Aktivitas penafsiran Alquran sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah. Nabi Muhammad saw. merupakan mufasir pertama yang menafsirkan Alquran. Rasulullah menjelaskan ayat-ayat yang masih bersifat global atau ayat-ayat yang belum jelas dipahami sahabat.
Berkenaan dengan ayat-ayat kisah, Alquran tidak menceritakan kisah-kisah tersebut secara menyeluruh, melainkan lebih menekankan kepada ibrah dan pelajaran yang bisa diambil dari sebuah kisah. Ketika para sahabat membutuhkan penjelasan yang lebih rinci mengenai sebuah kisah, terutama sepeninggal Nabi, sebagian sahabat kemudian merujuk kepada penjelasan ahli kitab yang sudah masuk Islam. Kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab tersebut dikenal dengan istilah Isrāīliyyāt.
Muhammad ibn Muhammad Abū Syahbah dalam al-Isrāīliyyāt wal Mauḍu’āt fī Kutub at Tafsīr menyebutkan bahwa kata Isrāīliyyāt berasal dari bahasa Ibrani, yaitu “Israil” yang berarti hamba Allah. Sedangkan Muhammad Husain Az-Zahabi dalam al-Isrāīliyyāt fit Tafsir wal Hadis mendefinisikan Isrāīliyyāt sebagai kisah atau cerita lama yang masuk ke dalam tafsir dan hadis yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani atau dari selain keduanya.
Pada umumnya para ulama membagi kisah Isrāīliyyāt menjadi tiga macam, yaitu Isrāīliyyāt yang sejalan dengan Islam, Isrāīliyyāt yang tidak sejalan dengan Islam, dan Isrāīliyyāt yang mauquf (tidak masuk bagian pertama dan kedua).
Muhammad Husain Az-Zahabi menjabarkan sejarah masuknya Isrāīliyyāt ke dalam tafsir dan hadis. Masuknya Isrāīliyyāt ke dalam tafsir dan hadis diawali sejak masuknya kebudayaan Israil ke dalam kebudayaan Arab Jahiliah pada masa pra-Islam.
Kaum Yahudi memasuki jazirah Arab pada tahun 70 M karena adanya desakan dan siksaan dari Titus. Di Jazirah Arab, kaum Yahudi tetap mempertahankan ajaran dari kitab agama mereka. Mereka bahkan memiliki pusat pengkajian kebudayaan mereka yang disebut “Midras”. Selain itu, bangsa Arab sering berpindah-pindah dan bepergian ke Yaman dan Syam. Pada saat itu di Yaman dan Syam terdapat banyak ahli kitab dari bangsa Yahudi, sehingga tidak mengherankan jika sudah ada hubungan antara bangsa Arab dengan kaum Yahudi.
Baca juga: Kisah-kisah Israiliyyat dalam Tafsir Al-Munir
Dua periode masuknya Isrāīliyyāt ke dalam tafsir
Isrāīliyyāt masuk ke dalam tafsir Alquran melalui dua periode, yaitu periode periwayatan tafsir dan periode pembukuan tafsir. Pada periode periwayatan, para sahabat melihat bahwa kisah-kisah yang diceritakan dalam Alquran masih bersifat umum. Sahabat bertanya kepada ahli kitab terutama yang sudah masuk Islam terkait beberapa kisah.
Sahabat tidak menanyakan hal-hal yang sudah dijelaskan Rasulullah maupun yang berkaitan dengan akidah dan hukum kecuali untuk menguatkan pembuktian tentang kebenaran Alquran. Hal-hal yang ditanyakan sahabat kepada ahli kitab hanyalah sebatas penjelas dari kisah yang dijelaskan dalam Alquran. Selain itu, para sahabat sangat teliti, berhati-hati, dan tidak langsung mempercayainya.
Pada masa tābi’īn dan tābi’ tābi’īn banyak ditemukan cerita-cerita palsu yang masuk ke dalam tafsir dan hadis. Para ulama kemudian membuat aturan yang jelas dalam meriwayatkan hadis. Periwayatan hadis harus disertai periwayatan sanadnya. Namun, generasi setelahnya tidak terlalu memperhatikan periwayatan sanad. Ketika meriwayatkan sebuah hadis, mereka membuang sanadnya, sehingga sulit membedakan mana hadis yang benar dan mana hadis yang palsu.
Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita Isrāīliyyāt dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita adalah kalangan ahli kitab yang sudah masuk Islam dan jumlahnya cukup banyak. Lama kelamaan tumbuhlah kecintaan mereka terhadap cerita Isrāīliyyāt. Bahkan beberapa mufasir membenarkan cerita tersebut tanpa menelitinya lebih lanjut. Pada zaman itu ada tukang cerita yang suka menceritakan kisah-kisah di masjid dan tempat lainnya, sehingga kisah-kisah tersebut sangat melekat dengan masyarakat. Kecintaan mereka terhadap cerita-cerita Isrāīliyyāt berlangsung cukup lama sampai periode pembukuan.
Selanjutnya masuk periode pembukuan tafsir dan hadis, yaitu pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriah. Ketika itu Umar bin ‘Abdul ‘Azīz memerintahkan semua ulama untuk mengumpulkan hadis-hadis yang sahih. Secara umum, tafsir pada masa ini terbebas dari cerita-cerita Isrāīliyyāt, kecuali hanya sedikit dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tafsir yang dibukukan pada zaman itu tidak terlepas dari riwayat Rasulullah, sahabat, dan tābi’īn. Pembukuan tafsir dan hadis juga disertai dengan sanadnya sehingga memungkinkan untuk mengetahui kualitas sebuah riwayat.
Pada periode setelahnya muncul para muhaddis dan mufasir yang memfokuskan diri untuk membukukan riwayat tafsir dan hadis. Namun mereka membuang sanadnya sehingga orang yang mempelajarinya menganggap semua keterangan di dalamnya adalah sahih. Begitupun orang-orang sesudahnya banyak menukil riwayat-riwayat yang belum jelas kesahihannya, termasuk di dalamnya cerita-cerita Isrāīliyyāt.
Baca juga: Israiliyyat dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun
Enam faktor masuknya Isrāīliyyāt ke dalam tafsir
Dari uraian tersebut dapat kita pahami bahwa masuknya Isrāīliyyāt ke dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Latar belakang kebudayaan bangsa Arab pra-Islam
Kebudayaan bangsa Arab saat itu relatif rendah dibandingkan dengan kebudayaan ahli kitab. Kaum Yahudi dan Nasrani sebelumnya merupakan kaum dengan peradaban yang tinggi. Mereka memiliki pengetahuan mengenai asal-usul alam semesta dan kisah-kisah terdahulu. Di sisi lain, ada keinginan kuat dari kaum muslimin yang penasaran mengenai seluk-beluk ajaran ahli kitab (Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah Tekstual dan Kontekstualitas Alquran, hlm. 233).
- Faktor teks Alquran
Dalam beberapa titik, isi Alquran, Taurat, dan Injil memiliki kesamaan, terutama mengenai kisah-kisah umat terdahulu. Umumnya, Alquran menjelaskan sebuah kisah secara ringkas dan mengutamakan ibrah dari kisah tersebut.
Ketika menemui sebuah kisah diceritakan secara ringkas dan terpisah-pisah, adakalanya mufasir kesulitan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan aspek sejarah seperti tempat dan nama-nama yang berperan dalam kisah itu. Keinginan untuk membahas kisah tersebut secara mendetail menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mufasir merasa perlu untuk mencantumkan riwayat Isrāīliyyāt (Muhammad Yusuf dkk. Studi Kitab Tafsir, hlm. 176).
- Justifikasi dalil-dalil naqliyah
Adanya beberapa dalil naqli-dalil yang berasal dari wahyu-baik dalam Alquran maupun hadis yang dijadikan pembenaran oleh para mufasir untuk bertanya kepada ahli kitab tentang kisah-kisah terdahulu dalam batas-batas tertentu.
- Faktor sosial
Ahli kitab atau kaum Yahudi memasuki jazirah Arab tahun 70 M. Hidup bersama dalam suatu pemukiman memungkinkan terjadinya penyebaran kebudayaan. Pada zaman itu juga terdapat banyak majelis kisah yang menceritakan banyak cerita zaman dulu. Rasa penasaran dan keingintahuan terhadap kisah tersebut membuat masyarakat sudah sangat akrab dengan kisah-kisah Isrāīliyyāt.
- Kondisi geografis kota Makkah
Kota Makkah menjadi jalur perdagangan bangsa Arab, sehingga terjadi komunikasi baik antara para saudagar dari masyarakat Arab dan ahli kitab. Komunikasi di antara keduanya memungkinkan terjadinya penyebaran kebudayaan.
- Masuk Islamnya beberapa Ahli kitab
Masuknya tokoh-tokoh penting yang menguasai ajaran Alkitab, baik dari kalangan Nasrani maupun Yahudi ke dalam Islam menjadi perantara persebaran kisah-kisah Isrāīliyyāt dalam dunia Islam.
Ada beberapa komunitas Yahudi yang tinggal di Madinah seperti Bani Quraizah, Bani Nadzīr, Bani Qainuqā’, Khaibar, Fadak, dan Tayma. Di antara orang Yahudi yang memeluk Islam adalah ‘Abdullāh bin Shuraya, Ka’ab al-Ahbār, dan ‘Abdullāh bin Salām. Sebagian mereka umumnya memiliki pengetahuan yang luas tentang kebudayaan Yahudi, sehingga tidak mengherankan jika terjadi banyak pertemuan dan diskusi mengenai kisah-kisah Isrāīliyyāt antara kaum muslimin dan orang Yahudi.
Baca juga: Para Perawi Israiliyyat Sumber Rujukan di Kitab-kitab Tafsir