BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiPerintah Menjaga Nasab dalam Alquran

Perintah Menjaga Nasab dalam Alquran

Menjaga nasab atau hifdzun nasl merupakan salah satu aspek penting dalam syariat Islam. Hal ini dikarenakan nasab memiliki implikasi keperdataan anak dengan keluarganya, baik dari garis ayah maupun ibu, serta mengikat hak dan kewajiban anak  terhadap keduanya, seperti hak anak mendapatkan  warisan, kewajiban ayahnya menjadi wali, tanggungjawab ayah atau suami terhadap ibu atau istri dan sebagainya. Maka dalam rangka menjaga nasab ini, Islam mensyariatkan menikah sebagai cara yang sah untuk menjaga nasab. Dengan menjaga nasab, maka agama akan tetap terpelihara, karena keturunan dari pernikahan yang sah diharapkan bisa menjalankan syariat-syariat Islam.

Pengertian Nasab

Secara bahasa, nasab berasal dari bahasa arab, yaitu نسبا nasaba yang merupakan derivasi dari kata nasaba-yansibu-nasaban yang berarti kerabat, keturunan atau menetapkan keturunan. Sedangkan secara terminologis, Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengartikan nasab dengan hubungan turun temurun membentuk keluarga-keluarga lewat hubungan yang berasal dari perkawinan.

Kata  nasab juga telah disebutkan dalam Alquran, salah satunya terdapat dalam surah Alfurqan [25]: 54 yang menerangkan  asal usul manusia beserta asal usul  keturunannya.

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ مِنَ ٱلْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

Baca Juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir menafsirkan ayat فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ (lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan perbesanan). Makna النسب adalah hubungan kelahiran dan hubungan-hubungan yang terbentuk darinya seperti hubungan dengan ayah, ibu, kekek, anak, saudara, paman dan keturunannya. Adapun makna الصهر adalah hubungan antara suami dan keluarga istrinya yang terbentuk dari pernikahan, serta hubungan antara istri dan keluarga suaminya,  dan juga hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri. Kerabat istri disebut dengan الأختان, sedangkan kerabat suami disebut dengan الأحماء, dan keduanya termasuk dari perbesanan.

Dari penafsiran di atas dapat dipahami bahwa hubungan nasab dan penisbatan anak kepada ayah  hanya bisa terjadi dengan sebab pernikahan. Artinya, anak yang lahir sebelum adanya pernikahan tidak bisa dinisbatkan kepada garis keturunan si ayah, meskipun secara medis anak tersebut merupakan ayah biologisnya. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari hubungan luar pernikahan atau zina  hanya bisa dinisbatkan kepada jalur ibu. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan dalam hadis.

قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا ” لأهل أمه من كانوا” (رواه أبو داود)

Nabi Saw bersabda tentang anak hasil zina: Bagi keluarga ibunya …(HR. Abu Dawud).

Dengan tidak adanya hubungan nasab antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan hanya dengan ibunya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya yang lain yaitu al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh  menjelaskan bahwa tetapnya nasab seorang anak kepada ibunya adalah dikarenakan kelahiran (wiladah), baik secara syariat maupun tidak.

Baca Juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini

Pentingnya Kejelasan Nasab

Dalam Alquran, Allah pernah menegur Nabi Muhammad Saw. karena mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian, ia dinasabkan kepada Nabi Saw. Atas kejadian itu  Allah Ta’ala menegur Nabi Saw., dan kemudian menjadi sebab turunnya surah Alahzab [33]: 4-5;

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ

اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menafsirkan وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ  (dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu), yakni Allah tidak menjadikannya anak kalian yang sesungguhnya atau secara syariat. Dan makna (الأدعياء) yakni anak-anak angkat. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz  dalam ayat ini dijelaskan tentang  pembatalan pemberian nasab yang dilakukan oleh Nabi Saw. sebab mengangkat Zaid bin Haristah menjadi anak Nabi Saw.

Baca Juga: Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Al-Qur’an

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa menjaga hubungan nasab merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dengan jelasnya nasab seseorang akan terjaga hak dan kewajibannya antara anak dengan ayah maupun ibunya. Tak hanya itu, dengan jelasnya nasab maka akan terpeliharanya garis keturunan atau hifdzun nasl serta menjaga hak-hak keperdataan  yang melekat kepada anak seperti hak waris, nafkah serta bagi anak perempuan adalah hak ayahnya menjadi wali nikah.

Wallahu a’lam.

Kholid Irfani
Kholid Irfani
Alumni jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU