Eksploitasi yang dilakukan secara destruktif terhadap sumber daya alam dan pengelolaan yang kura tepat akan berimplikasi pada terancamnya ekosistem bumi. Di sisi lainya, pembalakan pohon dan pembakaran hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan dan tindakan destruktif lainnya terhadap lingkungan turut memperparah keadaan. Sehingga, dampak dari ketidakseimbanganya ekosistem bumi, menyebabkan terganggungnya berbagai unsur kehidupan kehidupan.
Salah satu unsur yang paling terdampak adalah air di mana ketersediaan air bersih dan ketersediaan sumber mata air akan terganggu. Oleh sebab itu, bumi, yang dalam hal ini berfungsi sebagai reservoir air harus senantiasa difungsikan agar dapat menjamin ketersediaan air bagi kepentingan mahluk hidup yang ada di bumi
Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia, kata air didefinisikan sebagai sebuah cairan jernih, tidak berwarna yang secara kimiawi terkandung di dalamnya hydrogen dan oksigen serta menjadi unsur penting yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. Adapun dalam bahasa Arab, kata air disebutkan dengan kata ماء (ma’), dan disebut اموه (amwah) atau مياه (miyah) dalam bentuk jamaknya (Ibnu Mandzur, t.tp, 13: 543). Secara terminology, air adalah sumber material yang menjadikan kehidupan di bumi (Robert J., 2010: 1).
Baca Juga: Air: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya
Adapun dalam Alquran, kata ma’ disebutkan sebanyak 63 kali yang tersebar pada 41 surah. Banyaknya penyebutan air dalam Alquran ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan dan juga bermakna bahwa penyebutan air tersebut penting untuk dipahami dan diteliti secara intensif agar lebih memahami tentang esensi dan urgensinya, sementara bumi berfungsi sebagai tempat peyimpanan air. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang siklus air dan fungsi bumi sebagai reservoir ialah surah Almu’minun [23]: 18:
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّا عَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُونَ (18)
Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menyebutkan, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam pemaknaan al-sama’ pada ayat di atas. Mayoritas ulama, dengan melihat pada teks ayat, berpendapat bahwa pada esensinya turunnya air ialah dari langit, hal ini diperkuat dengan ayat 22 surah Aldzariyat yang artinya, “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (Q.S Aldzariyat [51]: 22). (al-Razi, 2000, Vol. 23: 78).
Sementara ulama tafsir lainnya berpendapat bahwa kata al-sama’ di atas bermakna “al-sahab” (awan). Hal ini mengartikan bahwa ada proses siklus hidrologi di mana air yang ada di dalam bumi menuju ke laut dan dari laut menguap ke langit ke langit. Sehingga, air yang ke atas tersebut menjadi jernih karena terjadi proses hidrologi. Dari sini kemudian air menjadi partikel-partikel es, lalu menjadi awan hitam di langit. Setelah itu, Allah swt turunkan hujan sesuai dengan kebutuhan.
Al-Razi juga menafsiri kata bi qadarin (dengan suatu ukuran) bahwa yang dimaksud dengan potongan ayat tersebut adalah menurunkan air dari langit yang tidak menimbulkan kemudharatan atau kerusakan dan sebaliknya, dapat memberikan kemanfaatan baik untuk pertanian, tanaman ataupun untuk minum. Sehingga, turunnya air tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan Askannahu fi al-Ardh (menetapkannya di bumi) yakni air tersebut menetap di bumi.
Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 29: Bumi untuk Kesejahteraan Hidup Manusia
Secara tegas, mufassir kontemporer, al-Sa’di, dalam tafsirnya Taysir al-Karim menyebutkan bahwa Allah swt turunkan air dari langit sebagai rezeki dan nikmat sesuai dengan kadar yang dapat mencukupi, tidak mengurangi yang nantinya dapat menjadikan bumi tandus dan pepohonan-pepohonan mati, tidak juga menambahi yang sekiranya bumi tidak bisa menampungnya, merusak tempat-tempat dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat hidup.
Al-Sa’di juga menafsiri ayat Askannahu fi al-ardh dengan Allah turunkan air di bumi, maka air tersebut bertempat dan menetap di bumi, sebagian air ada yang mengalir sesuai dengan kemampuan tempat turunnya sehingga ada yang tersalurkan untuk menumbuhkan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Sementara sebagian air tersebut ada yang tersimpan di dalam bumi sebagai reservoir air. (Al-Sa’di, 2000: 549)
Sehingga, turunnya air ini sesuai dengan ketentuan Allah swt untuk menurunkan dan bahkan tidak menurunkan air sama sekali. Sebagaimana ayat setelahnya dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. Menurut al-Maraghi, jika Allah swt berkehendak untuk tidak menurunkan hujan maka, Ia berkuasa atas hal tersebut. Demikian pula Allah berkuasa untuk memanglingkan hujan ke arah lain seperti tanah yang bergaram dan padang pasir. Sehingga, tidak ada yang dapat memanfaatkan air tersebut. Akan tetapi, dengan kelembutan dan kasih sayang-Nya, allah turunkan air yang tawar dan air tersebut menetap di dalam bumi dan sebagian lainnya mengalir dan keluar sebagai sumber mata air. (Al-Maraghi, 1946: 18)
Baca Juga: Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air
Sehingga, dari beberapa penafsiran yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa turunnya air dari langit mengikuti dan tunduk kepada qadar, yakni ketentuan Allah yang berlaku pada alam, yang disebut dengan hukum alam. Melalui panafsiran terhadap ayat di atas, bumi berfungsi sebagai reservoir air, yakni tempat untuk menyimpan air, dari sini kemudian sebagian air mengalir ke permukaan untuk menumbuhkan tanaman-tanaman dan untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup. Sementara sebagian lainnya menjadi cadangan di dalam bumi sebagai cadangan di musim kemarau. Demikian pula di musim hujan, air yang turun melimpah dari langit dapat tersimpan secara baik dalam reservoir air, sehingga tidak menimbulkan banjir.
Dalam proses siklus hidrologi, menyerapnya air dari langit ke tanah disebut dengan infiltrasi yakni air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Kemudian air bergerak karena aksi kapiler atau air bergerak secara vertikal dan horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut kembali memasuki sistem air permukaan. (A. Syarifuddin, 2017: 8)
Sehingga, dapat disimpulkan dalam ayat 18 surah Almu’minun di atas, memberikan sebuah pemahaman akan sumber daya air yang berbasis budaya positif dan konstruktif. Budaya ini perlu diaktualisasikan dengan memaknai hujan sebagai rahmat Allah dan perlu untuk disyukuri. Bersyukur di sini ialah dengan memanfaatkan air untuk kebaikan dan tidak mencemarinya. Sehingga, bisa jadi air yang tidak tertampung dan berakibat banjir adalah ulah manusia yang destrukti seperti pembalakan hutan, membuang sampai semarangan dan sebagainya yang dapat mencegah meresapnya air ke dalam tanah.