Thabathaba’i memiliki nama lengkap al-Sayyid Muhammad Husain bin al-Sayyid Muhammad bin Muhammad Husain bin al-Mirza ‘Ali Ashghar Syaikh al-Islam al-Thabathaba’i al-Tabriz al-Qadhi. Beliau lahir di kota Tabriz, Iran (Persia), pada tanggal 29 Zulhijjah tahun 1321 H dalam keluarga ulama yang banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka.
Pada masa kehidupannya, ayah Husain Al-Thabathaba’i–yang bernama Muhammad–merupakan salah seorang ulama terkenal, tidak saja di Tabriz tapi juga di berbagai daerah lainnya di Iran. Dia adalah keturunan seorang ulama besar; Mirza Ali Ashgar Syaikh al-Islam yang dikenal sebagai salah seorang ulama terhormat di Tabriz.
Sementara kakeknya, al-Sayyid Muhammad Husain, adalah salah seorang murid terbaik dari pengarang al-Jawahir dan Syaikh Musa Kasyif al-Githa. Bila diruntun sampai ke atas, maka dapat ditemukan bahwa nasab keluarganya bersambung hingga kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, al-Thabathaba’i adalah keturunan Rasulullah Saw.
Kehidupan masa kecil Thabathaba’i sangatlah sulit. Sejak berumur lima tahun, ia telah menjadi seorang piatu karena ditinggal wafat ibunya. Empat tahun kemudian ia kembali menjadi yatim setelah ayah tercinta menyusul ibunya. Belum lagi dengan tidak adanya penghasilan tetap untuk menyangga kebutuhan hidup yang disertai dengan menjauhnya para sahabat dan teman kerabat.
Situasi ini semakin diperparah lagi dengan sejumlah kesulitan lainnya. Keadaan sosial-ekonomi yang tidak stabil dan buruk melanda daerahnya sebagai imbas dari invasi Rusia. Namun, semua kesempitan hidup tersebut tidak membuatnya berputus asa, sebaliknya itu semua ia jadikan sebagai sarana untuk mempraktekkan kehidupan ‘irfani dengan cara melatih jiwa dan hatinya dari pengaruh keduniawian.
Perjalanan Intelektual Husain Al-Thabathaba’i
Sebagaimana para pemikir muslim lainnya, pendidikan masa kecil Thabathaba’i dilakukan secara tradisional. Di tanah kelahirannya, Tabriz, dia telah mempelajari Al-Quran dan berbagai kitab klasik mengenai kesusasteraan dan sejarah, seperti, Gulistan dan Bustun karya Sa’di, Nesab dan Akhlaq, Anvar-e Sohayli, Tarikh-e Mo’jam, dan Irsyad Al-Qur’an, al-Hisab, serta beberapa karya ulama lainnya, seperti Amir-e Nezam.
Secara umum, perjalanan pendidikan Thabathaba’i tidak bisa dilepaskan dari tiga lokasi yang merupakan poros utama perjalanannya untuk menimba ilmu. Ketiga tempat tersebut ialah kota kelahirannya, Tabriz, Universitas Syi’ah di Najaf dan terakhir di Universitas Qom di Qom.
Tanah kelahiran Husain Al-Thabathaba’i menjadi “sekolah” pertama baginya untuk mengenyam pendidikan. Wali yang diamanahi oleh ayahnya untuk mengurus segala keperluannya, mendatangkan seorang guru privat yang datang ke rumah. Proses belajar sistem privat ini dijalani Thabathaba’i selama enam tahun dari 1922 sampai 1928.
Di kota ini pula, dia berkenalan dengan ilmu pengetahuan langsung dari keluarganya yang terkenal sebagai keluarga ulama, dan secara tidak langsung dia belajar dari kaumnya yang merupakan komunitas yang akrab dengan berbagai pengetahuan, baik pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum.
Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua
Thabathaba’i mulai mengkaji berbagai buku klasik yang berisi tentang agama dan bahasa Arab sambil mempelajari ilmu-ilmu dasar yang diberikan oleh para gurunya. Selain itu, dia juga mulai mempelajari beberapa bidang ilmu seperti gramatika, sintaksis, retorika, fikih, ushul fikih, logika dan filsafat serta apa yang disebut olehnya sebagai “spiritual science”.
Proses belajar keseluruhan bidang ilmu tersebut ditekuninya dalam waktu selama tujuh tahun sejak tahun 1928, dan dia menamatkan semuanya pada tahun 1935. Pada tahun yang sama Thabathaba’i melanjutkan pelajarannya secara formal di universitas Syi’ah di kota Najaf, Irak. Di Universitas ini, Thabathaba’i meneruskan kajian ilmu naqliyah, seperti syari’ah dan prinsip-prinsip jurisprudensi.
Dalam bidang fikih, Thabathaba’i belajar dengan dua orang syaikh terkemuka pada waktu itu, yakni: Syaikh Mirza dan Muhammad Husain Na’ini. Dia juga mempelajari dan menekuni beberapa cabang ilmu aqliyah, seperti filsafat dan esoteris. Di sisi lain, ia turut mendalami ilmu esoteris, spiritual atau ‘lrfani, dengan menelaah berbagai karya filsafat klasik, diantaranya, al-Syifa karya Ibn Sina dan al-Asfar al- ‘Arba’ah karya Sadr al-Din Syirazi.
Masa belajar Thabathaba’i di Najaf memakan waktu hampir sepuluh tahun lamanya. Selama kurun waktu itu, dia menggali semua sumber ilmu pengetahuan. Sehingga akhirnya dia mampu menguasai berbagai ilmu tersebut dengan baik dan sempurna, mulai dari fikih, tasawuf atau ‘irfani, matematika sampai filsafat.
Adanya agresi Uni Sovet atas Iran mengharuskan Husain Al-Thabathaba’i untuk pindah dari kota kelahirannya, Tabriz, ke kota suci Qom. Sehingga kepindahannya ini lebih bernuansa sosial-politik ketimbang intelektual. Di Universitas Qom ini Thabathaba’i memasuki dan mengalami masa kecemerlangan dalam karir intelektualnya.
Dari kota Qom, Thabathaba’i mulai dikenal orang secara luas, terutama mereka yang datang dari kalangan akademis. Karena di kota suci ini, dia menemukan lingkungan yang kondusif sebagai seorang ‘arif sekaligus ilmuwan. Suatu keadaan dan situasi yang belum–atau sulit–ditemuinya tatkala berada di Tabriz.
Baca Juga: Obituari: Syekh Nuruddin Itr, Sang Mufasir dan Pembaharu Ilmu Hadis
Selama berada di Qom, kegiatan ilmiah Thabathaba’i dapat dikelompokkan dalam empat bagian, yaitu: pertama, menghidupkan kembali ilmu-ilmu aqliyah; kedua, memberikan pengaruh kepada masyarakat dalam pemikiran dan akhlak; ketiga, memberikan bimbingan kepada mereka yang telah mapan dalam berpikir tentang filsafat dan ilmu kalam; keempat, menulis berbagai buku dan artikel lainnya, baik berbahasa Arab maupun Persia.
Mengenal Tafsir Al-Mizan Fi Tafsir al-Qur’an
Salah satu karya Husain Al-Thabathaba’i paling terkenal adalah Tafsir Al-Mizan atau Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini merupakan karya terbesar Thabathaba`i, sebuah karya monumental yang telah memberikan pengaruh signifikan tidak saja dilingkungan Syiah, tetapi di dunia Sunni. Dalam dunia pemikiran Islam kontemporer, hampir semua peneliti yang mengkaji tafsir tidak meninggalkan karya ini tafsir dalam kajian mereka.
Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an ditulis Thabathaba’i atas permintaan murid-muridnya yang menginginkan sebuah tafsir Al-Qur’an secara ilmiah. Butuh waktu sekitar 17 tahun lamanya bagi beliau untuk menyelesaikan sebuah maha karya tafsir yang terdiri dari 20 jilid, di mana satu jilid berfungsi sebagai fahrasat atau indeksnya. Buku ini kemudian diterbitkan secara berangsur-angsur dari 1375 H/1957 M hingga 1392 H/1974 M.
Tafsir ini dinamakan Al-Mizan karena di dalamnya termuat banyak pandangan-pandangan ahli antara lain tafsir, hadis, ushul fikih, bahasa, filsafat dan lainnya. Selanjutnya al-Tabataba’i menimbang dan memilih pendapat yang lebih kuat serta menolak pandangan yang dianggap lemah. Tampak dari uraian-uraiannya bahwa kitab tafsir ini menggunakan metode tahlili.
Husain Al-Thabathaba’i wafat dan dimakamkan di kota Qom pada 15 November 1981, ratusan ribu orang termasuk ulama, pembesar, dan tokoh pejuang keagamaan hadir di pemakamannya. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak tokoh tafsir yang menginspirasi Prof. Dr. Quraish Shihab, bahkan dalam Tafsir Al-Misbah pendapat Thabathaba’i seringkali dikutip. Wallahu a’lam.