BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPernah Dilakukan Sahabat, Ini Kriteria Tidur yang Tidak Batalkan Wudhu

Pernah Dilakukan Sahabat, Ini Kriteria Tidur yang Tidak Batalkan Wudhu

Pemandangan jamaah salat jum’ah yang ketiduran sambil duduk saat mendengar khutbah adalah pemandangan yang umum ditemui. Namun saat iqamah dikumandangkan, mereka sadar dan langsung beranjak salat tanpa berwudhu kembali. Bagi sebagian kalangan, ini menimbulkan pertanyaan, bukankah tidur membatalkan wudhu? Kalau begitu bukankah seharusnya wudhu mereka batal dan hendaknya berwudhu kembali sebelum salat?

Perlu diketahui bahwa mazhab Syafiiyah sebagai mazhab yang dianut mayoritas muslim di Indonesia menyatakan, ada posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu. Yaitu posisi duduk dengan menetapkan pantat ke tempat duduk. Namun perlu dihati-hati, sebab ada catatan penting terkait tidur yang tidak membatalkan wudhu ini. Lalu bagaimanakah kriteria tidur dengan duduk yang tidak membatalkan wudhu? Apa dasar yang dipakai ulama’ untuk menyatakan aktivitas tersebut tidak membatalkan wudhu? Lebih lengkapnya, simak penjelasan berikut ini:

Tidur dengan duduk adalah pengecualian

Imam Al-Khazin dalam Tafsir Lubabut Ta’wil (/2/100) tatkala mengulas permasalahan tidur termasuk membatalkan wudhu dalam surah An-Nisa’ ayat 43 menyatakan, bahwa tidak termasuk membatalkan wudhu tidur ringan yang dialami orang yang berposisi duduk sembari menetapkan pantatnya ke tempat duduknya. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Malik ibn Anas yang berbunyi:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ, ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّؤُوْنَ –

Di masa Rasulullah, para sahabat Nabi menunggu salat Isya’ sampai tertidur. Lalu mereka salat tanpa berwudhu (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh Imam Daruqutni).

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُوْنَ

Para sahabat Nabi tidur kemudian salat tanpa berwudhu (HR. Imam Muslim).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa pendapat yang diungkapkan Imam Khazin di atas merupakan pendapat Mazhab Syafi’i. Sedangkan mazhab lain memiliki pendapat yang berbeda-beda. Bahkan ada yang menyatakan tidur membatalkan wudhu secara mutlak. Ada pula yang berpendapat sebaliknya (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/208).

Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa ada delapan pendapat mengenai tidur dapat membatalkan wudhu. Mazhab Syafi’i sendiri meyakini bahwa tidurnya orang yang berposisi duduk dengan menetapkan pantat ke tempat duduk tidak membatalkan wudhu. Hal ini disebabkan sebenarnya bukan tidur yang membatalkan wudhu, melainkan sebab tidur membuka peluang pada keluarnya angin. Meski itu hanya sebatas kemungkinan, tapi syariat menganggapnya sebagai suatu hal yang pasti terjadi, sebagai bentuk kehati-hatian. Sedangkan tidur dengan posisi duduk menutup kemungkinan keluarnya angin tersebut (Syarah Sahih Muslim/2/95).

Baca juga: Dalil Tidur Batalkan Wudhu dan Penjelasan Posisi Tidur yang Dikecualikan

Di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Imam An-Nawawi memberi tambahan catatan mengenai tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu:

Pertama, orang yang tidur dengan duduk tetap disunnahkan untuk wudhu kembali. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan sekecil apapun pada keluarnya angin. Selain itu juga untuk keluar dari perbedaan pendapat ulama’ yang menyatakan tidur dengan duduk tetap membatalkan wudhu secara mutlak.

Kedua, sekadar mengantuk tidaklah membatalkan wudhu, hingga ia benar-benar tertidur.

Ketiga, apabila posisi pantatnya terangkat dari lantai sebelum ia terjaga, maka wudhunya seketika batal.

Keempat, tidur dengan duduk dan menetapkan pantat ke tempat duduk, meski dengan bersandar pada dinding atau selainnya yang andai kata jika sandaran tersebut hilang maka ia akan terjatuh, tetap tidak membatalkan wudhu.

Kelima, tidur terlentang dengan menetapkan pantat ke tempat duduk sembari bersandar pada leher bagian belakang dianggap dapat membatalkan wudhu. Meski posisi pantat lebih keras menekan ke tempat duduk. Sebab posisi tersebut tidak disebut duduk (al-Majmu’/2/15-17).

Kesimpulan

Kesimpulan dari berbagai penjelasan di atas adalah tidur dengan posisi duduk serta menetapkan pantat ke tempat duduk tidak dianggap membatalkan wudhu menurut mazhab Syafi’i. Meski begitu, kita perlu berhati-hati. Jangan sampai salah paham pada praktik tidur sembari duduk dengan posisi yang memungkinkan keluar-tidaknya angin, atau posisi yang memungkinkan tetap-tidaknya pantat dengan lantai. Sebab posisi “duduk” dan “menetapkan pantat” keduanya harus ada sebagai syarat tidak batalnya wudhu ketika tertidur. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Buang Air Membatalkan Wudhu dan Perdebatan Ulama Seputarnya

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...