-pembahasan ‘Ulumul Qur’an tetap dilakukan hingga abad kedua. Hanya saja, para ulama pada waktu itu lebih terfokuskan pada kajian-kajian tafsir. Tafsirnya pun mayoritas merujuk pada pendapat sahabat dan tabi’in. Salah satu mufasirnya adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H).

Pada abad ketiga, pembahasan ‘Ulumul Qur’an telah ditulis, namun masih dalam satu tema sendiri-sendiri. Di antaranya adalah tulisan yang berjudul asbabun nuzul, karangan dari ‘Ali al-Madini (w. 234 H). Abu Ubaid al-Qasim ibn Sallam (w.224 H) menyusun kitab naskh  wal mansukh.  Kemudian, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab musykil al-Qur’an, Muhammad bin Ayyub al-Darls (294 H) menyusun kitab yang membahas terkait ayat yang turun di Mekah dan Madinah. Dan Muhammad ibn Khalf ibn al-Mirzaban (w.309) menyusun kitab al-Hawiy fi ‘ulumul Qur’an.

Perkembangannya terus berlangsung hingga abad keempat. Hal ini terbukti dengan karya-karya yang dihasilkan oleh para ulama. Di antaranya adalah Ajai’b ‘ulumul Qur’an karya dari Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbary (w.328 H). Al-Anbary memaparkan penjelasan tentang kemuliaan dan kelebihan Alquran, jumlah kata, ayat dan surat dalam Alquran, dan yang lainnya.

Lalu, ada Abu al-Hasan al-Asy’ary (w.324 H) menyusun kitab al-Mukhtazan fi ‘ulumul Qur’an. Kemudian, kitab Gharib al-Qur’an karya dari Abu Bakar al-Sajastaniy (w.330 H). Serta, Abu Muhammad al-Qasab Muhammad ibn Ali al-Karkhiy (w. 360-an H) menyusun kitab Nakt al-Qur’an al-Dallah al-Bayan fi Anwa al-‘Ulum wa al-Ahkam al-Munabbiah’an Ikhtilaf al-Anam. Dan juga, Muhammad ibn Ali al-Adfawiy (w.388 H) yang menyusun tulisan al-Istigna’ fi ‘Ulum al-Qur’an.

Di abad kelima, sudah ada karya yang membukukan ‘ulumul Qur’an, yakni ‘Ali bin Ibrahim ibn Sa‘id al-Hufiy (w. 430 H) dengan judul al-Burhan fiy ‘Ulum al-Qur’an. Ulama pun menetapkan al-Hufiy sebagai tokoh pertama yang membukan pembahasan-pembahasan ‘ulumul Qur’an.

Pada abad keenam hingga ke kesepuluh, pembukuan serta pembahasan yang lebih komprehensif kian digerakkan. Bahkan beberapa karyanya, hingga kini tetap menjadi rujukan para pengkaji Alquran, di antaranya adalah kitab Funun al-Afinan fi ‘Ulum al-Qur’an karya dari Ibn al-Jauziy (w.597 H), serta kitab al-Mujtaba fi ‘Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an.

Selanjutnya, di abad ketujuh, Alamuddin al-Sakhawiy (w.641 H) menyusun kitab yang berjudul Jamal al-Qurra wa Kamal al-Iqara. Lalu, Abu Syamah (w.665 H) menyusun kitab al-Mursyid al-Wajid fiy Ma Yata’allahq bi al-Qur’an al-Aziz.

Pada abad ke 8, al-Zarkasyi (w.794 H) menyusun kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Lalu pada abad 9, Jalal al-Din al-Bulqniy (w.824 H) menyusun kitab Mawaqi’ al-‘Ulum fi Mawaqi al-Nujum. Dan, di awal adab kesepuluh, Jalal al-Din al-Suyutiy (w.911 H) menyusun kitab al-Tahbir fi ‘Ulum al-Tafsir  dan kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Kemudian, terjeda dalam waktu yang cukup lama, kajian-kajian ‘ulumul Qur’an ada dalam tahap stagnan. Dan, mulai muncul kembali di abad keempat belas. Pembahasan ‘ulumul Qur’an mencakup sebagian besar cabang-cabangnya, seperti, al-Tibyan li Ba’d al-Mabahis al-Muta’alliqah bi al-Qur’an karya dari Tahi al-Jazayiri di tahun 1335 H. Ada juga, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, seorang ulama besar al-Azhar yang menyusun kitab tentang ulum al-Qur’an.

Setelah itu, Muhammad ‘Ali menyusun kitab Manhaj al-Furqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Dan, disusul oleh Muhammamd Abd al-Adzim al-Zarqaniy dengan bukunya Manihil ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Serta, Ahmad ‘Ali yang menyusun kitab Muzakkirah ‘Ulum al-Qur’an dan Subhi Salih menyusun kitab Mabahits fi ‘Ulum Qur’an.

Di samping itu, juga ada karya dari Manna’ al-Qattan yakni Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an karya ‘Ali al-Sabuni. ‘Ulum al-Qur’an wa al-Hadits karya Ahmad Muhammad ‘Ali Daud. Ada juga dalam bahasa Indonesia yakni karya dari T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dengan judul Ilmu-Ilmu Alquran. []

Ulumul Qur’an [1]: Sejarah dan Perkembangannya

0
ulumul quran

Tafsiralquran.id – Lahirnya ‘Ulumul Qur’an begitu lekat dengan proses turunnya Alquran yang dibarengi dengan seputar pertanyaan-pertanyaan dari umat Nabi Muhammad kala itu. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itulah, kajian-kajian seputar Alquran muncul. Keilmuan itulah yang kita kenal dengan ‘Ulumul Qur’an.

Seperti yang dikutip oleh Imam Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an. Ia mengutip pendapat al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi –atau yang lebih dikenal dengan Ibnu al-‘Arabi- yang disebutkan dalam kitabnya Qanun al-Ta’wil, bahwa ‘Ulumul Qur’an itu terdiri dari 50 pengetahuan, 7.400 pengetahuan atau bahkan 70.000 pengetahuan, atas bilangan kalimat Alquran yang terbagi dalam 4 bagian.

Sebagian ulama salaf berkomentar, bahwa di setiap kalimat ada yang dzahir dan bathin, ada juga yang had dan muqathi’. Dan ini, tidak terbatas pada susunan kalimat atau korelasi di antaranya. Dan, tidak ada perhitungan dan pengetahuan selain Allah.

Tersistematisnya kajian keilmuan yang ada dalam ‘Ulumul Qur’an seperti sekarang ini, bukan satu hal yang langsung begitu saja. Artinya, kelimuan tersebut ada melalui proses sejarah yang cukup panjang. Sebagaimana yang diterangkan oleh Ayatullah Muhammad Baqir Hakim dalam karyanya ‘Ulumul Qur’an. Dalam potret sejarahnya, semenjak pada zaman Nabi Muhammad Saw., ilmu-ilmu Alquran –seperti yang kita ketahui saat ini, hanya saja belum dibakukan- semacam itu diajarkan dengan metode talqin atau didektekan secara lisan.

Pembelajaran yang demikian berlangsung cukup lama, hingga Nabi Muhammad Saw. wafat dan ajaran Islam tersebut luas. Dari sinilah kemudian timbul satu kekhawatiran, jika keilmuan-keilmuan dalam Alquran akan hilang. Di samping itu, penyampaian secara lisan dirasa sudah tidak lagi bisa mengatasi.

Ditambah lagi, seiring dengan bertambahnya masa, jarak kehidupan antara Nabi Muhammad Saw. dengan umat semakin jauh. Dan, Islam semakin berinteraksi dengan berbagai bahasa. Atas dasar kegelisahan itulah, perlu adanya pembaharuan untuk mendokumentasikan kajian ilmu-ilmu ke-Alquran-an. Hal ini, tidak lain untuk mengabadikan serta memeliharanya dari pemalsuan dan penyimpangan. Kegelisahan seperti itu, sebenarnya sudah ada dalam benak Imam ‘Ali bin Abi Thalib. Ia berinisiatif untuk mengumpulkan lembaraan-lembaran Alquran yang berceceran.

Dalam kitab yang ditulis oleh Ibnu Nadim, yakni al-Fihrits diceritakan bahwa di saat Nabi Muhammad Saw. wafat, Imam ‘Ali berjanji tidak akan menanggalkan surbannya yang dikenakan di lehernya, hingga berhasil mengumpulkan lembaran Alquran tersebut. Kemudian, selama tiga hari Imam ‘Ali berdiam diri di rumah. Tak lain untuk mengumpulkan lembaran-lembaran Alquran. []

Tafsir Surah Al Nahl Ayat 125: Metode Dakwah Rasulullah SAW

0
metode dakwah rasul saw

Tafsiralquran.id – Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menyerukan kepada kebaikan (dakwah), agar senantiasa ajaran Islam dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan.  Namun, kesuksesan dakwah diantaranya sangat ditentukan oleh bagaimana dakwah itu dilaksanakan. Maka dari itu metode dakwah merupakan salah satu unsur dakwah yang memiliki peran penting dan strategis untuk keberhasilan dakwah.

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. al-Nahl, ayat 125 :

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. 

Mayoritas Mufassirin menjelaskan bahwa maksud lafadz Sabili Rabbika adalah al-Islam atau al-Din. Tapi berbeda dengan Ibnu Ajibah yang memaknainya dengan “al-Islam, al-Iman dan al-Ihsan”, ketiganya  merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dalam agama, sehingga perbedaan tersebut tidak berdampak pada esensi tujuan berdakwah.

Pada ayat tersebut juga disebutkan prinsip umum tentang metode dakwah Islam, yaitu dengan al-Hikmah, al-Mau’idzah al-Hasanah dan al-Mujadalah al-Ahsan.

Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, makna al-Hikmah berarti perkataan jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada kebenaran dan menyingkap keraguan. Sedangkan makna al-Mauidzah al-Hasanah adalah nasehat dan pelajaran yang baik, serta perkataan yang santun. Dan al-Mujadalah al-Ahsan  adalah etika berdiskusi atau berdebat dengan cara yang santun, ekspresi wajah yang ramah, menggunakan argumentasi yang paling kuat dan pendahuluan yang sudah umum.

Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa al-Hikmah dengan hujjah (argumentasi), akurat, dan berfaedah untuk penetapan akidah atau keyakinan. Sedangkan al-Mauidzah al-Hasanah adalah  petunjuk-petunjuk dan dalil-dalil yang dapat memuaskan. Dan makna al-Mujadalah al-Ahsan adalah berdiskusi dengan dalil-dalil yang benar (diterima).

Ibnu katsir memberi makna al-Hikmah  dengan al-Quran dan Hadits, makna al-Mauidzah al-Hasanah berupa teguran-teguran dan peristiwa-peristiwa yang dapat mengingatkan kepada manusia akan kekuasaan Allah. Dan al-Mujadalah al-Ahsan bermakna diskusi dengan wajah ramah, santun dan perkataan yang baik.

Dari beberapa pemaknaan ahli tafsir tersebut, dapat diambil kesimpulan dari masing-masing metode dakwah Islam. Pertama metode al-Hikmah, yakni penyeruan atau ajakan dengan cara yang bijak, filosofis, argumentatif, sesuai dengan risalah al-Nubuwah dan ajaran al-Quran. Kedua, metode al-Mauidzah al-Hasanah, yakni mengingatkan kepada yang lain berupa pelajaran-pelajaran, peringatan dan motivasi, dan perkataan yang lembut penuh kasih sayang, sehingga dapat memuaskan pendengarnya dan menyentuh sanubari. Ketiga, metode al-Mujadalah al-Ahsan, yakni upaya dakwah melalui bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang terbaik, sopan, santun, saling menghargai, dan tidak arogan.

Terkait pembagian metode dakwah tersebut, Ibnu Ajibah memberi komentar:

فالأولى:لدعوة خواص الأمة الطالبين للحق. والثانية: لدعوة عوامهم، والثالثة: لدعوة معاندهم

Artinya: “pertama (al-Hikamah) diperuntukkan orang-orang tertentu (mempunyai kapasitas keilmuan) yang mencari kebenaran, kedua (al-Mauidzah al-Hasanah) ditujukan kepada orang-orang awam, dan ketiga (al-Mujadalah al-Ahsan) ditujukan kepada orang yang keras kepala”.

As-Saya’rawi dalam tafsirnya memberikan gambaran dakwah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits dikisahkan: Suatu ketika ada seorang pemuda yang mendatangi Rasulullah dan berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku berzina”. Mendengar perkataan tersebut Rasulullah tidak membentak dan menghardiknya, bahkan mendekati, mendidiknya dan dengan tutur kata lembut dan bijak.

Rasulullah kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang menohok sang pemuda.  “Apakah kamu rela kalau ibumu dizinai orang lain?” tanya Rasulullah. Pemuda itu langsung menjawab “tidak wahai Rasulullah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. “Demikian juga orang lain, mereka tidak ingin hal itu menimpa ibu-ibu mereka”.

