Rasm ‘Utsmaniy antara Harus Dipertahankan atau Disesuaikan

Rasm ‘Utsmaniy antara Harus Dipertahankan atau Disesuaikan
Mushaf Alquran

Zainal Arifin Madzkur dalam Legalisasi Rasm ‘Uthmani dalam Penulisan al-Qur’an memberikan ulasan yang cukup mengejutkan bagi pegiat kajian rasm ‘utsmaniy. Pasalnya, perdebatan hakikat rasm yang sering kali berkutat pada dua poros besar; tauqifiy dan ijtihadiy, digugat langsung dari akarnya. Zainal menyebutkan, tauqifiy-ijtihadiy rasm adalah perdebatan baru yang muncul belakangan.

Ulasan Zainal sendiri sejatinya lebih mengarah pada penelusuran tendensi sanad pendapat yang menyebutkan ke-tauqifiy-an rasm. Yakni dengan melacak kemungkinan liqa’ (pertemuan) tokoh-tokoh sentral yang dianggap sebagai muara pendapat ini.

Nah, penulis menganggap ada siluet kecil yang tampaknya luput dari ulasan Zainal ini, yang seandainya ditampilkan akan memberikan gambaran permasalahan yang lebih sempurna. Dalam tulisan kali ini, penulis hendak mengulas latar belakang munculnya perdebatan tauqifiy-ijtihadiy dalam rasm.

Fase Perkembangan Penulisan Arab

Apa yang dikatakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya bahwa para sahabat dalam menuliskan Alquran kala itu dengan tulisan yang mereka tahu dan kenal agaknya benar adanya. Ganim Qaddury al-Hamd dalam disertasinya tentang kajian linguistik-historis terhadap rasm ‘utsmaniy (Dirasah Lugawiyyah Tarikhiyyah), menjelaskan bahwa fase perkembangan penulisan bahasa Arab memang dimulai dari script rasm ‘utsmaniy ini.

Pada waktu itu, tulisan model rasm ini tak hanya dipakai dalam penulisan Alquran saja, bahkan termasuk dalam tulisan administratif lainnya. Sebagaimana diketahui, tulisan model ini tidak mengedepankan aspek waqafibtida’ (berhenti dan memulai kalimat) sebagaimana tulisan Arab konvensional yang kita kenal. Pun demikian, tidak dilengkapi dengan sistem penandaan atau naqth. Sebab, sistem naqth baru dikenal pada fase berikutnya di era khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwan.

Baca juga: Mengenal Kembali Elemen Mushaf Alquran: Rasm

Menurut Al-Hamd, penulisan konvensional muncul atas prakarsa sekelompok ulama yang dia sebut dengan ‘ulama al-mishriyyin. Penulis sendiri menduga istilah ini dimaksudkan untuk menyebut ulama Kufah dan Bashrah. Hal ini dikarenakan metode yang dipakai dalam perumusan penulisan Arab konvensional adalah kias ilmu nahu dan sharaf yang keduanya menjadi simbol kepakaran ulama Kufah dan Bashrah.

Selain itu, merujuk pada informasi yang diberikan oleh Philip K. Hitti dalam The History of Arabs, perkembangan penulisan Arab konvensional ini tak lain merupakan buah politik arabisasi yang dikembangkan oleh khalifah ‘Abd al-Malik bin Marwan yang kala itu memerintah. Sebuah kebijakan politik yang semula dicanangkan untuk mempersatukan seluruh elemen masyarakat melalui sebuah ikatan kebahasaan. Kufah dan Bashrah lah yang memberikan kontribusi terbesar dengan pusat pengkajian kebahasaan kala itu.

Namun demikian, perkembangan penulisan Arab kovensional ini tidak memberi dampak yang berarti bagi penulisan Alquran. Karena para penyalin Alquran tetap mempertahankan rasm ‘utsmaniy sebagai model acuan penulisan. Hingga muncul lah dualisme penulisan Arab.

Rangkaian sejarah ini lah yang menjelaskan mengapa ulama sekaliber Malik bin Anas (w. 179 H.) sempat mendapat pertanyaan mengenai kebolehan penulisan Alquran dengan rasm konvensional (ijtihadiy atau ishthilahiy),

هَلْ يُكْتَبُ الْمُصْحَفُ عَلَى مَا أَحْدَثَهُ النَّاسُ مِنَ الْهِجَاءِ؟ فَقَالَ لَا إِلَّا عَلَى الْكِتْبَةِ الْأُوْلَى

Apakah (diperbolehkan) menulis mushaf dengan menggunakan model penulisan yang (baru) diciptakan orang-orang? Tidak, kecuali mengacu model penulisan yang pertama.

Munculnya Mazhab Tauqifiy

Dualisme penulisan ini agaknya menciptakan masalah yang cukup runcing. Di satu sisi rasm ‘utsmaniy sebagai tulisan yang lebih awal muncul dinilai tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang belakangan muncul dan berkembang secara masif. Di sisi lain, meski “tidak sesuai kaidah”, ia tetap dijadikan sebagai model tulisan Alquran.

Muncul lah kemudian asumsi-asumsi yang memperkuat “kebenaran” penggunaan rasm ‘utsmaniy sebagai model penulisan Alquran, yang pada gilirannya nanti menjadi sebuah dasar legitimasi baru. Bahwa rasm ‘utsmaniy merupakan produk tauqifiy. Padahal menurut Al-Hamd, asumsi ini sejatinya bermula dari adanya kegagalan menemukan meaning dari penetapan rasm ‘utsmaniy itu sendiri.

Nah, baru lah nama-nama semacam ‘Abd al-‘Aziz al-Dabbag (1090-1132 H.) dan Ahmad bin al-Mubarak (1090-1155 H.) ini muncul sebagai tokoh pionir yang menyuarakan mazhab tauqifiy dalam rasm ‘utsmaniy. Yang kemudian populer masuk dalam setiap kajian mengenai tauqifiy, termasuk yang dinukil oleh Al-Farmawy dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuh.

Di antara alasan yang cukup kuat dalam klaim mazhab tauqifiy ini adalah sirr (rahasia) dari model penulisan rasm ‘utsmaniy yang tidak dapat diketahui oleh siapa pun kecuali syari’, Allah, dan rasul-Nya. Bahkan para sahabat yang menuliskannya sekali pun tidak akan mengetahui rahasia di balik perbedaan tulisan yang ada.

Kesimpulan

Dari sini kemudian diketahui bahwa tauqifiyijtihadiy dalam rasm ‘utsmaniy merupakan perdebatan yang muncul belakangan, setelah munculnya pembakuan penulisan Arab dari kebijakan politik di era ‘Abd al-Malik bin Marwan. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i