Setelah kita mengerti keselarasan Pancasila dengan Islam, penting untuk kita tahu bagaimana ragam bentuk keadilan sosial menurut pandangan Al-Quran. Apakah benar sudah termanifestasi pada semua aspek kehidupan masyarakat?
Sebelumnya memang telah disinggung tafsir tentang keadilan sosial. Yakni penafsiran Ibnu ‘Asyur atas kata al-‘adl yang meliputi dua dimensi (vertikal dan horizontal). Tetapi, perlu ditelusuri lebih lanjut, bagaimana Al-Quran menggambarkan keadilan sosial itu di berbagai aspeknya, agar kita lebih mantap bahwa nilai keadilan sosial selaras betul dengan Al-Quran.
Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 140: Up and Down, Dinamika Kehidupan Manusia
Aspek agama
Keadilan sosial pada aspek agama termanifestasikan dalam firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 256:
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Dalam at-Tafsir Al-Quranul Adzim, Ibnu Katsir menyantumkan salah satu riwayat yang berkenaan dengan turunnya ayat ini.
عن ابن عباس: قوله (لاإكراه في الدين) قال: نزلت في رجل من الأنصار من بني سالم بن عوف يقال له : الحصين، كان له ابنان نصرانيان وكان هو رجلا مسلما فقال للنبي صلى الله عليه وسلم: ألا أستكرههما فإنهما قد أبيا إلا النصرانية؟ فأنزل الله فيه ذلك.
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: firman Allah (la ikraha fiddin) Ibnu ‘Abbas berkata: ayat ini turun pada peristiwa seorang laki-laki dari kaum Anshar, klan Bani Salim bi ‘Auf, yang bernama: Al-Hushain. Ia memiliki dua anak laki-laki beragama Nasrasi. Sementara ia (al-Hushain) adalah seorang muslim. Lalu, Al-Hushain bertanya kepada Nabi SAW: “Saya sudah mencoba memaksanya untuk masuk Islam, tetapi mereka berdua menolak, dan lebih memilih Nasrani. Bagaimana menurutmu? Kemudian, turunlah ayat ini”
Ibnu Katsir mengarahkan ayat ini sebagai larangan memaksa orang untuk masuk agama Islam. Kerena kebenaran Islam sudah nyata, tidak perlu paksaan agar menganutnya. Justru, bila seseorang berislam atas dasar paksaan, akan membuat tindakannya itu sia-sia, karena ia menjali Islamnya dengan terpaksa.
Meski demikian, Islam bukan berarti menganggap semua agama itu sama, melainkan sekedar mengakui kenyataan bahwa agama itu beragam. Bu Sinta Nuriyah Wahid, dalam Perempuan dan Pluralisme menganalogikannya dengan bunga dan macam-macamnya. Agama ibarat bunga, ada banyak macamnya, tapi berbeda. Islam adalah agama yang mesti kita anut, tapi kita juga harus mengakui keberadaan agama lain. Ini penting menurut hemat penulis, untuk memupuk rasa toleransi sebagai salah satu wujud keadilan dalam hubungan keberangamaan.
Baca juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir
Ibnu ‘Asyur seperti yang disitir oleh Jasser ‘Auda dalam Maqashidus Shari’ah as Philosophy of Islamic Law, mendukung kebebasan beragama melalui fitur maqashidul hurriyyahnya. Ia merujuk surat al-Kahfi ayat 29, sebagai landasannya.
Aspek hukum
Keadilan dalam aspek hukum terlihat pada surat An-Nisa’ ayat 58:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, ayat ini, memuat perintah berlaku adil bagi al-umara’ (pemimpin/pemerintah) dan al-hukkam (penegak hukum). Tafsir Ibnu Katsir ini berdasarkan pendapat Zaid bin Aslam, Muhammad bin Ka’ab, dan Sahr bin Hawshab.
Aspek ekonomi
Dalam Al-Quran, terdapat beberapa bentuk keadilan pada aspek ekonomi, antara lain, ketentuan pencatatan utang-piutang yang adil. Hal ini tertera pada Surat Al-Baqarah ayat 282:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah ada seorang penulis di antara kamu yang menuliskannya dengan adil”
Ayat tersebut menunjukkan ketentuan penulisan tempo dan dan objek transaksi dengan adil dalam utang piutang.
Allah juga berfirman dalam surat As-Syu’ara’ ayat 182:
وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ
“Dan timbanglah suatu barang, bila kalian menimbangnya untuk orang lain, dengan timbangan yang lurus”
Al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalin menafsirkan lafadz al-mustaqim dengan al-mizan as-sawiy (timbangan yang lurus, sama, seimbang). Sementara, menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsirul Wajiznya, ayat tersebut dimaknai dengan perintah untuk menimbang dagangan dengan timbangan yang adil, sebagaimana yang berlaku di masyarakat luas.
Baca juga: Empat Mushaf Kuno Koleksi Museum Ronggowarsito, Bagamaina Bentuknya?
Konsep keadilan dalam ekonomi juga tampak dari bagaimana Islam mengatur kesejahteraan orang kaya dan miskin, yang tak lain adalah pensyariatan zakat dan infak. Banyak ayat berisi ketentuan zakat dan infak ini. Antara lain, Surat Al-Baqarah ayat 43 tentang perintah zakat, Surat at-Taubah ayat 60 tentang orang yang berhak menerima zakat, surat Al-Baqarah ayat 195 tentang perintah berinfak, dan masih banyak lagi.
Aspek Budaya
Keadilan dalam budaya tercermin pada surat Al-Hujurat ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”
Dalam Tafsir al-Baghawi, al-Baghawi menyebutkan hadis riwayat Ibnu ‘Abbas, bahwa ayat itu turun mengenai kejadian Tsabit bin Qais bin Syamas dan ucapannya kepada orang yang tidak memberikan tempat pada dirinya: “Anak si fulanah”
Nabi kemudian bertanya: “Siapa yang menyebut Fulanah?”
Tsabit menjawab, “Saya, wahai Rasulullah”
Nabi bersabda kepadanya, “Lihatlah wajah orang-orang itu”
Tsabit melihat (wajah mereka), lalu Rasulullah bertanya, “Apakah yang engkau lihat?”
Tsabit menjawab,”Aku melihat yang putih, hitam dan merah.”
Nabi bersabda,”Sesungguhnya engkau tidak dapat mengungguli mereka kecuali dengan ketakwaan”
Maka turunlah pada Tsabit ayat ini. Sementara pada orang yang tidak memberikan tempat kepadanya turun ayat ya ayyuhalladzina aamanu idza qila lakum tafassahu filmajalisi (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis) (QS. Al-Mujadalah ayat 11.
Memang ayat di atas tidak secara eksplisit membicarakan budaya. tetapi, dengan penyebutan syu’ub dan qaba’il, budaya masuk di dalamnya. Karena, budaya merupakan keniscayaan yang timbul dari bangsa, suku atau sekelompok apa pun. Sehingga, budaya pun beraneka macamnya. Dan sikap adil pada budaya dapat kita wujudkan dengan cara mau saling mengenal dan toleransi. Wallahu a’lam[]