Selama ini kita sering mendengar atau membaca di literatur fikih klasik istilah nusyuz yang dikaitkan dengan pembangkangan istri kepada suami. Namun sebenarnya di dalam Al-Quran kata nusyuz juga berkaitan dengan suami. Lalu apakah sebenarnya nusyuz suami itu?
Istilah nusyuz suami tidak diketahui banyak orang, padahal ia disebutkan di dalam Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 128 yang berbunyi sebagai berikut:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ ۚ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengertian nusyuz
Kata nusyuz (نُشُوْزٌ) sebagaimana yang diterangkan dalam kamus Lisanul ‘Arab berasal dari kata kerja nasyaza-yansyuzu-nusyuzan (نَشَزَ- يَنْشُزُ- نُشُوْزًا). Ia seakar dengan kata nasyazun (نَشَزٌ) yang berarti tempat atau daratan tinggi. Sesuatu dikatakan nusyuz ketika ia meninggi atau lebih terlihat dibanding yang lain.
Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an
Adapun dalam fikih munakahat, nusyuz ialah istilah untuk merujuk pada ketidaksukaaan dan perlakuan buruk seseorang terhadap pasangannya. Ia seakan-akan merasa berkedudukan lebih tinggi dibanding pasangannya. Menurut Abu Ishaq, perbuatan nusyuz tersebut dapat muncul dari istri maupun dari suami.
Istri yang nusyuz ialah istri yang membangkang perintah suaminya, selama hal tersebut tidak berhubungan dengan perbuatan yang dilarang syariat. Sementara suami dikatakan nusyuz ketika memukul, berpaling atau membahayakan istrinya.
Hukum nusyuz
Perbuatan nusyuz baik dari pihak istri maupun suami tidak dibenarkan syariat. Islam menghendaki relasi suami-istri terjalin dengan saling bahagia-membahagiakan. Namun bagaimanapun juga, gesekan kecil adalah hal yang wajar dalam kehidupan rumah tangga. Untuk itu, Islam telah menyediakan solusi atasnya.
Dalam pandangan klasik, terdapat perbedaan dalam penyelesaian masalah antara nusyuz istri dan nusyuz suami. Perbedaan tersebut didasari oleh perbedaan redaksional Alquran yang membahas masalah nusyuz istri dan suami, yaitu QS. An-Nisa: 34 dan 128. Selain itu juga dipengaruhi oleh budaya Arab kala itu.
Imam Syafii dalam tafsir Ahkamul Qur’an menyatakan bahwa ketika istri melakukan nusyuz, suami hendaknya menasihatinya terlebih dahulu. Apabila nasihat tidak membuahkan hasil, maka ia dapat mendiamkannya. Selanjutnya apabila istri tetap atas tindakan nusyuznya, maka suami diperbolehkan memukul.
Adapun bila suami yang nusyuz kepada istri, istri dapat mengajak berdamai dengan mendatangkan mediator. Bila diperlukan, istri dapat merelakan sebagian haknya seperti mahar atau jatah gilirnya apabila suami berpoligami. Bila berbagai usaha tersebut tidak berhasil, maka istri dapat mengajukan khulu’ (gugat cerai).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak
Tafsir dan hukum yang responsif gender
Pandangan fikih klasik di atas sudah kurang relevan untuk masa sekarang, di mana kedudukan laki-laki dan perempuan telah berimbang. Pemukulan dan pengurangan hak-hak perempuan tidak lagi dianggap sebagai jalan keluar dari masalah rumah tangga. Bahkan hal tersebut malah dapat memperburuk suasana.
Ibn ‘Asyur, salah seorang ulama kontemporer, dalam tafsirnya memberikan penilaian khusus tentang pemukulan suami akibat nusyuz istri. Menurutnya, kebolehan tersebut haruslah dibatasi secara ketat, yaitu pada kasus di mana istri telah bertindak terlewat batas.
Pemukulan tersebut menurutnya juga tidak dilakukan semena-mena, melainkan haruslah sesuai keperluan. Sebab bila tidak, suami berpotensi melakukan kezaliman baru. Ulama Suriah tersebut bahkan mendorong pemerintah setempat melarang pemukulan istri bagi mereka yang tidak mampu mengendalikan amarahnya.
Baca Juga: Laleh Bakhtiar dan Penafsiran Al-Quran dengan Hadis
Lebih jauh, Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qiraah Mubadalah, menyatakan bahwa pendisiplinan istri dengan cara memukulnya tidak bersifat qat’iy. Ia mencatat perbedaan pendapat para ulama atas hal tersebut yang sebagiannya menghukumi makruh.
An-Nisa: 34 menurutnya terbuka untuk ditafsirkan ulang secara lebih komprehensif dengan melibatkan nas-nas lain yang terkait. Di antaranya keharusan memperlakukan dengan baik atau mu’asyarah bil ma’ruf (An-Nisa: 19) dan saling menutupi kekurangan masing-masing sebagaimana filosofi pakaian (Al-Baqarah: 187).
Dalam hadis juga disebutkan misalnya bahwa Nabi Saw tidak pernah sekalipun memukuli istrinya (Muslim, no. 6195). Beliau bahkan melarang suami memukul istri (Abu Daud, no. 2146), sebab sama saja ia memperlakukan mereka layaknya hamba sahaya (Bukhari, no. 5295). Nas-nas di atas perlu dikaitkan dengan ayat nusyuz sehingga menghasilkan penafsiran yang ramah gender.
Alhasil, nusyuz menurut Faqihuddin adalah ketidaktaatan pasangan terhadap komitmen bersama yang dapat melemahkan ikatan keduanya. Dan tips melaluinya ialah dengan selalu berbuat baik (ihsan) serta menjaga diri (takwa) dari sikap dan tindakan buruk terhadap pasangan, termasuk pemukulan suami terhadap istrinya.
Wallahu A’lam