BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPro Kontra Biaya dan Transportasi Sebagai Ukuran Mampu Berhaji

Pro Kontra Biaya dan Transportasi Sebagai Ukuran Mampu Berhaji

Masih berkaitan dengan rukun Islam yang kelima yaitu haji. Kali ini membahas tentang salah satu syarat berhaji, yakni ‘mampu’. Haji diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu melaksanakannya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Alquran surat Ali Imran ayat 97. Syarat ‘mampu’ di sini oleh beberapa ulama dimaksudkan dengan mampu membayar biaya dan transportasi berhaji. Namun pendapat tersebut dinilai beberapa ahli tafsir telah mengkerdilkan redaksi “mampu” dalam ayat tersebut. Lantas bagaimana ukuran mampu berhaji? Simak penjelasan mereka berikut ini.

Baca Juga: Kewajiban Berhaji itu Hanya Sekali Seumur Hidup

Apa ukuran ‘mampu’ dalam syarat berhaji

Berbeda dengan penyebutan tiga rukun Islam lainnya; salat, zakat dan puasa, ketika menyebutkan tentang haji, Alquran jelas menyatakan haji itu bagi “man istatha’a ilaih sabila” (orang yang mapun mengadakan perjalanan ke Baitullah). Sebagaimana tertulis dalam ayat berikut,

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا

(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam. (QS. Ali Imran [3] :97).

Adapun hadis yang bisa dikatakan sebagai penjelas terhadap ayat di atas adalah riwayat Ibn Umar yang ditulis oleh At-Tirmidzi dalam kitabnya, Sunan at-Tirmidzi.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يُوجِبُ الْحَجَّ قَالَ « الزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ »

Seorang lelaki datang kepada Nabi. Ia kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang membuat seseorang berkewajiban haji?” Nabi menjawab: “Keberadaan biaya dan transportasi” (HR. at-Tirmidzi)

Kandungan hadis di atas disampaikan oleh beberapa hadis yang memiliki redaksi yang berbeda-beda. Imam al-Tirmidzi sendiri menilai hadis di atas sebagai hadis hasan, meski ada salah satu rawinya yang dipermasalahkan oleh para ahli hadis (Sunan Tarmidzi/3/382).

Al-Qurtubi dalam tafsirnya menukil pendapat beberapa Imam madzhab dalam memahami hadis tentang haji di atas. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Imam Ahmad menyatakan bahwa keberadaan biaya dan transportasi menjadi syarat seseorang wajib melaksanakan haji. Apabila ada orang yang hanya memiliki biaya saja dan tidak mendapatkan transportasi, atau tidak memiliki biaya tapi dia bisa mendapatkannya dengan bekerja di tengah perjalanan menuju Makkah, maka dia tidak berkewajiban berhaji, hanya saja dia disunahakan melaksanakan haji dengan berjalan kaki.

Imam Malik menyatakan pendapat yang berbeda. Dalam kasus di atas, dia menyatakan bahwa orang tersebut sudah berkewajiban berhaji. Imam Malik juga menyatakan bahwa ukuran mampu atau tidaknya seseorang melaksanakan haji berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing orang. (Tafsir al-Jami li Ahkamil Qur’an/4/148-149).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pro Kontra Dasar Kewajiban Haji

Imam al-Razi menilai pendapat tentang poin biaya dan transportasi menjadi syarat seseorang berkewajiban melaksanakan haji itu bemasalah. Sebab apabila ada seseorang yang memiliki tubuh sehat dan dapat melaksanakan haji dengan cara berjalan, bukankah dia terhitung mampu melaksanakan haji meski tidak menemukan transportasi, terlebih jika rumahnya memang tidak jauh dari Makkah.

Oleh sebab itu, al-Razi menilai ukuran keberadaan biaya dan transportasi telah mengecilkan makna “mampu” yang disinggung dalam Ali Imran ayat 97, apalagi hadis yang digunakan untuk mensyaratkan kedua hal tersebut adalah hadis yang dinilai oleh banyak ulama sebagai hadis yang bermasalah dalam semua jalur periwayatannya (Tafsir Mafatihul Ghaib/4/316).

Meskipun demikian, tuduhan mengkerdilkan makna redaksi “mampu” dalam Ali Imran ayat 97 perlulah dikaji ulang. Sebab para ahli fikih sendiri tidak secara kaku memberlakukan keberadaan biaya dan transportasi dalam syarat seseorang berkewajiban berhaji. Imam al-Nawawi dari kalangan syafiiyah menyatakan, apabila seseorang memiliki biaya dan transportasi untuk berhaji, tapi tubuhnya sakit sehingga tidak mampu mengendarai transportasi yang dia miliki, maka dia terhitung tidak mampu berhaji. Sebab makna menemukan transportasi juga meniscayakan tubuh mampu memanfaatkan transportasi tersebut (al-Majmu’/7/63).

Sementara itu, Abu Bakar al-Jashshash menyatakan, biaya dan transportasi memang benar menjadi syarat seseorang berkewajiban melaksanakan haji. Namun seharusnya ukuran mampu atau tidaknya seseorang dalam melaksanakan haji tidak terbatas pada keduanya saja. Sebab orang yang sakit, lumpuh, dan takut dengan keselamatan dirinya saat diperjalanan, seharusnya terhitung tidak mampu melaksanakan haji meski menemukan biaya dan transportasi (Ahkamul Qur’an lil Jashshash/3/437).

Beberapa pendapat mufasir di atas telah memberi alternatif maksud dari syarat ‘mampu’ dalam haji. Kita boleh saja menggunakan pendapat-pendapat di atas. Satu lagi keadaan yang mungkin bisa menjadi alternatif ukuran mampu  berhaji, yaitu keadaan dunia yang kondusif. Hal ini mengingat dua tahun lalu, adanya pandemi Covid-19 yang telah menunda pelaksanaan ibadah haji, padahal biaya dan transportasi sudah jelas bisa dijangkau dan tersedia. Oleh karena demikian, sudah sangat jelas bahwa yang dimaksud ‘mampu’ dalam hal haji bukan tentang biaya dan transportasi saja. Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU