Kajian terhadap studi Al-Quran yang dilakukan oleh kaum orientalis, sebagian bertujuan untuk meragukan keotentikan Al-Quran, namun walaupun demikian kajian-kajian yang dilakukan tersebut tidak semuanya melahirkan pengaruh yang negatif, tetap ada sisi positif yang dapat diambil. Salah satu celah yang menjadi tempat masuk kaum orientalis dalam meragukan keotentikan Al-Quran adalah masalah qiraat. Permasalahan seputar qiraat, seperti tentang sab’ah al-huruf, Qiraah sab’ah, dan kemudian munculnya qiraah syadz akibat adanya perbedaan varian bacaan merupakan celah yang tepat untuk mempertanyakan kembali keotentikan Al-Quran. Kajian tentang qiraat Al-Quran ini salah satunya dilakukan oleh Ignaz Goldziher, ia merupakan tokoh orientalis terkemuka pada abad ke-19, berasal dari Hongaria dan banyak bergelut dengan ilmu Al-Quran di Universitas al-Azhar Mesir.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 77: Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik Padamu!
Dalam memandang qiraat tentunya Ignaz Goldziher mempunyai pandangan yang jauh berbeda. Namun sebelum itu mari kita lihat pandangan para ulama terhadap qiraat Al-Quran terlebih dahulu. Secara etimologi, lafadz qiraat قراءات merupakan bentuk jamak dari kata qiraah قراة yang merupakan bentuk Masdar sima’i dari qaraa قرء yang berarti membaca.
Sedangkan secara terminologis, qiraat dalam pandangan para ulama memiliki beberapa pengertian. Seperti yang diungkapkan Ibnu al-Jazuri dalam kitab al-qiraat al-Qur’aniyah, menurutnya qiraat adalah:
عِلْمٌ بِكَيْفِيَةِ اَدَاءِ كَلِمَاتِ القُرْاَنِ وَ اخْتِلَافِها مَعْزُوًا لنَاقِلِهِ
Qiraat Ilmu yang mempelajari bagaimana cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Quran serta perbedaanya dengan disandarkan kepada riwayat (perawi) .
Kemudian definisi qiraat menurut pandangan al-Zarqani yaitu :
مَذْهَبُ يَذْهَبُ اِليْهِ اِمَامٌ مِنْ اَئِمَّةِ القُرَءِ مُخَالِفًا بِه غَيْرُه في النُطْقِ بالقرآنِ الكَرِيمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِوَاياتِ و الطُرْقِ عَنهُ, سَوَاءٌ كَانَتْ هَذِهِ المُخَالَفةُ في نُطْقِ الحُرُوفِ اوْ في نُطق هَيْئاَتِهَا.
Qiraat merupakan madzhab (aliran) pengucapan Al-Quran yang dipilih oleh salah satu umam Qurra’ sebagai madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya, yang sesuai dengan riwayat dan sanadnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf atau kaifiyahnya.
Jika dilihat dari beberapa pengertian di atas definisi para ulama tentang qiraat tidak terlepas dari pernyataan bahwasanya qiraat itu harus dibangun di atas riwayat yang mutawatir dan muttashil kepada Rasullah Saw. Para ulama menjadikan riwayat sebagai neraca untuk menguji keabsahan qiraat.
Baca juga: Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran
Pandangan para ulama tentang qiraat tersebut berbanding terbalik dengan Ignaz Goldziher. Menurutnya, upaya dalam mengklasifikasi qiraat mutawatir dari yang syadhz merupakan ijtihad manusia. Goldziher berpandangan bahwa qiraat yang dianggap syadz belum tentu benar-benar syadz, atau sebaliknya qiraat yang dianggap mutawatir itu belum tentu benar-benar mutawatir. Terlebih menurutnya jika yang dianggap syadz tersebut diriwayatkan dari sarjana qiraah yang belajar langsung Rasulullah saw.
Misalnya saja Ibnu Mas’ud, ia merupakan salah satu sarjana qiraat yang mendapatkan ijazah langsung dari Rasulullah Saw. Namun demikian qiraah Ibnu Mas’ud dianggap syadz oleh para sarjana qiraah lain, yang notabenenya tidak mempunyai otoritas yang sepadan dengan Ibnu Mas’ud. Hal ini menyebabkan Goldziher mengambil sampel qiraah syadz dalam banyak argumentasinya, bahkan tidak jelas siapa yang membaca qiraah tersebut.
Goldziher berpandangan bahwa tulisan adalah segalanya, ia mengangggap manuskrip sebagai alat ukur dan kriteria, sehinga suatu bacaan menurutnya haruslah disesuaikan dengan mengikuti teks.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Orang Sakit Diperbolehkan Tayamum Meski Menemukan Air
Menurut Goldziher penyebab lahirnya perbedaan qiraat itu dikarenakan karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vocal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut.
Demikian juga pada ukuran-ukuran suara (vocal) pembacaan yang dihasilkan perbedaan-perbedaaan harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab Kuno, sehingga memicu perbedaan posisi i’rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalalah).
Dengan demikian, dalam pandangan Goldziher faktor utama lahirnya perbedaan qiraat itu adalah tidak ada tanda titik dan tanda diakritikal pada penulisan teks Arab Kuno. Untuk melihat dua fakta ini, Goldziher mengajukan beberapa contoh, sebagai berikut :
Pertama, perbedaan karena tidak ada tanda titik
Surah al-‘Araf ayat 48
وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْاَعْرَافِ رِجَالًا يَّعْرِفُوْنَهُمْ بِسِيْمٰىهُمْ قَالُوْا مَآ اَغْنٰى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ ٤٨
Sebagian ulama qiraat membaca تَسْتَكْبِرُوْنَ dengan تَسْتَكْثرُوْنَ yaitu dengan huruf tsa’ yang bertitik tiga. Pada contoh yang pertama ini qiraat yang yang menjadi rujukan Goldziher merupakan qiraat yang munkar dan tidak diketahui secara definitif siapa yang membacanya.
Surah At-Taubah ayat 114
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ ١١٤
Kata اِيَّاهُۚ dibaca dengan ba’ bertitik satu yaitu اباه. Qiraat ini merupakan qiraat yang munkar secara ijma’, bukan termasuk kepada qiraah tujuh ataupun empat belas.
Baca juga: Dalil dan Keutamaan Berwudhu’ dalam Al-Qur’an dan Hadis
Kedua, Perbedaan karena tidak adanya tanda diaktrikal
Surah Al-Ra’d ayat 43
وَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَسْتَ مُرْسَلًا ۗ قُلْ كَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًاۢ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْۙ وَمَنْ عِنْدَهٗ عِلْمُ الْكِتٰبِ ࣖ
٤٣ ( الرّعد/13: 43-43)
Sebagian ulama وَمَنْ عِنْدَهٗ عِلْمُ الْكِتٰبِ dengan وَمِنْ عِنْدَهٗ عُلِمُ الكِتٰبُ . pada contoh ini lafadz
عُلمَ dibaca dengan mabni majhul termasuk kedalam kategori qiraat munkar dan tidak diabsahkan sama sekali. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwasanya pedoman utama dalam qiraat-qiraat al-Quran adalah riwayat, dan tidak ada pilihan atau kreasi dalam qiraat-qiraat al-Quran.
Surah Al-Maidah ayat 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ ٦ ( الماۤئدة/5: 6-6)
Pada contoh ini perbedaan harakat harakat tidak saja berpengaruh pada sistem susunan kalimat dalam ayat, namun pada saat yang bersamaan juga merepresentasikan sebuah gambaran perbedaan secara fiqh.
Baca juga: Benarkah Bahasa Semit Sebagai Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur’an ?
Pendapat-pendapat Godziher tentang qiraat ini banyak dibantah oleh para sarjana Islam. Salah satunya adalah Muhammad Musthafa A’zami, ia menyatakan bahwa perbedaan varian bacaan tersebut adalah sunnah. Anjuran rasulullah saw agar ummatnya bisa memilih qiraah mana yang lebih mudah diucapkan dari yang lain. Walaupun kajian para tokoh orientalis pada umumnya, dan Goldziher secara khusus menimbulkan reaksi negatif umat Islam karena dapat memunculkan keraguan dalam kalangan orang awam terhdap Al-Quran yang selama ini diyakini otentitasnya. Terlepas dari itu, para tokoh orientalis mempunyai kontribusi positif dalam kajian qiraat seperti, para tokoh orientalis merupakan tokoh awal yang melakukan tahqiq terhadap kitab-kitab qiraat. Selain itu mereka juga merawat naskah-naskah lama termasuk manuskrip qiraat.