BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiPahami Lima Posisi Anak dalam Al-Quran

Pahami Lima Posisi Anak dalam Al-Quran

Anak merupakan karunia yang Allah berikan kepada manusia. Ia merupakan amanat dari Allah serta ladang pahala bagi orang tuanya. Anak juga menjadi sumber kebahagian dan batu ujian keimanan bagi orang tua. Islam sebagai agama yang rahmatal lil’alamin memberikan perhatian serius perihal anak. Hal ini bisa terlihat dari berbagai term yang digunakan dalam Al-Quran yang merujuk kepada makna anak dengan berbagai derivisinya. Anak dalam Al-Quran disebut dengan lafaz Ghulam, walad, atfhal, tifl, shabiy, zurriyah, dan sebagainya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term anak diartikan sebagai keturunan yang kedua atau manusia yang masih kecil. Secara teoritis, term anak mempunyai dua pengertian. Pertama, anak dalam pengertian biologis, yaitu kedudukan sebagai anak yang disebabkan oleh faktor kelahiran, nasab, atau keturunan. Kedua, anak dalam pengertian ideologis, yaitu kedudukan sebagai anak yang disebabkan oleh ikatan-ikatan nilai, seperti nilai kepatuhan, kemanusiaan, kesamaan pandangan, dan ikatan batiniah. ( Fatha Boulu, 2016: 54)

Posisi Anak Dalam al-Quran

  1. Anak sebagai Amanah

Amanah merupakan segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah SWT. Ketika Allah SWT memberikan anak kepada orang tua, maka disitulah orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menjaga amanah dari Allah dengan mendidik dan merawatnya dengan baik. (Ulfah, 2018 : 50)

Adapun Ayat Al-Quran yang menjelaskan mengenai posisi anak sebagai amanah diantaranya terdapat dalam Surah At Tahrim ayat 6.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ …

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

Ayat ini dalam tasfir Ibn Katsir dijelaskan sebagai perintah untuk taat kepada Allah bagi seseorang dan sanak keluarga yang ia miliki. Artinya, seseorang memiliki tanggung jawab untuk melindungi keluarganya dari maksiat dan memberi dukungan untuk melakukan ibadah (Tafsir Ibn Katsir Jilid 4: 751).

Di samping itu, dalam Tafsir Kemenag juga disebutkan bahwa keluarga merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun rohani. Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah: “Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.”

Baca juga: Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Al-Qur’an

Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar, yang pertama diperingatkan untuk memelihara diri adalah diri sendiri terlebih dahulu. Setelah itu memelihara istri dan anak-anaknya. Maka, hendaklah perangai dan perilaku seseorang dapat menjadi contoh bagi anak idan istrinya. (Tafsir al-Azhar: 310-311)

  1. Anak sebagai penyejuk hati “Qurrata ‘Ayun”

Anak sebagai penyejuk hati dijelaskan dalam tafsir Surah Al Furqan ayat 74:

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.””

Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan berkaitan dengan ayat ini, bahwa hamba Allah yang sungguh-sungguh beriman adalah mereka yang memohon kepada Allah supaya diberi anak-anak yang taat kepada-Nya, tanpa menyekutukan dengan selain Dia. Selain itu, juga memohon agar Allah memberikan pasangan yang taat, sebagaimana mereka memohon kepada Allah, agar dirinya dijadikan teladan umat dalam masalah iman dan amal. (Zuhroh, 2010 : 34)

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, kata qurrah pada mulanya berarti dingin. Sementara, qurrah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menggembirakan. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa air mata yang mengalir dingin menunjukkan kegembiraan, sedang yang hangat menunjukkan kesedihan. (Tafsir al-Misbah, Jilid 09: 545)

  1. Anak sebagai Fitnah

Kata fitnah secara terminologi adalah ujian. Kata fitnah dengan arti cobaan atau ujian terhadap keimanan bagi orang-orang beriman bermcam-macam wujudnya. Salah satunya adalah anak, hal ini bisa dilihat Surah Al Anfal ayat 28.

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ

“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Dalam tafsir Ibn Katsir, dijelaskan bahwa harta dan anak-anak merupakan ujian dan cobaan dari Allah swt. Jika hal tersebut diberikan kepadamu, guna mengetahui apakah kamu bersyukur dan menaati-Nya atau kamu melalaikan-Nya. (Tafsir Ibn Katsir, Jilid 2:510)

Baca juga: Menimbang Urgensitas Antara Adopsi Anak Yatim dan Spirit Doll

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyebutkan bahwa Surah Al Anfal ayat 28 ini dimulai dengan perintah “ketahuilah”. Redaksi seperti ini bertujuan untuk menekankan mitra bicara tentang betapa pentingnya apa yang akan disampaikan dan bahwa hal tersebut tidak boleh diabaikan serta diremehkan. Anak sebagai cobaan bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cintanya kepada anaknya, sehingga ia melanggar perintah Allah, tapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanah dari Allah swt. Allah menguji manusia melalu anaknya. Untuk melihat apakah ia memelihara secara aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah. (Tafsir al-misbah, Jilid 10:426)

  1. Anak sebagai Musuh

Kedudukan anak sebagai musuh dipahami dai ayat al-Quran, yakni dalam Surah At Taghabun ayat 14.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ….

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…..”

Dalam Tafsir Kemenag, disebutkan bahwa Allah menjelaskan, terdapat istri dan anak yang  menjadi musuh bagi suami serta orang tuanya yang mencegah mereka berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah. Orang tua yang menghalangi mereka beramal saleh yang berguna bagi akhirat mereka. Bahkan, adakalanya menjerumuskan mereka kepada perbuatan maksiat. Karena rasa cinta dan sayang kepada istri dan anaknya, agar keduanya hidup mewah dan senang, seorang suami atau ayah tidak segan berbuat yang dilarang agama, seperti korupsi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, seseorang harus berhati-hati, dan sabar menghadapi keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Mereka perlu dibimbing, tidak terlalu ditekan, dimaafkan, dan tidak dimarahi, melainkan diampuni.

  1. Anak sebagai perhiasan dunia

Selanjutnya, kehadiran anak sebagai perhiasan dunia dinyatakan dalam Surah Al Kahfi ayat 46.

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan”

Dalam tafsir al-Maraghi, dijelaskan bahwa anak merupakan perhiasan dunia, begitu pula dengan harta. Hal ini bertujuan agar manusia menyadari bahwa anak dalam kedudukannya sebagai perhiasan dunia sifatnya tidak kekal dan hanya sesaat. Maka, hal tersebut tidak seharusnya mengakibatkan perasaan berbangga diri yang berujung pada hal-hal negatif. Sedangkan, dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan, ayat tersebut menunjukkan makna harta dan anak dinamai dengan zinah, yakni hiasan atau sesuatu yang dianggap baik dan indah. Hal ini memang demikian, karena ada unsur keindahan pada harta. Demikian juga pada anak, di samping anak dapat membela dan membantu orang tuanya.

Baca juga: Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Penamaan anak dan harta sebagai zinah/hiasaan menurut Prof.Quraish Shihab jauh lebih tepat daripada menaminya dengan qimah/sesuatu yang berharga. Karena, kepemilikan harta dan kehadiran anak tidak dapat menjadikan seseorang berjarga atau menjadi mulia. Kemulian dan penghargaan hanya diperoleh melalui iman dan amal saleh. (Tafsir al-Misbah, Jilid 08 :70)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya anak dapat berperan sebagai pengaruh baik dan sumber kebaikan untuk kedua orangtunya, karena ia merupakan anugerah yang diharapkan oleh setiap orang tua. Namun, disamping itu, anak juga dapat memberikan pengaruh buruk kepada kedua orangtuanya. Terlepas dari dua hal tersebut, orang tua diperintahkan untuk selalu mencintai dan mendidik anaknya, serta memberikan hak-haknya sebagaimana yang telah diperintahkan Allah SWT. Wallahu a’lam[]

Shafwatul Insani
Shafwatul Insani
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...