BerandaUlumul QuranKolom PakarRobert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi...

Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Tom Hare adalah seorang professor Regional Studies, pada jurusan Perbandingan Sastra di Universitas Princeton. Ia adalah salah satu kontributor buku A Companion to Translation Studies (2014), yang diedit oleh Sandra Bermann dan Catherine Porter. Dalam buku tersebut, Tom Hare menulis artikel berjudul Translation and The Sacred: Translating Scripture.  Ada pernyataan menarik dari Tom Hare dalam artikel itu, ketika ia menjelaskan dinamika penerjemahan al-Quran dalam Islam. Begini ia menuliskan:

Salman al-Farsi, companion of the Prophet, for example, made a Persian translation which was the basis for Turkish translations, and a late tenth-century Persian translation of Arabic commentary on the book became an important milestone not only in qur’ānic translation, but also in qur’ānic scholarship in general.

(Salman al-Farisi, sahabat Nabi Muhammmad Saw., misalnya, membuat terjemah al-Quran bahasa Persia yang menjadi basis terjemah al-Quran bahasa Turki, dan sebuah terjemah al-Quran ke bahasa Persia pada akhir abad ke-10 menjadi milestone penting, tidak hanya bagi terjemah al-Quran tetapi juga bagi kesarjanaan al-Quran secara umum).

A Companion to Translation Studies
Cover Buku A Companion to Translation Studies

Tom Hare tampaknya hendak menyatakan bahwa peristiwa Salman Al-Farisi (w. 35 H/654 M) yang menerjemahkan surat al-Fatihah ke dalam bahasa Persia menjadi tonggak penting bagi perkembangan penerjemahan al-Quran secara khusus dan perkembangan kesarjanaan al-Quran pada umumnya. Ini artinya, bila peristiwa Salman Al-Farisi tidak ada, mungkin perkembangan penerjemahan dan kajian al-Quran tidak sesemarak sekarang ini. Perdebatan penerjemahan al-Quran yang terjadi di Mesir dan Turki juga tidak sepanas yang diinfokan dalam literatur sejarah penerjemahan al-Quran.  


Baca Juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya


Travis Zadeh dalam Vernacular Qur’an: Translation and the Rise of Persian Exegesis (2012) dengan percaya diri menunjukkan bahwa tradisi vernakularisasi (pembahasa-lokalan) al-Quran sudah ada sejak awal periode Islam, yakni dengan merujuk peristiwa Salman al-Farisi yang menerjemahkan al-Fatihah ke dalam bahasa Persia. Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Turki pada awal abad ke-20 juga memantik diskusi panjang tentang penerjemahan al-Quran di Mesir dan juga merembet ke sejumlah negara lain seperti Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan perkembangan penerjemahan al-Quran di Barat (baca: Eropa)?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya teringat dengan artikel Muhammad Fani dengan judul Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan al-Quran dalam bahasa Latin di portal tafsiralquran.id. Muhammad Fani menulis begini:

Di antara kajian ilmiah tentang Al-Quran ialah penerjemahan Al-Quran dalam bahasa Latin yang dipimpin oleh Robbert of Ketton, yang selesai pada tahun 1143 M. Terjemahan Al-Quran tersebut tidak memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan kajian Islam di Eropa. Sebab, Robbert ketika menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin tidak merujuk kepada mufasir ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.

Saya kaget dengan tulisan tersebut, terutama pada pernyataan “Terjemahan Al-Quran (baca:karya Robert of Ketton) tersebut tidak memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan kajian Islam di Eropa.”

Baiklah. Seandainya kesimpulan itu benar, artikel Fani terkesan tergesa-gesa dan tidak menyuguhkan bukti yang cukup untuk menopang kesimpulannya. Melalui tulisan ini, saya akan menunjukkan bagaimana para sarjana melihat Robert of Ketton dan karya terjemah al-Qurannya dan dengan begitu akan terjawab apakah Robert of Ketton berkontribusi pada perkembangan kajian Islam, khususnya penerjemahan al-Quran, atau tidak.

Jika membaca literatur-literatur tentang penerjemahan al-Quran, tampaknya tak terbantahkan lagi bahwa terjemah al-Quran pertama kali ke dalam bahasa Eropa adalah terjemah karya Robert of Ketton, yakni terjemah al-Quran ke dalam bahasa Latin. Judul terjemah al-Quran tersebut  adalah Lex Mahumet pseudoprophete que Arabica Alchoran id est Collectio praeceptorum uocatur. Biasanya hanya disingkat dengan Lex Mahumet.

Hampir seluruh sarjana, baik Barat maupun Timur mengakui hal ini, sebut saja misalnya: Ziad Elmarsafy dalam The Enlightement of the Qur’an: the politics of translation and the construction of Islam (2009); Tarvis Zadeh dalam Vernacular Qur’an; Muhammad Salih al-Bundaq dalam al-Musytasyriqun wa Tarjamatul Qur’an (1983); M. Brett Wilson dalam Translating the Qur’an in an Age of Nationalisme: Print Culture and Modern Islam in Turkey (2006); artikel Afnan H. Fatani berjudul Translation and The Qur’an dalam The Qur’an: an encyclopedia (2006); dan artikel Hassan Musthapa dengan judul Qur’an (Koran) translation dalam Routledge Encyclopedia of Translation Studies (1998).

Siapa sebenarnya Robert of Ketton? Tidak banyak yang tahu tentang identitas detail Robert of Ketton. Ia lahir di daerah Ketton, Rutland, Inggris, diperkirakan pada tahun 1141-1157. Tanggal dan tempat ia meninggal juga tidak diketahui. Para sarjana menggunakan beberapa nama untuk merujuk namanya, yakni Robert of Chester, Robertus Ketensis atau Ketenensis atau Ketinensis atau Kettonsis, Robertus Retinensis atau Retenensis, Robertus Anglicus, Robertus Castrensis atau Cestrensis, Robertus Anatensis atau Astrensis atau Astenensis atau Ostiensis (baca: Jurnal Christian-Muslim Relations, Vol. 3, 01 Januari 2011).  Tidak ada informasi tentang masa-masa muda Robert hingga sekitar tahun 1130-an ketika dia melakukan perjalanan ke Iberia untuk mencari pengetahuan. Di Iberia, ia belajar bahasa Arab dan mulai menerjemahkan teks-teks saintifik termasuk kitab Justicia-nya al-Kindi.

Terjemahan Latin Karya Robert of Ketton
Foto Terjemahan Latin Karya Robert of Ketton

Apa kata para sarjana tentang Robert of Ketton? Katarzyna K.Starczewska dalam Leo Africanus’ Contribution to a Latin Translation of the Qur’an: a Case Study of Intellectual Activity after conversion (2018), menyatakan paling tidak dalam lima abad terakhir ini, al-Quran telah diterjemahkan ke bahasa Latin Sembilan kali oleh sarjana independen atau kelompok. Alasan-alasan di balik usaha-usaha penerjemahan ini merefleksikan hubungan sejarah yang complicated. Yakni secara khusus, hubungan antara Muslim selatan dan Kristen utara di jazirah Iberian dan kemudian, secara lebih luas, hubungan antara Eropa dan Imperium Ottoman.

Secara umum, puncak kemenangan umat Kristen didasarkan ketepatan dalam memahami kredo umat Islam, baik untuk mencampuradukkan atau membingungkan umat Islam atau untuk mengajak mereka masuk Kristen. Penerjemahan fragmen-fragmen al-Quran menjadi salah satu piran untuk usaha-usaha polemik melawan Islam, dan al-Quran berbahasa Latin secara keseluruhan dibubuhi dengan tujuan menemukan bagian-bagian al-Quran yang paling mengejutkan.

Secara umum terjemah al-Quran bahasa Latin bisa dibagi ke dalam dua kategori—namun kategori ini masih bisa diganggu gugat: pertama adalah terjemah yang secara jelas memiliki tujuan polemik dan kedua adalah terjemahan yang dianggap lebih bertujuan metaphrasing dan filologis. Kiranya penting dipikirkan juga bahwa meski terjemah al-Quran-Latin polemis ini dilakukan dengan tetap memperhatikan detail filologis, terjemah al-Quran Latin yang terpelajar (kategori kedua) juga tidak bisa terhindar konteks polemik ini.

Terkait dengan kelompok pertama, terjemah yang paling polemis adalah karya Robert of Ketton dan, tampaknya karena karakteristinya, terjemahan Robert ini merupakan terjemah yang didistribusikan dan diterima secara luas. Terjemah al-Quran pertama kali dilakukan dibawah perintah Peter the Venerable, the abbot of Cluny, ketika ia melakukan perjalanan di semenanjung Iberian pada 1141-1143.  

Harry Clark dalam the Publication of The Koran in Latin: a Reformation Dilemma, menyatakan sejak tahun 1141-1143, Peter the Venerable, abbot of Cluny, mengunjungi kerajaan  Benedictine di Spayol dengan keinginan yang menggebu untuk melakukan missionary lebih jauh pada umat Islam di wilayah-wilayah yang direbut kembali oleh umat Kristiani. Peter the Venerable memperhatikan bahwa informasi-informasi yang memadai tentang Islam masih sangat sedikit di Latin. Dia sendiri tidak bisa berbahasa Arab. Namun, dari para sarjana yang berbondong-bondong ke Spanyol untuk meneliti dan menerjemahkan karya-karya saintifik bernilai tinggi, Peter mulai membangun sebuah tim untuk menerjemahkan karya-karya keagamaan yang dia minati. Robert of Ketton, seorang kelahiran Inggris yang telah menjadi semacam tokoh agama (archdeacon) di Pamplona, sebuah kota di Spanyol dan Hermaan of Carinthia, dibujuk oleh Peter untuk membantu intellectual crusade dengan menerjemahkan al-Quran dan karya-karya lainnya.

Robert menyelesaikan tugas yang berat itu di awal musim panas tahun 1143. Ada yang menyatakan, dalam menyelesaikan terjemah al-Quran tersebut, Robert dibantu seseorang yang bernama Mohamad, seorang muslim, yang dilibatkan oleh Peter untuk membantu menerjemahkan bagian-bagian al-Quran yang sulit. Dalam terjemahan Robert tersebut, beberapa frase memang dihilangkan dan juga terjadi kesalahan. Robert juga mencoba menjelaskan hubungan antar surah secara logis. Hasil-hasil usahanya menerjemahkan karya sastra dan liturgi terkadang berasa aneh dan lucu. Namun kesalahan-kesalahan tersebut tidak diketahui oleh saudara-saudara Kristennya.  Terjemahan Robert didistribusikan secara luas dan digunakan oleh para misionaris. Beberapa abad kemudian, ketika imperium Turki menyatakan akan mengancam secara serius kepada orang Kristen Eropa, terjemah karya Robert menjadi pusat kontroversi, saat itu.  Meskipun begitu, terjemah karya Robert ini tidak hanya disebarkan secara luas dalam bentuk manuskrip (24 manuskrip), tetapi juga menjadi basis pencetakan terjemah al-Quran karya Robert pada abad ke-16, di bawah pimpinan Theodore Bibliander dan Johannes Oporinus.

Thomas E. Burman (dalam European Qur’an Translation 1500-1700 dan Tafsir and Translation:Traditional Arabic Qur’an Exegesis and the Latin Qur’an of Robert of Ketton dan Marx Toledo), menyatakan bahwa hingga abad ke-17 terjemah al-Quran bahasa Latin karya Robert of Ketton adalah karya terjemah yang paling banyak dibaca dan juga paling banyak dikritik.

