Jalan merupakan salah satu sarana kehidupan yang memiliki urgensi tinggi bagi eksistensi manusia. Bagaimana tidak, jalan sebagai media transportasi sangat berperan terhadap mobilitas masyarakat maupun barang dan lainnya. Oleh karena itu, sebagai makhluk sosial yang hidup dan bergerak manusia mesti sering menggunakan jalan untuk melaksanakan segala aktivitasnya.
Namanya kehidupan sosial, tentu seorang manusia akan bersinggungan dengan manusia lainnya di jalan. Problematika muncul ketika semua (banyak) orang menggunakan dan memanfaatkan jalan untuk melangsungkan pelbagai misi kehidupannya. Ada masalah kemacetan karena banyaknya orang pada waktu dan bagian tertentu dari jalan, pun ada masalah karena beragam perilaku manusia dalam menggunakan jalan.
Dampak dari berbagai permasalahan di jalan sangat beragam, mulai dari yang sederhana hingga kompleks dan berbahaya. Misalkan saja, emosi karena kemacetan atau perilaku pejalan lainnya hingga menimbulkan perkelahian, dan atau kecelakaan lalu lintas yang seringkali menyebabkan korban jiwa. Kejadian (accident) tersebut tentunya tidak tiba-tiba terjadi, melainkan di sana selalu ada campur tangan manusia karena perilakunya yang tidak menaati aturan lalu lintas ataupun etika sosial berlalu lintas.
Belajar dari Semut dan Pasukan Sulaiman a.s.
Melihat begitu kompleksnya problem jalan raya, Islam sebagai jalan hidup (way of life) manusia tentu memiliki solusinya. Melalui Alquran, Islam sebetulnya banyak menjelaskan bagaimana manusia seharusnya memiliki kepekaan terhadap kondisinya dan kondisi manusia lainnya di jalan, sehingga manusia dapat membangun kontrol diri (self control) yang kemudian memantik lahirnya kesadaran dan etika berlalu lintas.
Meskipun tidak termaktub secara langsung, pesan Islam mengenai etika berkendara dan berlalu lintas bagi manusia banyak disinggung dalam Alquran. Misal saja dalam konteks ini, kita dapat merenungkan firman Allah dalam Q.S. Annaml [27] ayat 17-18 yang berbunyi:
وَحُشِرَ لِسُلَيْمٰنَ جُنُوْدُهٗ مِنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوْزَعُوْنَ ١٧ حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ١٨
“[17] Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib. [18] Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”.”
Ayat 17 ini menurut al-Zuhaili mengisahkan tentang Nabi Sulaiman a.s. yang sedang berjalan beriringan dan membentuk barisan bersama pasukannya (junud) yang terdiri dari manusia, jin, dan burung. Mereka semua berjalan dengan tertib dan disiplin sesuai komando dari komandan di setiap pasukannya. Kedisiplinan ini menurut Ibnu Katsir terbentuk karena ketaatannya terhadap komando atau pengendalian (al-waz’u) dari seorang komandan.
Kemudian di ayat selanjutnya [18], al-Zuhaili menjelaskan bahwa Alquran mengisahkan bagaimana perjalanan pasukan tersebut kemudian sampai pada lembah (kerajaan) semut di daerah Syam. Lalu saat itu komunikasi terjadi antara Sulaiman a.s. dengan ratu semut sehingga membuat sang ratu memerintahkan semut-semut yang lainnya untuk menghindar agar tidak terinjak-injak oleh pasukan Sulaiman a.s.
Dalam konteks ini, Quraish Shihab menambahkan bahwa sesungguhnya pasukan semut tersebut pada dasarnya rela dan tidak menyalahkan pasukan Sulaiman a.s. seandainya mereka terinjak-injak. Pemahaman ini terindikasi dari diksi “laa yasy’urun” yang bermakna bahwa sesungguhnya para pasukan Sulaiman a.s. tersebut tidak menyadari keberadaan mereka (semut).
Baca juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut
Taat dan Saling Menghormati
Kedua ayat tersebut secara implisit bercerita mengenai peristiwa lalu lintas. Alquran memberikan pesan hikmah betapa perjalanan lalu lintas pasukan Sulaiman a.s. dilakukan dengan lancar dan tertib. Ayat tersebut menjelaskan tentang aturan dan etika lalu lintas yang harus dicontoh oleh manusia. Adapun di antara hikmah yang dapat dieksplorasi dari ayat tersebut adalah;
Pertama, menaati aturan. Setiap pengguna jalan harus senantiasa berjalan dengan tertib dan teratur sehingga terciptanya kondusifitas di jalanan. Setidaknya ada dua istilah dari ayat di atas yang terkait dengan konteks persoalan ini, yakni husyira dan yuza’un.
Hal ini sebagaimana menurut Quraish Shihab bahwa kata husyira bermakna sebagai perintah tegas sehingga semuanya menaati, begitu pun kata yuza’un yang mengesankan adanya petugas atau komandan yang mengatur sehingga menghalangi ketidaktertiban.
Hikmah pertama ini sebetulnya sangat fundamental bagi para pejalan. Andaikata aturan pemangku kebijakan jalan (polantas) ditaati oleh setiap pengguna jalan, maka segala macam disharmonisasi sosial, disfungsi, hingga ketidakaturan dalam berlalu lintas dapat dihindari.
Sebut saja perihal kecelakaan, kita sebagai pengguna jalan sebaiknya mengerti dan menaati bagaimana aturan kecepatan kemudi, aturan nyalip, dan sebagainya. Jika demikian tertib dan teratur, niscaya kecelakaan dapat diminimalisir.
Kedua, saling menghormati. Sudah barang tentu, antara seorang pengguna jalan dengan pengguna lainnya berada dalam lingkup sosial yang menghendaki sikap saling menghormati. Dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana Nabi Sulaiman a.s. dan pasukannya menghormati eksistensi sekumpulan semut. Begitupun sebaliknya. Sekumpulan semut begitu menghormati para pejalan bahkan hingga berkata “laa yasy’urun” yang bermakna mereka tidak menyalahkan orang lain yang dengan tidak sengaja menginjak mereka.
Ejawantah sikap saling menghormati di jalan ini sebetulnya beragam. Misal saja bersikap rendah hati dengan tidak ngebut-ngebutan, saling menolong seperti menyibakkan ranjau di jalanan yang dapat berpotensi kecelakaan, tidak menjadi penyebab gangguan seperti membuang sampah atau abu rokok di jalan, dan tidak membunyikan klakson secara berlebihan, juga hal-hal sejenisnya.
Nabi Sulaiman a.s., pasukannya, juga sekumpulan semut telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya beretika di jalan raya. Oleh karena itu, seyogianya kita dapat senantiasa mengilhami dan mengamalkan pesan Alquran tersebut sehingga segala ketertiban, keamanan, dan kenyamanan di perjalanan dapat dirasakan secara kolektif. Wallahu a’lam.
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial