Muhammad ibn ‘Umar al-Razi yang biasa dikenal Fakhruddin al-Razi atau al-Fakhr al-Razi (554-606 H.) merupakan seorang ulama dari kota Ray, Iran. Dia adalah mufasir sekaligus teolog besar Asy’ariyah dan tokoh penting usul fikih Syafi’iyah. Semasa hidupnya, dia memiliki pengaruh yang tinggi. Konon, ketika dia berjalan selalu ada ratusan murid yang senantiasa menyertainya (Tabaqat al-Mufassirin, v. 2/h. 216).
Al-Razi meninggalkan banyak karya penting dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam tafsir, al-Razi memiliki sebuah karya monumental berjudul Mafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir yang dia tulis pada 595 H. Tafsir ini merupakan tafsir bi al-ra’yi bercorak ‘ilmi atau falsafi, yakni suatu penafsiran yang tidak hanya menampilkan beberapa riwayat, tapi juga berupaya memberikan penjelasan rasional dari beberapa perspektif keilmuan. Keahliannya di berbagai bidang dan kultur masyarat Ray saat itu yang akrab dengan filsafat dan logika memungkinkan al-Razi menulis tafsir dengan memuat pembahasan yang cukup luas (al-Tafsir wa al-Mufassirun, v.1/h. 206).
Salah satunya ketika dia menafsirkan ayat yang berhubungan dengan nasab habaib atau keturunan Nabi Muhammad saw. Al-Razi mengutip sekian riwayat dan pendapat ulama sebelumnya disertai penjelasan yang bernas. Penjelasannya meliputi siapa itu keluarga Nabi saw., keutamaan dan kedudukannya bagi umat Islam, arti sebuah nasab, serta larangan sombong dan saling mengungunggulkan diri karena faktor nasab. Ayat yang dimaksud yaitu Q.S. Asy-Syura: 23 dan Q.S. Al-Hujurat: 13.
Baca juga: Teladan Maulana Habib Luthfi: Belajar Tak Mudah Mengeluh dari Tafsir Ali Imran Ayat 139
Tafsir Q.S. Asy-Syura: 23
Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Asy-Syura: 23:
ذَٰلِكَ الَّذِي يُبَشِّرُ اللَّهُ عِبَادَهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ ۗ وَمَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فِيهَا حُسْنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”
Dalam menafsiri potongan ayat Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”, al-Razi mengutip tiga pendapat. Dua riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan satu dari al-Hasan. Penafsiran pertama menerangkan bahwa pernyataan itu ditujukan kepada masyarakat Quraisy yang seharusnya tidak terlalu keras memusuhi Nabi saw. sebab setiap dari mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan beliau.
Kedua, pernyataan itu ditujukan kepada masyarakat Madinah. Saat awal Nabi saw. hijrah ke Madinah, ada segolongan kaum Anshar yang mengumpulkan harta mereka untuk dipersembahkan kepada beliau. Maka Allah Swt. menurunkan perintah-Nya melalui ayat ini agar mereka tidak memberi upah apapun dalam bentuk harta tapi cukup dengan berbuat baik kepada keluarga dan kerabat Nabi saw. Ketiga, makna kasih sayang dalam kekeluargaan adalah seruan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt.
Secara umum, Al-Razi tampaknya cenderung kepada pendapat kedua. Dia cukup detail menjelaskan hubungan umat Islam dengan keluarga Nabi saw. Hubungan itu menurutnya harus didasari rasa cinta berdasarkan hadis yang dinukil dari Tafsir al-Kasysyaf, “Barang siapa mati dalam kondisi mencintai keluarga Nabi saw. dia mati syahid”.
Keluarga Nabi Muhammad dan kecintaan kepada mereka
Lalu siapa itu kelurga Nabi saw.? Mereka adalah semua yang berada di bawah perwalian dan tanggung jawab beliau, meliputi istri-istri dan putra-putri, tidak hanya Sayyidah Fatimah, Sayyidina ‘Ali, Sayyidina al-Hasan dan Sayyidina al-Husain yang kerap disebut dalam riwayat seputar Ahlu Bait. Namun dalam hal ini, al-Razi betul-betul menegaskan kemulian mereka merujuk pada banyaknya riwayat mengenai keistimewaannya di sisi Nabi saw. Mencintai keluarga Nabi saw. adalah sebuah keharusan semua umat Islam, bukan soal aliran tertentu, sebagaimana kita selalu panjatkan doa (selawat) atas mereka di tasyahud akhir. Bahkan Imam al-Syafi’i dengan satir dalam syairnya menegaskan:
إِنْ كَانَ رِفْضًا حُبُّ آلِ محمد … فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلَانِ أَنِّي رَافِضِيًّ
“Sekiranya mencintai keluarga Nabi Muhammad saw. dituduh Rafidah, maka saksikanlah wahai jin dan manusia aku seorang pengikut Rafidah!”
Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam hal ini Ahlussunnah wal Jama’ah tidak pincang sebelah, yakni mencintai keluarga Nabi saw. hendaklah tidak sampai meninggalkan sikap memuliakan para sahabat. Pijakannya berdasar sabda Nabi saw. “Ahlu baitku laksana bahtera Nuh. Barang siapa menaikinya dia selamat” dan “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Selama kalian berpegang teguh pada mereka, kalian akan mendapat petunjuk”.
Jadi, menurut al-Razi, Ahlussunnah wal Jama’ah memadukan antara cinta kepada keturunan Nabi saw. (‘itrah) dan memuliakan para sahabatnya (shahabah). “Di tengah lautan kehidupan yang mengandung segala kemungkinan ini, jika kita ingin selamat dan tidak tersesat maka naikilah bahtera itu dan tengadahkan pandanganmu kepada bintang-bintang yang dapat memberi petunjuk,” tulisnya (Mafatih al-Ghaib, v. 27/h. 165-168).
Baca juga: Belajar Kedermawanan dari Keluarga Nabi
Nasihat untuk para habaib
Sementara itu, bagi orang yang memiliki garis nasab mulia, seperti keturunan Nabi saw. ini, al-Razi menyiratkan agar tidak sombong atau mengunggulkan diri. Nasab merupakan hak istimewa yang diberikan oleh Allah Swt. Kemuliaan nasab hendaklah disyukuri dengan peningkatan kualitas pribadi, akhlak terpuji, dan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Hujurat: 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Pesan utama dalam ayat ini menurut al-Razi adalah larangan bersikap sombong dan saling mengunggulkan diri (al-tafakhur). Pada dasarnya derajat seseorang di sisi Allah Swt. bergantung tingkat ketakwaannya. Setiap orang bisa jadi punya asal-usul yang berbeda, tapi soal kualitas kembali pada diri masing-masing.
Persoalan asal-usul diredaksikan jelas dalam ayat ini. Ini menandakan bahwa ras, suku, dan bangsa, termasuk nasab merupakan titik paling rawan di mana manusia bisa merasa lebih unggul dan meremehkan orang lain. Mengapa demikian? Mengapa tidak mengarah kepada harta yang kita tahu sering dibanggakan, dipamerkan, dan disombongkan? Al-Razi menjawab bahwa sifat harta tidak tetap melekat pada seseorang. Ada kalanya dia kaya dan sewaktu-waktu menjadi miskin. Sementara nasab sudah bawaan sejak lahir. Maka nasab mempunyai pengaruh yang lebih besar.
Merasa pongah hanya karena punya nasab mulia tidaklah patut dilakukan oleh seorang muslim, meskipun dia keturunan Nabi saw. sekalipun. Sebab, beliau sendiri menegaskan, “Kami para nabi tidak mewariskan apa-apa” dan bahwa, “Ulama merupakan pewaris para nabi.” Ini menunjukkan bahwa warisan yang ditinggalkan oleh Nabi saw. berupa ilmu dan seperangkat nilai kebaikan lainnya tidak cukup bisa diraih hanya bermodal nasab dan dekatnya kekerabatan saja (intisab), tapi diupayakan dengan belajar dan pengembangan diri (iktisab).
Sebagai tamsil, al-Razi memuat sebuah cerita yang dia dengar dari penduduk Khurasan. Di sana ada seseorang yang memiliki garis kekerabatan yang dekat dengan Nabi saw. (Syarif) tapi kelakuannya kurang baik. Sementara itu, ada seorang budak hitam yang alim dan baik perangainya dan sering dijadikan rujukan oleh masyarakat.
Suatu ketika si budak hitam sedang menuju masjid diiringi orang-orang yang berjalan takzim di belakangnya. Pemandangan itu didapati oleh si Syarif yang kebetulan sedang mabuk. Lalu dia membuat keonaran dengan berteriak, “Hei kau budak hitam, betapa hinanya asal-usulmu. Ini aku keluarga nabimu. Kalian dulu hina, kami menjadikan kalian mulia. Kalian dulu sesat, dan kamilah yang meluruskan kalian!”
Orang-orang marah dan hendak melawannya tapi si budak hitam alim tersebut menahan mereka dan mendekat kepadanya. Dia lalu mencoba menasihatinya dengan penuh cinta, “Wahai yang mulia, perkataanmu ini bukanlah dari kakek moyangmu. Aku memang budak hitam yang hina, sedangkan engkau lahir dari keturunan mulia, tapi janganlah berbuat seperti ini. Mereka menilai engkau tidak pantas di posisimu sebagai keluarga Nabi saw. karena sikapmu. Mereka malah lebih percaya bahwa akulah yang pantas karena aku berjalan sesuai tuntunan kakek moyangmu. Maka sadarlah, kembalilah engkau ke jalan kebaikan, jalan kemuliaan yang telah ditapakkan oleh keluargamu.” (Mafatih al-Ghaib, v. 28/h. 136-139).
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Alquran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?