Bagian ayat yang akan diuraikan penulis adalah terkait makna asrā yang hanya dapat ditemukan dalam surat Al-Isra ayat 1.
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
Artinya:
“Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Al-Isra Ayat 1).”
Ahli bahasa berpendapat, bahwa kata sarā dan asrā merupakan dua kata yang sama yang dapat bermakna perjalanan. Dalam al-Qur’an, kata asrā ini hanya dapat ditemukan dalam satu tempat, yakni pada surat al-Isrā’ ayat pertama.
Kalaupun ada yang mirip dengan Surat Al-Isra Ayat 1, dapat ditemukan dalam surat Hūd: 81, al-Ḥijr: 65, Ṭāha; 77, as-Syu‘arā‘: 52, dan ad-ḍukhān: 23.
فَأَسۡرِ بِأَهۡلِكَ بِقِطۡعٖ مِّنَ ٱلَّيۡلِ وَلَا يَلۡتَفِتۡ مِنكُمۡ أَحَدٌ إِلَّا ٱمۡرَأَتَكَۖ
Artinya:
Pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamy yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu.
Namun redaksi yang digunakan semua surat tersebut berbeda dengan bentuk yang ditemukan dalam surat Al-Isra Ayat 1. Di tempat lain menggunakan bentuk fi’il amar (bentuk perintah) “asrī”, dan bukan bentuk kata kerja “asrā’”. Hal yang menarik, bahwa semua bentuk kata asrā maupun asrī itu selalu diiringi oleh kata lail dibelakangnya. (Ibrahim: 1988).
Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan
Untuk argumen logisnya, dapat dirujuk melalui Tafsir al-Kasyāf. Di sana Imam Az-Zamakhsyari berpendapat, bahwa kata asrā’ itu secara otomatis mengandung makna ‘di malam hari’. Jadi makna yang kemudian hadir melalui redaksi kata asrā adalah “perjalanan di malam hari”.
Kalau kita kaitkan dengan konteks ayat tersebut, berarti kata asrā itu mengimplikasikan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang pada malam hari. Di mana orang yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, saw.
Pertanyaannya bagaimana makna kata lain yang jatuh setelah kata asrā ? Padahal secara sepintas kata lail (malam) tidak diperlukan lagi setelah kata asrā yang telah mencakup makna perjalanan malam hari.
Menanggapi pemaknaan ini, para ulama menjadikan kata asrā mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya mengambil beberapa waktu dari keseluruhan waktu malam.
Begitu singkatnya perjalanan tersebut, tergambarkan melalui riwayat yang menyatakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw.,dari perjalanan isrā’, ia masih menemukan kehangatan di tempat tidur beliau. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000).
Sedikit berbeda dengan az-Zamakhsyari, baginya kata lail yang terletak di belakang redaksi kata asrā’ hanyalah sebagai bentuk “pengingkaran” atau penolakan terhadap kebiasaan perjalanan dari Makkah ke Syam itu membutuhkan waktu selama 40 malam. Dalam kasus tertentu seperti pada peristiwa isrā’ mi’rāj perjalanan dari Makkah menuju Syam dapat ditempuh dalam kurun waktu semalam. (Az-Zamakhsyari: 2009).
Tidak jauh beda dengan pendahulunya, Quraish Shihab juga berargumen bahwa kata asrā itu bermakna perjalanan pada malam hari. Akan tetapi Quraish Shihab cenderung lebih teliti ketika mendefinikasn bagian-bagian kata yang berada sebelum dan sesudah kata asrā. Seperti halnya keberadaan huruf bā’ dalam frase berikut ٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ yang mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Nabi, terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Swt. (Quraish Shihab: 2005).
Melalui frase tersebut juga mengandung makna, bahwa Nabi saw. bukan saja diisra’kan lalu kemudian dilepas begitu saja, tetapi Isrā’ yang dilakukan Nabi itu berada dalam bimbingan Allah secara terus-menerus, bahkan “disertai” oleh-Nya.
Maka dapat ditarik benang merah, bahwa sebenarnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi saw., bukanlah atas kehendak beliau, dan tidak juga terjadi atas kemampuan beliau. Tetapi, perjalanan tersebut benar-benar berdasarkan atas kehendak Allah swt. Dia-lah yang memperjalan kan Nabi Muhammad saw., pada malam hari. (Quraish Shihab: 2005).
Atas dasar itu, narasi ayat tersebut mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa isra’ mi’raj tidak bisa diukur berdasarkan kemampuan makhluk, karena peristiwa itu terjadi murni karena kehendak Allah swt. Meski tidak dipungkiri, beberapa ulama juga menafsirkan kata isrā’ dengan dibumbuhi tambahan-tambahan makna. Sekiranya, agar redaksi ayat yang dimaksud dapat memberikan pemahaman yang lebih logis kepada manusia.
Baca Juga: Inilah 9 Ayat yang Menjelaskan Nabi Muhammad saw Sebagai Sosok Panutan
Sebagaimana segolongan berpendapat bahwa isrā’ itu hanyalah perjalanan yang dilakukan Nabi melalui ruhnya saja. Di antara alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah pendapat Muawiyah. Beliau berpendapat bahwa isra’ adalah suatu mimpi yang benar. Sedangkan Aisyah menyatakan bahwa Nabi berisra’ dengan ruhnya. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000). Tetapi secara umum para ulama’ berpendapat bahwa perintah perjalanan yang dilakukan Nabi dilakukan dengan menggunakan jasadnya.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa kata asrā’ tidak hanya bermakna perjalanan, namun lebih kepada perjalanan pada malam hari, dan hal ini tentu berbeda dengan kata-kata seerti safār, zahāb, atau riḥlah.
Melalui penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa keistimewaan al-Qur’an dapat dilihat melalui bagian-bagiannya yang terkecil, termasuk dalam pemilihan diksi yang terkandung di dalamnya. Wallahu a‘lam.