BerandaTokoh TafsirPemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

Pemaknaan Jilbab Menurut Riffat Hassan, Seorang Mufassir Kontemporer

Al-Qur’an dapat diibaratkan sebagai samudera karena memiliki kandungan yang sangat luas. Hal tersebut memungkinkan terjadinya berbagai ragam penafsiran. Kajian terhadap Al-Qur’an dengan berbagai metodologi mengalami perkembangan seiring dengan berjalannya zaman. Latar belakang dan sudut pandang mufassir juga memengaruhi perkembangan metodologi kajian terhadap Al-Qur’an. Salah satu yang menjadi headline hari ini adalah mengenai isu gender di kalangan ulama tafsir kontemporer. Yakni memaknai ayat dari kacamata gender terkait pemaknaan jilbab.

Riffat Hassan memasuki salah satu jajaran feminis Islam yang berasal dari Pakistan di samping Fatimah Mernisi, Amina Wadud Muhsin dan sebagainya. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran Riffat Hassan, dimulai dari faktor keluarga yang mana Ibu beliau sendiri merupakan feminis “radikal” yang keras menentang praktik-praktik patriarkhi. Di sisi lain, terdapat faktor pendidikan, sosio-kultural dan faktor politik.

Riffat Hassan memulai perjuangannya sebagai aktivis gender sejak menginjak usia remaja. Beliau menempuh pendidikan di sekolah berbahasa Inggris dan seringkali menuangkan pikiran-pikiran serta kritik-kritiknya tentang kondisi sosio-kultural masyarakat patriarkhi di lingkungan sekitarnya melalui karya puisi dan soneta.

Baca juga: Kenali Tiga Macam Tingkatan Nafs Menurut Al-Quran

Mempelajari teks-teks Al-Qur’an dan melakukan penafsiran ulang secara serius dilakukan Riffat Hassan sejak tahun 1974. Beliau banyak mengkaji tentang isu perempuan sebagaimana yang sedang ramai diperbincangkan saat itu. Di perjalanan kariernya, beliau cukup banyak menulis artikel dan buku tentang feminisme.

Metodologi Tafsir Kacamata Gender

Ayat-ayat Al-Qur’an memiliki beberapa sifat, yakni ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat yang jelas dan dapat langsung dijadikan sebagai pedoman hukum. Ayat-ayat mutasyabihat merupakan lawan dari ayat-ayat muhkamat yakni ayat-ayat yang masih bersifat simbolik dan belum jelas.

Hasil penafsiran ditentukan oleh masing-masing cara pandang mufassir. Riffat Hassan menawarkan metode penafsiran baru yakni metode historis krisis-kontekstual. Adapun beberapa langkahnya yakni:

  1. Mencari makna kata yang sebenarnya berdasar pada akar katanya. Kemudian, meletakkannya sesuai dengan konteks masyarakat yang ada pada saat itu;
  2. Mengasumsikan bahwa antara ayat al-Qur’an yang satu dengan ayat yang lainnya saling menguatkan, bukan saling bertentangan (Abdu al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 28)
  3. Penafsiran baru dipandang benar, sah dan dapat diterima jika memenuhi prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan.

Pemaknaan Sistem Jilbab

Meskipun jilbab telah mengalami evolusi secara bertahap, tetapi jilbab merupakan salah satu bagian yang melekat pada kaum muslim. Bahkan secara lahiriah, ia dianggap sebagai identitas yang menandakan eksistensi seorang muslim dan juga bagian dari kebudayaan kaum muslim abad pertengahan.

Baca juga: Kritik Ignaz Goldzhiher Terhadap al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Adapun istilah purdah, niqab dan sebagainya yang merupakan bagian dari jilbab yang berbeda-beda bentuknya. Purdah dan niqab seperti jilbab yang menutupi rambut kepala hingga leher, tetapi purdah dan niqab juga menutup bagian hidung dan mulut dengan kain yang sama. Adapun ayat Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا – ٥٩

Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (Q.S al-Ahzab: 59)

Ayat di atas berbicara tentang perintah kepada istri Nabi Saw dan muslimah untuk mengenakan purdah agar tidak diganggu dan dikenal sebagai perempuan yang shalihah. Hal ini bukan berarti para perempuan muslim dilarang untuk keluar rumah atau bekerja keluar rumah. Tetapi jika memang perempuan tersebut terdapat keperluan, bekerja keluar rumah, maka Al-Qur’an memerintahkan untuk mengenakan pakaian yang pantas agar tidak diganggu dan terhindar dari fitnah.

Baca juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Purdah secara bahasa berarti memisahkan (KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap). Yang dimaksudkan adalah agar perempuan terhindarkan dari pandangan yang menjurus kepada objek seks. Maka bagi Riffat Hassan, pakaian perempuan yang dikenakan ialah pakaian yang pantas bagi setempat dan menjadikan perempuan dihormati dan dimuliakan. (Riffat Hassan, Feminisme dan Al-Qur’an)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bagaimana perempuan mengenakan jilbab atau pakaian yang baik adalah tergantung kepada tradisi atau budaya setempat yang dianggap “pantas” dikenakan perempuan sehingga ia dihormati. Karena ukuran pantas adalah relatif, sehingga bisa jadi suatu daerah menganggap niqab adalah ukuran pantas bagi perempuan muslim sedangkan daerah lain belum tentu begitu. Wallahhu a’lam.

Faridah
Faridah
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa disapa di @idahzara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...