BerandaTafsir TematikTafsir IsyariPuasa Sebagai Pintu Menuju ‘Tajalli’

Puasa Sebagai Pintu Menuju ‘Tajalli’

Puasa sebagai pintu menuju tajalli penulis pahami dari apa yang Al-Ghazali (450-505 H./1057-1111 M.) tulis dalam pengantarnya terhadap bab puasa pada kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Penggunaan kata  ‘pintu’ dan ‘tajalli’ sendiri diambil dari dua sabda Rasulullah saw. berikut ini,

لِكُلِّ شَيْءٍ بَابٌ وَبَابُ الْعِبَادَةِ الصَّوْمُ

“Setiap segala sesuatu ada pintunya, dan pintu segala ibadah adalah puasa”

لَوْلَا أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِي آدَمَ لَنَظَرُوْا إِلَى مَلَكُوْتِ السَّموَاتِ

“Seandainya setan tidak mengitari hati anak Adam niscaya mereka akan dapat melihat kerajaan langit.”

Puasa sebagai pintu menuju tajalli dapat tercapai manakala ia telah berhasil memainkan peran pentingnya sebagai penunduk hawa nafsu (al-syahwah) lewat proses yang dikenal dengan istilah ju‘ (lapar). Ju‘ sendiri merupakan bentuk perlawanan atas pemenuhan hasrat akan makanan dan minuman (syahwah al-bathn), sesuai dengan sabda Rasulullah saw.,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِن ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالْجُوْعِ

“Sesungguhnya setan ‘mengalir’ dalam tubuh anah Adam mengikuti aliran darah, maka buatlah sempit alirannya dengan lapar (puasa).”

Baca Juga: Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

Memang dalam terminologi syariat, puasa tidak melulu menahan diri dari makan dan minum (syahwah al-bathn). Masih banyak perkara lain yang membatalkan (al-mufthirat) yang harus dihindari, seperti bersanggama (syahwah al-farj) dan lain sebagainya. Namun dari semua perkara tersebut, makanan dan minuman menjadi unsur yang paling dominan.

Mengapa demikian? Karena syahwah al-bathn, yang berkisar pada pemenuhan hasrat akan makanan dan minuman, merupakan induk dari segala bentuk syahwah. Darinya lalu muncul syahwah al-farj (hasrat seksual), syahwah al-mal (cinta dunia), dan syahwah al-jah (cinta kedudukan) secara berurutan. Begitu setidaknya penjelasan Al-Ghazali dalam Al-Arba‘in fi Ushul al-Din.

Selain itu, puasa sebagai pintu menuju tajalli juga terlihat dari penafsiran isyari yang dilakukan al-Ghazali terhadap beberapa ayat di bawah ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ [محمد: 7]

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [47:7]

Secara normatif, frasa nashr Allah dapat dipahami sebagai ‘menolong (agama) Allah’. Ini pula yang dipahami oleh misalnya Al-Baidlawi (w. 685 H./1092 M.) dan Al-Khazin (678-741 H.) dalam tafsirnya. Konsep ‘pertolongan’ tersebut umumnya dikaitkan dengan aktivitas jihad (al-qital) yang bertujuan menegakkan panji-panji Islam.

Namun menurut al-Ghazali, dalam konteks ibadah puasa, frasa tersebut menyimpan isyarat ibadah puasa seiring dengan sabda Rasulullah saw. sebelumnya yang memerintahkan membuat sempit aliran darah (baca: setan) dengan ju‘ atau lapar. Sehingga frasa nashr Allah lantas berarti menundukkan musuh Allah swt. dan mengurangi jerat tipu muslihatnya.

Jika nashr Allah ini dilakukan maka sebagai balasannya Allah pasti memberikan ‘pertolongan’-Nya. Dalam wujud apa pertolongan itu diberikan? Al-Ghazali menyebutnya sebagai inkisyaf jalal Allah atau dalam bahasa yang lebih populer disebut tajalli. Penafsiran isyari yang sama juga berlaku pada surah al-‘Ankabut [29] ayat 69 berikut ini,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا [العنكبوت: 69]

“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [29:69]

Bedanya, jika redaksi yang digunakan dalam ayat sebelumnya adalah nashr Allah maka dalam ayat ini menggunakan redaksi jihad dan hidayah. Selain itu, perbedaan lain juga terletak pada tafsir normatif dari ayat ini. Kata jihad secara normatif juga mencakup amal batin di samping amal lahir, sebagaimana dijelaskan al-Baidhawi.

Baca Juga: Menilik Isyarat Pahala Puasa dari Beberapa Ayat Alquran

Kemudian sebagai penutup, al-Ghazali menyitir firman Allah swt. surah ar-Ra‘d [13] ayat 11 dan mengingatkan bahwa inkisyaf jalal Allah atau tajalli hanya akan terjadi apabila ibadah puasa ditunaikan secara benar. Hal ini karena Allah swt. tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ [الرعد: 11]

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” [13:11]

Dalam konteks ibadah puasa, kata al-taghyir (mengubah) sebagaimana disebutkan dalam ayat, lebih menekankan sisi perubahan dalam diri seseorang karena kuatnya dorongan hawa nafsu (asy-syahwah). Sehingga alih-alih berproses menuju tajalli, ia justru terbelenggu dalam keraguan sehingga terhalang dari jalal Allah Swt. Wallahu a‘lam bi as-shawab

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...