BerandaTafsir TematikRagam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 tentang Status Jilbab

Ragam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 tentang Status Jilbab

Salah satu isu yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini adalah tentang penggunaan jilbab bagi perempuan. Beberapa mufassir berbeda pendapat tentang batasan penggunaan jilbab. Karena di dalam Alquran sendiri tidak menyebutkan secara rinci tentang batasan penggunaan jilbab. (Guindi, 2003).

Beberapa ulama memberikan tafsir dan pengertian yang beragam dalam menyikapi polemik tentang hukum memakai jilbab, wajib atau tidak. Sebagian ulama bersikap mendukung atas hukum wajib menggunakan jilbab bagi perempuan. Sebaliknya, terdapat pula ulama yang memberikan tafsir bahwa memakai jilbab bukanlah sesuatu yang wajib. Perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh ulama di antaranya dapat diketahui melalui tafsir  surah al-Ahzab ayat 59.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 57-60

Tafsir surah al-Ahzab ayat 59 tentang jilbab

Pada posisi ini, penulis akan membahas tentang perbedaan para ulama dalam menafsirkan surah al-Ahzab ayat 59.

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan perempuan Arab pada zaman itu yang buang air besar di padang sahara, karena pada waktu itu belum ada wc untuk buang air besar. Para perempuan mukmin seringkali di goda saat mereka melakukan hajat besar, karena pemuda-pemuda itu menyangka perempuan ini adalah budak (Sukri, 2002).

Saat perempuan mukmin teriak, para pemuda yang menggoda baru akan pergi karena mereka sadar bahwa yang digoda itu ternyata bukan hamba sahaya. Kejadian inilah yang meyebabkan turunnya ayat ini. Setelah ayat ini diturunkan, para perempuan merdeka menggunakan tutup kepala mereka dan pemuda yang mencari pendamping pun tidak mengganggu mereka lagi (Guindi, 2003).

Menurut al-Qurthubi kata jilbab memiliki makna pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Menurutnya, ayat ini memerintahkan seluruh perempuan baik perempuan merdeka maupun hamba sahaya untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian panjang, longgar, dan tidak mempertlihatkan lekuk tubuhnya. Karena tidak ada dalil yang mengkhususkan kewajiban menutup aurat hanya untuk perempuan merdeka saja (Qurthubi, 2006).

Al-Qurthubi juga mengutip pendapat Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith bahwa fitnah yang dirasakan oleh hamba sahaya lebih sering terjadi karena mereka lebih sering di luar rumah. Sedangkan perempuan merdeka kebanyakan waktunya dihabiskan di dalam rumah. Di sini menurut al-Qurthubi, ayat ini bermaksud agar mereka lebih mudah diketahui kesuciannya karena menutup aurat dan agar mereka tidak mudah diganggu oleh orang lain. (Qurthubi, 2006).

Baca Juga: 4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

Sedangkan tafsir al-Misbah memberi penekanan terkait mengapa ayat tersebut diturunkan. Menurut Quraish Shihab kata “jilbab” jika yang dimaksud adalah baju, maka ia menutupi tangan dan kakinya. Jika yang dimaksud kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau yang dimaksud pakaian menutupi baju, maka perintah mengulurkannya dengan membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.

Menurutnya, ayat ini tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena pada waktu itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Redaksi ayat ini menyatakan “jilbab mereka” dan yang diperintahkan adalah “hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum mengulurkannya (Shihab, 2005).

Dalam tafsir al-Munir Jilid 11 diterangkan bahwa Allah SWT memerintahkan para perempuan kaum mukminin ketika mereka pergi keluar rumah untuk suatu keperluan, agar menutupi wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab dan hanya satu mata saja yang ditampakkan. Menurut Hamka sebab-sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan kebiasaan wanita-wanita Arab ketika itu.

Jika hari mulai gelap mereka keluar untuk membuang kotoran di luar rumahnya (di tempat-tempat yang tersisih dari keramaian). Disebabkan ketika itu rumah orang-orang Arab belum mempunyai toilet di dalam rumah, maka dengan cara seperti itulah mereka membuang kotorannya. Pada kesempatan itu para lelaki nakal juga keluar bertujuan hendak mengganggu perempuan-perempuan tersebut (Zuhaili, 2013).

Sedangkan menurut Husein Muhammad dengan mengutip pendapat Ibn Sa‘ad dalam bukunya al-Tabaqat dari Abu Malik, sebagaimana perempuan lainnya, para istri Nabi saw pada malam hari juga keluar rumah untuk membuang hajatnya. Pada suatu ketika, ada kaum lelaki menggoda dan mengganggu mereka. Para istri Nabi itu kemudian mengadukan peristiwa tersebut kepada Nabi saw. Sesudah Nabi menegur mereka, kaum lelaki [penggoda] itu mengatakan: “kami kira mereka-mereka itu wanita hamba” (Muhammad, 2007).

Dalam mengkritisi tafsir di atas Muhammad Sa‘id al-Ashmawi (1995), mantan Hakim Agung Mesir, mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dengan perempuan lainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi aturan yang abadi. Lebih jelasnya ahli tafsir modern dan feminis Muslim menggunakan kaedah ushul fiqh bahwa hukum itu tergantung pada ada dan tidak adanyanya sebab-musabab yang menyertainya, jika sebab-musababnya tak ada maka hilanglah hukum itu atau sebaliknya.

Illat (sebab-musabab) atau dalam filsafat hukum Barat disebut effective cause (reason) adalah sesuatu yang mendasari dari penerapan suatu hukum. Illat (sebab-musabab) hukum yang disebut pada ayat itu adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dan hamba sahaya, serta supaya mereka tidak diganggu. Berdasarkan kaedah itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban berjilbab menurut ayat itu bersifat kondisional, bukan kewajiban mutlak.

Nashruddin Baidan (2011) menyatakan bahwa perintah berjilbab dalam ayat itu tampak tidak tegas dan mutlak, melainkan tergantung pada keadaan tertentu. Kaum perempuan diminta untuk memakai jilbab manakala mereka diganggu oleh orang-orang nakal yang selalu mengincar wanita-wanita yang tidak memakai jilbab. Hal ini sesuai dengan peristiwa ketika ayat itu turun. (Baidan, 1999)

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Dalam peristiwa sebagaimana yang dijelaskan di depan, nampak jelas bahwa ayat ini turun bukan khusus berkenaan dengan konteks menutup aurat perempuan saja, tetapi lebih dari itu, yakni agar mereka tidak diganggu oleh lelaki nakal. Nashruddin Baidan mencontohkan, apabila di suatu masa atau pada suatu tempat dimana orang melihat perempuan berpakaian mini (seksi) dapat membangkitkan nafsu seks lelaki yang melihatnya bahkan mendorongnya untuk mengganggu perempuan tersebut (di Arab Saudi contohnya).

Dalam keadaan seperti inilah (yang dimaksudkan Alquran), perempuan tersebut dikehendaki berpakaian sebagaimana budaya lokal tersebut supaya tidak diganggu dan dapat berjalan bebas. Hal tersebut merupakan pilihan alternatif dengan anjuran supaya perempuan tersebut mengadaptasi pakaian budaya lokal di mana mereka berada, demi keamanan perempuan tersebut.

Bayangkan seandainya di Arab Saudi ada wanita yang berani berpakaian tanpa jilbab dan seksi, apa yang akan terjadi? Ini karena budaya Arab Saudi berbeda dengan budaya negara- negara Islam lainnya, yang tidak menjadikan jilbab menjadi pakaian wajib di negaranya. Jadi, menurut  pendapat  kaum  feminis  Muslim,  jilbab  maupun  hijab di  sini  lebih merupakan keharusan budaya masyarakat tertentu daripada perintah agama.

Oleh itu, tidak mengherankan apabila dijumpai fenomena sebaliknya. Musdah Mulia (2010) menuturkan pengalamannya ketika berada dalam suatu pesawat dengan perempuan-perempuan Madinah yang memakai cadar dalam perjalanan dari Madinah ke Kairo. Sangat mengagetkan, ketika mereka sampai di bandara Mesir, mereka melepas cadarnya dan berpakaian ala wanita Eropa. Ketika ditanya, mereka menjawab bahwa hal yang mereka pakai tadi adalah pakaian adat mereka. Kata mereka, jika memakai pakaian adat di luar negeri akan lebih mengundang perhatian daripada kesopanan dan kesederhanaan (Juneman, 2010).

Pandangan di atas jelas berbeda dengan banyak ulama, termasuk ada bantahan dari Muhammad Sayyid Tantawi, mufti Mesir, menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh al-Asymawi merupakan interpretasi yang jauh dari kebenaran.

Karena ayat ini jelas meminta Nabi Muhammad SAW agar memerintahkan istri-istrinya, anak-anak perempuannya, dan perempuan-perempuan mukminah agar senantiasa memperhatikan kesopanan, ketertutupan dan rasa malu dalam segala keadaan mereka. Demikian juga tentang illat (sebab-musabab) yang disebutkan di atas sama sekali tidak diakui oleh mantan mufti Mesir tersebut, tetapi sebagai hikmah (Dawam, 2007).

Baca Juga: Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam

Memang para pakar hukum Islam membedakan antara kedua istilah tersebut. Seandainya benar jika ayat itu hanya merupakan respons terhadap kasus tertentu yang terjadi pada masa Nabi. Maka, istilah jilbab yang disebutkan dalam Alquran itu boleh jadi hanya sebagai “penyebutan” model pakaian gaya Arab, bukan menunjuk sebagai ketentuan syara’ tentang satu-satunya mode pakaian yang wajib dipakai perempuan Muslimah di belahan dunia mana saja.

Dengan kata lain, boleh jadi jilbab merupakan antara satu fashion pakaian perempuan dalam Islam. Atas dasar ini pula, maka perbedaan istilah dan mode sudah lumrah terjadi di hampir seluruh negara  di dunia ini.  Jadi, mesti dibedakan jilbab yang dimaksudkan di sini adalah jilbab sebagai budaya Arab dan bukan persoalan ketentuan pakaian wajib penutup aurat perempuan (Thoyibi, 2009).

Karena itulah dianggap tidak menjadi suatu kewajiban untuk memakainya bagi masyarakat lain. Dengan demikian, masih ada banyak model pakaian lain berikut istilahnya yang tentunya di tempat dan tradisi yang berlainan juga boleh diterima sebagai penutup aurat jika memiliki spesifikasi seperti yang dikehendaki Alquran sebagaimana jilbab. Wallah a’lam

Ilya Syafaatun Nimah
Ilya Syafaatun Nimah
Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta program Pendidikan Kader Ulama Perempuan.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....