Dalam dunia pendidikan, tiap peserta didik berupaya dengan beragam cara dan metode bagaimana dia bisa meraih pemahaman yang utuh dari apa yang dipelajari. Terutama ketika berada di dalam kelas. Dalam prosesnya, murid terbiasa berpikir dari apa yang disampaikan oleh sang guru. Sayangnya, proses tersebut tidak didukung dengan pengaplikasian metode yang praktis yang mempermudah pemahaman sang murid.
Faktanya, pembelajaran yang banyak dilakukan di institusi pendidikan cenderung bersifat satu arah. Dengan kata lain, hanya melibatkan penyampaian materi dari guru kepada sang murid. Murid dalam hal ini hanya sebagai penerima pasif, yang menampung segala arahan dan materi yang disampaikan oleh guru. Hal tersebut baik untuk dilakukan. Namun, menjadi tidak seimbang dikarenakan muncul kecenderungan tidak ada pembelajaran lebih lanjut melalui berpikir kritis dari murid itu sendiri (Sulaiman, A., & Syakarofath, N. A., Berpikir Kritis: Mendorong Introduksi dan Reformulasi Konsep dalam Psikologi Islam).
Model pembelajaran seperti ini dianggap kurang efektif karena murid tak dapat berperan aktif dan leluasa dalam menanggapi penjelasan gurunya. Selain itu, juga dapat membuat murid bosan dan sulit mengembangkan dan menggali lebih dalam sebuah informasi dan pengetahuan yang diterima. Logika dan nalar murid dapat berada dalam kejumudan karena tak diberikan kebebasan berpikir logis dan kritis–yang lebih dikenal dengan critical thinking. Tak pelak, jika kemampuan intelektual murid menjadi terbatas dan kemudian mengalami stagnan.
Baca juga: Tadabur Q.S. Alhujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital
Berpikir kritis (critical thinking)
Menurut Dacey dan Kenny, pemikiran kritis (critical thinking) adalah kemampuan berpikir secara logis, dan menerapkannya untuk menilai situasi dan membuat keputusan yang baik. Proses berpikir kritis dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran serta menarik kesimpulan yang berperan dalam membuat keputusan.
Berbicara tentang critical thinking, sejatinya dapat diambil contoh dari apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. Beliau dikenal sebagai sosok yang curious, yaitu sikap ketertarikan untuk ingin tahu tentang suatu hal (being interested to know or eager to learn). Karakter ini tergambar dalam Q.S. Albaqarah: 260 berikut.
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
“(Ingatlah) ketika Ibrahim a.s. berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum percayakah engkau?” Ibrahim a.s. menjawab: “Aku telah meyakinkannya. Akan tetapi, itu agar hatiku tetap mantap (dengan imanku). Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah, kemudian letakkan di atas masing–masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Albaqarah: 260).
Menurut al-Jauzi, penggalan ayat ini menegaskan rasa ingin tahu Nabi Ibrahim a.s. Rasa ingin tahu ini kemudian diungkapkan dengan bentuk dialog kepada Tuhannya. Beliau memohon kepada Allah Swt. supaya ditampakkan kepadanya bukti empirik tentang bagaimana Allah Swt. dapat menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati untuk meyakinkan hatinya dan memastikan secara rasional apapun yang dipahaminya (al-Jauzi, Zad al-Mashir fi ‘Ilm al-Tafsir, hal. 236).
Imam Qatadah menyebutkan bahwa permohonan Nabi Ibrahim a.s. itu berawal ketika beliau melihat bangkai hewan yang sudah terkoyak-koyak oleh binatang darat dan laut, kemudian beliau memohon kepada Allah Swt. supaya memperlihatkan kepadanya bagaimana makhluk yang sudah terkoyak-koyak dapat kembali hidup dengan badan yang utuh. “Ya Tuhan Sang Maha Pemelihara, bolehkah diperlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan kembali makhluk yang telah mati?” tanya Nabi Ibrahim. Lalu, turunlah ayat tersebut sebagai jawaban.
Baca juga: Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta
Membangun nalar kritis dengan dialog
Dialog yang terjadi antara Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah Swt. mengindikasikan bahwa beliau ingin mendapatkan pengetahuan yang dapat dilihat secara empirik sehingga tidak mungkin terdapat keraguan, syubhat maupun pertentangan. Karena pengetahuan yang hanya berdasarkan riwayat tak menutup kemungkinan timbulnya keraguan dan pertentangan.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa ungkapan kalimat itu tidak menunjukkan keraguan Nabi Ibrahim a.s. terhadap kemampuan Allah Swt. Beliau hanya ingin melihat kemampuan itu secara langsung. Ini karena termasuk watak manusia selalu ingin mewujudkan sesuatu yang belum terwujud dan melihat secara langsung sesuatu yang telah diinformasikan kepadanya (Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj).
Dari sini terlihat, bagaimana adanya proses nalar kritis yang dibangun oleh Nabi Ibrahim melalui dialog dengan Tuhannya. Dialog Nabi Ibrahim a.s. kepada Allah Swt. menghasilkan suatu pengetahuan dan ilmu yang diterima secara kritis, serta dihayati secara cermat dan teliti semata-mata hanya untuk mengharap rida Allah Swt. Pola pikir rasional dan kritis dari Nabi Ibrahim a.s. mengajarkan kepada manusia bahwa dalam upaya menemukan Allah Swt. tidak harus melihat dari pancaindra, melainkan juga dapat melalui pengamatan dan perenungan atas ciptaan-Nya.
Pertanyaan yang diajukan ada hubungannya dengan tingkat keimanan. Keimanan yang mendalam justru dapat diperoleh dari serangkaian pertanyaan yang mendalam yang pada akhirnya justru dapat meningkatkan keyakinan seseorang terhadap kebenaran, bukan sekadar menerima tanpa mempertanyakan. Keimanan Nabi Ibrahim a.s. mantap setelah adanya pembuktian dari Allah Swt. atas permintaannya tersebut. Tentu Nabi Ibrahim a.s. tidak hanya menginginkan keyakinan yang muncul dari hati, tetapi juga keyakinan yang tampak dilihat oleh mata jasmani.
Sebagaimana yang telah disebutkan, nabi yang dijuluki Khalilullah ini memang dikenal sebagai sosok yang memiliki nalar kritis yang dapat dilihat pada beberapa ayat yang merekam kepribadian beliau. Misalnya, ketika mencoba mencari Tuhan, beliau beradu argumen dengan para penyembah berhala dan Raja Namrud. Begitu pula dialognya dengan Nabi Ismail, putranya, ketika diperintahkan untuk disembelih.
Kisah Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa kemampuan berpikir kritis sangat penting dikembangkan pada diri tiap orang, terutama peserta didik, karena dapat berperan sebagai dasar penguasaan jenjang kognitif yang lebih tinggi (menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi).
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan berpikir kritis siswa yaitu model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) atau dikenal dengan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Sebuah pendekatan pengajaran yang menggunakan hal-hal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari sebagai konteks permasalahan bagi peserta didik untuk belajar berpikir kritis, terampil memecahkan masalah sendiri, dan mengembangkan kemandirian serta percaya diri.
Model pembelajaran ini bisa dibangun dengan dialektika antara murid dan guru. Guru dan murid harus berperan sebagai pemain bersama. Mereka bersama-sama memecahkan satu masalah. Guru tidak berpikir untuk menjadi murid, tetapi guru dan murid bersama-sama mencari dan bertanggung jawab dalam suatu proses pertumbuhan. Guru dan murid terlibat aktif dalam proses mengajar dan belajar.
Dalam keterlibatan itu, murid cenderung dapat mengembangkan mental-intelektualnya, yakni untuk secara berani dan meyakinkan menerima, menghayati, menelaah, dan mengajukan solusi atas masalah yang ada. Dalam waktu yang bersamaan, peserta didik juga sedang berlatih mengembangkan emosi-sosialnya, yang berindikasi pada kemampuannya memberikan respons atau keinginan untuk berbuat sesuatu, terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang tersaji dalam materi pelajaran.
Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. Assaffat: 102