Beranda blog Halaman 564

Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 207: Ajaran Bom Bunuh Diri?

0
Surat Al-Baqarah Ayat 207
Surat Al-Baqarah Ayat 207

Sebagian oknum teroris yang mempraktikkan bom bunuh diri menjadikan Surat Al-Baqarah Ayat 207 untuk melegitimasi kelompoknya dalam hal tindakan teror. Hal ini tentu saja salah sepenuhnya. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan bagaimana penafsiran yang tepat menurut para ulama terkait Surat Al-Baqarah ayat 207. Ayat ini berbunyi:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang merelakan kepentingan dirinya untuk mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Surat al-Baqarah ayat 207).

Surat al-Baqarah Ayat 207 di atas cukup populer, khususnya di kalangan Sufi, sebagai dasar pengahambaan diri kepada Allah dalam rangka mencari dan mengharap ridha-Nya.

Namun siapa sangka ayat mulia nan suci tersebut ternyata telah dinodai oleh kalangan radikalis dan teroris. Mereka menjadikan ayat itu sebagai dasar untuk membenci dan menyerang sesama makhluk Allah. Parahnya, sampai dijadikan dasar legitimasi bom bunuh diri! Kita bisa melihat hal tersebut dalam materi doktrin kelompok radikalis dan teroris.

Dalam beberapa peristiwa pengeboman bunuh diri, pelakunya juga meyakini ayat tersebut sebagai dalil bom bunuh diri. Bahkan dipropagandakan ke masyarakat luas melalui media sosial setiap kali terjadi peristiwa, dengan tujuan membenarkan bom bunuh diri.

Bagaimana sebenarnya penafsiran ayat tersebut? Untuk melihat lebih obyektif tafsir ayat tersebut, mari kita baca terlebih dahulu asbab nuzulnya. Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Said bin Musayyab dan beberapa sahabat memberikan keterangan bahwa, ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, yang akan mengikuti Nabi SAW berhijrah ke Madinah.

Oleh orang-orang Quraisy ia dilarang berhijrah dengan membawa kekayaannya. Suhaib tidak mengindahkan larangan orang-orang Quraisy itu bahkan dengan segala senang hati dan penuh keikhlasan ia menyerahkan semua kekayaannya asal ia dibolehkan berhijrah ke Madinah, maka turunlah ayat tersebut. Setelah itu Sayyidina Umar bin Khattab beserta beberapa orang sahabat pergi menemui Suhaib dan berkata, “Daganganmu benar-benar beruntung.”

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Demikian lah hendaknya setiap orang yang berjuang di jalan Allah. Ia harus berani mengorbankan apa yang ada padanya, baik tenaga maupun harta, demi tercapainya perjuangan, sebagai cerminan iman dan takwa yang ada di dalam hati masing-masing.

Dari kisah asbab nuzul atau konteks turunnya ayat tersebut, diketahui tidak ada kaitan sama sekali antara QS al-Baqarah 207 ini, dengan kekonyolan mengorbankan nyawa diri sendiri maupun orang lain. Begitu juga dari segi Munasabah (keterkaitan runtutan ayat).

Dilihat dari segi Munasabah-nya, ayat tersebut hendak menerangkan perbedaan antara orang munafik dan orang beriman. Sebagaimana ditulis dalam Tafsir al-Misbah, alangkah jauh perbedaan antara orang-orang munafik itu dengan orang-orang Mukmin, yaitu mereka yang tulus berupaya untuk mendapatkan ridla Allah serta memperjuangkan kebenaran. Sikap ini sangat berbeda dengan orang munafik yang hanya berpura-pura.

Cocokologi Surat al-Baqarah Ayat 207 dengan bom bunuh diri juga tertolak ketika meninjau ayat-ayat yang lain yang lebih sarih (tegas dan jelas). Misalnya:

  • al-Nisa [4] ayat 29:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

  • al-Baqarah [2] ayat 195:

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

  • al-Isra [17] ayat 33:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”

  • al-Maidah [5] ayat 32:

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Dalam memahami ayat-ayat tersebut, para ulama menjelaskan bahwa, pertama, Allah melarang membunuh diri sendiri dan orang lain, karena asas yang dibangun Islam adalah persatuan umat, saling membantu dan menolong satu sama lain. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis bahwa, tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kedua, jika membunuh orang lain dilarang, maka membunuh diri sendiri (intihar), termasuk bom diri, juga dilarang.

Selain dilarang oleh Alquran, bunuh diri juga dilarang oleh hadis Nabi. Sebagaimana dalam riwayat Bukhari dan Muslim: “Siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” Juga dalam sabdanya yang lain:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا.  وَمَنْ شَرِبَ سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا. وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا. (رواه مسلم)

“Siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya menikam perutnya di neraka Jahanam, selama-lamanya. Siapa yang minum racun, sehingga ia membunuh dirinya, maka ia akan meminumnya di dalam neraka Jahanam, selama-lamanya. Dan siapa yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga membunuh dirinya, maka ia akan menjatuhkan dirinya di dalam neraka Jahanam, selama-lamanya.” (HR. Muslim).

Pada intinya, Islam amat melindungi dan menjamin keamanan dan keselamatan manusia secara keseluruhan, baik muslim maupun non-muslim, baik diri sendiri maupun orang lain (la darara wa la dirara). Mencederai fisik, apalagi menghilangkan nyawa, merupakan bentuk kekufuran kepada Allah Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 1-3: Kunci Kemenangan Ada pada Perdamaian

Karena itu menjadikan Surat al-Baqarah ayat 207 sebagai dasar bom bunuh diri merupakan sebuah penodaan terhadap Alquran dan kekeliruan yang fatal. Perjuangan meraih ridla Allah bukan dengan kebencian apalagi penyerangan, tetapi harus dilakukan dengan totalitas pelayanan kepada semua makhluk (rahmatan lil ‘alamin), kita harus menyayangi dan menghormati semua makhluk karena menghormati pencipta-Nya. Perjuangan mencari ridla Allah juga harus dilakukan dengan cara-cara yang diridlai-Nya, bukan dengan bunuh diri, yang malah akan mengundang murka-Nya.

Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

0

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ () خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ () اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ () الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan pena.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-4)

Setiap kosakata Alquran selalu menyimpan makna yang luas lagi dalam. Sebuah karya tafsir yang ditulis oleh manusia tidak akan mampu menjangkau keseluruhan makna atau merepresentasikan Alquran, apalagi hanya sekedar terjemah. Termasuk kosakata “Iqra” yang merupakan wahyu pertama yang Allah SWT turunkan kepada Nabi terakhir-Nya. Di sini lah pentingnya, selalu menanamkan kesadaran bahwa tafsir, apalagi terjemah, bukan lah Alquran itu sendiri, dan tentu saja tidak sama kedudukannya.

Mengenai luasnya samudera makna Alquran, Prof. Nasaruddin Umar dalam perkuliahan yang penulis ikuti, sering mencontohkannya dengan makna kalimat Iqra, yang menurutnya mempunyai empat lapis makna:

Pertama yaitu, how to read. Ini menyangkut pembacaan terhadap ayat-ayat Alquran secara baik dan benar. Meski tidak mengetahui artinya. Namun tetap mendapat pahala. Hal ini karena membaca Alquran mempunyai nilai ibadah tersendiri. Sebagaimana pengertian Alquran yang didefinisikan oleh para ulama:

كَلَامُ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ص.م اَلْمُعْجِزِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُولُ بِالتَّوَاتُرِ اَلْمَكْتُوبِ فِى اَلْمَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُوْرَةٍ اَلْفَاتِحَةِ اِلَى سُورَةٍ النَّاسِ.

“(Alquran yaitu) kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW. Lafalnya mengandung mukjizat. Membacanya adalah ibadah. Diriwayatkan secara mutawatir. Dan tertulis dalam mushaf, mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas.” (al-Madkhal li Dirasat al-Quran, hlm 20).

Kedua yaitu, how to learn. Makna ini menyangkut pendalaman Alquran dengan mengetahui arti kosakata dan tafsir, bahkan takwilnya.

Ketiga yaitu, how to understand. Merupakan tingkat lanjutan dari lapis makna sebelumnya, yaitu bagaimana pengahayatan terhadap Alquran. Ini bersifat emosional dan spiritual, sehingga bukan hanya sang pembaca yang menafsiri dan mengajak Alquran berbicara, tapi Alquran lah yang membuka makna dirinya.

Keempat yaitu mukasyafah. Ini merupakan makna yang terakhir, berupa penyingkapan tabir-tabir dalam Alquran, sehingga bisa disibak bukan hanya makna yang tersurat, tapi juga makna-makna yang tersirat.

Dengan demikian, pembacaan umat Islam terhadap Alquran semestinya tidak hanya fokus kepada tahfiz atau tilawah saja, namun yang lebih penting daripada itu adalah memahami dan menggali makna substansi Alquran supaya sampai kepada tujuan Allah menurunkan Alquran, dan tuntunannya menjadi aplikatif dalam kehidupan serta membumi.

Peradaban Iqra dan Qalam; Membaca dan Menulis

Sebagaimana termaktub dalam ayat 1 dan 2 Surah al-‘Alaq, ada dua kata kunci yaitu “Iqra” yang menjadi dasar membaca dan “Qalam” yang menjadi dasar menulis. Ini menunjukkan pentingnya aktivitas penggabungan antara keduanya. Membaca sangat erat kaitannya dengan menulis.

Ini diperkuat dengan apa yang dikatakan oleh Prof Quraish Shihab, bahwa pasca turunnya kelima ayat dalam Surah al-‘Alaq, Allah kemudian menurunkan ayat, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qalam [68]: 1). Ini menunjukkan betapa eratnya kaitan antara “Iqra” dan “Qalam” dan betapa pentingnya menulis, di samping membaca. Kedua ayat ini turun beriringan, meski urutannya dalam mushaf tidak berdampingan.

Pemaknaan, penghayatan, dan aktualisasi “Iqra” yang digabungkan dengan “Qalam” ini lah yang telah mengantarkan umat Islam di masa lalu menuju puncak kejayaannya. Yaitu era di mana ilmu pengetahuan begitu dihargai dan riset serta penulisan digalakkan, melahirkan banyak maha karya, tanpa ada dikotomi dan pembatasan terhadap obyek materinya, seperti saat Allah memerintahkan “Iqra” yang juga umum tanpa menyebut obyeknya. Sehingga lahir para ilmuwan Islam yang generalis, tidak hanya mengetahui ilmu syariah atau bidang tertentu saja, tapi juga ahli dalam bidang-bidang lainnya.

Jika dua prasyarat ini direvitalisasi, bukan tidak mungkin umat Islam akan kembali menaiki puncak peradabannya, yaitu peradaban manusia yang berbasis Alquran. Wallahu a’lam bi muradih

Tafsir Surat Ali Imran 31: Cara Mempererat Hubungan Suami-Istri

0

Pada umumnya, ketika seseorang baru menikah rasa cinta masih sangat erat, hubungan sangat harmonis, kesana-kemari bersama-sama, seakan dunia milik berdua. Seiring berjalannya waktu dengan keadaan silih berganti, sebagian pasangan bisa saja merasa bosan, capek, atau rasa cinta pada pasangan menjadi berkurang. Bahkan, terkadang perasaan sebagian pasangan berangsur menghilang. Na’udzubillahi min dzalik

Rasa cinta, kasih, dan sayang yang semakin berkurang secara psikologi, diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya; kurangnya komunikasi antara suami-istri yang mengakibatkan kesalahpahaman. Juga, realitas kehidupan pasca menikah tidak sesuai dengan impian sebelum pernikahan, seperti kesibukan yang membuat kurangnya keintiman dalam rumahtangga, kebiasaan yang dikurang disukai dari pasangan, dan beberapa hal lainnya.

Sedangkan, secara spiritual rasa cinta yang semakin berkurang disebabkan karena hubungan suami atau istri kepada Tuhan semakin menjauh. Sampai akhirnya, cinta dan kasih sayang Allah jauh dari rumah tangga mereka.

Menjaga rasa cinta, kasih dna sayang dalam rumah tangga, butuh yang namanya penguatan doa. Salah satu doa yang digadang-gadang sebagai penguat rasa cinta suami dan istri adalah surat Ali Imran ayat 31 yang berbunyi:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Lantas mengapa ayat ini digadang-gadang sebagai ayat untuk mempererat ikatan suami-istri? Bagaimana tafsir ayat 31 dari surat Ali Imran ini?

Sebelum menilik pada penafsiran beberapa mufassir, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas bagaimana asbab al-nuzul  ayat tersebut. Turunnya surat Ali Imran ayat 31 ini berkaitan dengan sekelompok (kelompok orang Yahudi -ada yang bilang adalah Ka’ab bin Asyraf dan pengikutnya) pada masa Nabi Muhammad yang mengaku mencintai Allah. Mereka bersumpah bahwa mereka mencintai Tuhan, dan mereka merasa bahwa mereka adalah anak Tuhan, dan Kekasih-Nya. Ketika itu Allah langsung menurunkan ayat 31 ini.

Secara tidak langsung, ayat ini merupakan teguran keras kepada orang-orang yang mengakui mencintai Allah akan tetapi tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad. Teguran bagi orang yang mengaku cinta, tapi lisan dan perbuatannya melakukan hal yang tidak disukai Allah.

Gerbang Awal untuk Dapat Dikatakan Cinta Allah

Ayat ini berbicara mengenai -Jika kau mencitai Allah maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), artinya mengakui kerasulan Nabi Muhammad adalah gerbang awal untuk dapat dikatakan mencintai Allah. Al-Maraghi mengatakan, konsekuensi untuk mencitai Allah adalah keharusan hamba mengakui kerasulan Nabi Muhammad.

Cinta sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Allah berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku maka telah Ku-umumkan perang atasnya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-sukai daripada melakukan apa yang Ku-fardhukan. Seseorang yang berusaha terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah, pada akhirnya Aku mencintai-Nya, dan kalau Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya aku melihat, tangannya yang dengannya dia bertindak, serta kakinya yang dengannya ia melangkah. Apabila ia memohon kepada-Ku, akan Ku-kabulkan dan apabila dia meminta perlindungan, pasti dia Kulindungi.” (HR.Bukhari)

Quraish Shihab mengatakan, cinta manusia kepada Allah adalah kualitas yang mengejewantahkan pada diri seorang yang beriman hingga menghasilkan ketaatan kepada-Nya, penghormatan, penanggungan. Sampai, pada tingkat ia lebih mementingkan-Nya dari selain-Nya.

Seseorang yang mencintai Tuhannya akan merasa tidak sabar dan resah untuk tidak memandang dan memenuhi kehendak-Nya, tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya. Puncaknya adalah ketika ia menyebut-nyebut (dzikir) sembari memandangkeindahan dan kebesaran-Nya. Mengutip ungkapan Al-Qusyairi mengenai cinta kepada Allah, “mementingkan kekasih daripada sahabat.” Maksudnya, mendahulukan keridhaan Kekasih- Allah, daripada yang lain, dan ego yang bertentangan dengan kehendak-Nya.

Meski makna cinta masih diperselisihkan, Quraish Shihab memberikan defenisi yang menarik mengenai hakikat cinta yang mengutip dari perkataan sebagian sufi. Cinta adalah dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah. Semua keadaan dan peringkat yang dialami oleh pejalan (maqam) adalah tingkatan cinta  kepada Allah. Ia tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.

Cinta Allah dan Rasul Jalan Perekat Cinta Suami-Istri

Ketika cinta kepada Allah dan Rasul telah paripurna, maka cinta makhluk padanya pun akan paripurna. Orang-orang disekitarnya akan cinta dan sayang padanya, dalam hal ini adalah pasangan. Hubungan akan senantiasa diberkahi, dan didamaikan. Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.

Cinta berbalas cinta dari Allah, curahannya akan berkah, dan penuh anugerah-Nya. Anugerah Allah tidak terbatas, karunia-Nya pun juga tidak terbatas. Limpahan karunia-Nya disesuaikan pada kadar cinta manusia kepada-Nya. Setidaknya, pengampunan dosa serta curahan Rahmat-Nya untuk manusia.

Terakhir, lantas bagaimana surat Ali Imran ayat 31 menjadi ajimat penguat hubungan suami-istri? Menurut penulis, sebagaimana seseorang yang mengatakan cinta dan kedekatan antara suami dan istri dapat digambarkan dengan sebuah bentuk segitiga sama sisi. Jika suami dan istri berada di dua sisi kaki segitiga tersebut, maka Allah berada pada puncak segitiga itu. Semakin mendekat titik suami-istri pada puncak segitiga, maka kedekatan suami-istri juga akan semakin dekat. Sebaliknya jika titik suami-istri berada jauh hingga dasar segitiga, maka kedekatan titik suami-istri semakin jauh.

Gambaran tersebut, menjelaskan bahwa pentingnya kedekatan suami-istri pada Tuhannya. Cinta kedua suami-istri akan semakin erat ketika mereka mencintai Tuhannya. Semakin sekat keduanya pada Allah, maka akan semakin erat hubungan keduanya. Mencintai Allah, mendekat pada-Nya dengan mengikuti ajaran Rasul -mengakui kerasulan Nabi Muhammad, dan mencintainya.

Wallahua’lam

Mengenal Pengertian Al Quran

0

Kata Alquran bagi umat muslim sangat dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari. Hampir setiap hari ayat-ayat Alquran dapat dengan mudah didengarkan dalam format dan sumber yang beragam. Tetapi sudahkah kita mengetahui apa makna dan pengertian Alquran? Jika belum, maka penulis akan sedikit mengulas makna dan definisi Alquran menurut para ulama dalam disiplin ilmu-ilmu Alquran (Ulum al-Qur’an).

Sebelum kita membahas makna dan pengertian Alquran ini, ada satu pertanyaan yang penting dimunculkan: apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata Alquran? Pertanyaan ini coba penulis tanyakan ke pengikut instagram, jawabannya beragam, ada yang mengatakan kitab suci umat Islam, pedoman hidup umat Islam, Surat Al-fatihah, dan ada juga yang menjawab Kalam Allah. Semua jawaban ini benar adanya dan dapat mewakili pengertian Alquran. Akan tetapi, pengetahuan umum saja tidak cukup. Untuk dapat mengenal Alquran lebih dekat kita perlu menelisik lebih jauh definisinya menurut para ulama.

Dalam buku Ulumul Quran seperti al-Burhan fi ‘Ulum Alquran karya Badruddin al-Zarkayi dan al-Itqan fi ‘Ulum Alquran karya Jalaluddin al-Suyuthi, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai asal usul atau akar kata dari Alquran. Sebagian ulama berpendapat kata Alquran tidak memiliki akar kata, ia merupakan nama khusus yang disematkan untuk menyebut Kalam Allah Swt. Namun sebagian lain memandang kata Alquran berasal dari kata al-qaraa (القرى) yang artinya mengumpulkan (al-jam’u). Makna “mengumpulkan” ini berdasarkan keyakinan bahwa al-Quran mengumpulkan intisari dari kitab-kitab suci terdahulu.

Berbeda dengan al-Zarkasyi maupun al-Suyuthi, Abdul Azhim al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-‘Irfan berpandangan bahwa kata Alquran berakar dari kata qara’a yang artinya “membaca”. Bila merujuk makna ini, maka Alquran berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). Al-Zarqani melandaskan pendapat ini pada Q.S al-Qiyamah ayat 17-18:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”

Menurut al-Zarqani pendapat yang menyebutkan Alquran berasal dari kata al-qaraa atau al-qar’u berdasarkan pelafalan orang Arab Hijaz dulu yang membaca Alquran dengan al-Quraan (tanpa hamzah). Padahal bagi al-Zarqani pelafalan yang membuang huruf hamzah ini hanya kebiasaan saja (li al-takhfif), pada hakikatnya tetap menggunakan hamzah. Senada dengan al-Zarqani, Taufik Adnan Amal juga berpandangan bahwa penghilangan hamzah pada kata Alquran merupakan karakteristik pelafalan dialek Mekah atau Hijazi, dan juga terdapat pada karakter penulisan aksara kufi awal yang tidak memakai hamzah.

Penulis sendiri cenderung sepakat dengan pendapat terakhir yang mengatakan bahwa Alquran secara etimologi berasal dari kata qara’a yang artinya bacaan. Selain karena didasarkan pada ayat al-Quran sendiri, pada dasarnya makna bacaan lebih lekat dan memotivasi kita untuk terus menerus menjadikan Alquran sebagai bacaan yang diresapi maknanya dan diimplementasikan pesan-pesannya.

Lalu bagaimana Alquran didefinisikan dari segi terminologi? Kita bisa mendapat jawabannya dari penjelasan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dari sekian definisi yang diuraikan al-Jabiri, penulis cenderung memilih definisi sebagai berikut:

القرآن هو كلام الله تعالى المنزل على خاتم أنبيائه محمد المكتوب في المصحف المنقؤل إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المتحدى بإعجاءه

“Alquran adalah Kalam Allah Swt yang diturunkan kepada penghujung para Nabi, Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, ditransmisikan secara mutawatir, menjadi ibadah dengan membacanya, dan menjadi penentang/penguat dengan kemukjizatannya.”

Mari kita bahas satu per satu definisi yang sekiranya tidak dapat langsung dipahami di atas. Pertama, yang ditulis dalam mushaf, maksudnya apa? Selain dihafal dalam memori para sahabat, sejak awal Alquran telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk dituliskan melalui berbagai media: pelepah kurma, tulang unta, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa Alquran secara historis telah dijaga keotentikannya bahkan segera setelah wahyu diterima Nabi Saw. Kemudian segera setelah Nabi Saw wafat, para sahabat bersepakat untuk mengumpulkan Alquran ke dalam satu mushaf. Untuk penjelasan lebih detail soal sejarah penulisan Alquran baik dari segi tulisannya (khat) hingga sekarang bisa dicetak, diterbitkan, ada lembaga tashih yang ikut menjaga kemurnian al-Quran dan lain sebagainya akan dibahas pada topik tersendiri.

Kedua, ditransmisikan secara mutawatir. Istilah Mutawatir lebih akrab dikenal dalam dunia periwayatan hadis. Secara harfiah mutawatir berarti “berturut-turut atau beruntun”, tetapi dalam ilmu hadis istilah ini merujuk pada kriteria kuantitas periwayat hadis yang menandakan sebuah hadis diriwayatkan oleh banyak periwayat. Setidaknya ada empat kriteria menurut Mahmud Thahhan ketika sebuah riwayat dinyatakan mutawatir. Pertama jumlah perawi minimal 10 orang. Kedua jumlah minimal tersebut harus terpenuhi dari setiap generasi periwayat. Ketiga, dengan banyaknya jumlah tersebut sehingga mustahil bagi para periwayat untuk bersepakat bohong. Keempat para perawi menyaksikan langsung dengan panca indera proses transmisinya.

Alquran sudah dapat dipastikan sebagai kitab suci yang mutawatir. Karena sejak awal masa kenabian ia telah menjadi fokus utama Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat. Mereka mencatat, menghafal, mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran Alquran. Dari generasi ke genarsi Alquran terus diajarkan dan dihafal sehingga tidak ada sejarawan yang menyangkal keotentikannya.

Ketiga, menjadi ibadah ketika membacanya. Pada poin inilah Alquran dibedakan dengan hadis qudsi. Meskipun sama-sama diyakini sebagai wahyu Allah secara verbal, Alquran merupakan Firman Allah Swt yang dikhususkan dan menjadi ibadah bagi umat muslim ketika membacanya. Ibadah ini berkait kelindan dengan pahala yang dapat diraih oleh umat muslim terlepas dari paham dan tidaknya mereka dengan apa yang dibaca. Ada banyak riwayat hadis sahih yang menerangkan keutamaan membaca al-Qru’an, satu di antara yang paling populer adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud:

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Kata ‘Abdullah ibn Mas‘ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).

Keempat, Alquran didefinisikan sebagai penentang dengan kemukjizatannya. Inilah yang paling menonjol dalam Alquran ketika pertama kali ia diwahyukan terutama saat dihadapkan pada orang-orang kafir Quraisy. Kebiasaan Arab yang sangat menghormati syair dan nilai sastra yang tinggi, tidak dapat mengalahkan kesusastraan Alquran yang begitu indah dan penuh dengan nilai moral yang luhur. Tidak ada seorang pun penyair Arab yang mampu menandingi kehebatan dan keagungan bahasa Alquran. Terdapat ayat Alquran yang menantang secara terbuka para penyair untuk membuat semacam Alquran, tetapi mereka tidak mampu. Satu di antaranya Allah berfirman:

 قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

“Katakanlah, sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

Wallahu A’lam.

Empat Model Al Quran dalam Menyampaikan Informasi

0

Predikat terhadap Alquran sebagai sebuah kumpulan tulisan berisi tema tertentu seringkali kita temukan, misal Alquran adalah kitab hukum (model penjelasan seperti ini dalam tradisi tafsir dikenal dengan tafsir fiqhi), karena kandungan hukumnya yang terlihat mendominasi, Alquran juga disebut buku cerita, karena kisah-kisah yang dimuat di dalamnya tidak sedikit; Alquran Kitab Toleransi, sebab menurut penulisnya salah satu kandungan nilai-nilai universalitas Alquran adalah toleransi, bukan pemaksaan (model penjelasan seperti ini dalam tradisi tafsir dikenal dengan adabiy ijtima’iy).

Fenomena di atas memperjelas penafsiran al Maraghi dalam Tafsir Al Maraghi tentang (QS. Hud [11]: 1) bahwa Alquran merupakan kitab yang memuat tentang berbagai informasi, mulai dari ketauhidan, hukum, nasihat-nasihat, banyak kisah, kebangsaan, sosial kemasyarakatan, politik, dan yang lainnya.

Uniknya, berbagai berita tersebut oleh Alquran disampaikan secara variatif, mulai dari model penyampaian yang santai dan halus seperti cara orang bercerita (Qasas al-Qur’an),  mengumpamakan satu hal dengan hal yang lain (amtsal al-Qur’an) hingga model penyampaian yang tegas dan lugas seperti cara orang berdebat (jadal al-Qur’an) dan penggunaan sumpah (aqsam al-Qur’an). Berikut ciri khas dari masing-masing model penyampaian tersebut.

Qasas al-Qur’an mengabarkan beberapa informasi yang dikandung al-Qur’an dengan berkisah atau bercerita. Termasuk dalam qasas al-Qur’an yaitu pengabaran tentang kisah-kisah umat terdahulu, kisah-kisah Nabi sebelum Nabi Muhammad dan beberapa peristiwa yang terjadi pada masa turunnya al-Qur’an. Salah satu misal yaitu kisah alQur’an tentang nasehat Luqman pada anaknya (QS. Luqman [31]: 13-20). Serangkaian ayat ini menampilkan beberapa nasehat Luqman pada anaknya. Jika diamati lebih lanjut, nasehat Luqman itu meliputi beberapa hal; kewajiban hamba kepada Allah, kewajiban anak terhadap orang tua dan kewajiban manusia kepada makhluk Tuhan lainnya (baik pada sesamanya maupun pada hewan dan tumbuhan). Selain memberikan informasi mengenai sosok Luqman yaitu orang laki-laki shalih yang hidup sebelum diutusnya Nabi Daud, kisah yang menampilkan dua sosok, seorang ayah dan anak ini kemudian menginspirasi para orang tua dalam mendidik anaknya.

Sedangkan amtsal al-Qur’an digunakan untuk meng’hidup’kan sebuah informasi, khususnya kabar-kabar yang bersifat abstrak. Contohnya ketika Allah membuat perumpamaan tentang pahala orang yang bersadaqah di Q.S. al-Baqarah [2]: 261,

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

Pada ayat ini Allah memberi tahu bahwa orang yang bersedekah itu akan mendapat untung (pahala) hingga 100x lipat, sebagaimana terlihat pada visualisasi sebutir beni yang ditanam, kemudian menumbuhkan tujuh bulir dan tiap bulir ada seratus biji.

Adapun untuk jadal al-Qur’an (debat dalam al-Qur’an), hal ini ditempuh dalam rangka meyakinkan para lawan bicaranya, setiap pernyataan dalam Alquran akan disertai dengan argumentasi yang kuat, sehingga menghilangkan keraguan atasnya, lebih-lebih untuk membantah dan mematahkan argumen orang yang tidak mempercayainya. Sebagai contoh antara lain yaitu perdebatan tentang al-Qur’an untuk melemahkan orang-orang yang mendustakannya. (QS. al-Baqarah [2]: 23)

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ    

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

Ayat ini menurut al-Zamakhshari dalam Tafsir Al-Kasysyaf sebagai bantahan sekaligus mematahkan argumentasi orang yang tidak mempercayai kemukjizatan al-Qur’an. Ayat yang serupa juga terdapat pada QS. Yunus [10]: 36 dan Hud [11]: 13. Satu lagi contoh ayat yang juga termasuk dalam model jadal al-Qur’an, QS. al-Baqarah [2]: 21-22,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

Di kedua ayat ini disebutkan argumentasi dan alasan-alasan kenapa manusia diperintahkan untuk menyembah Allah dan senantiasa bersyukur kepadaNya. Alasan-alasan itu antara lain karena Allah adalah pencipta manusia beserta alam seisinya. Model ini sangat pas jika dijadikan pedoman dalam akurasi berita, karena berita harus disertai fakta-fakta dan argumentasi, sehingga berita itu tidak sekadar opini dan dugaan semata.

Terakhir yaitu aqsam al-Qur’an. Tujuan penyertaan sumpah dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan jadal al-Qur’an, menguatkan kabar, menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah pahaman, sehingga mantaplah hati penerima informasi. Contohnya antara lain; QS. al-Taghabun [64]: 7

زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Berdasarkan empat gaya tersebut, terlihat bahwa Alquran sangat memperhatikan lawan bicara atau pendengarnya (karena dianggap seperti berbicara) atau para pembacanya (karena mushaf Alquran berupa tulisan). Melalui berkisah dan memberikan visualisasi atau perumpamaan terhadap tuntunan dan ajaran agama, para pendengar atau pembaca seperti sedang dibacakan kisah atau mengamati gambar atau lukisan, tidak merasa sedang digurui atau dihakimi. Ini sangat cocok bagi para pendengar dan pembaca aliran kalem. Tentu ini akan berbeda jika Alquran berhadapan dengan pendengar dan pembaca yang levelnya sensitif, mereka butuh alasan dan argumen untuk menghilangkan keraguan mereka, harus ada akurasi dan validasi untuk memantapkan informasi yang sampai pada mereka. Oleh karena itu digunakanlah jadal (diskusi) dan qasam (sumpah).

Keempat model ini tidak ada salahnya juga jika kita adopsi dalam komunikasi keseharian kita. Selamat mencoba. Wallahu A’lam

Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

0

Amr ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran) merupakan term yang tidak asing lagi bagi umat Islam, bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa amr am’ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap muslim, sehingga jika tidak melaksanakannya, maka keislaman seseorang masih belum sempurna. 

Istilah Amr ma’ruf nahi munkar diperkenalkan oleh al-Qur’an di empat ayat dalam tiga surat. Yaitu QS. Ali Imran [3]: 104, 110, an-Nisa’ [4]: 114 dan at-Taubah [9]: 71

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

 

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib membedakan posisi amr ma’ru>f nahi> munkar dalam keempat ayat ini:

  1. Pada Ali Imran ayat 104 dan 110, amr ma’ruf nahi munkar diposisikan sebagai kewajiban bagi umat Islam yang harus dilaksanakan, baik dengan tangan, lisan maupun hatinya. Ada dua kewajiban lain yang disebut dalam ayat ini, yaitu mengajak pada kebaikan (ayat 104) dan beriman kepada Allah (ayat 110)
  2. Pada an-Nisa’ ayat 114, amr ma’ruf dipahami sebagai satu dari tiga perbuatan baik (perbuatan yang mendatangkan manfaat dan menolak mudarat) yang diinformasikan dalam ayat ini. Pertama yaitu sadaqah (kebaikan dalam hal materi/ jasmaniyah). Kedua, ma’ruf (kebaikan ruhaniyah seperti menyempurnakan akal dengan ilmu dan menyempurnakan amal dengan perbuatan yang baik. Atau dengan kata lain amr ma’ruf). Ketiga, berdamai di antara manusia (sebagai bentuk menolak kemudaratan).
  3. Pada at-Taubah ayat 71, amr ma’ruf nahi munkar merupakan dua dari lima sifat orang mukmin yang membedakannya dengan orang munafik. Tiga sifat yang lain yaitu mendirikan shalat, membayar zakat dan patuh kepada Allah dan RasulNya.

Penjelasan Ar Razi tersebut memberikan alternatif pemahaman bagi orang Islam tentang makna dan kandungan amr ma’ruf nahi munkar. Memang benar bahwa amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban setiap muslim, tetapi harus tetap diingat bahwa hal itu bukan satu-satunya kewajiban, ada kewajiban lain yang juga menuntut orang Islam untuk melaksanakannya, seperti beriman kepada Allah dengan segala bentuk dan implementasinya.

Krtiteria lain yang juga harus ada dalam implementasi atau praktik dari amr ma’ruf nahi munkar yaitu mendatangkan kebaikan dan menolak kemudharatan. Maka jika ada pada praktiknya, ia ternyata menghadirkan mudharat tentu bukan ini yang dimaksud oleh amr ma’ruf nahi munkar, perlu ada evaluasi dari pelaksanannya. Di saat seperti ini kita harus ingat pada salah satu kaidah fiqih, Dar’ul Mafasid Muqaddam ‘Ala Jalbil Mashalih (menolak kerusakan diprioritaskan daripada mendatangkan kebaikan).   

Selain itu, dengan mengajak pada kebaikan dan di saat yang sama juga mencegah kemungkaran, seseorang berarti telah peduli terhadap sekitarnya, tidak egois memikirkan dirinya sendiri. Inilah ciri-ciri orang yang beriman. al-Qur’an juga menyinggungya di kesempatan lain di surat al-‘Ashr, sesungguhnya manusia itu dalam kedaan merugi kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih (mengimplementasikan imannya dalam bentuk tindakan nyata) dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan dan kesabaran (peduli terhadap orang-orang dan lingkungan sekitarnya). 

Jika ingin mengajak pada kebaikan, lakukanlah dengan cara yang baik, pun ketika mencegah perbuatan yang buruk, lakukan dengan cara yang baik pula. Wallahu A’lam

Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

0

Alquran mengajarkan kita umat Islam untuk tidak hanya beriman kepada kitab Alquran, tetapi juga kitab-kitab sebelumnya, Taurat, Injil dan Zabur yang notabene diyakini sebagai kitab suci umat agama lain (Q.S. Ali Imran [3]: 14). Demikian pula dengan iman kepada Rasul, Allah melalui ayatNya tidak membeda-bedakan para Rasul yang berarti bahwa semua Nabi dan Rasul Allah harus diimani, meskipun mereka diklaim Nabi dari kaum tertentu (Q.S. Al Baqarah [2]: 136 & 285). Jika hanya Alquran dan Nabi Muhammad sebagai pembawanya adalah yang paling benar dan satu-satunya yang berasal dari Allah, lalu kenapa Allah berfirman seperti di atas? inikah kode dari Allah yang menandakan bahwa semua kitab suci dan para Nabi itu ada keterkaitan satu sama lain? Jika demikian, bukankah berarti bahwa agama yang bersumber dari semua kitab suci dan ajaran yang dibawa para Nabi itu punya hubungan keterkaitan sejak awal?

Satu lagi kode dan isyarat dari Allah tentang adanya ketersalinghubungan antaraagama yang bisa ditemukan dalam Alquran, yaitu di awal surat at-Tin. Pada bagian awal surat ke 95 ini Allah bersumpah dengan empat hal sekaligus, at-Tin, az-Zaitun, Thur Sinin dan al-Balad al-Amin. Apa maksud Allah dengan menyebut empat hal tersebut? mari kita simak penjelasan para mufassir.

وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ  (1 ) وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ (2 ) وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ(3 )

Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1) Demi gunung Sinai (2) dan demi negeri (Mekah) yang aman ini (3)

Fakhruddin Ar-Razi mengambil pendapat Ibnu Abbas dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib mengatakan bahwa Tin dan Zaitun adalah dua bukit yang dimuliakan. Pegunungan Tin itu tempatnya Nabi Isa, sedang pegunungan Zaitun adalah tempat diutusnya Nabi-Nabi dari Bani Israil. Allah bersumpah dengan menggunakan dua tempat lahirnya para Nabi.

Sementara itu, Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah menjelaskan agak berbeda, At-Tin adalah nama sebuah tempat (bukit) di Damaskus, Suriah. Az-Zaitun adalah tempat Nabi Isa menerima wahyu. Ada juga yang menyatakan bahwa az Zaitun adalah sebuah gunung di Yarussalem (al-Quds), tempat Nabi Isa diselamatkan dari pembunuhan. Demikian berarti ayat pertama berkaitan dengan Nabi Isa. Ayat kedua yang menyebut gunung Tur Sina berkaitan dengan Nabi Musa, yakni tempat ia menerima perintah Allah dan ayat ketiga berkaitan dengan Nabi Muhammad, yakni al-Balad al-Amin yang diidentikkan dengan Makkah.

Masih dalam Tafsir Al Misbah, tapi kali ini Quraish Shihab menukil dari al-Qasimi dalam Mahasin Ta’wil. at-Tin adalah nama pohon tempat pendiri agama Budha yang mendapat bimbingan Ilahi. Orang Budha menamainya pohon Bodhi (Fircul Religiosa) atau pohon Ara Suci yang terdapat di kota kecil Gaya, Bihar. Berdasar pada pendapat al-Qasimi ini disimpulkan sementara bahwa tiga ayat pertama surat at-Tin mencoba menginformasikan tempat-tempat para Nabi menerima tuntunan Ilahi yang sekarang menjadi simbol dari agama-agama besar seperti Islam, Kristen, Yahudi dan Budha.

Penelusuran Quraish Shihab juga sampai di Perjanjian Lama, dan di Kitab Kejadian at-Tin dan az-Zaitun ini juga disinggung. Pohon Ara yang dianggap sebutan lain dari at-Tin tertulis di Kitab Kejadian 3: 7 sementara daun Zaitun disebut di Kitab Kejadian 8: ayat 11.

Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. lalu, mata mereka berdua terbuka sehingga mereka tahu bahwa mereka telanjang\ (Kej. 3:7)

Menjelang waktu senja pulanglah burung merpati itu mendapatkan Nuh, dan pada paruhnya dibawanya sehelai daun zaitun yang segar. dari situlah diketahui Nuh, bahwa air itu telah berkurang dari atas bumi. (Kej. 8: 11)

Ibnu Katsir, mufassir yang terkenal dengan sumber israiliyat dalam tafsirnya juga mengunggah ayat dalam kitab Taurat lengkap dengan tafsiran yang juga ia kutip dari sekelompok tokoh yang ia sebut dengan ba’dh al-aimmah. Berikut kutipan tafsirnya

قالوا: وَفِي آخِرِ التَّوْرَاةِ ذُكِرَ هَذِهَ الْأَمَاكِنِ الثَّلاَثَةِ: جَاءَ اللهُ مِنْ طُوْرِ سَيْنَاء -يعني الَّذِي كَلَّمَ اللهُ عَلَيْهِ مُوْسَى [بن عمران]- وَأَشْرَقَ مِنْ سَاعِيرَ -يَعْنِي بَيْتِ المَقْدِسِ الَّذِي بَعَثَ اللهُ مِنْهُ عِيْسَى-وَاسْتَعْلَنَ مِنْ جِبَالِ فَارَان -يَعني: جِبالِ مَكَّةَ الَّتي أَرْسَلَ اللهُ مِنْهَا محمدًا

Mereka (beberapa tokoh) berkata bahwa di akhir kitab Taurat, disebutkan tiga tempat ini, “Tuhan telah datang dari Sina’ – tempat Nabi Musa as. Menerima wahyu- dan terbit kepada mereka dari Seir – Baitul Maqdis tempat Nabi Isa as. diutus- kelihatan Dia dengan gemerlapan cahayanya dari Gurun Paran -Pegunungan di Makkah tempat Allah mengutus Nabi Muhammad-”.

