Di tengah gelombang digitalisasi global, hampir seluruh aktivitas manusia termasuk dalam beragama mengalami transformasi signifikan. Alquran kini dapat diakses dengan cepat melalui berbagai platform digital, mulai dari aplikasi hingga teknologi pencarian suara. Namun, tradisi menghafal Alquran (tahfiz) tidak hanya tetap eksis, tetapi justru mengalami peningkatan, terutama di kalangan generasi muda dan santri. Meskipun hanya 0,01% penduduk Indonesia yang menjadi penghafal Alquran (sekitar 28.444 orang), jumlah tersebut menunjukkan ketertarikan yang tetap kuat di tengah era digital.
Pernyataan kontroversial dari figur publik seperti Kumaila, yang menyebut bahwa menghafal Alquran tidak memiliki manfaat jika tidak disertai pemahaman, turut memancing perdebatan. Pernyataan ini perlu dikaji secara ilmiah dan kontekstual. Menghafal Alquran tidak hanya sekadar aktivitas memori, tetapi juga merupakan proses internalisasi spiritual, edukatif, dan bahkan psikologis.
Menghafal sebagai Bentuk Penjagaan dan Pendalaman Wahyu
Akses digital yang cepat tidak menjamin keterhubungan emosional dan spiritual dengan wahyu Ilahi. Alquran secara eksplisit menyatakan kemudahan bagi manusia untuk menghafalnya, seperti dalam Q.S. al-Qamar [54]: 17:
“Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Alquran sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
Baca juga: Menghafal Alquran di Somalia: Semangat, Sejarah dan Metodenya
Menurut al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, makna “zikir” (yang diterjemahkan sebagai pelajaran) dalam ayat tersebut bukan hanya sekadar hafalan literal, tetapi juga mencakup pemahaman dan penghayatan. Sementara itu, Ibn Katsir menegaskan bahwa penjagaan Alquran oleh Allah Swt, sebagaimana disebut dalam Q.S. al-Hijr [15]: 9, dilakukan melalui dua jalur: tertulis dan dihafal dalam dada para hafiz. Maka dari itu, menghafal Alquran adalah bagian integral dari sistem ilahiah dalam menjaga kemurnian wahyu.
Nilai Psikologis dan Spiritual Hafalan
Tahfiz Alquran bukan hanya mendekatkan seseorang kepada Tuhan, tetapi juga membentuk struktur mental dan emosional yang sehat. Penelitian Ainur Rofiq dan Niken Ayu Khoirinnada (2024) menunjukkan bahwa ada korelasi signifikan antara kegiatan menghafal Alquran dengan peningkatan kecerdasan emosional pada siswa madrasah. Para penghafal menunjukkan kestabilan emosi, empati, dan kemampuan mengelola stres yang lebih baik dibandingkan siswa nonpenghafal.
Studi lain oleh Yusron Masduki (2018) juga menyatakan bahwa hafalan Alquran berfungsi sebagai terapi spiritual. Ia mampu mengatasi kecemasan, memberikan ketenangan jiwa, serta meningkatkan motivasi belajar dan kedisiplinan. Dalam budaya digital yang penuh distraksi, hafalan menjadi ruang kontemplatif yang mampu menenangkan pikiran dan mengarahkan kembali pada nilai-nilai spiritual yang stabil.
Kritik terhadap Hafalan Tanpa Pemahaman
Memang tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian penghafal hanya fokus pada hafalan tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Kritik seperti ini, sebagaimana diutarakan Kumaila, perlu dipahami bukan sebagai penolakan atas hafalan itu sendiri, melainkan sebagai tantangan dalam metodologi pembinaan.
Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 121 yang menyebut yatluunahu haqqo tilaawatihi berarti membaca dengan tajwid yang benar, menghafal, dan mengamalkan. Ini menunjukkan bahwa hafalan adalah tahap awal yang membuka jalan menuju pemahaman dan pengamalan. Bahkan, al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut hafalan sebagai pondasi awal untuk menjaga ilmu dan membentuk hati yang hidup. Maka, kelalaian dalam pemahaman bukan berarti hafalan tidak berguna, melainkan pembinaan yang perlu ditingkatkan.
Baca juga: Hafalan Alquran dan Kesalehan Penghafalnya
Secara pedagogis, tahfiz dapat dikaitkan dengan teori konstruktivisme ala Bruner (1960), yang menyebut bahwa pembelajaran terjadi secara bertahap, dari hafalan menuju pemahaman dan aplikasi. Proses ini membutuhkan waktu dan sistem pembinaan yang tepat agar dapat membentuk generasi Qur’ani yang tidak hanya cakap menghafal, tetapi juga memahami dan mengamalkan isi Alquran.
Kesimpulan
Menghafal Alquran di era digital tidak hanya relevan, tetapi juga semakin penting. Ia berfungsi sebagai jembatan spiritual antara manusia dan Tuhan, sebagai bentuk penjagaan wahyu, serta sebagai terapi psikologis yang efektif di tengah tekanan informasi dan distraksi digital. Kritik terhadap hafalan yang tidak disertai pemahaman hendaknya diarahkan pada peningkatan metode pendidikan, bukan pada penghapusan tradisi tahfiz itu sendiri.
Sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama klasik dan kontemporer, menghafal adalah langkah awal dari perjalanan panjang untuk memahami, mengamalkan, dan menyebarkan nilai-nilai Qur’ani. Era digital membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, sabar, dan memiliki kedalaman spiritual dan semua itu bisa dibentuk melalui proses menghafal Alquran yang dilakukan dengan niat ikhlas dan pembinaan yang berkesinambungan.