Karya Thomas E. Burman

Terjemah al-Quran karya Robert of Ketton ini—menurut John de Segova (perkiraan hidup pada 1339-1458)—tidaklah memuaskan. Sebab terjemahannya banyak mengintrodusir gagasan-gagasan bahasa Latin dan menggunakan kata atau gagasan-gagasan dunia Kristen, bukan Islam. Oleh sebab itu, Bibliander membuat terjemah al-Quran yang baru pada tahun 1453. Meskipun begitu, Harmutz Bobzin menyakini bahwa terjemahan karya Robert of Ketton ini merupakan sumber utama bagi setiap pengetahuan orang Eropa tentang al-Quran. Terjemahan Ketton ini digunakan hampir oleh semua orang-orang Eropa yang menolak Islam, di antara mereka adalah Nicholas of Cusa (1401-1464), Dionysius Carthusianus (1402-1471), Juan of Torquemada (1338-1468), Martin Luther (1483-1546) dan masih banyak lainnya. Dampak dari terjemahan karya Ketton ini berlangsung lebih dari 600 tahun.

Banyaknya kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton ini mendorong Rodrigo Juménes de Rada (hidup sekitar tahun 1170-1242), seorang archbishop di Toledo (1208-1247) meminta Mark of Toledo (1193-1216) untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Latin lengkap yang kedua. Mark adalah asli orang Toledo yang belajar bahasa Arab dan seorang penerjemah karya-karya saintifik. Ia menerjemahkan al-Quran dengan mengabaikan karya terjemahan al-Quran sebelumnya. Karya terjemahan Mark ini diberi judul Liber Alcorani Machmeti quem Marcus canonicus Toletanus de Arabica lingua transtulit in Latinam. Sayangnya, karya Mark ini tidak tersebar luas di Spanyol.

Pengenalan al-Quran ke dalam bahasa Latin, khususnya setelah penerbitan di tahun 1453 telah menciptakan dorongan lebih lanjut untuk menghadirkan al-Quran ke dalam bahasa daerah di Eropa (vernacular tongues). Terjemahan al-Quran ketiga ke bahasa Latin dikerjakan oleh John of Segovia. Terjemahan keempat dalam bahasa Latin dilakukan oleh Johannes Gabriel Terrolensis. Terjemahan karya Gabriel ini dilengkapi dengan kolom catatan berdasarkan tafsir al-Quran dan transkrip Arab ke Latin. Ada juga terjemahan bahasa Latin berikutnya dilakukan oleh Kyrillos Lukaris (1572-1638). Setelah itu, muncul lagi terjemahan ke bahasa Latin karya Ludovico Marracci (1612-1700) pada 1698. Maracci adalah confessor of Pope Innocent XI dan belajar bahasa Arab bersama orang Turki. Di dalam menerjemahan al-Quran, Marracci banyak menggunakan kitab-kitab tafsir. Sebab keakuratannya, terjemahan ini sangat bermanfaat untuk karya-karya terjemahan berikutnya.

Dari perkembangan terjemah al-Quran berbahasa Latin di atas, meskipun terhitung kontroversial, karya Robert ini mengawali dan cukup memantik perkembangan penerjemahan al-Quran di Latin dan tentunya juga berefek pada kajian-kajian keislaman. Sebagaimana teori konflik, semakin al-Quran diterjemahkan secara salah dan polemik, maka semakin banyak yang kontra, dan dengan begitu akan terjadi kritik dan diskusi.Wallahu’alam. []

Hamam Faizin
Hamam Faizin
Peserta Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen STAI Al-Hikmah Jakarta. Penulis buku Sejarah Pencetakan Al-Quran (2012).
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

Hijrah ala Ratu Bilqis: Berani Berubah dan Berpikir Terbuka

0
Islam terus menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut laporan Pew Research Center, populasi muslim global diproyeksikan meningkat sekitar 35% dalam 20 tahun,...