Selain informasi tentang tiga tempat di atas, keterangan dari Ibn Katsir ini juga menunjukkan adanya ketekaitan hubungan antara ketiga pembawa kitab suci yaitu Nabi Musa as., Nabi Isa as., dan Nabi Muhammad saw.

Ketersinambungan ini juga dinyatakan oleh Ibn ‘Ashur dalam tafsirnya, at-Tahrir wa at-Tanwir. Di situ ia menjelaskan bahwa al-Tin adalah masjid Nabi Nuh yang dibangun di atas bukit Judi setelah terjadinya badai. Dinamakan at-Tin karena di dalamnya banyak ditumbuhi pohon tin. Sementara Zaitun adalah gunung yang banyak ditumbuhi zaitun dan merupakan tempat dibangunnya Masjid al-Aqsa. Adapun Tur Sinin adalah nama dari sebuah gunung yang berada di tengah-tengah gurun pasir yang terletak antara Mesir dan Palestina. Sedangkan al-Balad al-Amin adalah Makkah. Dari sini kemudian dapat dihubungkan antara Tin, tanda mengenai syari’at yang diturunkan kepada Nabi Nuh (syari’at yang pertama), Zaitun, simbol atas syari’at Nabi Ibrahim, Tur Sinin sebagai isyarat tentang syari’at Taurat (yang kemudian disempurnakan oleh syari’at Isa) dan al-Balad al-Amin yang tidak lain adalah tempat kelahiran syari’at Islam. Keempat tanda tersebut disebutkan dalam ayat ini secara beriringan sesuai dengan masa kemunculannya. Penyebutan yang beriringan ini juga menandakan bahwa keempat syari’at tersebut saling berkaitan dan berkesinambungan.

Beberapa penafsiran di atas tampak membuktikan bahwa empat hal yang dijadikan sumpah oleh Allah di awal surat at Tin adalah hal yang istimewa yaitu tempat lahirnya agama dan peradaban besar, pun dengan urutan penyebutannya. Keempat hal itu bisa diistilahkan sebagai simbol dari agama-agama, simbol umat beragama, simbol ketersalinghubungan antarumat beragama, simbol titik temu antarajaran agama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan) dan juga simbol persaudaraan antarumat beragama. Sebagai saudara, sudah seharusnya kita hidup harmonis. Keharmonisan ini pernah diperlihatkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan Raja Najasyi ketika umat Islam hijrah ke Habasyah. Tidak lama, di awal tahun 2019, kita juga menyaksikan penandatangan Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan yang diwakili oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Dr. ahmed Tayyeb. sudah lupakah kita pada sejarah manis itu?

Wallahu A’lam   

Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

0

Sekian banyak sabab nuzul al-Qur’an, ada beberapa kisah yang sangat memorable (lekat di ingatan) hingga sekarang, terlebih untuk kalangan perempuan. Ini dikarenakan ada ayat al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW khusus dalam rangka merespon keluhan dan ‘protes’ dari seorang perempuan. Ini tentu sangat revolusioner mengingat tradisi saat itu adalah patriarki. Sekurangnya ada empat kisah perempuan dalam rekaman sabab nuzul al-Qur’an yang terdokumentasi dalam beberapa kitab tafsir.

Khawlah bint Tsa’labah (al Mujadilah [58]: 1-2)

Bagi pengkaji tafsir al-Qur’an, cerita tentang Khawlah bint Tsa’labah sudah tidak asing lagi. Ia adalah perempuan ‘penyebab’ turunnya surat al-Mujadilah ayat 1-2. Sebab kegigihan dan keteguhan Khawlah pula surat ini dinamai dengan al-Mujadilah yang mempunyai arti ‘perempuan yang mengadu’.

Dalam Tafsir At Thabari disampaikan bahwa Khawlah mengadu kepada Nabi Muhammad meminta keadilan untuk dirinya, karena suaminya, Aws bin Shamit telah menggantung status pernikahannya dengan ucapan ‘Bagiku kamu seperti punggung ibuku’. Ucapan ini menyebabkan Khawlah tidak lagi bisa disentuh oleh suaminya, pun juga belum dilepaskan dari status pernikahannya. Meski yang terjadi padanya dianggap ‘baik-baik’ saja oleh masyarakat ketika itu, Khawlah merasa itu tidak adil baginya, bukankah Islam mengajarkan untuk memperlakukan pasangan dengan baik atau kalau tidak lepaskan ia dengan baik-baik pula? Khawlah sempat kecewa karena Sang Nabi belum bisa memberi jawaban dan untuk sementara ‘mengiyakan’ kebiasaan setempat sampai wahyu turun untuk merespon masalah ini.

Khawlah tidak berputusa asa, ia terus berdoa dan memohon dengan setulus hati kepada Allah. Ia senantiasa menunggu dan tentunya berharap Allah akan merespon permasalahannya tersebut. Hingga akhirnya Allah merespon jeritan keadilan Khawlah dengan menurunkan wahyu al-Qur’an surat Al Mujadilah ayat 1-2 ini. Khawlah pun sangat bahagia mengetahui hal ini. Tidak hanya Khawlah, Aisyah yang sedari awal mendengar percakapan Khawlah dengan Nabi juga ikut senang.

Hingga sekarang, jika kita membaca atau hanya sekadar mengingat surat Al Mujadilah ayat 1-2 maka seketika itu juga kita akan teringat cerita pengaduan Khawlah bint Tsa’labah kepada Nabi Muhammad SAW., perempuan biasa, bukan siapa-siapa yang doa dan ‘jeritannya’ Allah respon langsung dengan al-Qur’an. Hal seperti ini berlaku hanya bagi orang yang mengetahui sejarah di balik turunnya ayat. Tentu akan berbeda jika orang tersebut tidak mau repot mencari tahu, hanya mencukupkan membaca teks al-Qur’an yang ada dalam mushaf saja.

Ummu Salamah (Ali Imran [3]: 159)

Jika hadis adalah tafsir pertama al-Qur’an, maka Ummu Salamah termasuk mufassir perempuan masa awal dari kalangan sahabat, ia salah satu istri Nabi Muhammad yang banyak meriwayatkan hadis selain Aisyah. Nur Mahmudah dalam Perempuan dalam Relasi Kuasa Tafsir Al-Qur’an melaporkan bahwa etidaknya ada 25 riwayat Ummu Salamah yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Selain merespon dan menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an, Ummu Salamah juga menjadi salah satu sahababat perempuan yang ‘menyebabkan’ turunnya al-Qur’an sebagai respon atas koplain dan pertanyaan-pertanyaannya.

Sebut saja surat Ali Imran ayat 195. Ditulis oleh at Tabari dalam tafsirnya bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW perihal orang yang ikut berhijrah, ‘laki-laki disebut dalam peristiwa hijrah, sementara kami (perempuan) tidak disebut?’ padahal kita semua tahu bahwa orang-orang yang ikut  berhijrah (muhajirin) tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Kemudain turun al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195, فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى…. ۚ(Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan,….)

Ummu Salamah juga identik dengan surat Al Ahzab ayat 35 yang disebut-sebut sebagai simbol kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Dijelaskan dalam  Tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini turun merespon protes Ummu Salamah tentang perihal dominasi penyebutan laki-laki dalam al-Qur’an, sementara perempuan tidak sama sekali.

Terlepas dari statusnya sebagai istri Nabi Muhammad SAW, Ummu Salamah adalah seorang perempuan yang hidup pada masa yang patriarki. ‘Suaranya’ yang direspon oleh al-Qur’an pada masa itu menjadi sesuatu di luar kebiasaan setempat. Sekali lagi, Allah berbicara dengan siapapun, tanpa memandang jenis kelamin.

Habibah bint Zaid (an-Nisa’ [4]: 34)

Nama Habibah bint Zaid disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili dalam at-Tafsir al-Munir ketika membahas sabab nuzul dari ayat 34 surat an-Nisa’. Diceritakan bahwa Habibah nusyuz kepada suaminya, Sa’d bin Rabi’, lalu suaminya menamparnya hingga berdarah. Habibah bersama ayahnya mengadukan kejadian ini kepada Nabi. Nabi marah dan menyuruh Habibah untuk melakukan hal yang sama kepada suaminya.

Tidak lama setelah itu, Nabi memanggil kembali Habibah dan merevisi perintahnya. Nabi berkata ‘Kembalilah, karena Jibril datang kepadaku dan Allah menurunkan ayat ini (surat an-Nisa’ ayat 34). Rasul melanjutkan ‘Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki perkara yang lain, dan yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang lebih baik.’

Terkait pengaduan Habibah, melalui surat an-Nisa’ ayat 34 ini, Allah mengoreksi tindakan suaminya. Dalam ayat ini disampaikan bahwa laki-laki (suami) itu pelindung -terjemah kemenag- bagi perempuan (istri). Jika di suatu hari sang istri dikawatirkan akan nusyuz maka jangan langsung dipukul, apalagi di wajah dan sampai berdarah. Suami menasihati sang istri terlebih dahulu, kemudian pisah ranjang, barulah (bila perlu) silahkan dipukul.

Ini merupakan respon yang revolusioner yang diberikan oleh al-Qur’an bagi kehidupan perempuan dan masa depannya.

Siti Aisyah (an-Nur [24]: 11-20)

Seperti halnya Khawlah yang menuntut keadilan untuknya, Aisyah pun demikian. Fitnah keji perselingkuhan yang dituduhkan kepadanya sempat membuat Nabi Muhammad SAW, sang suami meragukannya, apalagi orang lain, jangan ditanya lagi. Hampir sebulan Aisyah dirundung musibah ini tanpa ada titik terang, hingga akhirnya langsung Allah yang meresponnya dengan menurunkan surat an-Nur ayat 11-20. (M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah)

Mengamati respon al-Qur’an terhadap empat kisah di atas, sektidaknya ada empat model yang bisa kita lihat. Pertama, al-Qur’an merespon persoalan Tsa’labah dengan berani membuat tradisi baru sekaligus mengubah kebiasaan setempat, dalam hal hukum sekalipun. Kedua, tidak begitu beda dengan yang pertama, hanya saja kasus yang kedua ini tidak berkaitan dengan hukum. Ketiga, al-Qur’an tidak langsung mengubah adat setempat, melainkan mengoreksinya pelan-pelan. Keempat, fitnah dan hoax ini sifatnya umum, namun dalam kasus Aisyah menjadi sangat sensitif karena menimpa seorang perempuan. Untuk kasus yang sifatnya umum, seperti fitnah dan hoax maka al-Qur’an merespon dengan sangat tegas, dalam hal ini mengecam si pelaku.

Sedari awal turunnya, al-Qur’an tidak pernah membedakan jenis kelamin, semuanya didengar dan direspon oleh al-Qur’an. Mengapa sekarang tidak?

Pesan Az-Zarkasyi bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran

0

Dalam perkembangan Ilmu Alquran, kita mengenal nama Badruddin Az Zarkasyi (w. 794 H.). Ia adalah pengarang Al Burhan Fi Ulum al-Qur’an, salah satu referensi tentang Ilmu Alquran yang terbilang komperehensif, karena bahasan di dalamnya meliputi banyak hal, tidak hanya satu topik  keilmuan Alquran.

Ada 47 bahasan dilist daftar isi dalam bagian pendahuluan kitab tersebut, dan sebelum menutup muqaddimahnya, ia menulis

وَاعْلَمْ أًنًّهُ مَا مِنْ نَوْعٍ مِنْ هَذِهِ الْأَنْوَاعِ إِلاَّ وَلَوْ أَرَادَ الْإِنْسَانُ إِسْتِقْصَاءَهُ لَاسْتَفْرَغَ عُمْرُهُ، ثُمَّ لَمْ يَحْكُمْ أَمْرَهُ، وَلَكِنْ إِقْتَصَرْنَا مِنْ كُلِّ نَوْعٍ عَلَى أُصُوْلِهِ، وَالرّمْز إِلَى بَعْضِ فُصُولِهِ،فَإِنَّ الصَّنَاعَةَ طَوِيْلَةٌ وَالْعُمْرَ قَصِيْرٌ’

‘Ketahuilah, bahwa tidak ada satu dari banyak macam ilmu (Alquran) ini kecuali jika seseorang ingin , mengkajinya, maka umurnya akan habis (terlebih dahulu), sementara ia belum bisa memutuskan urusannya (menyelesaikan belajarnya). Kebalikannya, yang dilakukan justru hanya meringkasnya dan mengambil inti-intinya saja. Sesungguhnya pekerjaan ini sangat panjang, sedang umur (seseorang) terbatas’.

Dengan kata lain, setiap orang yang akan mempelajari Ilmu Alquran, maka sebenarnya ia tidak akan pernah samapi pada kata selesai, karena Ilmu Alquran itu sangat luas, sedang kesempatan hidup kita hanya satu kali dan itupun terbatas. Dalam berbagai kesempatan, Said Agil Munawar, guru besar studi Quran Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan bahwa keluasan Ilmu Alquran itu sejalan dengan bunyi surat Al Kahfi [18] ayat 109

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

“Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Menurutnya, ayat ini bertutur tentang keluasan Alquran, otomatis ilmu yang bersumber darinya juga sangat luas, bahkan tidak terbatas. Ada pula yang mengatakan bahwa tiap huruf dalam Alquran itu melahirkan ilmu, sehingga dari 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) huruf Alquran juga akan lahir ilmu minimal dengan jumlah yang sama.

Berdasar pada akhir pengantar Az Zarkasyi, setidaknya ada empat pesan yang harus diingat dan dijadikan pegangan oleh siapapun yang berniat belajar ilmu Alquran atau apapun yang terkait dengan Alquran

  1. Secara literal, pesan tadi dapat dipahami bahwa Ilmu Alquran ini memang sangat luas, bahkan tak terbatas. ini dapat dilihat dari perkembangan keilmuan Alquran pasca Az Zarkasyi. Ini bisa dicek antara lain di Al Itqan fi Ulumil Qur’an karya Jalaluddin As Suyuthi. Sekarang kajian Alquran juga semakin variatif.
  2. Pernyataan tadi seakan berkata bahwa tidak cukup untuk berbangga diri jika seesorang hanya menguasai satu, dua atau tiga cabang ilmu Alquran, sehingga dengannya ia langsung bisa menyalahkan dan menghakimi orang lain.
  3. Penutup muqaddimah ini memperlihatkan betapa rendah hati nya seorang Az Zarkasyi. Ini sikap bijak dari para ilmuwan yang tidak selalu menganggap dirinya paling benar dan paling pintar yang memungkinkan salah dan perlu dikritik, pun tidak langsung menganggap yang lainnya salah dan menyesatkan yang memungkinkan orang lain utuk mengoreksi.
  4. Seperti teladan yang dicontohkan oleh sang pengarang, para pengkaji atau pembelajar Ilmu Alquran juga harus senantiasa bersikap rendah hati. Ahmad Rafiq (Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga) dalam suatu kesempatan menyebut sikap ini sebagai adab seseorang dalam belajar, yaitu mengakui –kemungkinan- kekurangan dan keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya dengan senantiasa belajar dan meminta penjelasan kepada gurunya, para pendahulunya dan juga orang-orang  yang ahli (di bidangnya masing-masing) jika ia tidak mengetahui. Seperti semangat ayat فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ‘maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui’ (S. Al-Anbiya’ [21]: 7)

Jika seorang Az Zarkasyi saja masih menghargai para guru dan pendahulunya dengan cara menukil pendapatnya, mengutip penjelasannya, bahkan juga dengan sangat tegas mengakui keterbatasannya, apalagi kita yang masih sangat jauh dari level Az Zarkasyi. Selamat belajar.

Wallahu A’lam

Tafsir Bismillah (2): Permulaan dari Banyak Doa

0

Doa adalah senjata orang beriman, sebagaimana pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu kesempatan,  الدُّعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ، وَعِمَادُ الدِّينِ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (Doa adalah senjata orang yang beriman, tiang agama, juga cahaya langit dan bumi). Hadis Riwayat Al Hakim dari Ali bin Abi Thalib nomor 1812. Doa sebagai bentuk penghambaan yang sejati, karena seseorang mengakui kelemahan dan keterbatasan dirinya, dan di saat yang sama ia menyadari bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam Alquran Allah juga menegaskan kepada perihal berdoa ini, Ia mempersilahkan bahkan menyuruh hambaNYa untuk berdoa kepadaNya, tersurat dalam surat Ghafir [40]: 60,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗ………

‘Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu……….’

Bismillahirrahmanirrahim sebagai ayat pertama pembuka Alquran mempunyai peran dan posisi yang istimewa, khususny dalam doa. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahid al-Ghafiqi dalam Lamahat al-Anwar wa Nafahat al-Azhar, juz I, hal 477 hadis nomor 603, mengutip hadis Nabi dari Ibn Abbas ‘…..tidak akan ditolak sebuah doa yang diawali dengan Bismillahirrahmanirrahim (‘(……وَلَنْ يُرَدَّ دُعَاءٌ أَوَّلُهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم. Semangat ini kemudian terlihat di banyak doa yang digunakan dalam aktivitas keseharian, meskipun hanya sampai pada lafad bismillah saja, tidak diteruskan pada lafad arrahman dan arrahim Di antaranya:

  • Doa ketika makan

بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

‘Dengan menyebut nama Allah di awal [makan] dan di akhir [makan]’

Doa ini adalah potongan dari hadis Nabi yang diceritakan oleh Aisyah RA  yang direkam dalam Sunan Abu Dawud, hadis nomor 3767. Dalam hadis itu diceritakan bahwa seseorang yang hendak makan, maka ia harus mengawalinya dengan menyebut nama Allah. Namun jika ia lupa dan ingat di pertengahan, maka bacalah doa di atas seketika itu juga. Tujuannya tidak lain yaitu menghindari nimbrungnya Setan pada makanan yang dikonsumsi, sehingga makanan tersebut berkah, mengenyangkan dan menyehatkan.

Ada cerita unik tentang percakapan antara Setan kurus dan Setan gemuk. Ketika ditanya oleh setan yang gemuk, kenapa dia kurus? Setan yang kurus menjawab, karena orang-orang yang digoda di tempat tugasnya selalu membaca bismillah ketika hendak makan. Setan yang gemuk pun tertawa dan menceritakan bahwa orang-orang di tempatnya tidak pernah membaca basmalah ketika mau makan, sehingga ia dengan leluasa ikut makan dengan mereka, jadilah ia gemuk.

  • Doa masuk rumah

بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا، وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا، وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

‘Dengan menyebut nama Allah, saya masuk dan keluar rumah. Dan kepadaNya saya berserah diri’

Rasulullah SAW berpesan, ketika seseorang hendak masuk ke rumahnya seharusnya ia memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca doa tersebut, agar rumah yang ditempati masuk-keluar itu menjadi tempat yang penuh dengna kebaikan dan memberikan manfaat bagi penghuninya. Tidak lupa juga mengucapkan salam setelah membaca doa tersebut. Demikian cerita Abi Malik al Asy’ari dalam Sunan Abi Dawud, nomor 5096.

Tuntunan tersebut kemudian menjadi dasar dari adab memasuki rumah. Sebagaimana kita ketahui bersama, rumah adalah sekolah pertama bagi setiap orang. Di tempat ini seseorang pertama kalinya mengenal Tuhannya, orang tua, saudara, tetangga dan teman-temannya. sikap seseorang di rumah dapat menjadi cermin dan acuan bagaimana sikap dan tindak tanduknya di luar rumah. Selain itu, rumah juga muara dari kehidupan kita, apapun yang terjadi pada kita, kondisi kita: sakit, sehat, sedih, senang, kaya, miskin, sibuk, senggang, terpuruk, tersakiti, sukses, melarat dan lainnya tempat untuk pulang adalah rumah.

Seperti pepatah Arab yang populer Bayti Jannatiy (rumahku surgaku), untuk mewujudkannya maka isi rumah itu dengan hal-hal yang baik dimulai dengan membaca basmalah ketika memasukinya.

  • Doa keluar rumah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ،

‘Dengan menyebut nama Allah, saya berserah kepadaNya, tidak ada upaya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah’

Dalam lanjutan hadisnya, disampaikan bahwa seseorang yang membaca doa tesrsebut ketika keluar rumah, maka ia akan diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah, bahkan setan pun tidak berani mengganggunya. Hal ini sebagaimana ditulis dalam Sunan At Tirmidzi dari Anas bin Malik, hadis nomor 3426.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ketika keluar rumah, oleh karenanya doa tersebut adalah bagi siapa saja yang mau keluar rumah. ada tuntunan tawakkal atau berserah diri kepada Allah dalam doa tersebut, tapi bukan berarti langsung pasrah begitu saja, ada usaha yang dilakukan sebelumnya. Misal, bagi yang membawa kendaraan sendiri, maka ia harus hati-hati dan senantiasa mematuhi rambu-rambu lalu lintas, juga memperhatikan persyaratan mengemudi lainnya. Bagi seseorang yang terbiasa mabuk jalan, maka sudah semestinya ia membawa obat-obatan, demikian pula contoh yang semisal dengannya. Ini tidak lain bagian dari usaha seseorang sebelum akhirnya ber tawakkal.

Mengawali dengan doa ketika bepergian juga agar perjalanan tersebut mendatangkan keberkahan bagi si musafir sendiri, tempat yang dituju dan tentunya juga bagi orang yang ditinggal.

  • Doa ketika hendak berhubungan suami istri

بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

‘Dengan menyebut nama Allah ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami’

Dijelaskan oleh Rasulullah Muhammad SAW bahwa jika dari hubungan tersebut ditakdir lahir seorang anak, maka anak tersebut akan dijauhkan dari gangguan setan selamanya. Lafal doa dan keutamaannya dapat kita jumpai dalam Shahih Al Bukhari, hadis nomor 7396 dari riwayat Ibnu Abbas RA.

Siapa yang tidak menghendaki seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, shalih, cerdas, pandai dan membawa kemaslahatan bagi bangsa dan agamanya. Saya benar-benar yakin ini menjadi keinginan setiap orang tua. Maka mulailah prosesnya dengan berdoa kepada Allah.

  • Doa masuk pasar

بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ السُّوقِ، وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَا فِيهَا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُصِيبَ فِيهَا يَمِينًا فَاجِرَةً، أَوْ صَفْقَةً خَاسِرَةً

‘Dengan menyebut nama Allah ya Allah, saya memohon kepadaMu kebaikan pasar ini dan kebaikan yang ada di dalamnya. Aku berlindung kepadaMu atas keburukan pasar ini dan keburukan yang ada adi dalamnya. Aku berlindung kepadaMu dari sumpah palsu dan dari suatu pembelian atau penjualan yang merugikan’

Pasar dikenal sebagai tempat yang paling dibenci oleh Raulullah SAW karena di dalamnya penuh dengan penipuan, kecurangan, tidak jujur makanya pasar dikenal sebagai tempat yang paling jelek dan poaling dibenci Rasulullah SAW. Nah, bagaimana dengan aktivitas perekonomian kita, sedang pasar adalah pusatnya? Tidak perlu kawatir Rasulullah SAW melalui Al Hakim dalam kitabnya, hadis nomor 1977 juga sudah mengajarkan doa hendak masuk pasar seperti di atas.

Sebenarnya masih banyak doa keseharian  yang juga diawali dengan penyebutan Allah hanya saja tidak dalam bentuk lafal bismillah. Secara substansi hal tersebut sejalan dengan pesan dari tuntunan doa yang ada dalam hadis tentang keutamaan bismillah. So, Jangan lupa berdoa.

Wallahu A’lam