Al-Qur’an menetapkan bahwa orang yang junub atau hadas besar sebab berhubungan intim atau keluar sperma, tidaklah diperbolehkan menjalankan salat sebelum mandi besar. Ini adalah salah satu kesimpulan yang disepakati ulama’ berdasar surah An-Nisa’ ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6.
Namun berdasarkan surah An-Nisa ayat 43, sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal yang dilarang bagi orang yang junub tidak hanya salat saja, tapi juga berdiam diri di masjid. Bagaimana ulama’ memahami larangan berdiam diri di masjid bagi orang yang junub lewat ayat tersebut? Berikut penjelasannya.
Larangan Berjalan dan Berdiam Diri di Masjid Bagi Orang yang Junub
Menurut sebagian ulama, Al-Qur’an menetapkan larangan berdiam diri di masjid dalam firman Allah yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan dan jangan (pula menghampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu (saja) sehingga kamu mandi (junub) (QS. An-Nisa’ [4]: 43).
Imam Ibn Katsir Menyatakan, lewat ayat ini Allah melarang hambanya menjalankan salat tatkala sedang mabuk; yaitu keadaan yang membuat ia tidak menyadari apa yang ia ucapkan. Selain itu, Allah juga melarang bagi orang yang junub untuk mendekati tempat salat kecuali hanya sekadar lewat saja tanpa berdiam diri. Dari sini seakan-akan Allah melarang kita mengerjakan salat dalam keadaan kurang layak, yang justru dapat merusak tujuan salat. Juga menjauhkan kita dari mendekati tempat salat dalam keadaan kurang layak sebagaimana saat junub (Tafsir Ibn Katsir/2/308-313).
Imam Al-Qurthubi menyatakan, sebagian ulama’ memahami bahwa maksud salat dalam ayat di atas adalah “tempat salat”, bukan tindakan salat itu sendiri. Sehingga ayat di atas bermakna jangan mendekati tempat salat dalam keadaan mabuk sampai mampu mengetahui apa yang ia sendiri ucapkan, alias sudah sadar. Juga saat keadaan junub, kecuali hanya sekedar lewat saja. Dari sini maka orang yang junub dilarang berdiam diri di masjid. Pendapat ini adalah pendapat yang diyakini Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Sedang Imam Abu Hanifah meyakini bahwa salat dalam ayat di atas, bermakna tindakan salat itu sendiri. Oleh karena itu, ayat di atas bermakna jangan melakukan salat dalam keadaan mabuk sampai mengetahui apa yang ia sendiri ucapkan. Juga saat keadaan junub, kecuali bagi musafir yang tidak menemukan air.
Sebagian ulama’ lain menyatakan, maksud dari salat di atas adalah tindakan salat juga sekaligus tempat salat itu sendiri. Sebab di zaman dahulu, orang mendekati tempat salat atau masjid tujuannya adalah salat itu sendiri. Dan mereka tatkala hendak salat, juga menuju tempat salat sebab senantiasa salat berjamaah (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an/5/202).
Imam Ar-Razi menerangkan, menggunakan kata salat dengan maksud makna tempat salat adalah penggunakan yang masuk kategori umum dan diperbolehkan. Beliau mencontohkan kata salat dalam surah Al-Hajj ayat 40 yang dimaksudkan untuk tempat salat. Namun untuk permasalahan kata salat dalam surah An-Nisa’ di atas, Imam Ar-Razi menyatakan bahwa mayoritas ulama’ meyakini bahwa makna salat dalam ayat tersebut adalah tindakan salat itu sendiri, bukan tempat salat (Tafsir Mafatih al-Ghaib/5/212).
Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran
Kesimpulan Hukum Mendekati Masjid Bagi Orang yang Junub
Surah An-Nisa’ ayat 43 hanyalah salah satu dasar yang dijadikan pertimbangan ulama’ dalam menentukan hukum mendekati tempat salat bagi orang yang junub. Selain surah tersebut, masih banyak dasar-dasar lain terutama dari hadis Nabi. Untuk memberikan keterangan lengkap tentang pro-kontra hukum mendekati masjid bagi orang yang junub, maka kami akan memaparkan keterangan Imam An-Nawawi; salah seorang pakar perbandingan mazhab tentang masalah ini.
Imam An-Nawawi menyatakan bahwa menurut mazhab Syafi’i hukumnya haram bagi orang yang junub berdiam di masjid, entah itu dalam keadaan duduk, berdiri maupun berputar-putar, memiliki wudhu atau tidak memilikinya. Namun kalau sekadar lewat, entah itu untuk suatu keperluan atau tidak, maka diperbolehkan.
Imam Ahmad membolehkan orang yang junub berdiam di masjid tatkala memiliki wudhu, dan tidak memperbolehkannya lewat di masjid bila tanpa suatu keperluan. Sedang Imam Abu Hanifah dan Malik tidak membolehkan berdiam di masjid, dan membolehkan lewat kalau dalam keadaan terpaksa. Imam Muzani dan Ibn Mundzir menyatakan pendapat yang cukup berbeda dari kesemuanya dengan membolehkan orang yang junub berdiam di masjid secara mutlak (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab/2/160). Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci