BerandaTafsir TematikPuasa sebagai Cerminan Rasa Syukur

Puasa sebagai Cerminan Rasa Syukur

Puasa dilaksanakan oleh seseorang dengan memanfaatkan potensi fisik dan psikis yang diberikan oleh Allah. Potensi fisik dilaksanakan dengan menahan makan, minum, dan aktivitas seksual di siang hari. Potensi psikis dijalani dengan komitmen sepenuh hati untuk menghindari batalnya puasa dan keadaan jiwa yang terjerumus pada perilaku yang mengurangi pahala puasa. Bibir secara fisik misalnya menahan makan dan minum, dan secara psikis menahan dari berbicara kasar, tidak senonoh, dan gibah. Pengarahan semua potensi pada perilaku baik menjadi tanda bersyukur, sebab bersyukur tidak hanya mengucapkan hamdalah. Bersyukur ditampilkan dengan memanfaatkan apa yang diberikan oleh-Nya pada sisi kebaikan dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari keburukan.

Baca juga: 3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

Hal ini senada dengan pernyataan Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa (1997). Syukur ditampilkan dengan lisan, hati, dan anggota badan. Sementara ucapan al-hamd (segala puji) hanya ada di lisan. Penampilan syukur minimal mengucapkan al-hamdu lillah yang diucapkan oleh lisan. Ketika ini diucapkan, lisan sudah dimanfaatkan pada kebaikan. Demikian pula al-Munawi dalam Mausu’ah Nadhrah al-Na’im (1997) menyebutkan tahapan syukur. Tahapan awal berasal dari ucapan segala puji kepada Allah. Tahapan selanjutnya memanfaatkan semua potensi yang diberikan dalam perilaku yang pantas dengan kebaikan.

Hubungan Puasa dengan Bersyukur

Informasi hubungan antara puasa dengan bersyukur salah satunya dapat ditemui pada ayat yang berhubungan dengan puasa Ramadan. Pada Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, al-Shabuni menampilkan bahwa ayat tentang tema puasa Ramadan diawali oleh QS. Albaqarah ayat 183 dan diakhiri dengan QS. Albaqarah ayat 187. Pernyataan syukur diwakili oleh kata la’allakum tasykuruna pada ayat 185.

Ayat 185 ini dimulai dengan pernyataan penurunan Alquran di bulan Ramadan dilanjutkan dengan penetapan awal bulan untuk puasa dengan persaksian orang melihat bulan.  Pernyataan lanjutannya adalah pernyataan orang sakit dan melakukan perjalanan untuk berbuka, dan penegasan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba bukan kesulitan, dengan adanya rukhsah. Pernyataan akhir ayat ini dikaitkan dengan penyempurnaan hitungan hari puasa Ramadan (wa li tukmilu al-‘iddah), bertakbir untuk membesarkan nama Allah karena telah mendapatkan petunjuk dari-Nya (wa litukabbiru Allah ‘ala ma hadakum), dan dorongan untuk bersyukur (wa la’allakum tasykuruna).

Tafsir Kemenag RI (2022), seiring dengan pernyataan untuk bersyukur, menyebutkan pada penutup ayat ini Allah menekankan agar bilangan puasa disempurnakan dan menyuruh bertakbir.  Pada penghujung ayat, Allah mendorong manusia untuk bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.

Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Syukur: Hiduplah dengan Bahagia!

Apabila diperhatikan, beberapa pernyataan ini memuat informasi yang menarik.

Pertama, puasa diatur oleh syariat melalui Alquran sebagai pedoman hidup. Melalui ayat dan pemahamannya, puasa Ramadan menjadi perintah yang wajib diikuti untuk mencapai ketakwaan. Alquran telah memberikan petunjuk dan penjelasan agar manusia dapat menjalani kehidupan dalam pengabdian untuk keselamatan hidup. Begitu pula, Alquran melalui penjelasannya menjadi pembeda antara hak dan batil.

 Kedua, terkait ayat puasa, yang dijelaskan bukan hanya kewajiban. Dalam rangkaian ayatnya, terdapat informasi mengenai hari-hari puasa, rukhsah puasa, penurunan Alquran dan beberapa hukum yang cukup rinci dalam berpuasa. Informasi ini menjadi pedoman bagi orang yang berpuasa sehingga dia dapat meraih kebaikan melalui ketakwaan. Tak hanya ketakwaan, raihan lain yang didorong adalah bersyukur dan mendapatkan petunjuk.

Ketiga, perilaku bersyukur dihubungkan pula dengan adanya beban kewajiban yang asalnya harus tetap dilaksanakan namun pada kondisi tertentu dapat diperingan. Keringanan ini menjadi bukti bahwa Allah sangat mengerti apa yang terjadi pada kondisi hamba. Apabila hamba tidak dapat melaksanakan pada waktunya, dia dapat menggantinya pada kesempatan lain di luar bulan Ramadan.

Allah tidak menyulitkan dalam pembebanan, bahkan memberikan kemudahan apalagi bagi kondisi khusus hamba, sebab Allah tidak memberikan beban kecuali sesuai dengan kemampuan manusia. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan (QS. Albaqarah 185), selaras dengan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuannya,” Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya” (QS Albaqarah 286).

Baca juga: Merayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan

Manusia dibebani ibadah kepada-Nya. Beban itu diatur sesuai kondisi mukalaf. Namun, Allah yang Maha Menciptakan memahami benar hamba-Nya. Sehingga, dalam menjalankan ibadah, kondisi kesanggupan menjadi batas kemampuannya.

Rukhsah menjadi kasih sayang Allah bagi tingkat kesanggupan manusia. Rukhsah bagi kesanggupan manusia akan melahirkan keyakinan bahwa Allah menyayangi hamba-Nya.

Keempat, pernyataan “dan supaya kalian bersyukur” berada pada ujung ayat QS. Albaqarah 185.  Redaksi ini berada dalam lingkup kalimat konjungsi (‘athaf) dengan kalimat sebelumnya, yaitu li tukmilu al-‘iddah dan wa li tukabbiru Allah ‘ala ma hadakum. Namun, apabila dimaknai lebih mendalam, boleh jadi kalimat ini menjadi tujuan dari rangkaian kalimat sebelumnya.

Puasa yang mencerminkan bersyukur diakhiri dengan Idulfitri sebagai penyempurna hari puasa. Penyempurnaan hari puasa kalau disadari menjadi bentuk bersyukur pada pengetahuan tentang bilangan hari yang ditetapkan. Metode untuk penetapannya, baik dengan rukyat maupun dengan hisab dapat dicerminkan pada bersyukur atas pengetahuan yang diberikan oleh-Nya, sebab kemampuan berfikir dan memahami khususnya dalam lingkup ilmu menjadi anugerah terbesar untuk manusia.

Perintah untuk bertakbir atau mengagungkan Allah karena diberikan petunjuk (li tukabbiru Allah ‘ala ma hadakum) juga ciri dari kesadaran bersyukur. Petunjuk itu sesuatu yang berharga. Dengan petunjuk, manusia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan arah kebaikan. Kesadaran untuk bertakbir kepada-Nya menjadi kepantasan bagi manusia. Kesadaran, pemahaman, dan pengucapan takbir boleh jadi mencerminkan perilaku bersyukur.

Wallahu a’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU