Beranda blog Halaman 563

Dari Manakah Tumbuhnya Cinta Manusia Kepada Sesama ?

0

Sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat adanya cacian, gunjingan dan kekerasan antar sesama manusia, bahkan seagama (Islam). Lebih-lebih di era Medsos seperti sekarang, semua informasi dapat mudah tersebar, dan menjadi riskan apabila yang tersebar adalah adalah ujaran kebencian antar individu atau kelompok. Apakah Islam tidak mengajarkan cinta dan damai?, lalu bagaimana cinta dapat tumbuh?

Pada dasarnya Islam adalah agama perdamaian yang tumbuh dari kasih sayang dan cinta kepada sesama. Menjalankan Islam dengan tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. dengan mematuhi perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-larangannya. Allah Swt. telah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 :

( إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ )

Artinya: “orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”.

Sesama mukmin adalah saudara, dan hendaknya saling menjaga perdamaian serta kehormatan orang lain dengan tidak melakukan praktik-praktik yang mengarah kepada kebencian dan kejahatan.

az-Zuhaili di dalam karyanya (Tafsir al-Munir,juz 26 hal.235) memaparkan secara jelas maksud ayat di atas:

والمعنى: فأصلحوا بينهما، وليكن رائدكم في هذا الإصلاح وفي كل أموركم تقوى اللَّه وخشيته والخوف منه، بأن تلتزموا الحق والعدل، ولا تحيفوا ولا تميلوا لأحد الأخوين، فإنهم إخوانكم، والإسلام سوّى بين الجميع، فلا تفاضل بينهم ولا فوارق، ولعلكم ترحمون بسبب التقوى وهي التزام الأوامر واجتناب النواهي.

Artinya: “maka damaikanlah hubungan antara kedua saudaramu, dan jadikan ketakwaan dan rasa takut kepada Allah pemandu kalian dalam mendamaikan dan segala urusan kalian. Dengan melaksanakan yang hak dan adil, tidak curang dan berpihak ke salah satu saudara, karena mereka adalah saudara kalian dan Islam menyama-ratakan semuanya, tidak membanding dan membedakan antara mereka, supaya kalian mendapat rahmat sebab bertakwa kepada Allah yaitu dengan melaksanakan peprintah-perintah dan larangan-laranganNya”.

Damai merupakan representasi dari cinta dan kasih sayang antara sesama manusia. Sehingga kemudian akan berdampak banyak pada hal-hal positif, seperti saling tolong-menolong, perhatian, menjaga perasaan dsb. Dengan terbangunnya cinta antar sesama maka akan secara otomatis terwujud ketentraman dan kedamaian.

Lalu bagaimana cinta antar sesama dapat tumbuh?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis menukil dari kitab karya al-Buthi (al-Hubbu fi al-Quran: 77-78). Dalam  kitab tersebut disebutkan bahwa kecintaan manusia kepada sesama (selain karena Allah mencintainya) adalah buah dari kecintaannya Kepada Allah Swt. semakin seseorang cinta kepada Allah, maka semakin tumbuh pula kecintaan manusia kepada sesama. Halini tidak bisa dipungkiri karena dengan tertanamnya kecintaan kepada Allah yang ditandai kepatuhan terhadap perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya maka seseorang cinta kepada sesama, sebab cinta dan damai merupakan bagian dari ketakwaan. 

Disebutkan dalam hadits qudsi yang diriwayatkan sahabat Ubadah bin Shamit ra.

( حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ  وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَوَاصِلِين فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَنَاصِحِيْنَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي للمتزاورين في وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ) رواه أحمد وابن حبان والحاكم.

Pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling mencintai karenaKu, pasti mendapaat kecintaanKu bagi orang-orang yang menyambung kekerabatan karenaKu, pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling menasehati karenaKu, pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkunjung karenaKu, dan pasti mendapat kecintaanKu bagi orang-orang yang saling berkorban karenaKu. (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

Al-Buthi juga menyebutkan bahwa seseorang yang mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, maka pasti dia mencintai sesama manusia. Sebab (tanpa pandang bulu) manusia telah mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt. dengan diperintahkannya malaikat untuk bersujud kepada manusia (Adam ra.) dan kemuliaan dinisbatkannya ruh (manusia) kepadaNya.

Wallahu A’lam

Oleh : M. Ali Mustaan

 
 

Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

0
Aksi Teror
Salah Paham Jihad dan Aksi Teror

Maraknya aksi teror yang terjadi beberapa dekade terakhir di berbagai belahan dunia membuat kita semua resah, terutama jika pelakunya adalah seorang muslim dan menyeret-nyeret ajaran Islam dalam rangka melegitimasi tindakan mereka.

Aksi-aksi teror ini ber-‘kontribusi’ dalam menjauhkan umat manusia dari Islam. Citra Islam sebagai agama menjadi tercoreng. Umat muslim sebagai pemeluk agama Islam juga ikut ter-stigma negatif. Padahal jika bercermin pada data yang ada, mayoritas korban terorisme juga adalah orang beragama Islam yang dianggap kafir oleh kelompok teroris. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.

Global Terrorism Index menyebutkan bahwa 78% kematian akibat terorisme pada 2014 terjadi di negara dengan mayoritas populasi muslim. Hassen Chalghoumi, seorang aktivis muslim di Paris menyatakan, 95 persen korban terorisme adalah muslim. The National Counterterrorism Center (NCTC) menunjukkan data bahwa, muslim menderita 82-97 persen akibat aksi terorisme dalam lima tahun terakhir.

Celakanya, tindakan-tindakan teror di atas selalu diatasnamakan sebagai ajaran Islam, dengan mengutip berbagai ayat dan hadis yang telah dimanipulasi. Yang paling sering dijadikan pembenar adalah ajaran jihad dan qital, yang ditujukan kepada setiap yang berbeda, baik non-muslim maupun muslim yang telah dianggap murtad.

Jihad diselewengkan oleh mereka dengan pemaknaan tunggal, yaitu perang fisik. Padahal sebagaimana keterangan dari para ulama tafsir, bahwa makna jihad sangat banyak dan beragam. Kata jihad sendiri dalam Alquran terulang sebanyak 41 kali, dengan konteks dan pemaknaan yang berbeda-beda.

Ayat-ayat jihad yang turun di Mekah misalnya, tidak ada satu pun yang berarti perang, terbukti tidak sekali pun Nabi melakukan ‘kontak’ fisik dengan kaum kafir Quraish selama di Mekah, padahal ayat-ayat jihad sudah turun pada saat itu.

Justru yang terjadi di Mekah pada saat itu, Nabi berdakwah sungguh-sungguh dengan penuh kesabaran dan sikap yang baik. Meski kaum Quraish selalu menyakiti beliau dan mendiskriminasi para sahabatnya.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Secara bahasa jihad berasal dari kata jahd yang berarti kesukaran atau juhud yang berarti upaya atau kemampuan. Adapun secara istilah, para ulama memaknai jihad sebagai upaya sungguh-sungguh menjelaskan nilai-nilai ajaran Islam. Karena itu, sebagaimana ditulis oleh Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud oleh Alquran dengan jihad adalah berjuang menggunakan segala kemampuan dan daya yang dimiliki untuk menghadapi segala macam lawan agama dan musuh kemanusiaan, baik itu nafsu, kebodohan, penyakit, ketamakan, kemiskinan dan lain-lain. Arena jihad juga bisa bermacam-macam dari mulai hati, lisan, tenaga, pikiran, harta, dan seterusnya.

Terkait keragaman makna jihad ini, sebuah riwayat yang sangat populer dari Nabi saat pulang dari Tabuk menerangkan bahwa perang adalah hanya bagian kecil dari jihad, dalam kondisi terpaksa dan dalam rangka membela diri, itu pun disertai sejumlah etika dan rambu-rambu. Sedangkan jihad yang besar adalah perlawanan terhadap nafsu dan egoisme. Dalam riwayat lain Nabi juga menyatakan bahwa bagi perempuan, jihad adalah haji dan umroh.

Tujuan jihad adalah litakuna kalimatullahi hiya al-‘ulya, yaitu menebarkan nilai-nilai luhur dan kebaikan yang bersumber dari Allah SWT. Bukan untuk menyerang, menyakiti, apalagi menumpahkan darah, yang tentu perbuatan-perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah. Dalam sebuah hadis, Nabi menerangkan bahwa robohnya ka’bah, dalam sebuah riwayat hancurnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding hilangnya nyawa seorang manusia yang tanpa hak (HR Turmudzi: 1455).

Upaya pelaksanaan jihad yang bersifat fisik perlu juga diintegrasikan dengan dua prasyaratnya, yaitu ‘ijtihad’ yang menekankan daya akal pikir yang rasional dan mujahadah yang berorientasi pada ikhtiar bathiniyah menyingkirkan nafsu kepentingan, baik harta maupun kekuasaan. Dengan ketiga hal ini lah dapat dicapai tujuan di atas.

Tentu jihad sangat berbeda jauh dengan radikalisme dan terorisme. Karena jihad bertujuan untuk memelihara kehidupan dan membuatnya lebih baik, sedangkan teror adalah menyerang korban yang tidak bersalah. Jihad pelakunya yang mendapat pahala, sedangkan teror korban lah yang mendapatkannya (ke-syahid-an). Secara bahasa pun sudah berbeda, jihad adalah istilah tersendiri, sedangkan teror dalam bahasa Arab adalah irhab.

Sebagai catatan terakhir, jika kelompok teroris pro kekerasan itu mengaku pengikut Nabi dan mengklaim sebagai kelompok sunnah, coba lah merenungi kembali sejarah kehidupan Nabi. Jika dikalkulasi dari keseluruhan masa kenabian beliau yang 23 tahun (8000 hari), dibanding dengan jumlah total perang beliau yang 80 hari, itu artinya perang hanyalah 1% dari kehidupan beliau sebagai Nabi. Lalu kenapa mereka hanya mau mengikuti yang 1%, itu pun tidak tepat, dan meninggalkan yang 99% ? Sungguh ironis!

Baca Juga: Alasan Penting Harus Ada yang Memperdalam Ilmu Agama Menurut Al Quran

Simpulan atas uraian di atas adalah bahwa jihad dalam Alquran mempunyai beragam makna, intinya adalah upaya kerja keras. Adapun perang adalah bagian kecil dari jihad, yang bertujuan untuk mempertahankan diri atau menghalau ancaman yang sudah di ambang pintu, sebagai langkah emergency, bukan untuk menghapus kekafiran tetapi menghilangkan permusuhan (hirabah). Teror berbeda jauh dengan jihad, karena teror adalah menebar ketakutan dan mengorbankan yang tidak bersalah, sedangkan jihad adalah perjuangan dalam semua aspek demi terciptanya kehidupan manusia yang berperadaban menuju kebahagian dunia dan akhirat (sa’adat al-darain).

Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran

0

Kita tentu sering mendengar bacaan Alquran baik lewat speaker Masjid terdekat maupun via smartphone bila didalamnya tersemat aplikasi semacam Quran android. Pernahkah anda mengetahui apa saja keutamaan mendengarkan bacaan Alquran? Nah, barangkali kita belum tahu tentang ini, penulis akan menguraikannya satu per satu.

Pertama, mendengarkan Alquran menjadi sebab tersampaikannya hidayah. Tidak hanya bagi manusia, hidayah lewat Alquran juga diperuntukkan bagi Jin sebagaimana telah terjadi juga ketika Rasulullah Saw membacakan surat ar-Rahman. Keterangannya dapat dilihat pada tafsir al-Thabari ketika menerangkan tafsir surat ar-Rahman ayat 13. Poin pertama ini mendapatkan penegasan lewat QS. az-Zumar ayat 17 – 18:

فَبَشِّرْ عِبَادِ () الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ   

“…Sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hambaku. (yaitu) Mereka yang menengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.”

Kedua, dengan mendengarkan bacaan Alquran dapat mengasah kekhusyuan dan kepekaan hati. Dalam Sahih al-Bukhari terdapat sebuah hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud, ia bercerita: Rasulullah Saw berkata padaku, “Bacakanlah Alquran untukku.” Aku pun berkata, “Aku membacakan untukmu padahal Alquran langsung turun kepadamu? Rasulullah menjawab, “Sungguh aku berharap mendengarnya dari orang lain. Lalu aku pun membacakan surat an-Nisa hingga sampai pada ayat 41, Rasul berkata kepadaku, “Cukup.” Aku melihat kedua matanya telah berurai.” Tidak hanya sekali atau pun dua kali, Rasulullah Saw sering meminta para sahabat untuk membacakan al-Qur’an untuknya.

Ketiga, mendengarkan bacaan Alquran merupakan sebab mendapatkan Rahmat Allah Swt. Hal ini sebagaimana janji dari Allah Swt yang dapat kita temukan pada QS. al-A’raf ayat 204:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون 

“Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”

Keempat, poin yang terakhir adalah bahwa mendengarkan Alquran merupakan bagian dari ibadah. Hal ini karena membacanya merupakan ibadah, maka mendengarkannya pun mendapatkan pahala dan menjadi ibadah kepada Allah Swt. Sebagaimana tercantum pada poin ketiga dalam QS. al-A’raf ayat 204, Allah Swt memerintahkan kita untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an. Ini bisa kita pahami sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Wallahu A’lam.

Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

0
Moroccan students is studying islamic theology in Rabat

Secara umum, ada dua cara penafsiran yang dikenal di kalangan ulama sejak dilakukannya aktivitas tersebut pertama kali pada zaman Nabi hingga masa sekarang, yaitu tafsir bil ma’sur (tafsir dengan riwayat) dan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio).

Menafsirkan tidak hanya berarti memahami untuk diri sendiri, melainkan juga ada aspek memahamkan kandungan Alquran orang lain. Nabi secara khusus tidak pernah mengajarkan para sahabat tentang cara menafsirkan Alquran. Perbedaan cara penafsiran Alquran pun muncul sepeninggal beliau. Berikut dua model penafsiran tersebut

Tafsir bil ma’sur (Tafsir dengan riwayat)

Tafsir bil ma’sur adalah cara menafsirkan Alquran dengan berpegang pada kutipan-kutipan nas atau riwayat. Manna’ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulumil Qu’an, menyebutkan teks-teks otoritatif yang dapat digunakan untuk menjelaskan kandungan Alquran. Di antaranya adalah teks Alquran itu sendiri, kemudian hadis Nabi, selanjutnya pendapat sahabat dan pemuka tabiin.

Penyebutan teks-teks di atas diurutkan berdasarkan skala prioritasnya. Ini berarti teks Alquran lebih didahulukan untuk menjelaskan teks Alquran lainnya, karena menurut ulama, Alquran itu merupakan satu kesatuan yang saling menjelaskan satu sama lain (al-Qur’an yafassiru ba’dhuhu ba’dhan).

Apabila penjelasan suatu ayat tidak ditemukan pada ayat lain, maka ulama mencarinya di hadis Nabi. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi hadis adalah sebagai tibyan (penjelas) bagi Alquran.

Bila kembali tidak ditemukan penjelasan dari hadis Nabi, maka dapat mengutip pendapat para sahabat. Pemahaman sahabat atas Alquran kemungkinan besar berasal dari apa yang telah Nabi ajarkan. Terakhir, apabila tidak ditemukan keterangan dari kalangan sahabat, maka bisa menelusuri pandangan dari para pembesar tabiin yang umumnya telah belajar tafsir dari para sahabat.

Sebagai contoh dari tafsir jenis ini yaitu penjelasan at-Tabari ketika menafsirkan kata kezaliman dengan kesyirikan pada QS. Al-An’am: 82.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sebagaimana diceritakan dalam hadis yang dikutipnya, ketika ayat di atas turun, para sahabat merasa terbebani. Mereka tidak yakin ada di antara mereka yang bebas dari perbuatan zalim, sampai akhirnya Nabi meluruskan bahwa yang dimaksud kezaliman di ayat tersebut adalah kekufuran. Beliau merujuk pada ungkapan Luqman al-Hakim di ayat lain yang berbunyi:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (QS. Luqman: 13).

Tafsir bir ra’yi (Tafsir dengan rasio)

Adapun tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio) merupakan bentuk penafsiran Alquran yang berbasis rasio. Demi mengontrol kemampuan rasionalitas manusia yang terkadang liar, tafsir jenis ini dibagi menjadi dua macam.

Pertama, ar-ra’yu al-mahmudah (rasio yang terpuji), yaitu penalaran yang didasarkan pada hasil ijtihad, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tidak bertentangan dengan syariat. Kedua, ar-ra’yu al-qabihah (rasio yang tercela) yang murni hanya dari pemikiran sendiri atau tidak berdasar. Tafsir yang diterima oleh para ulama hanya dari macam yang pertama.

Salah satu ulama yang sering menggunakan model penafsiran bir ra’yi dalam karya tafsirnya adalah ar-Razi. Ia menafsirkan al-maghdub ‘alaihim (yang dimurkai) dalam QS. Al-Fatihah: 7 dengan orang-orang kafir dan ad-dallin (yang sesat) dengan orang-orang munafik. Kesimpulan ini didapat dari analisisnya terhadap awal surah berikutnya yang secara berurutan membicarakan tentang orang-orang yang beriman, kafir dan munafik.

Ulama era klasik atau generasi awal Islam cenderung menggunakan tafsir bil ma’sur, karena dinilai sebagai cara yang paling aman dalam menafsirkan Alquran. Oleh karenanya, kajian tafsir kala itu erat kaitannya dengan kajian hadis. Karya-karya tafsir awal seperti Jamiul Bayan milik at-Tabari bahkan penuh dengan riwayat-riwayat hadis yang ditulis lengkap dengan sanad-sanadnya.

Pada era pertengan, baru bermunculan tafsir yang menggunakan model tafsir bir ra’yi seperti Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuti, Mafatihul Ghaib karya ar-Razi dan al-Kashshaf karya az-Zamakhsyari.

Meski demikian, tidak ada ulama yang hanya bergantung pada riwayat tanpa sama sekali memakai rasio, sebab dalam memilih riwayat pun tentu mengandalkan rasio, mana riwayat yang menurutnya sesuai untuk menafsirkan suatu ayat dan yang tidak. Begitu juga ketika mufasir menggunakan rasionya untuk menafsirkan Alquran, tentu pemikirannya tersebut berdasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibacanya meskipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam penafsiran.

Selain tafsir bil ma’sur dan tafsir bir ra’yi, Ada pula yang menambahkan cara ketiga, yakni tafsir bil ishari seperti az-Zarqani dalam karyanya, Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an. Tafsir bil ishari menurutnya adalah menafsirkan Alquran dengan cara menakwil makna lahiriahnya dengan makna lain yang halus dan tersebunyi. Mereka menyebutnya dengan makna ishari. Tafsir jenis ini biasa dilakukan oleh para sufi.

Demikianlah cara ulama menafsirkan Alquran. Dapat juga dikatakan sebagai sumber penafsiran atau bentuk penafsiran. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa bagaimana pun hasil penafsiran seorang mufassir, selama itu jelas sumbernya dan sesuai dengan metodenya, meski menghasilkan kesimpulan yang berbeda, harus diterima dengan lapang dada. Tidak selayaknya masing-masing merasa hanya penafsirannya atau penafsiran kelompoknyalah yang benar.

Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali

0
Ketika Berdebat
Ketika Berdebat

Perdebatan telah menjadi hal tak terhindarkan dalam media sosial. Media sosial terbukti berperan mempertemukan seseorang dengan lawan debatnya. Muncul kemudian terminologi-terminologi tertentu yang menggambarkan masif-nya fenomena ini, misalnya apa yang disebut dengan “Twit War”, dll. Di antara efek negatif yang timbul adalah hate speech (ujaran kebencian). Debat bukanlah hal yang dilarang dalam Islam, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berdebat.

