Anjuran memilih menantu saleh dalam Al-Quran salah satunya dapat kita temukan dalam rangkaian kisah Nabi Syuaib As. episode mencarikan menantu saleh untuk anak perempuannya, yang terekam dalam surah Al-Qashash [28] ayat 27. Sebagaimana diketahui, menantu saleh yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Musa As.
Orang tua atau wali dari seorang anak perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pasangan atau suami anaknya. Bahkan disampaikan dalam satu riwayat, bahwa satu di antara tiga kewajiban orang tua terhadap anaknya, khususnya anak perempuan adalah menikahkannya ketika sudah baligh. Hal ini yang dicontohkan oleh Nabi Syuaib As.
Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!
Berikut bunyi Surah Al-Qashash ayat 27.
قَالَ إِنِّىٓ أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ٱبْنَتَىَّ هَٰتَيْنِ عَلَىٰٓ أَن تَأْجُرَنِى ثَمَٰنِىَ حِجَجٍ ۖ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ ۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ ۚ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Artinya: “Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik” (QS. Al-Qashash [28]: 27)
Al-Imam Al-Qurtubi berkata dalam tafsirnya: “dalam ayat ini, orang tua/wali perempuan menawarkan putrinya kepada lelaki. Yakni, seorang sholih dari tanah madyan (Nabi Syu’aib As) menawarkan putrinya kepada seorang saleh dari Bani Israel (Nabi Musa As).
Baca juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa
Ternyata, sahabat Umar RA pernah melakukan yang hal serupa dengan Nabi Syu’aib AS. Yakni, menawarkan putri beliau Hafshah yang saat itu menjanda lantaran suaminya Khunais bin Hudzafah Assahmi wafat di Madinah. Adapun sebab kematianya, ulama berbeda pendapat terkait luka yang mengakibatkan kematianya. Ada yang mengatakan luka diperoleh saat perang Uhud, ada pula yang mengatakan luka didapat saat perang Badar. Beliau termasuk sahabat Rasullullah.
Sahabat Umar RA menawarkan Hafshah kepada Abu Bakar RA kemudian kepada Utsman RA. Namun keduanya tidak memberikan respon tawaran tersebut lantaran keduanya telah mengetahui bahwa Rosulullah pernah menuturkan Hafshah dengan kebaikan. Keduanya faham bahwa Rosulullah menghendaki menikahi Hafshah. Namun, kedunya enggan menyebarkan rahasia rosulullah. Demikin hadis yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan An-Nasa’i dari Ibnu Umar yang kemudian dinuqil oleh syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya, Tafsir al-Munir, juz 13, halaman. 281.
Selanjutnya, Az-Zuhaili menjelaskan, kalimat أُنْكِحَكَ dalam ayat diatas menunjukan bahwa yang menikahkan adalah wali bukan wanita itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dari kalimat itu juga, meberikan pengertian bolehnya wali menikahkan putrinya yang sudah baligh dengan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu.
Baca juga: Ikutilah Nabi Muhammad Saw Niscaya Allah Mencintai Dirimu
Ayat إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ dijadikan dalil oleh Syafi’iyah bahwa dalam sighat pernikahan hanya sah jika mengunakan kalimat tazwij atau inkah saja. Berbeda dengan Hanafiyah yang mengatakan aqad nikah sah dengan semua lafadz memberikan kepemilikan selamanya semisal kata hibah atau selainnya.
Dari ayat di atas, Syariat kita menetapkan kebolehan menjadikan manfaat sebagai mahar. Dalam hadits disebutkan bahwa ada seseorang yang tidak memiliki apapun kecuali sesuatu dari al-Qur’an. Hadis ini diriwayatkan oleh banyak imam dalam salah saru riwayatnya disebutkan,
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:” مَا تَحْفَظُ مِنَ الْقُرْآنِ” فَقَالَ: سُورَةُ الْبَقَرَةِ وَالَّتِي تَلِيهَا، قَالَ: فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَةً وَهِيَ امْرَأَتُكَ
Artinya: “Rosulullah berkata kepada laki-laki itu: “Apa yang engkau hafal dari Al-Quran?” Laki-laki tersebut menjawab “Surah al-Baqarah dan Surah berikutnya”. Nabi berkata: “Ajarkanlah dia 20 ayat maka dia menjadi istrimu”.
Dalam permasalahan ini, ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat. Pertama, Imam Malik menganggapnya makruh. Kedua, Ibnu Qasim dan Madzhab Hanafi tidak memperbolehkan. Ketiga, Ibnu Habib, Madzhab Syafi’i dan Hanabilah memperbolehkan manfaat ijarah dijadikan sebagai mahar. (Tafsir Qurtubi, juz 13, halaman. 273)
Wallahu a’lam.