Lalu Rasulullah melanjutkan dengan menuturkan satu-persatu dari kerabatnya. Rasulullah juga mendoakan pemuda tersebut agar dirahmati Allah swt., dosa-dosanya diampuni, hatinya disucikan, dan dijaga kemaluannya. Sehingga pemuda tersebut akhirnya menjadi orang yang paling membenci zina. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah

0
ilustrasi musibah (sumber: kompasiana.com)

Setiap musibah yang datang kepada manusia adalah atas izin Allah SWT. Berangkat dari itu, maka musibah harus disikapi dengan bijaksana dan bersikap sesuai ketentuan Allah. Karena setiap musibah yang menimpa, pasti ada hikmah dari Allah SWT yang bermanfaat untuk semua manusia.

Syekh Imam al-Qurtubi menyatakan dalam Tafsir Al-Qurtubi, bahwa musibah adalah segala sesuatu yang diderita atau dirasakan oleh mukmin. Dan kata musiibah ini adalah bentuk tunggal, sedangkan jamaknya al-mashaaib. Musibah ini biasanya diucapkan ketika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat baginya. Kata musibah juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk dan tidak dikehendaki.

Allah SWT dalam berkehendak juga tidaklah sia-sia, karena setiap kehendakNya mengandung hikmah yang perlu diteladani, dengan begitu akan menambah kedekatan denganNya. Berikut merupakan QS. al-Hadid [57]: 22-23 yang menjelaskan terkait hikmah dari musibah:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ23

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiaporang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).

Menurut Quraish Shihab pada kitab Tafsir al-Misbah, QS. al-Hahid [57]: 22 menganjurkan untuk tidak terpengaruh dengan gemerlap duniawi, karena sesungguhnya ayat tersebut mengingatkan manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan setan menyangkut dampak negatif berinfak dan berjuang. Sebab tiada suatu bencanapun yang menimpa kamu atau siapapun di bumi, seperti kekeringan, paceklik, longsor, gempa, banjir, dan tidak pula pada dirimu sendiri, seperti penyakit, kemiskinan, kematian, dan lain-lain, melainkan sudah tercatat dalam kitab yakni Lauh Mahfudh.

Maka Allah mengingatkan kepada makhluknya untuk tidak bersikap sombong hingga lupa daratan, begitu pula Allah juga tidak menyukai orang yang berputus asa akibat kegagalan. Karena sesungguhnya musibah itu bisa buruk dan bisa menyenangkan. Jadi QS. al-Hadid [57]: 22-23 ini, menjelaskan hakikat musibah yang bertujuan menempa manusia dan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh.

Dituliskan juga oleh Ibnu Hatim pada karyanya Tafsir al-Quran al- adzim Ibnu Abi Hatim, bahwa seorang Nabi juga pernah mengalami putus asa ketika berdakwah yakni peristiwa nabi Yunus. Kemudian Allah memberiya musibah beliau dengan ditelannya Nabi Yunus oleh ikan Paus yang besar. Selanjutnya Nabi Yunus memohon kepada Allah SWT,berikut doa Nabi Yunus:

اللَّهُمَّ، لَا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَك إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Ya Allah, tidak ada Tuhan melainkan Engkau, maha suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang aniaya”

Pendapat lain dari Imam al-Baidhawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari datangnya musibah tidak lain adalah agar manusia tidak sedih atas hilangnya kenikmatan dunia yang ia miliki dari genggamannya. Serta tetap bersyukur atas segala karunia yang Allah berikan padanya makluknya.

Hikmah dari musibah bisa dirasakan jika seorang hamba tetap berhusnudzan kepada Allah SWT, sabar serta tidak meninggalkan rasa syukur ketika memperoleh nikmat ataupun kesulitan hidup. Tetap optimis, yakin bahwa selalu ada hikmah disetiap musibah. Wallahu a’lam.

 
 

Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi

0
kaligrafi Surat An-Nahl (Sumber: al-Islam)

Artikel sebelumnya penulis sempat membahas mengenai satu nikmat Allah bagi umat manusia yakni adanya laut yang menjadi sumber kehidupan. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang membahas tafsir QS. An-Nahl [16] ayat 14. Selain laut Allah memberikan banyak karunia bagi manusia seperti keberadaan gunung-gunung, sungai, jalan-jalan dan tanda-tanda lain agar manusia dapat berpikir. Ada pun firman Allah yang membahas nikmat selain laut sebagai berikut:

وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَنْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَۙ وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ

Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk” (an-Nahl [16] : 15-16)

Allah swt. mengawali firman-Nya dengan menyebut gunung. Menurut Imam Abu Ja’far al-Tabari pada ayat tersebut terdapar redaksi Rawasi yang merupakan bentuk jamak dari kata Rasiyah yang berarti tetap. Maksudnya, Allah menciptakan gunung di muka bumi agar dapat menciptakan keseimbangan alam sehingga bumi tidak mudah goncang dan makhluk hidup terutama umat manusia dapat hidup dengan nyaman.

Lalu keberadaan sungai-sungai di muka bumi yang mengalir dari satu tempat ke tempat lain bertujuan sebagai sarana penghidupan bagi umat manusia baik sebagai sarana transportasi maupun tempat mencari bahan makanan. Begitu pula adanya penciptaaan jalan-jalan sebagai sarana bagi umat manusia agar mendapat kemudahan dalam bepergian dan melangkah mencari karunia Allah yang ada di bumi. Sehingga pada akhir ayat Allah Swt menjelaskan tujuan penciptaan-Nya agar manusia mendapatkan petunjuk berupa menggunakan potensi akalnya untuk mengelola ciptaan Allah agar tidak tersesat (Muhammad ibn Jarir al-Tabar, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Jilid 4, hal. 508).

Menurut Muhammad Tahir ibn ‘Ashur dalam menafsirkan ayat 15 di atas berkenaan dengan penciptaan jalan-jalan bertujuan untuk memudahkan perjalanan bagi umat manusia di bumi khususnya di daratan serta menjadi sarana transportasi dari satu wilayah ke wilayah lain. Dengan demikian keberadaan jalan ini pun menjadi cara agar orang-orang tidak tersesat (Muhammad Tahir ibn ‘Ashur, Tafsir al-Tahrir Wa al-Tanwir, Juz 14, hal. 122)

Ayat 16 terdapat redaksi Wa ‘Alamat yang diterjemahkan dengan Dan (dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Menurut Imam ibn ‘Arabi redaksi ‘Alamat dengan mengutip pendapat Qatadah bahwa hal tersebut dimaknai dengan bintang-bintang yang memiliki fungsi sebagai perhiasan langit, petunjuk bagi yang melakukan perjalanan di malam hari dan sebagai alat pelempar setan jika makhluk tersebut menguping pembicaraan. Sementara itu, menurut Mujahid sebagaimana dikutip oleh Imam ibn ‘Arabi bahwa pengertian redaksi ‘Alamat adalah  tanda-tanda berupa perbintangan yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia.

Redaksi selanjutnya yakni Wa Bi an-Najm yang berarti Dan dengan bintang-bintang masih menurut Imam ibn ‘Arabi terdapat tiga pengertian.

Pertama, al-Najm menggunakan bentuk tunggal, namun yang dimaksud adalah kata jamak yakni an-Nujum atau bintang-bintang di langit yang mana untuk mengetahui maksud dari tanda-tanda ini dibutuhkan pengetahuan.

Kedua, redaksi tersebut diterjemahkan dengan al-Thurayya yang berarti gugus bintang (klaster Pleiades). Ketiga bermakna al-Jidy yang berarti rasi bintang Kaprikornus. Semua pengertian ini menandakan bahwasanya nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya adalah perbintangan. Tentu saja untuk mengetahui eksistensi bintang serta cara memahami arah petunjuk dari bintang diperlukan suatu ilmu yang membicarakan hal tersebut. Sehingga seseorang yang menguasai ilmu perbintangan dapat memahami dimana letak terbit dan tenggelamnya juga mengetahui arah mata angin (Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur`an, volume 3, hal. 127-129).

Hemat penulis keberadaan beberapa ciptaan Allah yang ada pada kedua ayat di atas merupakan anugerah dan nikmat besar bagi umat manusia. Dengan adanya ciptaan tersebut manusia dituntut untuk menggunakan akalnya juga potensinya dalam menjaga ciptaan Allah seperti gunung, sungai dan jalan dari semua hal yang mengarah pada kerusakan. Selain itu, eksistensi perbintangan pun merupakan hal yang harus disyukuri karena adanya hal ini menjadikan manusia belajar mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah di alam raya.

Bintang memang menjadi perhiasan yang tergambar pada langit, namun dengan mempelajari perbintangan, manusia dapat memahami kondisi cuaca juga arah mata angin. Oleh karena itu, salah satu bentuk syukur atas nikmat Allah adalah menggunakan potensi dan akal dalam menjaga serta merawat alam. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 56: Selawat adalah Bentuk Terima kasih

0
Ilustrasi selawat (gambar: pinterest)

Pernahkah kita memiliki perasaan hutang rasa terhadap orang yang telah melakukan banyak kebaikan kepada kita disaat kita sedang dilanda kesusahan, kepedihan atau musibah? Atau orang tersebut melakukan pengorbanan demi kita walaupun berkorban nyawa dan harta, orang tersebut tak memperdulikannya. Prioritasnya adalah kebahagiaan dan kebaikan kita. Semestinya kita akan mengucap terimakasih atas segala kebaikan dan pengorbanannya.

Begitulah kebaikan Rasulullah SAW terhadap kita umatnya. Beliau telah melakukan banyak pengorbanan baik nyawa atau harta demi kebaikan dan kebahagiaan umatnya. Lantas kita sebagai umatnya akan berterimakasih dengan apa? Uang, jabatan, atau hadiah, Jawabannya tentu tidak. Maka satu-satunya cara berterimakasih kepada beliau adalah membaca sholawat kepada beliau.

Dalam Islam banyak sekali amalan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh umatnya sebagai bentuk Ibadah. Salah satu bentuk Ibadah yang sangat dianjurkan adalah shalawat kepada Rasulullah saw. Karena di dalam hadist banyak dijelaskan keistimewaan dan keutamaan bagi orang yang memperbanyak shalawat. Seperti hadis Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ

Barang siapa di antara umatmu yang bershalawat kepadamu sekali, maka Allah menuliskan baginya sepuluh kebaikan, menghapuskan dari dirinya sepuluh keburukan, meninggikannya sebanyak sepuluh derajat, dan mengembalikan kepadanya sepuluh derajat pula” (HR Ahmad)

            Dalam segi bahasa shalawat sendiri berasal dari kata Shalla yang berarti doa. Jadi shalawat sendiri memiliki arti mendoakan kebaikan serta mengagungkan serta memuji Nabi Muhammad saw.Di dalam al-Qur’an QS. al-Ahzab [33]: 56 Allah telah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya

Sebab, ayat ini diturunkan ialah ayat ini turun berkenaan dengan perkataan Ka’ab bin ‘Ajrah:”Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Ka’ab bin ‘Ajrah berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kami bacaan shalawat.” Lalu Rasul mengajarkan bacaan shalawat seperti yang lazim dibaca ketika tasyahud akhir disetiap shalat.

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan makna Shalawat dari Allah untuk Nabi Muhammad SAW adalah bentuk rahmat dan keridhoan-Nya, sedangkan shalawat dari Malaikat untuk Nabi Muhammad berarti doa dan permohonan ampun untuk Nabi, adapun arti Shalawat orangorang beriman kepada Nabi Muhammad. kepada beliau merupakan doa serta bentuk pengagungan mereka terhadap Nabi Muhammad. Maka, shalawat yang dihaturkan kepada Nabi Muhammad. dari Allah, Malaikat, serta Umatnya memiliki arti yang berbeda.

Begitu pula dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Imam Bukhori mengatakan, Abul Aliyah telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalawat dari Allah ialah pujian-Nya kepada Nabi Muhammad. Di kalangan para malaikat dan dhalwat dari para malaikat ialah doa mereka untuk Nabi. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mana Yushalluna ialah memberikan keberkahan.

Dalam tafsir modern yaitu tafsir al-Misbah Quraish Shihab menjelaskan makna salawat berasal dari Kata  صلوا (shallû) dalam ayat ini terambil dari kata  صالة (shalâh) yang bermakna juga menyebut-nyebut yang baik serta ucapan-ucapan yang mengundang kebajikan, curahan rahmat, kemuliaan dan kesejahteraan. Makna bersalawat dalam ayat ini ialah mengakui kerasulan dan kemuliaan Nabi Muhammad saw serta memohon kepada Allah melahirkan keutamaannya maksudnya adalah dengan melahirkan kemuliaan di atas kemuliaan nabi-nabi yang lain.

Yang menarik menurut Sebagian ulama’ ialah dalam redaksi ayat ini. Tidak ada satupun perintah Allah yang didahului dengan pernyataan bahwa Allah sendiri melakukan perintah itu kecuali Shalawat. Allah memerintahkan kita untuk berpuasa Allah tidak melakukannya, Allah memerintahkan kita untuk berzakat Allah pun tidak melakukannya. Begitu pula haji dan perintah-perintah yang lain. Akan tetapi ketika Allah  memerintah shalawat Allah pun melakukannya, hal ini tentunya dalam rangka Allah memberikan rahmat-Nya kepada Nabi Muhammad.

Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah pernah bersabda:

البَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

 “Orang yang sangat pelit adalah orang yang ketika namaku disebut di sampingnya, ia tidak mau membaca shalawat kepadaku

Pantas saja Rasulullah bersabda demikian, Allah pun bershalawat, bahkan ketika kita bershalawat kita akan mendapatkan pahala bershalawat. Oleh karena itu, sebagai umat islam seharusnya menyadari betul bahwa segala bentuk kebaikan, akhlakul karimah, perilaku-perilaku kebaikan sumber utamanya adalah Rasulullah. Kita mengetahui adanya syariat, uswah hasanah, dan tauhid seluruhnya adalah berkat Rasulullah hadir dan ada di muka bumi ini. Sudah seyogyanya sebagai seorang muslim kita senantiasa merasa butuh akan syafaat Nabi. Tentu dengan cara kita selalu melakukan shalawat dalam rangka berterimaksih atas apa yang telah beliau dan Ahlul Bait ajarkan kepada kita umat Islam. Dan seluruh shalawat yang kita bacakan adalah pujian sekaligus pengagungan, dan memuliakan beliau diatas para Nabi yang lain.

Dengan demikian, agar kita tidak termasuk menjadi umat muslim yang sangat pelit menurut Nabi, maka bacalah selawat setiap nama beliau disebutkan. Terlebih kita tidak menunggu nama beliau disebutkan, tetapi dengan sadar diri kita membacakan shalawat kepadanya setiap saat sebagai persembahan rasa terimakasih kita kepada Nabi Muhammad. Wallahua’lam bis showab.

Allahumma Sholli Wasallim ala Sayyidina Muhammad.

Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

0

Amina wadud, seorang aktivis sekaligus praktisi gender berdarah Afro-amerika memiliki sumbangsih penting dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan gender yang memanas semenjak abad 19. Salah satu sumbangsihnya ialah pendekatan hermeunitika tauhid yang diterapkannya pada ayat-ayat gender yang semula ditafsirkan secara bias dan memihak pada gender laki-laki.

Tak dipungkiri, pilihannya untuk menjadi figur yang concern pada keadilan dan kesetaraan gender adalah karena pengalaman pribadi yang ia alami dan kultur yang ada saat ia tumbuh dan berkembang.

Inspirasi bergelut pada bidang Feminisme

Tahun-tahun di masa Amina Wadud hidup ialah tahun-tahun dramatis bagi pejuang keadilan gender di Amerika. Amina Wadud sendiri lahir di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat pada tanggal 25 September 1952.  Melansir kompasiana.com (4/4), pada saat itu bertepatan dengan periode kedua gerakan feminisme di Amerika, yakni ketika didirikannya National Organization for Woman (NOW) oleh Betty Friedan (w. 2006).

Selain pengaruh sosial yang melingkupinya, terdapat faktor personal yang turut memotifasinya untuk menjadi seorang aktivis gender. Menurut Mutrofin dalam Kesetaraan Gendernya, Amina Wadud merupakan seorang perempuan muslimah dan janda, banyak mengalami diskriminasi oleh masyarakat sekitarnya. Di samping itu, ia juga memiliki darah Afro-Amerika, yang pada saat itu sedang memperjuangkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat yang mensubordinasi perempuan.

Dua hal ini yang kemudian menginspirasi pandangannya dalam memahami teks Alquran yang berhubungan dengan perempuan, yang pada mulanya ditafsirkan secara eksklusif memihak laki-laki, dan sebaliknya, mensubordinasi perempuan.

Dalam Studi Kitab Tafsir Kontemporer, disebutkan bahwa Wadud mengenalkan penafsiran berperspektif perempuan. Didadasari oleh kegelisahannya terhadap mufassir pendahulu yang didominasi oleh laki-laki. Di samping itu, hasil penafsirannya yang atomistik serta abai pada nilai universal, yang pada gilirannya terkesan menyudutkan perempuan, Wadud menyatakan penting bagi perempuan untuk membuat tafsir atas ayat-ayat gender. keinginan Wadud ini sekaligus memberi semangat keadilan gender bagi perempuan, dengan jalan menafsirkan ayat berperspektif perempuan, sehingga menghasilkan produk tafsir yang lebih objektif bagi perempuan.

