Solusi Alquran Menghadapi Fenomena Religious Trauma

0
314

Belakangan ini, dunia maya digegerkan dengan isu religious trauma. Sebuah fenomena yang menunjukkan bahwa agama yang seharusnya menjadi tempat menentramkan dan menenangkan bagi jiwa semua penganutnya, justru menjadi suatu hal yang menakutkan. Terlebih fenomena trauma ini marak terjadi pada agama Islam. Pasalnya, fenomena semacam ini sebetulnya didatangkan dari bagaimana agama disampaikan, bukan ajaran agamanya yang salah.

Etika Dakwah yang Diajarkan dalam Alquran

Hakikatnya, Islam merupakan agama raḥmatan li al-‘ālamīn. Agama yang membawakan kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Dan hendaknya, tindakan amar ma’rūf nahi munkar kepada sesama muslim dilakukan dengan penuh kasih sayang, didasarkan atas ilmu, tanpa menghakimi dengan cara yang kurang dibenarkan. Sebagaimana hal ini telah disinggung dalam surah al-Naḥl ayat 125 berikut.

ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.

Ayat tersebut mencerminkan bagaimana cara menyampaikan dakwah yang baik dan benar. Menyeru pada kebenaran haruslah dibangun di atas dasar ilmu dan pendekatan yang bijak. Sebagaimana ayat menyampaikan, bahwa dakwah hendaknya dengan hikmah dan al-mau’iẓah al-ḥasanah.

Dikatakan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya, sederhananya, makna al-ḥikmah ialah menghadirkan kebenaran kepada jalan Tuhan dengan argumentasi yang kuat dan logis berdasarkan ilmu, mampu dicerna dan diterima dengan baik, bersama dengan pemahaman karakter dan kondisi orang yang diseru kepada jalan kebenaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Hal ini dapat dipelajari dari salah satu kisah Rasulullah dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad oleh Abu Umamah [Musnad Ahmad, 36/545], berkata: Suatu ketika, datang seorang pemuda kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata,
“Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”

Para sahabat yang mendengar itu geram dan ingin menghardiknya. Namun Nabi ﷺ tidak marah. Beliau malah dengan tenang mendekatkan diri secara emosional dan intelektual kepada si pemuda, lalu bertanya dengan nada lembut:

“Apakah engkau rela jika (zina itu) dilakukan terhadap ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”
Rasul pun melanjutkan: “Begitu juga orang lain tidak rela jika itu dilakukan terhadap ibu mereka.”

Kemudian beliau bertanya hal serupa tentang anak perempuan, saudari, dan bibi si pemuda—dan setiap kali dijawab “tidak”, Rasulullah ﷺ memberikan logika timbal balik yang menyadarkan pemuda itu tanpa kekerasan, tanpa celaan, melainkan dengan pendekatan logis dan hati-hati. Setelah itu, Rasulullah ﷺ meletakkan tangannya di dada si pemuda dan mendoakannya. Maka sejak saat itu, pemuda tersebut tidak pernah tertarik lagi kepada zina.

Inilah al-ḥikmah yang dimaksud. Rasulullah ﷺ menyampaikan kebenaran dengan dalil akal, bukan langsung vonis hukum. Selain itu, beliau memahami bahwa yang dihadapi adalah seorang pemuda dengan gejolak syahwat, bukan penentang agama. Maka tindakan tepat dalam menghadapi hal demikian adalah dengan pendekatan argumentatif dan rasional, bukan malah dengan kekerasan atau debat di atas nafsu.

Selain menyeru kebaikan dengan al-ḥikmah, juga perlu dengan al-mau’iẓah al-ḥasanah. Yakni dengan ajakan yang menyentuh hati, melunakkan jiwa, dan memotivasi seseorang agar melakukan kebaikan dan meninggalkan tindakan batil. Mau’iẓah bersifat lebih emosional, menyapa perasaan, dan menggunakan gaya bahasa yang lebih lembut.

Kata ḥasanah atau baik, dalam ayat ini menunjukkan bahwa nasihat harus disampaikan dengan cara yang lembut, penuh kasih, dan mudah diterima oleh pendengarnya. Bukan dengan celaan atau kekerasan, melainkan dengan pendekatan yang membuat orang merasa dihargai dan mau memilih berubah atas dasar kesadaran [al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, 14/327].

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Re-humanisme Dakwah Islam

Akar masalah dari religous trauma berasal dari cara penyampaian yang kurang tepat, mengajak kebaikan dengan ancaman siksa dan azab Allah tanpa disertai dengan rahmah-Nya yang tidak terbatas luasnya. Sebagai salah misal, perempuan tidak berjilbab, dihantui ancaman siksa neraka yang kelak akan menarik rambut mereka di atas api neraka.

Alangkah baiknya, jika disampaikan dengan: perempuan akan lebih terjaga kehormatannya dengan menutup anggota tubuh yang sangat berharga. Allah mencintai hambanya dengan memerintahkan menutup aurat, anugerah dari-Nya yang amat berharga yang tidak boleh sembarang orang boleh melihatnya.

Di balik ancaman siksa dan azab dalam Alquran, sejatinya selalu tersimpan pesan kasih sayang dan peringatan yang mendidik. Allah tidak serta merta menakut-nakuti hamba-Nya tanpa memberikan harapan. Bahkan, dalam banyak redaksi ayat, Allah selalu mendahulukan sifat rahmat-Nya sebelum menyebut azab. Lihatlah bagaimana Allah berfirman dalam surah al-A‘rāf ayat 156:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…

Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah Islam tidak boleh kehilangan rasa kemanusiaannya. Tidak cukup hanya menyampaikan hukum, tanpa menyentuh nurani manusia yang sedang terluka atau tersesat. Ketika seseorang sedang menjauh dari agama karena trauma, maka tugas para pendakwah bukan menambah luka, melainkan menjadi jembatan untuk kembali.

Inilah yang dimaksud dengan re-humanisme dakwah Islam—mengembalikan wajah dakwah kepada wajah yang ramah, membumi, dan penuh kasih. Bukan hanya berbicara tentang hukum, tapi juga tentang kasih sayang, pengampunan, dan pelukan-Nya yang selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin kembali.

Baca Juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Menghadapi fenomena religious trauma bukan dengan menjauh dari agama, tetapi dengan mengembalikan agama kepada wajah aslinya. Maka, mari kita menjadi bagian dari generasi dakwah yang memeluk, bukan memukul; yang mendidik, bukan menghakimi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini