Waqaf dalam surah Al-Fatihah juga menjadi perhatian para ulama, baik ulama fikih maupun ulama pengkaji Al-Quran, terlebih karena surah Al-Fatihah adalah surah Al-Quran yang wajib dibaca dalam salat. Namun demikian, perbincangan ini bukan tentang boleh atau tidaknya waqaf, tetapi lebih tentang baik atau tidak baiknya ayat dalam surah Al-Fatihah untuk dibaca waqaf
Membaca surah Al-Fatihah dalam salat merupkan suatu keharusan (rukun). Tidak sah salat apapun, salat fardu atau sunah tanpa membaca Al-Fatihah. Selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim.
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artinya: “tidak sah salatnya orang yang tidak membaca Al-Fatihah”
Membaca surah Al-Fatihah dalam salat dianggap sah bila memenuhi sarat-saratnya yaitu: pembaca mendengarkan bacannya sendiri, dibaca berurutan (tartib) dengan memperhatikan Makroj serta tasydidnya, dan tidak keliru dalam membaca (lahn) sehingga dapat merubah makna. Tidak kalah penting untuk diperhatikan ialah terkait waqof. Waqof dan Ibtida’ (tempat berhenti dan memulai membaca ayat al-Qur’an) merupakan salah satu bahasan penting dalam Ulumul Qur’an sebab dengan mengatahui Waqof dan Ibtida’ makna ayat akan terselamatkan dari kesalahan.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya
Pertemuan pendapat ulama ilmu Al-Quran, ulama qura’ dan ulama fikih
Waqof dalam Al-Fatihah yang disunahkan ialah setiap akhir ayat, termasuk basmalah karna basmalah dihitung satu ayat, dan tidak membaca waqaf pada (أَنْعَمت عَلَيْهِم). Berbeda dengan pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan yang paling utama ialah menyambung antara basmalah (bismillahirrahmanirrahim) dan hamdalah (alhamdulillahi rabbil alamin).
Syekh Nawawi Al-Jawi menjelaskan dalam Nihayatu Az-Zain,
وَ سُنّ (وَقْفُ عَلىَ رَأس كُلِّ آيَة مِنْهَا) أَي الْفَاتِحَة وَقَالَ ابْن حجر فِي فَتْحِ الْجَوادِ وَالْأَوْلَى أَن يَصِلَ بَين الْبَسْمَلَة والحمدلة نعم الْأَفْضَل الْوَقْف على رَأس كل آيَة من بَقِيَّة الْفَاتِحَة لِلِاتِّبَاعِ وَالْأَوْلَى أَن لَا يَقِفَ على أَنْعَمت عَلَيْهِم لِأَنَّهُ لَيْسَ بِوَقفٍ تَامٍّ وَلَا مُنْتَهى آيَة عندنَا
Artinya:” dan disunahkan membaca waqaf pada akhir ayat surat al-Al-Fatihah. Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Jawad yang paling utama ialah menyambungkan bacaan basmalah dan al-Hamdulillah. Ya, yang paling utama membaca waqof pada setiap ayat surat al-Al-Fatihah karena mengikuti Nabi (i’tiba’). Dan yang paling utama tidak membaca waqaf pada (أَنْعَمت عَلَيْهِم) karena pada kalimat ini bukanlah waqof tam bukan pula akhir ayat”. (Syekh Nawawi al-Jawi, Nihayatu Az-Zain, halaman 63.)
Membaca waqaf dalam surah Al-Fatihah di setiap akhir ayatnya ternyata bukan waqaf yang baik menurut ulama ahli Qira’ah. Semisal membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai lagi الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ membaca dengan cara dengan demikian, tidak dianggap baik sebab ayat الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ masih berhubungan dengan ayat sebelumnya; baik secara makna, maupun lafad.
Baca Juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya
Az-Zarkasyi menjelaskan dalam kitabnya Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an sebagai berikut,
وَالْحَسَنُ هُوَ الَّذِي يَحْسُنُ الْوُقُوفُ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسُنُ الِابْتِدَاءُ بِمَا بَعْدَهُ لِتَعَلُّقِهِ بِهِ فِي اللَّفْظِ وَالْمَعْنَى نَحْوَ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} وَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} وَالْوَقْفُ عَلَيْهِ حَسَنٌ لِأَنَّ الْمُرَادَ مَفْهُومٌ وَالِابْتِدَاءُ بِقَوْلِهِ: {رَبِّ الْعَالَمِينَ} وَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} وَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} لَا يَحْسُنُ لِأَنَّ ذَلِكَ مَجْرُورٌ وَالِابْتِدَاءُ بِالْمَجْرُورِ قَبِيحٌ لِأَنَّهُ تَابِعٌ
Artinya: “Waqaf hasan adalah lafad yang bagus berhenti dilafad itu, namun tidak bagus memulai dengan ayat setelahnya karena masih adanya keterkaitan lafad dan makna dengan ayat sebelumnya semisal الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai lagi dari الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ“. waqaf pada kalimat tersebut bagus, karena maksud ayat dapat dipahami. Namun memulai dengan {رَبِّ الْعَالَمِينَ} dan{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}dan {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}tidaklah bagus karena ayat tersebut dijarkan (majrur) sedangkan memulai dengan majrur tidak baik sebab berupa na’at (Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Quran, halaman 352)
Serupa dengan permasalahan di atas, yaitu kesunahan untuk tidak mewaqafkan pada lafad أَنْعَمت عَلَيْهِم, namun bila terlanjur membaca waqaf itupun tidak menjadi masalah. Tapi setelah itu lebih baik untuk tidak memulai dari ayat sebelumnya (صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ), melainkan memulai dari ayat setelahnya (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ).
Namun demikian, sebenarnya hal tersebut tidak dianggap baik menurut ulama qura’ (ahli dalam bacaan Al-Quran). Menurut ulama qura’ bila berhenti membaca Al-Quran tapi waqafnya tidak pas, maka harus mengulang dari ayat sebelumnya, tapi jika hal itu dilakukan maka bisa membatalkan salat karna sama saja mengulang rukun qouli dalam salat. Di sinilah akhirnya ulama qura’ dan ulama fikih bertoleransi terhadap pendapat mereka.
Baca Juga: Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4
Syekh Bakri Syato menjelaskan perihal di atas,
لِأَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَحْسُنْ فِي عُرْفِ الْقُرَّاءِ إلَّا أَنَّ تَرْكَهُ يُؤَدِّي إلَى تَكْرِيرِ بَعْضِ الرُّكْنِ الْقَوْلِيِّ ، وَهُوَ مُبْطِلٌ فِي قَوْلٍ فَتَرْكُهُ أَوْلَى خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ
Artinya: “Karena yang demikian itu (memulai membaca lagi dari غيرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ tidak mengulangi dari (صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) meskipun tidak dianggap baik menurut kebiasaan ulama quro’ hal demikian bila tidak dilakukan akan mengakibatkan mengulangi sebagian rukun qouli dan hal itu menurut sebuah pendapat dapat membatalkan salat. Maka, lebih baik dibindari untuk keluar dari perbedaaan pendapat”. (Syekh Bakri Syatho, I’anatuttholibin, juz 1, halaman 172.)
Aturan tentang waqaf dalam surah Al-Fatihah di atas tidak lebih dari bentuk kehati-hatian para ulama dalam membaca Al-Quran dan salat, baik ulama Al-Quran (ahli dalam ilmu Al-Quran), ulama Qura’ (ahli dalam bacaan Al-Quran), maupun ulama fikih (ahli dalam hukum ibadah dan muamalah). Tentu tujuan mereka adalah untuk memberikan kualitas ibadah yang terbaik terhadap Allah Swt, bukan untuk bersitegang sesame manusia karena perbedaan pendapat yang disampaikan. Semoga kita dapat mengikuti teladan para ulama. Amin
Wallahu A’lam