Selain ujaran kebencian, masih terdapat beberapa bahaya lain dari debat, di mana Alquran dan hadis telah me-warning bahaya-bahaya tersebut. Imam al-Ghazali dalam magnum opus-nya “Ihya Ulum al-Din”, merinci hal tersebut, yang ringkasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, merasa paling benar dan suci. Padahal Allah SWT berfirman:

فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بمَنِ اتَّقَى

“Janganlah kalian menyatakan diri kalian suci. Sebab sesungguhnya Allah paling mengetahui siapa orang yang paling bertakwa.” (QS. al-Najm [53]: 32).

Kedua, memata-matai dan berusaha mencari kelemahan lawan, dalam rangka menjatuhkannya. Ini juga dilarang. Allah SWT berfirman:

وَ لَا تَجَسَّسُوْا

“Janganlah kalian memata-matai (kelemahan orang lain)” (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Ketiga, menggunjing (ghibah). Dalam rangka menyerang lawan, seorang pendebat sering kali menyebar aib lawan debatnya. Padahal ghibah diibaratkan seperti memakan bangkai (QS. al-Hujurat [49]: 12).

Keempat, dengki. Rasulullah SAW bersabda, “Dengki menghancurkan amal baik seperti api melahap kayu.’ Ibn Abbas berkata, “Tuntut lah ilmu di mana pun ia berada, dan jangan pernah taat kepada setan yang gemar bertengkar.”

Kelima, takabur, padahal ia adalah sifat dan sikap eksklusif Allah. Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi, “Keagungan adalah jubah-Ku dan kesombongan adalah busana-Ku. Aku akan membinasakan orang yang berdebat dengan mengenakan salah satu pakaian-Ku itu.” Rasulullah juga mewanti-wanti agar kita menghindari sikap takabur, beliau bersabda, “Seorang mukmin mustahil memiliki rasa takabur dalam hatinya.”

Baca Juga: Cara Menangkal Hoax Menurut Pandangan Alquran

Keenam, menolak kebenaran. Salah satu hal yang paling dibenci oleh orang yang berdebat adalah menerima kebenaran yang keluar dari mulut lawan, karena itu dia akan berusaha sebisa mungkin menolak kebenaran tersebut, meski dengan berkelit dan beretorika, atau bahkan berbohong. Allah SWT berfirman, “Siapakah yang lebih bersalah daripada orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah (mem-politisasi ajaran Allah) dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?”

Ketujuh, dendam. Seseorang yang kalah atau tersinggung dalam debat bisa jadi timbul dendam dalam hatinya, dan hanya sedikit yang tidak. Padahal Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak mungkin memiliki rasa dendam.”

Kedelapan, munafik (hipokrit). Seorang pendebat biasanya menampilkan citra diri bersahabat secara lahir, namun memendam kebencian dan mengharap keburukan dalam hatinya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ketika seorang alim tidak memperlihatkan ilmunya dalam bentuk amal, mengungkapkan cinta kepada orang lain dengan lisan, tetapi memelihara kebencian di dalam hati, dan memutuskan hubungan silaturrahim, maka Allah akan melaknatnya, membuat lidahnya ‘kelu’, dan matanya ‘buta’.”

Kesembilan, ujub dan riya. Di antara bahaya debat lagi adalah bisa jatuh ke dalam riya (pamer) dan ujub (merasa baik) di hadapan orang lain dalam rangka menarik dan menyesatkan mereka. Padahal keduanya merupakan dosa besar.

Kesepuluh, menipu. Tidak jarang seorang yang berdebat terpaksa menipu dalam berdebat, misalnya dengan menampilkan data hoaks atau kutipan yang tidak sesuai.

Untuk menghindari bahaya-bahaya tersebut, Imam al-Ghazali menawarkan delapan syarat agar perdebatan bisa menghasilkan faedah, yaitu, 1) harus melaksanakan fardhu ‘ain dulu, 2) harus melaksanakan fardhu kifayah yang prioritas, 3) harus punya kompetensi yang cukup, jika tidak maka harus ada dasar/kutipan dari ahli, 4) tema harus lah yang aktual dan manfaat untuk dibahas,

5) debat tertutup di lokasi sepi, atau melalui jalur pribadi jika di medsos, lebih dianjurkan. Jika harus menghadirkan orang maka hadirkan orang yang alim atau yang berkompetensi, 6) semangatnya harus mencari kebenaran (bukan pembenaran), meski kebenaran itu berasal dari pihak lawan, 7) tidak boleh mengintimidasi lawan dalam berargumen atau berusaha mengalihkannya, 8) lawan debat harus lah orang yang terpelajar atau minimal diperkirakan mendatangkan manfaat, sehingga terhindar dari debat kusir.

Demikian beberapa hal mengenai bahaya dan sisi negatif debat, dan bagaimana mengantisipasinya, sesuai nasehat Imam al-Ghazali yang digali dari beberapa ayat Alquran dan hadis. Semoga kita senantiasa terhindar dari bahaya-bahaya tersebut dan selalu diberi pandangan yang jernih dalam melihat kebenaran, di era medsos yang serba ambigu dan penuh ketidakjelasan ini. Wallahu a’lam bi muradih.

Sejarah Pencetakan Al-Quran dari Italia hingga Indonesia

0
Pencetakan Al-Quran
Pencetakan Al-Quran

Pencetakan al-Quran menjadi hal yang sangat jarang disinggung daripada tema-tema kesejarahan al-Quran yang lain. Bahasan tentang sejarah al-Quran lebih sering berhenti pada tahap penyalinan, penyeragaman bacaan al-Quran dan penggandaan al-Quran di masa Usman. Padahal pencetakan al-Quran itu memiliki andil yang tidak kalah penting dalam episode perjalanan al-Quran hingga sekarang. Berikut sekilas ulasan mengenai sejarah pencetakan al-Quran yang kami kutip dari buku Hamam Faizin, Sejarah Pencetakan al-Quran.

Pencetakan Al-Quran Awal

Al-Quran dengan berbahasa Arab lengkap pertama kali dicetak di Venice, Italia sekitar tahun 1537-1538 dengan the moveable type. (jenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg w. 1468 sekitar 1440 di Mainz, Jerman) oleh Paganino dan Alessandro Paganini (ayah dan anak, keduanya adalah ahli pencetakan dan penerbitan, namun belum diketahui tahun meninggalnya).

