BerandaKhazanah Al-QuranDialog“Plagiarisme” Alquran (Bag. 3): Misteri Komunitas Yahudi Madinah

“Plagiarisme” Alquran (Bag. 3): Misteri Komunitas Yahudi Madinah

Beranjak dari Makkah, kini pembaca singgah di Madinah untuk menelusuri lebih jauh klaim plagiarisme Alquran. Dua pembahasan sebelumnya dapat dibaca di sini dan di sini.

Ada apa dengan para rabi?

Kaum Yahudi di kota Madinah merupakan golongan “istimewa”. Sebagian dari mereka adalah ahli Taurat, bahkan nasab sebagian mereka diduga kuat bermuara pada Nabi Harun. Dalam tradisi Yudaisme, keturunan Nabi Harun itulah pemegang otoritas keagamaan secara turun-menurun. Mereka disebut dengan kohanim.

Simon Schama dalam bukunya, The Story of the Jews (hlm. 222) mengatakan bahwa di Madinah terdapat Yahudi keturunan suku Lawi. Dahulu, suku ini mendiami Kerajaan Yehuda. Merekalah suku yang diberi otoritas untuk menghukum para penyembah anak lembu emas dalam tragedi di Gunung Sinai, sebagaimana disebutkan dalam karya-karya tafsir. Suku Lawi ini nasabnya bermuara kepada Kohen Gadol atau Pendeta Tertinggi.

Dahulu, Nabi Harun merupakan imam tertinggi, setelah saudaranya; Nabi Musa tentunya. Keturunan beliau inilah yang memiliki kewenangan penuh dalam ritual keagamaan sebelum Bet Mikdash dihancurkan oleh Romawi di tahun 70 M. Kedudukan mereka tak ubahnya seperti beberapa klan yang mengurusi Ka’bah di masa pra-Islam. Lumrah jika terdapat ahli Taurat di tengah komunitas Yahudi Madinah, tersebut Quraizhah, Qainuqa, dan Nadhir.

Ada “khilaf” hebat di kalangan orientalis mengenai identitas Yahudi Madinah. Haggai Mazuz dalam karyanya, The Religious and Spiritual Life of the Jews of Medina (hlm. 6-7) menyebutkan sejumlah pendapat:

Wilhelm Rudolph mengatakan mereka adalah sekte judeo-christian. Mereka mengimani Taurat dan Injil; Nabi Musa dan Nabi Isa. Lain lagi dengan Chaim Rabin. Mereka itu keturunan dari Sekte Qumran, yaitu para penghuni gua Naskah Laut Mati, yakni sekte Eseni. Michael Cook dan Patricia Crone angkat suara, keduanya berpendapat kaum Yahudi di Madinah adalah kelompok Yahudi Samaritan (Shamerim).

Moshe Sharon, sejarawan Yahudi, berpendapat lain; kaum Yahudi di Madinah itu sekte “Yahudi Mesianik”. Mereka memiliki keyakinan “unik”, yakni meyakini Sang Messiah adalah “anak Tuhan”, yakni Uzair itu sendiri. Pengetahuan mereka tentang Dzulqarnain juga mengindikasikan keunikan Yahudi Madinah.

Goitein dalam karyanya, Muhammad Chief’s Teacher berpendapat bahwa kaum Yahudi di Madinah adalah kaum Yahudi pada umumnya, hanya saja menyerap karakteristik lokal.

Karena status “elit” inilah kedekatan kaum Yahudi Madinah dengan teks-teks keagamaan mereka merupakan sebuah keniscayaan. Di antara segelintir indikasinya adalah sebagai berikut:

Pertama, mereka memiliki salinan Taurat di sisi mereka. Allah berfirman:

أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca AlKitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berakal? (Q.S. Albaqarah: 44).

Kedua, mereka memiliki keluasan horison sejarah terkait para salaf mereka. Allah berfirman:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُون

Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui (Q.S. Alanbiya: 7).

Ibnu Katsir menjelaskan ayat tersebut dalam tafsirnya, “Tanyakanlah kepada ahli ilmu dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lainnya tentang para Utusan terdahulu.” Demikian kurang lebih uraian Ibnu Katsir. Audiens ayat ini tentu mencakup Yahudi Madinah.

Ketiga, selain Taurat, kaum Yahudi Madinah memiliki akses ke dalam literatur Talmud. Apa argumentasinya?

Alquran mengabarkan bahwa dahulu mereka pernah berkata, “lan tamassana an-nar illa ayyaman ma’dudatan (Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api (neraka) kecuali beberapa hari saja).” Lalu apa korelasinya?

Jadi, apabila kita menelisik Talmud, dalam Mishna Eduyot 2:10 disebutkan, Rabi Akiba mengatakan ada lima hal yang memiliki durasi 12 bulan. Salah satunya adalah durasi siksa pelaku dosa di neraka. Durasi 12 bulan ini juga termaktub dalam Talmud, Shabbat 33b:7.

Rabi Yohanan bahkan mengemukakan “fatwa” yang lebih longgar lagi, yakni durasi hukuman pelaku dosa di neraka adalah dari Paskah Yahudi hingga Pentecostal, yakni hari ke-50 setelah Paskah Yahudi. Jadi, menurut Rabi Yohanan, pelaku dosa dari kalangan Yahudi hanya disiksa 50 hari saja.

Sebagian mereka meyakini durasi siksaan di neraka hanya 40 hari saja, yakni menurut mereka setara dengan durasi penyembahan mereka terhadap berhala Eggel Hazahav di Sinai dahulu. Tentu, ini semua hanyalah dugaan-dugaan tanpa dasar, atau menebak-nebak perkara ghaib (rajman bil ghaib).

Baca juga: “Plagiarisme” Alquran (Bagian 1): dari Hammurabi hingga Hitti

Dari mana Rasulullah mengetahui semua itu?

Jangankan Talmud, penerjemahan Taurat ke dalam bahasa Arab sendiri baru muncul di abad 9 M. Penting dicermati secara saksama, ungkapan “Kami tidak akan disentuh api neraka kecuali beberapa hari saja” tidak ditemukan dalam bibel kanonikal.

Keempat, Allah mengatakan ada kalangan ulama di antara kaum Yahudi Madinah itu.

أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ ءَايَةً أَن يَعْلَمَهُۥ عُلَمَٰٓؤُا۟ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ

Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (Q.S. Asysyu’ara: 197).

Fakhrudin Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan sekelompok alim dari kalangan Yahudi-yang sudah memeluk Islam-menunjukkan isi kitab mereka yang menyebutkan perihal kenabian Rasulullah, termasuk sifat-sifat beliau. Ibnu Katsir dan mufasir lainnya pun mengatakan hal semisal. Banyak sekali indikasi yang menunjukkan bahwa Kaum Yahudi Madinah bukanlah Yahudi “abangan”.

Tidak berlebihan jika pada abad 7 M., di tengah diaspora Yahudi selepas hancurnya Bet Mikdash oleh Romawi, komunitas Yahudi Madinah merupakan sentra spiritual Yudaisme dunia. Kelompok elit ahli kitab inilah yang Rasulullah hadapi selama 10 tahun di Madinah.

Lantas apa signifikansi dari uraian di atas?

Pembaca budiman, apa yang hendak saya utarakan adalah; apabila Rasulullah memang menjiplak dari tradisi ahli kitab, terkhusus dari Yudaisme, dapat dipastikan kalangan cendekiawan Yahudi Madinah adalah pihak pertama yang dapat segera mendeteksinya. Ini konsekuensi logis bahwa mereka mengetahui betul kandungan kitab mereka, baik Taurat dan kemungkinan, Talmud.

Namun, apa yang terjadi? Hampir tidak kita dapati adanya gugatan dari kalangan ahli kitab di Madinah bahwa Rasulullah itu menjiplak kitab atau dongeng-dongeng terdahulu. Gugatan itu hanya datang dari kaum musyrik di Makkah. Menarik sekaligus ironis.

Tidak hanya itu, justru sejumlah ahli ilmu dari kalangan kaum Yahudi Madinah itu menerima seruan Baginda Nabi. Salah satunya adalah seorang rabi Yahudi bernama Abdullah bin Salam.

Abdullah bin Salam bukan saja alim, beliau juga jujur dalam mengemban amanah intelektual. Menurut banyak dari ulama tafsir, bahkan Allah jualah yang menyebut Abdullah bin Salam sebagai “seorang saksi dari Bani Israil”; syahida syahidun min Bani Israil (Q.S. Alahqaf: 10). Dari sejumlah hadis dan literatur sirah, otoritas dan kredibilitas Abdullah bin Salam di tengah kaumnya pun berstatus “tsiqah”.

Atas rahmat Allah, lalu keberkahan ilmu yang beliau miliki, dia beralih dari rabi Yahudi menjadi sahabat Nabi dengan keislaman yang begitu baik hingga akhir.

Suatu ketika, Ummul Mukminin Shafiyah bercerita, bahwa suatu ketika pamannya bernama Abu Yasir berkata kepada ayahnya, Huyay bin Akhthab;

“Apakah memang dia (Rasulullah)?”

“Ya, betul. Demi Allah.” jawab Huyayy

“Apakah engkau mengetahuinya dan bisa memastikannya?” Tanya Abu Yasir.

“Ya.”

“Bagaimana perasaanmu terhadapnya?”

“Demi Allah, aku akan senantiasa memusuhinya selama aku hidup.” jawab Huyayy.

Tampaknya memang, musyrikin Makkah tidak mengingkari kualitas personal Rasulullah. Yang mereka tolak adalah ajaran yang beliau bawa. Sebaliknya, kaum Yahudi Yatsrib cenderung mengafirmasi ajaran Rasulullah sebagaimana mereka ketahui dari kitab mereka. Penolakan mereka lebih kepada sosok Rasulullah, yakni kecewa karena nabi yang ditunggu bukan dari kalangan Bani Israil, meski ciri-ciri beliau pun mereka ketahui melalui kitab mereka.

Simak uraian Quraish Shihab dalam Tafsir AlMisbah (jilid 1, hlm. 261):

Selama ini, nabi-nabi yang berada di daerah Timur Tengah diutus Allah dari kelompok Bani Israil. Mereka sangat yakin bahwa nabi yang disebut dalam kitab Taurat pastilah nabi dari Bani Israil pula. Tetapi ketika Nabi Muhammad saw. datang, ternyata beliau bukan dari kelompok mereka. Maka muncullah ke permukaan, rasa iri, kedengkian, dan keberatan atas pilihan Allah.

Kesimpulan

Fase Madinah adalah medan ujian lainnya bagi dakwah Rasulullah. Hampir tidak ada satu pun dari ahli kitab di sana, sependek saya ketahui, yang mengajukan gugatan plagiarisme Alquran. Padahal mereka lebih berilmu dari masyarakat pagan Makkah.

Penjelasan ini bersambung di artikel berikutnya, insyallah. Wallahu a’lam.

Baca juga: Alquran, Kalam Allah, dan Perkataan Nabi (Bagian I)

Wisnu Tanggap Prabowo
Wisnu Tanggap Prabowo
Dosen STEI Tazkia, Pengajar LBPP LIA Pajajaran, Trainer Pusdiklat Mahkamah Agung, dan Peneliti IHKAM
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...