Islam tidak hanya mengatur kebahagiaan di akhirat nanti, kebahagiaan di dunia pun juga diperhatikan olehnya. Salah satunya adalah jaminan kebahagiaan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dengan konsep kafaah. Istilah kafaah ini sudah masyhur dalam dunia pernikahan. Bahwa pasutri harus sama atau setara dalam semua hal, agar rumah tangga pasangan beda jenis kelamin ini bisa harmonis.
Kafaah sendiri dalam KBBI dipahami dengan seimbang. Padanan dari kara seimbang adalah sepadan, sama, sesuai atau sebanding. Bagaimana kemudian kafaah (seimbang dalam pernikahan) ini jika dikaitkan dengan konsep ke’sama’an manusia di mata Allah, seperti yang tercantum dalam Al-Quran, surah Al-Hujurat ayat 13?
Baca Juga: Surah Ar-Rum Ayat 21: Sebenarnya, Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?
Semua manusia sama, lantas..
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.(Q.S Al hujarat [49] :13).
Pada ayat ini dijelaskan bahwa satu-satunya pembeda dari manusia adalah dari segi ketakwaannya. Lalu bagaimana dengan konsep kafaah dalam pernikahan yang berarti secara tidak langsung memberikan pengertian bahwa manusia itu tidak sama, karena itu kemudian diminta untuk mencari pasangan yang sama atau sepadan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ad Daruqutni dari sahabat Jabir bin Abdullah Nabi berkata, “tidaklah seorang perempuan boleh di nikahi melainkan bagi laki-laki yang yang setara…..”.
Meski tidak langsung menyebutkan kesepadanan, hadis lain yang sudah sangat popular tentang kriteria memilih pasangan yaitu,
عن النّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم قالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“-biasanya- perempuan itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari)
Baca Juga: Surah Ar-Rum [30] Ayat 21: 3 Tujuan Pernikahan Menurut Al-Quran
Dua hadis di atas, baik secara tersurat maupun tersirat menunjukkan bahwa menikah itu memang sudah seharusnya mencari dan memilih, tujuannya tiada lain karena agar rumah tangga nanti itu harmonis dan salah satu kriteria pilihan itu adalah kafaah. Sayyid al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha ad Dimiyati Al Misri, dalam kitab Ianah At Thalibin menegaskan bahwa konsep kesepadanan atau kafaah dalam pernikahan itu termasuk salah satu syarat sah dari nikah.
Namun di lain kali ada sebagian ulama diantaranya Imam As Tsauri, Hasan Al Basri dan Al Karakhi. Mereka menyatakan, bahwa konsep kesepadanan tidak perlu di terapkan lagi dengan berlandas pada hadits yang di riwayatkan Ibnu Lal dari sahabat Sahl bin Saat dalam kitab Subulus Salam, juz 3 hal. 129 Nabi, SAW berkata, “manusia itu sama seperti gigi-gigi sisir, tidaklah lebih utama penduduk Arab dari selainya. Hanya saja keutamaan itu dengan takwa”. Di samping itu juga terdapat Firman Allah berikut;
Kita pun tahu baagaimana gigi sisir di buat sama, maka seperti itulah keadaan manusia satu sama lain. Sehingga tidak perlu lagi adanya syarat kesetaraan dalam pasutri. Bahkan konsep semacam ini akan memunculkan permasalahan baru dalam dunia jodoh atau pernikahan. Banyak kasus terjadi di beberapa tempat sebagian lelaki tidak lagi mau menikah karena merasa trauma lamarannya selalu di tolak, meski terkadang mereka beralasan bahwa semua ini adalah takdir baik yang sudah Tuhan berikan, sehingga tidak pantas perempuan masih memilah-milih tentang pasangan hidupnya, demikian pula dengan perempuan.
Argumen di atas tidak senuhnya benar, karena sebagian ulama menyatakan dengan memberi interpretasi maksud dari hadits dan ayat di atas. Bahwa kesetaraan manusia dalam manusia yang lain dalam konteks ukhrawi saja, yaitu di hadapan Allah, SWT kelak di hari kiamat, yang membedakan hanya tingkat ketakwaannya semata. Namun hal itu tentu berbeda dalam pandangan setiap manusia satu dengan yang lain. Buktinya mereka yang di beri rizki melimpah dan ilmu yang banyak tidaklah sama dengan yang hidupnya melarat dan dan dalam kebodohan. (Fiqh Islami wa Adillatuhu, juz 7 hal. 228).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan
Tolok ukur kafaah dalam pernikahan
Dalam beberapa literatur fikih prihal tolok ukur konsep kafaah dalam pernikahan banyak dijelaskan dengan banyak varian pendapat yang disuguhkan. Imam Al Hamawi pun menyenandungkan syi’ir, sebagai berikut;
كفاءة في النكاح تكون في ست لها بيت قد ان ال ضبط
نسب واسلام كذلك حرفة حرية وديانة مال فقط
Jumhur ulama sedikit berbeda dengan apa yang sudah di sampaikan Imam Al Hamawi, yaitu berkisar antara harta atau kekayaan. Al Malibari dalam kitab Fath al Muin, hal.106, selaras dengan pendapat jumhur bahwa harta tidak menjadi pertimbangan dalam kafaah. Bagi beliau hanya orang rendah tak berakal yang masih membangga-banggakan kekayaan.
Sebenarnya tolok ukur dari konsep kesepadanan ini adalah adat atau kebiasaan setempat, sehingga wajar jika antara satu tempat yang lain nantinya berbeda. Karena secara histori pada masa Imam Al Malibari nasab memang menjadi kebanggaan di setiap suku, bahkan terjadi pada masa Nabi, sangatlah pantas jika nasab di pertimbangkan. Beda lagi dengan adat yang berlaku di masa kita ini. Mungkin nasab sudah tidak lagi menjadi kebanggaan di kalangan masyarakat, dan nasab tidak menjamin kebahagian dalam akad perikahan. Wallahu a’lam