Al-Quran Cetakan Hamburg

Pencetakan al-Qur’an berikutnya adalah pada tahun 1694 di Hamburg oleh Abraham Hinckelmann (1652-1695), seorang Kepala Pastur yang mendapat pendidikan istimewa di Oriental Studies di Wittenberg dari 1668-1672. Pendidikan ini yang membawanya pada kegiatan mengumpulkan manuskrip-manuskrip al-Qur’an hingga kemudian berhasil menerbitkan teks al-Qur’an dengan judul Alcoranus s. Lex Islamitica Muhammadis, filii Abdallae pseudoprophetae. Cetakan ini tidak menyertakan terjemahan, hanya dilengkapi kata pengantar berbahasa Latin. Cetakan ini merupakan cetakan al-Qur’an pertama yang dilengkapi dengan tanda baca, tanda huruf dan penomoran ayat.

Pencetakan ini diikuti oleh pendeta Ludovico Maracci empat tahun kemudian (1698) di Padua dengan diberi judul Alcorani Textus Universus. Cetakan edisi ini dilengkapi dengan terjemahan bahasa Latin dan komentar-komentar Maracci yang berisi penolakannya terhadap Islam. Pada tahun 1721, terjemahan latin versi Marracci ini diterbitkan lagi dalam edisi yang lebih kecil (handy Octavo edition) oleh ahli teolog Protestan, Christian Reineccius di Leipzig.
Baca Juga: Tradisi Mendengar Lantunan Bacaan Al-Quran dari Orang Lain
Al-Quran Cetakan St. Petersburg

Lama berselang, pada tahun 1787 baru muncul lagi cetakan al-Qur’an di St. Petersburg di bawah instruksi Ratu Rusia, Tsarina Catherine II (w. 1796). Pencetakan ini dalam rangka sikap toleransi keagamaan Ratu Tsarina pada keturunan Muslim Turki agar mudah mengakses kitab suci mereka, karena pada masa ini Rusia yang menguasai sejumlah wilayah Turki setelah terjadinya perang Rusia-Turki (1768-1774). Al-Quran cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan disertai kutipan-kutipan keterangan dari kitab tafsir. Kemudian edisi ini dicetak lagi pada tahun 1789, 1790, 1793, 1796 dan 1798. Pada tahun 1905 al-Qur’an dicetak lagi di sini dengan format yang lebih bagus, menggunakan khat Kufi (dikatakan hampir mirip dengan al-Qur’an yang dimiliki khalifah Usman) untuk dipresentasikan pada para pejabat.

Tidak hanya itu, sebagai jaminan, pada tahun 1786/1787 di St. Petersbug didirikan seni cetak Tatar dan Turki dan sebagai penanggung jawabnya, ditunjuklah Sarjana domestik, Mullah Osman Ismail. Salah satu produk yang pertama kali dicetak adalah al-Qur’an.

Al-Qur’an Cetakan Maula Ottoman/Usmani

Kebijakan Ratu Chaterine II menunjuk Mullah Osman Ismail sebagai penanggung jawab percetakan merupakan benih awal pencetakan al-Qur’an yang ditangani oleh umat Islam sendiri. Sebelumnya, kekaisaran Ottoman melarang orang-orang Islam untuk mencetak al-Qur’an hingga tahun 1726 ketika percetakan resmi didirikan.pada tahun 1726. Kekaisaran Ottoman sendiri baru mencetak al-Qur’an pada pertengahan kedua abad ke-19 di Mesir dan Istanbul bersamaan dengan pencetakan al-Qur’an di India. Pada masa ini juga mulai dicetak beberapa kitab tafsir seperti al-Baydawi dan al-Jalalyn. Cetakan ini sudah mulai dibuat untuk mengaji dan tidak hanya dibuat manuskrip.

Al-Qur’an Cetakan Leipzig

Leipzig juga mencatatkan namanya dalam perjalanan pencetakan al-Qur’an. tepatnya pada tahun 1834, al-Qur’an dicetak dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman, Gustav Flugel (1802-1870) dengan judul Corani texn Arabicus. Tahun ini merupakan peristiwa penting dalam kajian Islam di Eropa, karena edisi Flugel ini dianggap yang paling baik dari sebelum-sebelumnya, cetakan ini pun kemudian banyak dijadikan rujukan oleh sarjana-sarjana Barat hinga abad 20. Selain itu, cetakan ini juga banyak yang sudah menyebar secara luas di dunia Islam setelah Perang Dunia I, meski orang-orang Islam menilai adanya ketidak sesuaian dengan al-Qur’an yang digunakan umat Islam pada umumnya, terutama pada penomoran surat. Edisi ini dicetak lagi pada tahun 1841, 1855, 1867, 1870, 1881 dan 1893. Beberapa tahun kemudian, Flugel juga menerbitkan concordance of the Qur’an (indeks al-Qur’an) yang merupakan kontribusi yang sangat besar bagi kajian keislaman.

Al-Qur’an Cetakan Mesir

Pencetakan al-Qur’an di Mesir dilaksanakan pada tahun 1923 dan diterbitkan pada 10 Juli 1924 M. (7 Dzul Hijjah 1342 H.) di Kairo. Cetakan Mesir ini merupakan agenda dari pemerintahan yang kemudian menunjuk Muhammad b. ‘Ali al-Husayni al-Haddad sebagai ketua panitia. Edisi ini dicetak lagi kemudian pada tahun 1936 yang populer dengan edisi Faruq yang ketika itu menjadi Raja. Pencetakan ini juga difokuskan pada keseragaman qira’at, yaitu Hafsh yang diriwayatkan dari ‘Ashim. Edisi ini kemudian menyebar luas di dunia Islam dan sedikit demi sedikit menggantikan edisi Flugel di kalangan akademisi. Adapun Arab Saudi mulai mencetak al-Qur’an pada tahun 1970-an. Hasil cetakannya kemudian disebar luaskan ke seluruh dunia. Cetakan Mesir dan Arab Saudi ini telah berhasil melakukan standarisasi final bagi al-Qur’an.
Baca Juga: Pengumpulan Al-Quran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab
Al-Qur’an Cetakan Indonesia

Di Nusantara, mushaf al-Qur’an cetakan tertua berasal dari Palembang, yaitu produk cetak batu Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah yang selesai dicetak pada 21 Ramadlan 1264 H. (21 Agustus 1848 M.). cetakan ini sekaligus menjadi cetakan al-Qur’an tertua di Asia Tenggara. Tinggalan yang sampai saat ini hanya ada pada koleksi Abd Azim Amin. Azhari juga memproduksi cetakan al-Qur’an lagi enam tahun kemudian (1270/1854) yang sekarang dimungkinkan ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI.

Ada juga yang mengatakan bahwa yang mencetak adalah Ibrahim bin Husain di toko percetakan milik Muhammad Azhari di Palembang. Versi lain mengatakan berbeda, pencetakan al-Qur’an di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh penerbit Salim Nabhan dari Surabaya (berdiri pada tahun 1904) dan Afif dari Cirebon. Sebelum mencetak al-Qur’an penerbit Salim adalah pemasok buku-buku berbahasa Arab

Rekaman perjalanan pencetakan al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa penyebaran al-Qur’an di masa itu sudah semakin luas dan persinggungannya dengan banyak orang dan budaya, tidak hanya Islam, juga semakin intens. Sungguh perjalanan yang tidak sederhana.

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

0
Al-Baqarah Ayat 208
Al-Baqarah Ayat 208

Dalam tulisan ini akan diuraikan penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 208 yang di dalamnya bicara soal Islam Kaffah. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silm secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS al-Baqarah ayat 208)

Terminologi Islam Kaffah menjadi istilah yang cukup populer dalam kehidupan sosial-politik keagamaan kita akhir-akhir ini. Istilah ini, yang diusung di antaranya oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan kelompok khilafah Hizbut Tahrir dipropagandakan sebagai keharusan menerapkan Islam secara 100% dengan tekstualis, simplikatif, rigid, simbolik dan formalistik.

Secara sempit, Islam Kaffah adalah propaganda keharusan menjadikan agama sebagai formalitas sistem politik negara. Lihat saja misalnya dalam pernyataan ke-10 dari prinsip dasar JI yang menyatakan, “Pengamalan Islam kita adalah secara murni dan kafah dengan sistem jamaah (komunitas), kemudian daulah (Negara), kemudian khilafah.”

Bagi kelompok tersebut, Islam Kaffah adalah Islam Terpadu, yang memadukan agama dan negara (religion and state), salat dan perang, pena dan peluru, lidah dan pedang, hijrah dan jihad, kemudian khilafah. Pemerintahan yang tidak “ber-Islam-kaffah” akan dituduh sebagai pemerintahan taghut yang harus dihancurkan, meski masyarakatnya mengamalkan Islam dan pemerintahnya muslim.

Istilah Islam Kaffah sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Agus Maftuh Abegebriel, adalah problematik. Karena kata “kaffah” yang disebut sebanyak 5 kali dalam Alquran dan 35 kali dalam Sembilan Kitab Hadis semuanya berpasangan dengan kalimat yang jamak (plural). Sehingga tidak bisa disematkan ke dalam kata “Islam” yang mufrad (singular/tunggal). Istilah “Islam Kafah” juga tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran dan hadis, bahkan istilah tersebut tidak dikenal kecuali dalam lingkup lokal Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, jika istilah Islam Kaffah adalah hasil inovasi (bid’ah) lokal Indonesia dan ternyata problematik, lalu bagaimana tafsir yang sebenarnya dari Surat al-Baqarah ayat 208 di atas?

Ulama berbeda pendapat mengenai tafsir kata ‘al-silm’ dalam ayat tersebut, sebagian memaknainya dengan Islam. Pendapat ini dikritik oleh Fakhruddin al-Razi, karena dinilai tahsil al-hasil (redundant), dengan penjelasan bahwa ayat tersebut menyapa orang beriman, iman adalah Islam, dan tidak mungkin orang beriman diperintah masuk Islam. Karena itu ulama lain menafsirinya dengan kepasrahan, perdamaian, ketaatan dan ketundukan. Imam Sufyan al-Tsauri menyampaikan tafsir yang sedikit berbeda, dengan mengatakan bahwa makna ‘al-silm’ adalah kebajikan secara umum.

Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Demikian diterangkan dalam Tafsir al-Qurtubi, yang sekaligus menunjukkan tidak ada tafsir tunggal mengenai penafsiran kata tersebut, meski harus diakui bahwa tafsir al-Tsauri adalah yang paling menarik karena menunjukkan universalitas pesan Alquran. Sebaliknya jika dimaknai dengan Islam maka akan terus memantik perdebatan mengenai Islam versi yang mana yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Penafsiran kata ‘al-silm’ dengan perdamaian diperkuat oleh Quraish Shihab. Ia menyatakan bahwa ayat tersebut adalah pesan kepada kaum beriman agar cenderung berdamai dan jangan menumbuhkan sikap fanatisme yang merupakan karakter masyarakat jahiliyah, dan semisalnya yang memancing timbulnya permusuhan dan perpecahan.

Shihab melanjutkan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada kaum Muslimin untuk mencintai perdamaian. Peperangan dan permusuhan digambarkan sebagai mengikuti jalan setan. Hidup damai antar sesama Muslim atau dengan kelompok lain menjadi ajaran terpenting Islam. Karenanya peperangan inter dan antar umat sedapat mungkin dihindari.

Ayat ini juga menunjukkan Islam datang menghapus prinsip hukum rimba dan menggantikannya dengan prinsip yang luhur, yaitu prinsip hidup berdampingan secara damai (koeksistensi). Karena itu, dalam Islam perang hanya dibolehkan sebagai tindakan defensif sampai dapat mengajak musuh untuk berdamai. Perang yang diperintahkan Islam dan agama-agama samawi lainnya adalah untuk menopang perdamaian dan menegakkan keadilan.

Dilihat dari latar belakang (asbab nuzul)-nya pun, sebenarnya ayat ini tidak ditujukan kepada umat Islam. Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini turun kepada ahl al-kitab yang tidak mau beriman kepada Nabi SAW dan kepada orang-orang munafik yang hanya berpura-pura beriman. Maka salah alamat jika kelompok tertentu seperti JI dan HTI menggunakan ayat ini untuk menyerang umat Islam dan melabeli negeri yang didirikan oleh para ulama ini sebagai taghut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terminologi Islam Kafah adalah problematik, dan pemaknaan kata ‘al-silm’ sebagai kebajikan dan perdamaian sebagaimana disampaikan oleh para ulama di atas, jelas sangat berbeda dengan yang disampaikan mereka para pengusung jargon “Islam Kaffah” yang cenderung gemar menghakimi kelompok lain yang dituduh tidak berislam kaffah. Yaitu mereka yang mengidam-ngidamkan perang dan hanya mengenal ‘bahasa darah’. Na’uzubillah min zalik…

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

0
Al-Baqarah Ayat 120
Al-Baqarah Ayat 120

Tulisan ini akan menguraikan penafsiran Surat Al-Baqarah Ayat 120. Ayat ini bicara soal Yahudi dan Nasrani yang tidak akan rela terhadap Islam. Bagaimana para ulama menafsirkannya? Berikut uraiannya.

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ.

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS al-Baqarah Ayat 120)

Surat Al-Baqarah Ayat 120 ini termasuk yang paling banyak disalahpahami sehingga sering menjadi ‘batu sandungan’ dalam membangun hubungan ukhuwah wataniyah (sebangsa) maupun insaniyah (kemanusiaan) antara kaum muslim dengan non-muslim, khususnya yang beragama Yahudi dan Nasrani.

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Poin pertama dan yang utama harus disampaikan sebagai klarifikasi adalah, bahwa ayat ini turun menggunakan redaksi “ka” (kamu/engkau), sehingga berlaku khusus ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Nadirsyah Hosen, yang mengatakan bahwa ayat ini tidak dimaksudkan untuk semua umat Islam dan ketidaksukaan Yahudi dan Nasrani juga tidak ditujukan secara general kepada agama Islam. Yahudi dan Nasrani yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah terbatas pada mereka yang ada saat ayat tersebut diturunkan.

Poin kedua yang perlu disampaikan berkaitan dengan ayat tersebut adalah, ulama berbeda pendapat mengenai tafsir millah dalam ayat itu. Imam al-Thabari mengartikan millah dengan agama. Ini lah arti yang kemudian banyak dipakai dalam terjemahan Alquran bahasa Indonesia. Sedangkan Imam al-Baghawi mengartikannya sebagai ‘jalan’. Ini berarti orang Yahudi dan Nasrani mengharapkan agar Nabi mengikuti jalan pemikiran mereka.

Dalam menafsirkan Surat Al-Baqarah Ayat 120 ini, Imam al-Thabari menyatakan bahwa Nabi Muhammad diminta fokus berhadap keridhaan Allah, dan tidak dibuat pusing dengan ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani. Kerelaan keduanya tidak mungkin diraih secara bersamaan, karena antara mereka sendiri tidak saling cocok, keberpihakan pada salah satu akan memunculkan resistensi dari yang lain. Cukuplah Nabi mendakwahkan kepada mereka tentang kasih sayang yang menjadi jalan Islam.

Hal ini senada dengan Quraish Shihab yang dalam tafsirnya menyatakan, “Janganlah kamu menyusahkan dirimu demi memuaskan para pembangkang dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi rela. Sungguh mereka itu tidak akan merelakanmu sehingga kamu mau menjadi pengikut mereka. Katakan kepada mereka, “Tidak ada yang lebih benar daripada petunjuk yang diturunkan Allah dalam Islam.”

Sementara Ibn Abbas dalam asbab nuzulnya menyampaikan, bahwa ayat ini turun dalam kasus saat Yahudi Madinah dan Nasrani Najran menghadap Nabi meminta agar beliau salat mengahadap kiblat mereka (Baitul Maqdis). Padahal Allah telah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka’bah di Mekah. Maka turunlah ayat ini. Karena itu Ibn Abbas menyampaikan bahwa yang tidak rela dengan Nabi sampai Nabi mengikuti mereka adalah hanya Yahudi Madinah dan Nasrani Najran yang ada pada saat itu, saat perubahan arah kiblat, bukan Yahudi dan Nasrani secara keseluruhan, termasuk yang hidup pada hari ini.

Dari ulasan dan komparasi pendapat para mufasir di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut berbicara khusus kepada Nabi dan dalam konteks yang khusus, yaitu pemindahan kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Dengan demikian tidak ada alasan untuk terus menaruh kecurigaan secara general terhadap mereka yang berbeda agama. Nabi pun selama hidupnya harmonis dengan komunitas non-muslim baik di Mekah maupun Madinah, bahkan dikelilingi orang-orang terdekatnya yang beragam latarbelakang suku dan agamanya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 256: Arti Kata Tagut dalam Al-Quran

0
arti kata tagut
arti kata tagut

Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 256. Lebih spesifik menerangkan soal arti kata tagut yang seringkali dikutip oleh sebagian kelompok untuk mengkafirkan sebagian yang lain. Berikut adalah penafsiran Surat Al-Baqarah ayat 256 menurut para ulama.

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada “tagut” dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah Ayat 256)

Potongan ayat di atas, terutama arti kata tagut, sering dijadikan dasar keharusan mengkafirkan tagut, yang dimaknai sebagai otoritas kekuasaan selain Allah. Secara spesifik yang dimaksudkan adalah sistem dan pemerintahan sebuah Negara. Kekafiran kepada tagut bagi mereka sangat prinsip, sampai-sampai ditempatkan di atas dan sebelum keimanan kepada Allah SWT.

Dari konsep dan arti kata tagut yang seperti itu lah lahir konsep-konsep turunan seperti ansor al-taghut (penolong tagut) yang disematkan kepada TNI-Polri dan ASN. Lahir pula label kafir, musyrik, murtad, jahiliyah, hijrah, jihad, al-wala wa al-bara (demarkasi kawan dan lawan), hakimiyah (keharusan berhukum dengan hukum Allah), tauhid, khilafah/daulah, dst.

Konsep dan arti kata tagut ini tentu saja mengandung kejanggalan, simplistik, politis dan ekstrim. Dan berdasarkan penelusuran penulis, konsep yang janggal tersebut bersumber dari karangan Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Salafi-Wahabi) yang menyatakan bahwa tagut adalah iblis dan manusia, yang ingin disembah dan dikultuskan, serta manusia yang bersandar pada hukum selain hukum Allah.

Adapun para ulama yang sebenarnya menjelaskan arti kata tagut secara beragam. Tagut yang disebut sebanyak delapan kali dalam Alquran, yakni dalam QS al-Baqarah: 256, 257; QS al-Nisa’: 51, 60, 76; QS al-Maidah: 60; QS al-Nahl: 36; dan QS al-Zumar: 17, secara bahasa berarti melampaui batas (jawaza al-had), tindakan apa pun yang melewati batas dapat dikatakan tagut secara lughawi (lihat: Raghib al-Asfahani dalam Mufradat al-Quran).

Dalam Lisan al-Arab, Ibn al-Manzur menyatakan bahwa arti kata tagut adalah penyihir (sahir), dukun (kahin) dan berhala. Sementara Ath-Thabari dalam tafsirnya secara spesifik mengatakan tagut dalam Al-Quran merujuk pada pribadi Ka’ab al-Asyraf dan Huyay bin al-Akhtab. Sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan tagut dalam al-Manar sebagai kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai hati dan pikiran manusia.

Ini mirip dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Asad yang menerjemahkan tagut sebagai powers of evil, yaitu dorongan negatif dalam diri manusia yang dapat menjerumuskannya dalam kehancuran. Sementara Quraish Shihab menafsiri tagut dengan segala sesuatu yang mematikan akal dan memalingkannya dari kebenaran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada ulama tafsir yang menafsiri kata tagut dalam Alquran dengan sebuah sistem negara (semisal Pancasila, UUD 1945, NKRI), apalagi pemerintahan maupun individu di dalamnya. Tidak ada pula ulama yang memasukkan kekufuran pada tagut ke dalam bagian akidah, karena tidak ada dalil qat’i baik dari Alquran maupun hadis mengenai hal tersebut.

Ragam penafsiran ulama di atas juga sekaligus menegaskan bahwa negeri ini sama sekali tidak terkait dengan tagut, karena sistem pemerintahannya tidak melampaui batas. Ajaran Islam bahkan diakomodir, terbukti dengan adanya Kementerian Agama, BAZNAS, Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengadilan agama, perbankan syariah, dst. Nilai-nilai Islam juga menjiwai dasar negara sebagaimana sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan pengejawantahan tauhid.

Di sisi lain, apa yang dikatakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab tentang tagut di atas, mempunyai konsekuensi yang serius, karena begitu dia dan pengikutnya mengkafirkan sistem dan aparatur pemerintahan (TNI-Polri dan ASN), beserta masyarakatnya, maka berarti menghancurkan negara tersebut adalah legal dan darah rakyatnya menjadi halal, karena dianggap telah keluar dari Islam. Ini tentu sangat jauh dari tuntunan Nabi SAW yang welas asih dan rahmatan lil ‘alamin.

Kesimpulan mengenai tafsir QS al-Baqarah ayat 256 di atas adalah bahwa ulama memaknai tagut secara beragam, ada yang menafsirinya sebagai dukun atau sihir, dorongan negatif yang dapat menjerumuskan manusia, dan sesuatu yang mematikan akal.

Tidak ada satu pun ulama yang mengaitkan tagut dengan sistem atau pemerintah sebuah negara. Ulama juga sepakat bahwa tagut secara bahasa adalah melampaui batas, sehingga siapa yang berfikir ekstrim dan bertindak melampaui batas dengan menganggap di luar kelompoknya adalah salah dan kafir, maka dia lah tagut yang sesungguhnya. Wa al-‘iyadz billah.

Tafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?

0
Bersikap Keras Kepada non-Muslim
Benarkah Bersikap Keras Kepada non-Muslim

Bersikap keras kepada non-Muslim dianggap bagian dari sikap seorang Muslim sejati. Pemahaman seperti ini jelas menyalahi ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang. Lalu benahkah harus bersikap keras kepada non-Muslim? Artikel ini akan menafsirkan Q.S al-Fath ayat 29 yang sering dijadikan argumentasi untuk itu. Allah Swt berfirman:

    … مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُم

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap kuffar, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka …” (QS. al-Fath [48]: 29)

Potongan ayat ke-29 dari Alquran surah al-Fath tersebut kerap kali dijadikan sebagai legitimasi untuk bersikap keras dan membenci orang yang berbeda agama, meskipun dia berbuat baik atau tidak mengganggu, dan sebaliknya memaklumi setiap perilaku orang yang se-agama, meskipun dia keliru dan melampaui batas.

Hal tersebut tentu saja meresahkan dan amat terasa janggal bagi kita yang ingat bahwa visi agama Islam adalah merahmati semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) bukan terbatas manusia yang muslim, apalagi kita hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang asasnya adalah Bhineka Tunggal Ika, warganya terdiri dari beragam suku dan agama. Pemahaman atas ayat tersebut sebagaimana di atas, dapat berpotensi merusak persaudaraan sebangsa dan se-tanah air (ukhuwah wataniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).

Bagaimana sebenarnya tafsir ayat tersebut? Yang pertama harus kita ketahui adalah bahwa ayat tersebut turun dalam situasi konfrontasi dan ketegangan, bukan dalam kondisi damai, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW dihalang-halangi untuk beribadah haji oleh kaum Quraisy, yang kemudian melahirkan Suluh (perjanjian damai) Hudaybiyah. Sesuai kaidah, masing-masing ayat harus lah didudukkan dalam proporsi dan konteksnya masing-masing, karena Alquran tidak turun dalam ruang yang hampa, melainkan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat di saat turunnya. Maka tidak boleh memaksakan ayat yang turun dalam kondisi perang untuk diterapkan dalam kondisi damai.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Ini Dalilnya dalam Al-Quran

Kemudian mari kita lihat beberapa penafsiran ulama atas QS al-Fath ayat 29 tersebut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk para sahabat yang mengalami peristiwa Hudaybiyah. Yang dimaksud dengan orang yang membersamai Muhammad adalah Abu Bakar, yang keras pembelaannya terhadap Rasulullah adalah Umar bin Khattab, yang berkasih sayang dengan sesama mereka adalah Usman bin Affan, sedangkan yang ruku dan sujud adalah Ali bin Abi Thalib. Penafsiran yang sama juga disampaikan oleh al-Baghawi dalam Tafsir Ma’alaim al-Tanzil, al-Samarqandi dalam Tafsir Bahrul Ulum dan al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ayat tersebut tidak berlaku umum, melainkan khusus untuk pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa Hudaybiyah tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar men-generalisir dan menjadikannya sebagai sikap umum seorang muslim kepada kepada saudaranya yang non-muslim.

Fakta penting yang perlu dikemukakan dari peristiwa yang mengiringi turunnya ayat tersebut juga adalah, bahwa ketika ayat tersebut disampaikan oleh Rasulullah, justru saat itu beliau sedang mengupayakan perdamaian dan berkompromi dengan orang-orang kuffar Quraisy dalam Suluh Hudaybiyah, bukan sedang bersikap keras atau kaku terhadap mereka. Bahkan ketika Rasulullah mampu melakukan pembalasan terhadap orang-orang Quraisy, yaitu saat penaklukan Kota Mekah (fath makkah), alih-alih balas dendam Nabi justru memperlihatkan akhlaknya yang mulia, dengan memberikan pengampunan dan pemaafan secara besar-besaran.

Dari keterangan-keterangan tersebut di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, pemaknaan yang tekstual terhadap QS al-Fath ayat 29 sebagai pembenaran bersikap keras terhadap non-muslim karena ketidak islaman-nya. Selain menyalahi asbab al-nuzul dan menyalahi visi rahmatan lil ‘alamin, juga menyalahi tuntunan ayat lain (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).

Bersikap keras kepada non-Muslim tentu menyalahi praktek hidup sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah yang hidup harmoni dengan orang-orang non-muslim di sekitarnya. Bahkan dengan lingkaran terdekatnya, seperti asisten rumah tangga beliau, Abdul Quddus yang seorang Yahudi, asisten perjalanan beliau, Abdullah bin Uraiqit yang seorang penyembah berhala, dan masih banyak yang lainnya.

Sampai di sini, rasanya kita perlu introspeksi, sejauh mana peneladanan kita terhadap akhlak Rasulullah yang mulia? Dan sampai kapan kita akan terus mencitrakan diri sebagai umat yang ‘ngamukan’? Allah yahdina ila sawai al-sabil…