Metode hermeunitika tauhid

Untuk merealisasikan keinginannya itu, ia menawarkan hermeunitika tauhid sebagai metode yang lebih objektif dan dipercayai akan menghasilkan penafsiran yang holistik. Hermeunitika Tauhid secara sederhana ialah dengan mendudukkan Allah sebagai Zat Yang Esa, sehingga sebagai konsekuensinya, selain Allah semuanya setara, tidak lebih unggul, pun terungguli.

Asumsi dasar yang dijadikan kerangka pemikiran Wadud adalah bahwa Alquran merupakan sumber tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan wanita setara. Khususnya, dalam mengkaji bagaimana persepsi mengenai wanita terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran.

Menurut Nur Jannah Ismail dalam Perempuan dalam Pasungan, ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam memandang keutamaan perempuan pada Alquran, yaitu kronologi turunnya wahyu dan rujukan untuk peristiwa sejarah yang telah diketahui. Untuk mengatasi pembatasan seperti itu, para ahli hukum dan pemikir Islam mengutamakan ayat-ayat universal yang turun pada periode Makkah.

Melalui kesadaran tersebut, Amina Wadud dalam Women in Qurannya, memberikan sebuah tawaran metodologis yang harus dipegang ketika akan menafsirkan ayat-ayat Alquran terutama ayat-ayat bias gender yang dikemasnya dalam tiga aspek penting, yaitu; dalam konteks apa teks itu ditulis atau kaitannya dengan Alquran adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan, bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, dan bagaimana keseluruhan teks (ayat), weltanschauung/ pandangan hidupnya/ ruh/ maqa>s}idnya.

Sebagai langkah teknis operasionalnya, ketika akan menafsirkan, setiap ayat yang harus dianalisis adalah; 1) dalam konteksnya 2) dalam konteks pembahasan topik yang sama dengan Alquran 3) menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis (nahwu) yang digunakan dalam seluruh bagian Alquran 4) menyangkut sikap benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Alquran, dan 5) dalam konteks Alquran sebagai weltanschauung atau pandangan hidup.

Korelasi antara pendekatan semantik dan konteks sosial sudah lama disadari oleh para sarjana Muslim yang kemudian melahirkan sekian judul mengenai tata bahasa Arab yang diharapkan dapat membantu untuk bisa menangkap pesan Alquran. Disiplin ilmu Balaghah, Ma’ani dan Bayan, misalnya, secara khusus mengkaji kaitan antara pendekatan semantik dan konteks sosial. Untuk memahami sebuah ucapan Nabi saw misalnya, hendaknya juga harus dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan psikologi Rasulullah serta kepada siapa ucapan itu ditujukan.

Amina mencoba menggunakan metode penafsiran Alquran yang dikemukan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu dan dalam suasana umum dan khusus tertentu, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya. Tetapi, pesan yang terkandung dalam ayat tersebut tidak terbatas pada waktu atau suasana historis tersebut. Seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan-ungkapan Alquran menurut waktu dan suasana penurunannya guna menemukan makna yang sebenarnya.

Dari paradigma tafsir kontekstualnya tersebut, Wadud menghasilkan beberapa pemikiran reformatif, diantaranya; penafian poligami, kesamarataan hak waris, dan perempuan sebagai imam salat. Pemikiran terakhirnya ini kemudian menjadi alasan mengapa wadud juga disebut sebagai praktisi gender, yakni karena menggagas legalitas perempuan sebagai imam salat, ia pribadi juga mempraktikkannya dengan menjadi imam sekaligus khatib di New York.

Amina Wadud dengan hermeunitika tauhid yang digagasnya, kendatipun tidak original dari dirinya sendiri, setidaknya, telah memberikan sumbangsih yang berarti untuk merubah penafsiran ayat-ayat bias gender yang dahulunya terkesan rigid, condong sebelah pihak, dan diskriminatif terhadap wanita, menjadi seimbang, moderat dan tidak  mensubordinasi pada salah satu pihak.

Tentunya, apa yang telah dikukan Wadud pada saat ini harus dikembangkan, khususnya oleh perempuan. Hal ini selain untuk memajukan peradaban perempuan di sektor intelektual Islam, juga untuk menunjukkan bahwa perempuan sampai saat ini dan nanti tetap pada diri mereka dengan segala potensi yang dapat diberdayakan senantiasa. Wallahu a’lam[]