BerandaTokoh TafsirSyekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Alquran

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Alquran

Dalam dunia tarekat-tasawuf, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tak ayal lagi merupakan sosok yang masyhur. Tarekat yang dinisbatkan kepada beliau—Qadiriyah, serta berbagai variannya seperti Qadiriyah wa Naqsyabandiyah—diikuti oleh banyak umat Islam Indonesia.

Acara pembacaan hagiografi atau manakib Syekh Abdul Qadir telah menjadi bagian dari tradisi kebudayaan masyarakat tertentu di Indonesia—misalnya di Banten, yang dikenal dengan tradisi mamaca syekh. Tradisi tersebut bahkan dianggap penting dan keramat oleh mereka yang bukan pengikut tarekat.

Umumnya, sosok Syekh Abdul Qadir dilekatkan dengan sejumlah karamah; karena memang karamahlah yang dianggap menjadi salah satu penanda seorang wali. Lebih-lebih, Syekh Abdul Qadir digelari shulthonul auliya—yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sultannya para wali—sudah barang tentu diyakini memiliki karamah-karamah yang luar biasa.

Baca juga: Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Karena lebih sering diasosiasikan dengan karamah, pembicaraan mengenai fondasi kewalian Syekh Abdul Qadir tampaknya belum menjadi sesuatu yang umum. Padahal, dalam manakib-manakib yang ada, di antaranya diceritakan tentang berbagai ilmu dan amal Syekh Abdul Qadir, yang tidak kalah mengagumkan dari karamah-karamahnya yang dianggap ajaib.

Sebagai contoh, dalam kitab Lujainuddani—salah satu kitab manakib Syekh Abdul Qadir, karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto dan diterbitkan oleh Al-Miftah Surabaya—termaktub sejumlah ilmu dan amal Syekh Abdul Qadir. Di antaranya, ada yang berkaitan dengan Alquran.

Pertama, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran. Dalam manakibnya, tertulis bahwa semasa hidupnya Syekh Abdul Qadir mengajarkan 13 macam ilmu; yaitu ilmu tafsir, hadis, khilaf, usul fikih, nahu, qiraah, saraf, arudh, ma’ani, badi’, bayan, mantik, dan tasawuf.

Baca juga: Ketika Kaum Sufi Berinteraksi dengan Alquran

Tampak bahwa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir contohnya yaitu ilmu tafsir dan ilmu qiraah. Ilmu tafsir secara umum merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara memahami—atau menafsirkan—Alquran, sementara ilmu qiraah adalah ilmu tentang cara-cara membaca Alquran.

Kedua, salah satu kebiasaan Syekh Abdul Qadir adalah membaca Alquran untuk menghabiskan sepertiga malam kedua. Dalam kitab Lujainuddani, diceritakan bahwa seluruh waktu Syekh Abdul Qadir hanya dipersembahkan untuk Allah semata.

Kesaksian dari Syekh Muhammad bin Abdul Fattah Al-Harawi—salah satu pembantu Syekh Abdul Qadir yang mengabdi selama 40 tahun—mengemukakan bahwa di antara amalan beliau ketika malam yaitu melakukan salat, berzikir, dan membaca Alquran. Dikemukakan bahwa Syekh Abdul Qadir melakukan itu semua hingga tiba waktu fajar.

Baca juga: Menelisik Epistemologi Tafsir Susfistik Abu Hamid al-Ghazali

Ketiga, salah satu petuah Syekh Abdul Qadir yaitu tentang keharusan menjadikan Alquran dan as-sunnah sebagai timbangan dalam menghadapi orang lain—dalam mencintai atau membenci mereka; sembari mengingatkan agar tidak menilai perilaku manusia berdasarkan hawa nafsu.

Keempat, Syekh Abdul Qadir menulis kitab Tafsir Al-Jailani. Informasi tentang kitab tafsir tersebut tidak tertulis dalam kitab Lujainiddani, karena merupakan perkembangan yang mutakhir. Kitab tafsir itu “ditemukan” oleh Syekh Fadhil Al-Jailani—salah satu keturunan Syekh Abdul Qadir yang berkewarganegaraan Turki.

Sebagai sebuah kitab yang ditulis oleh seorang sufi, corak tafsir yang disajikan dalam kitab tersebut dinilai bernuansa sufistik. Hal tersebut sangat wajar, mengingat salah satu motivasi penulisan kitab tersebut yaitu kesadaran Syekh Abdul Qadir akan pentingnya menjelaskan dimensi batin dari agama.

Baca juga: Makna Puasa dan Tiga Tingkatannya menurut Tafsir Sufistik

Uraian di atas telah memaparkan fakta yang menunjukkan bahwa Syekh Abdul Qadir merupakan sosok yang berilmu dan beramal saleh. Namun, itu hanya sebagian saja; keluasan ilmu dan kesungguhan beramal beliau tentu saja lebih daripada yang diuraikan dalam tulisan ini.

Hal tersebut penting untuk dipahami oleh banyak orang; agar sosok Syekh Abdul Qadir tidak melulu dilekatkan dengan keajaiban-keajaiban karamah beliau, tetapi juga dengan kesungguhan beliau dalam mencari dan mengamalkan ilmu serta beramal saleh.

Herman Hendrik
Herman Hendrik
Peneliti pada Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...