BerandaUlumul QuranPerdebatan Akademik Tentang Apakah Nabi Muhammad Buta Huruf atau Tidak

Perdebatan Akademik Tentang Apakah Nabi Muhammad Buta Huruf atau Tidak

Perdebatan mengenai ke-ummi-an (buta huruf) nabi masih belum menemui titik terang. Para sarjana mempunyai beragam pendapat mengenai konsep ummi yang banyak dipahami oleh masyarakat muslim dewasa ini sebagai sosok yang tidak mengenal baca-tulis. Pandangan semacam ini di kritisi oleh pakar sejarah asal Amerika Serikat yang bernama Montgomery Watt. Dalam penelitiannya, Watt menemukan beberapa kejanggalan terkait konsep ummi. Kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan oleh Watt akhirnya ia tuangkan ke dalam sebuah karyanya yang berjudul Introdction to the Qur’an.

Dalam bukunya itu, penulis menjumpai dua kejanggalan yang diekspresikan oleh Watt. Pertama, sebagaimana penulis paparkan sebelumnya, Watt memandang bahwa pemaknaan mayoritas Muslim mengenai kata ummi sampai dewasa ini telah menyimpang. Mayoritas Muslim memaknai kata ummi dengan unlettered orang yang tidak mengenal baca-tulis (buta huruf). Watt, kemudian menyatakan bahwa sebenarnya nabi Muhammad bukanlah sosok yang buta huruf (unlettered). Pemaknaan ummi sebagaimana dipahami oleh mayoritas Muslim mempunyai tujuan untuk meningkatkan keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang sarat dengan kemukjizatan (Muhammad Alwi, Kritik atas Pandangan William Montgomery Watt Terhadap Sejarah Penulisan al-Qur’an, 2020).

Baca Juga: Benarkah Bahasa Semit Sebagai Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur’an?

Kedua, spesialisasinya dalam bidang kesejarahan mengantarkan Watt pada pandangan, bahwa kata ummi ternyata bukan berbahasa Arab, melainkan Bahasa Hebrew yang bermakna kumpulan manusia (Montgomery Watt, Introduction to the Qur’an, 1995). Temuan ini semakin meyakinkan Watt bahwa makna ummi yang dipahami masyarakat Muslim telah menyimpang dan Nabi Muhammad bukanlah seorang yang buta huruf.

Pandangan Watt dalam Sorotan Sejarah

Seorang sarjana al-Qur’an asal Iran, Muhammad Hadi Makrifat pernah mencoba mengurai sejarah perkembangan dunia baca-tulis dalam dunia Arab. Dalam kitab monumentalnya, al-Tamhid fi Ulum al-Qur’an, ia menceritakan :

tidak ada bukti kesejarahan yang menyatakan bahwa bangsa Arab (hijaz) mengetahui dunia baca-tulis, kecuali hanya sebagian kecil kelompok Islam. Ini disebabkan lantaran bangsa Arab hidup didalam pedalaman (badui). Namun, sebagian bangsa Arab (non-badui) melakukan perjalanan ke daerah Syam dan Irak guna melakukan aktivitas perdagangan. Bangsa Syam dan Irak yang telah berperadaban (mengenal baca-tulis) menyebabkan sebagian suku Arab terobsesi untuk mempraktekkan apa yang mereka dapatkan manakala mereka kembali pulang” (lihat, Muhammad Hadi Makrifat, al-Tamhid fi Ulum al-Qur’an, 2011).

Dari apa yang disampaikan oleh Hadi Makrifat, paling tidak dapat kita jumpai beberapa pesan. Pertama, bangsa Arab yang tidak mengenal dunia baca-tulis adalah mereka yang merupakan bangsa Arab pedalaman (badui). Ini tentu tidak berlaku bagi nabi Muhammad. Sebab, menurut peneliti sejarah Islam asal Amerika, Firas Alkhateeb menyatakan bahwa nabi Muhammad lahir di kota Mekkah yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan perdagangan (lihat, Firas Alkhateeb, Sejarah Islam yang Hilang, 2016).

Kedua, mulai remaja nabi adalah seorang pedagang. Shofiyurrahman al-Mubarakfuri menceritakan bahwa saat masih remaja, kira-kira saat itu berusia 12 tahun, Muhammad kecil sudah diajak berdagang oleh pamannya Abu Thalib ke daerah Syam. Pernyataan ini memberi pesan, bahwa sedari kecil, nabi Muhammad telah “mengenal” peradaban baca-tulis yang beliau dapatkan di salah satu daerah yang sudah mengenal peradaban baca-tulis, yakni Syam (lihat, Shofiyurrahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, 2007). 

Makna ummi Menurut Pakar Tafsir

Mengutip pernyataan al-Zajjaj, Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya yang bernama Mafatih al-Ghayb menyatakan bahwa kata ummi dinisbatkan kepada shifat ummat al-Arab (sifat bangsa Arab) yang pada saat itu tidak bisa menulis dan menghitung. Meski pendapat ini masih terbilang “asing”, namun penulis cukup mengapresiasi atas tafsiran al-Razi ini. Sebab, banyak kasus di sekitar kita yang bisa membaca bahkan menghafal al-Qur’an, tapi tidak sedikit yang tidak bisa saat menuliskannya. Selanjutnya, al-Razi juga menguatkan temuannya dengan pernyataan bahwa nabi lah yang kelak membacakan al-Qur’an dan kemudian ditulis oleh sekretaris pribadinya yang bernama Zaid ibn Tsabit (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb, 1981).

Baca Juga: Pemahaman Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Al-Qur’an

Sedangkan, pakar tafsir dari Cordova, Spanyol yang bernama Muhammad al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan bahwa kata ummi dinisbatkan kepada kata ummiummiyah yang berarti tidak bisa membaca dan menulis. Riwayat dari Ibn Abbas justru mengartikan ummi dengan lebih ekstrem lagi. Ia mengatakan bahwa makna ummi adalah orang yang tidak bisa membaca, menulis dan menghitung. Namun demikian, penulis menemukan kejanggalan dalam pendapat yang disampaikan oleh al-Qurthubi ini. Sebab, nabi Muhammad merupakan sosok yang bisa membaca yang dibuktikan dengan pendiktean nya kepada Zaid ibn Tsabit (lihat, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 2006).

Kesimpulan

Sampai hari ini, perdebatan mengenai makna ummi masih menuai polemik. Watt yang mengkritisi pandangan mayoritas masyarakat Muslim justru memaknai ummi dengan masyarakat, karena dinisbatkan kepada Bahasa Hebrew. Ini juga yang meyakinkannya bahwa sebenarnya nabi Muhammad bukanlah seorang yang buta huruf (unlettered). Terlepas dari pandangan Watt, bukti bahwa nabi Muhammad merupakan sosok yang “melek huruf” ini dibuktikan dengan pendiktean nya kepada Zaid ibn Tsabit saat mengutusnya untuk menuliskan al-Qur’an.

Rahmat Yusuf Aditama
Rahmat Yusuf Aditama
Santri Ponpes “Merah Putih” dan UIN Sunan Kalijaga Minat kajian : Sejarah Peradaban Islam, Tafsir, Tasawuf, Filsafat
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU