BerandaTafsir TematikPandangan Gus Baha tentang Hadis Larangan Memelihara Anjing

Pandangan Gus Baha tentang Hadis Larangan Memelihara Anjing

Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna. Semua lini kehidupan diatur sedemikian rupa dalam agama Islam. Salah satunya aturan tentang suci-najisnya hewan dan halal-haramnya hewan tersebut untuk dimakan. Aturan ini ternyata memberi stigma tersendiri bagi sebagian umat Islam.

Jika sebuah hewan dinyatakan najis dan haram untuk dimakan, menurut sebuah mazhab, hewan tersebut harus dihindari. Memang tidak keliru jika umat Islam menjauhi, dalam artian tidak akan memakannya karena status keharamannya tersebut, namun yang menjadi persoalan adalah ketika sikap berlebih-lebihan ditampakkan dalam perkara ini.

Hanya memandang dalam satu sisi, tetapi tidak memandang sisi yang lain. Terlebih lagi hewan yang dinyatakan najis dan haram untuk dimakan tersebut juga dilarang untuk dipelihara. Hewan yang dimaksud di sini adalah anjing. Hadis larangan memelihara anjing memang hadis sahih. Namun, perlu sikap moderat dalam memahaminya agar umat Islam tidak terjerumus kepada sikap benci dan anti secara berlebihan terhadap salah satu makhluk Allah Swt. tersebut.

Hadis Larangan Memelihara Anjing dan Penjelasannya

Menurut Abu Hudzaifah Ibrahim yang dikutip dari Kitab Shahih al-Jami, hadis larangan memelihara anjing diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah. Berikut narasi hadis Rasulullah saw. tentang larangan memelihara anjing yang diriwayatkan oleh beberapa perawi di atas:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَلَا صُوْرَةٌ

Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing, juga tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar (patung).

Ibnu Hajar di dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa malaikat yang tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing adalah malaikat rahmat. Pendapat demikian disepakati oleh beberapa ulama lain seperti Imam al-Manawi, Ibnu Wadhdhah, Imam al-Khaththabi, dan beberapa ulama lainnya. Hal ini disebabkan karena anjing mengandung najis, sedangkan malaikat rahmat tentu terpelihara dari hal-hal yang kotor.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Imam Nawawi juga memberi komentar terhadap hadis tersebut dan hadis yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan menyertai kelompok manusia yang membawa anjing. Menurut beliau, malaikat akan menjauhi dan membenci perbuatan tersebut dikarenakan hadirnya anjing di tengah-tengah mereka. Imam Nawawi bahkan menyebut bahwa hadis yang menyatakan siapa yang memelihara anjing di rumahnya akan mengurangi pahala pemeliharanya sebanyak satu qirath setiap harinya, adalah isyarat keharaman memelihara anjing.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Bekas Jilatan Anjing?

Pemikiran Moderat Gus Baha tentang Hadis Memelihara Anjing

Hadis larangan memelihara anjing di atas dan beberapa komentar para ulama terhadap hadis tersebut terlihat bahwa adanya larangan tegas perihal memelihara anjing. Larangan yang tegas inilah kemudian disalahartikan oleh sebagian orang. Karena hadis ini, tidak sedikit umat Islam yang sangat anti bahkan membenci makhluk Allah Swt. yang satu ini. Sehingga, sikap berlebihan dalam membenci anjing sangatlah nampak. Tentu, walau bagaiamanapun juga umat Islam harus mampu melihat secara komprehensif bagaimana esensi dari binatang anjing ini.

Sebagai ulama yang moderat, Gus Baha atau KH. Bahauddin Nursalim memberikan komentar terhadap hadis tersebut. Pada ceramahnya yang diunggah oleh channel Youtube Ngaji Masal, beliau tidak terlihat menyanggah hadis tersebut, bahkan tidak ada narasi menyalahkan ulama yang mengharamkan memelihara anjing. Namun, penjelasan dan sikap beliau secara implisit memperlihatkan adanya perilaku moderat (tidak berlebih-lebihan) dalam memahami sebuah hadis, salah satunya hadis larangan memelihara anjing.

Menurut beliau, di dalam kitab al-Hikam dan Ihya ‘Ulumuddin, hadis tersebut hanyalah bersifat metafora (perumpamaan). Di dalam dua kitab tersebut dijelaskan bahwa narasi rumah memiliki makna sebagai “hati”. Adapun anjing berarti “ketamakan” dan gambar ialah “khayalan”. Sehingga, hadis tersebut memiliki makna bahwa malaikat rahmat tidak akan memasuki hati manusia yang terdapat mental tamak dan mental khayalan (berangan-angan). Sehingga, tidak terlalu tepat jika hadis tersebut hanya dipahami secara tekstual saja.

Sikap moderat Gus Baha juga terlihat ketika beliau menjelaskan bahwa  di dalam Alquran terdapat beberapa term kata mukallibin (anjing). Salah satunya adalah ayat yang menjelaskan tentang kemampuan anjing yang mampu dilatih sebagai hewan pemburu. Berikut firman Allah Swt. dalam Q.S. Alma’idah [5]: 4:

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّٰهُ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu; yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.

Menurut Gus Baha, lafaz “mukallibin” pada ayat tersebut bermakna menganjing atau memiliki karakter seperti anjing. Imam Suyuthi menafsirkan ayat tersebut dengan memaknai hewan pemburu itu sebagai kilab (anjing). Karakter pemburu yang dimiliki oleh anjing ini ternyata memang betul adanya.

Lembaga kepolisian salah satunya menggunakan kemampuan anjing ini sebagai hewan pelacak yang handal. Bahkan menurut Imam Suyuthi, hewan yang ditangkap oleh anjing sebagai pemburu, halal dimakan darahnya. Namun, kemampuan anjing yang sudah digambarkan oleh Alquran dan sudah dibuktikan ini ternyata tidak melunturkan stigma negatif orang-orang terhadap anjing. Anjing tetap dianggap sebagai binatang yang harus dijauhi.

Gus Baha kemudian menambahkan, secinta apapun seseorang dengan kucing dan berapapun lamanya dirawat, ia tidak akan bisa memliki kemampuan sehebat anjing. Mungkin saja kecintaan masyarakat sekarang terhadap kucing karena ada hadis yang menyatakan bahwa seekor kucing pernah tertidur di atas sajadah Nabi Muhammad saw. Beliau tidak ingin mengganggu kucing tersebut, sehingga beliau menggunting sajadahnya. Menurut Gus Baha, kisah anjing pun tidak kalah terhormat, seperti kisah anjing Ashabul Kahfi yang kemudian masuk surga.

Tulisan ini bukan berarti mempertajam perdebatan tentang hukum memelihara anjing maupun status kenajisan anjing. Namun, tulisan ini hanya membahas bagaimana sisi moderat dari seorang Gus Baha. Perilaku moderat semacam ini memang perlu diterapkan supaya umat Islam tidak terjebak pada sikap ekstrim yang membenci secara berlebih-lebihan terhadap salah satu makhluk Allah Swt. Sikap berlebih-lebihan inilah yang menurut Imam al-Syaukani adalah sikap terlarang yang dimiliki oleh umat Islam. Wallahu a’lam.

Baca juga: Surah Al-Maidah [5] Ayat 5: Hukum Hewan Sembelihan non-muslim, halalkah?

Ahmad Riyadh Maulidi
Ahmad Riyadh Maulidi
Mahasiswa S2 UIN Antasari Banjarmasin
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...