Menentukan najis tidaknya air semudah mengetahui apakah air tersebut terkena najis atau tidak. Menurut para ulama’, tidak setiap kali air terkena najis, ia otomatis menjadi najis. Ada Patokan-patokan tertentu untuk menentukan apakah air menjadi najis saat terkena najis, atau tidak. Mulai dari apakah najis tersebut ma’fu (dimaafkan) atau tidak, apakah air tersebut berjumlah banyak atau sedikit, serta apakah sifat-sifat air tersebut berubah atau tidak. Simak penjelasannya berikut ini:
Kriteria Air Yang Terkena Najis
Tidak setiap air yang terkena najis akan menjadi najis. Hal ini bisa disimpulkan salah satunya lewat penjelasan para ahli tafsir, di antaranya saat mereka menyinggung firman Allah:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا ٦
Jika kamu sakit dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci
Imam Ar-Razi menyatakan bahwa banyak kalangan sahabat dan tabi’in, yang meyakini bahwa air tidak lantas menjadi najis hanya karena terkena najis. Selama sifat air tidak berubah, entah sedikit atau banyak jumlah air, maka air tersebut tetap suci. Sifat air yang dimaksud ialah unsur warna, rasa, dan bau air tersebut.
Adapun ulama’ mazhab menyatakan pendapat sedikit berbeda dengan mereka. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan bahwa bila jumlah air sedikit, maka air menjadi najis meski tidak berubah sifat-sifatnya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para ulama’ penganut mazhab Imam Malik juga menyatakan hal serupa. Bahwa air yang banyak tidak menjadi najis selama tidak berubah sifat-sifatnya. Sedang air yang sedikit menjadi najis sebab terkena najis meski tidak berubah sifat-sifatnya. Beberapa ulama’ bahkan menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Imam Malik sendiri (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/42).
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyatakan, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air yang sedikit menjadi najis apabila terkena najis. Entah apakah air tersebut berubah sifatnya atau tidak. Hanya saja ulama’ berbeda-beda dalam memberi ukuran manakah yang dikategorikan air yang sedikit dan air yang banyak.
Mazhab Syafi’i memperkenalkan istilah dua qullah. Kurang dari dua qullah adalah air sedikit, dan dua qullah atau lebih adalah air yang banyak. Dua qullah bila dikonversi dalam satuan volume air berjumlah sekitar 270 liter air. Mazhab Abu Hanifah mengukur banyak-sedikitnya air dengan kemampuan najis tersebut menggerakkan kedua sisi air dengan najis yang jatuh di salah satu sisinya. Sedang Mazhab Maliki mengukur sedikit dan banyaknya air lebih kepada adat dan kebiasaan (Tafsir al-Munir/19/88).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…
Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas, kita bisa mengambil kesimpulan: Pertama, tidak setiap air yang terkena najis akan menjadi najis. Terkait masalah ini, ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah air yang sedikit menjadi najis sebab terkena najis, meski tidak berubah sifat-sifatnya? Kedua, air yang banyak tidak menjadi najis sebab terkena najis selama tidak berubah sifat-sifatnya. Dalam permasalahan ini banyak komentar yang menyatakan bahwa ulama’ sepakat soal hal ini (Mausu’atul Ijma’ fi Fiqhil Islami/1/98).
Penjelasan di atas sebenarnya hanyalah pembahasan air najis yang hanya ditinjau dari segi airnya saja. Sebab bila ditinjau dari najis yang mengenai air tersebut, maka akan ada pemilahan mengenai najis yang dapat membuat air menjadi najis dan yang tidak. Di antara yang dikategorikan najis tapi tidak membuat air menjadi najis adalah bangkai serangga yang keberadaannya sulit dihindarkan dari air (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/46). Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga?