BerandaTafsir TahliliTafsir Al-Baqarah Ayat 28: Alasan dan Cara Mensyukuri Kehidupan Dunia

Tafsir Al-Baqarah Ayat 28: Alasan dan Cara Mensyukuri Kehidupan Dunia

Lika-liku kehidupan yang kadang penuh kesengsaraan kadang membuat kita amat menyepelekan kehidupan. Alih-alih bersyukur telah diberi kehidupan, kadang kita memiliki anggapan bahwa kehidupan adalah sumber segala kesengsaraan. Kita beranggapan bahwa andai tidak hidup, tentu kita tidak akan merasakan kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai serta merasakan hal-hal yang menyedihkan lainnya.

Anggapan-anggapan di atas berkebalikan dengan kesimpulan yang diperoleh para pakar tafsir Al-Qur’an. Menurut para pakar tafsir, kehidupan bukan sumber segala kesengsaraan, tapi sumber segala nikmat yang harus disyukuri. Menurut mereka, jangan memandang kehidupan hanya akan berguna saat kita hidup saja, sehingga kita mengukur baik buruk kehidupan dari yang dominan kita alami di dunia. Namun pandanglah guna kehidupan saat kelak kita mati atau ketika mengalami kehidupan di akhirat. Berikut penjelasan lengkapnya:

Diciptakan Dari Ketiadaan

Allah berfirman:

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ 

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan? (QS. Al-Baqarah [2] 28).

Imam Ibn Katsir menyatakan, Al-Baqarah ayat 28 ini muncul untuk menunjukkan bukti keberadaan Allah dan sifat kuasa Allah. Al-Qur’an secara tidak langsung bertanya kepada manusia, bagaimana kalian ingkar akan keberadaan Allah dan sifat kuasanya, padahal Dialah yang menciptakanmu dari ketiadaan dan membuatmu hidup sebagai manusia? (Tafsir Ibn Katsir/1/212).

Imam Al-Alusi menyatakan, menurut sebagian ahli tafsir, kematian pertama yang disinggung Al-Baqarah ayat 28 di atas adalah ketiadaan sebelum kemudian diberi kehidupan. Ini adalah penafsiran yang diriwayatkan dari sahabat Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud dan Imam Mujahid (Ruhul Ma’ani/1/246).

Tatkala berbicara tentang tafsir Al-Baqarah ayat 28 di atas, Imam Ar-Razi menyatakan, meski ayat tersebut berupa pertanyaan, tapi sejatinya ayat tersebut merupakan celaan keras dari Allah kepada orang yang mendurhakai-Nya. Hal ini bisa dilihat besarnya nikmat yang dijadikan bahan pembicaraan, yang tentunya berbanding lurus dengan besarnya dosa orang yang mengingkari nikmat tersebut (Mafatihul Ghaib/1/427).

Baca juga: Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

Hidup Sebagai Sumber Segala Nikmat

Lalu seperti apakah besarnya nikmat yang terkandung di dalam proses dari ketiadaan menuju kehidupan? Imam Ar-Razi menyatakan, kehidupan adalah nikmat yang amat besar sebab kehidupan adalah sumber dari segala nikmat. Manusia yang dahulunya tidak ada, kemudian diberi kehidupan sehingga dapat merasakan berbagai nikmat yang memang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah hidup (Mafatihul Ghaib/1/427).

Dengan kehidupan, manusia bisa merasakan nikmat-nikmat duniawi, seperti nikmat makanan, keindahan alam, hubungan sosial antar manusia, kesehatan tubuh, kecerdasan pikiran dan nikmat-nikmat lain. Tanpa kehidupan, apakah manusia dapat merasakan nikmat-nikmat tersebut?

Tatkala memberikan tafsir Surah Al-Mulk ayat 2, Imam Ar-Razi kembali menyatakan kehidupan sebagai sumber segala nikmat, duniawi maupun ukhrawi. Melalui kehidupan, manusia berkesempatan merasakan nikmat akhirat dengan dapat melakukan amal baik serta menjauhi amal buruk di dunia, sehingga memperoleh balasan nikmat surga di akhirat kelak. (Mafatihul Ghaib/15/395).

Imam Ibn Katsir mengutip sebuah hadis terkait Surah Al-Mulk ayat 2 yang diriwayatkan Imam Ibn Abi Hatim dari Imam Qatadah (Tafsir Ibn Katsir/4/508):

« إنَّ اللَّه تعالى أذلَّ بَنِي آدَمَ بالموتِ ، وجَعلَ الدُّنْيَا دَار حياةٍ ثُمَّ دَارَ مَوْتٍ ، وجَعَل الآخِرةَ دَارَ جزاءٍ ، ثُمَّ دَارَ بَقَاءٍ »

Sesungguhnya Allah Ta’ala membuat hina anak Adam dengan kematian (ketiadaan). Ia menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan, kemudian tempat kematian. Dan ia menjadikan akhirat sebagai tempat pembalasan, kemudian tempat yang kekal (HR. Ibn Abi Hatim).

Hadis yang juga dikutip Imam al-Qurtubi dan as-Suyuthi di atas menunjukkan kepada kita, bagaimana Allah mengangkat manusia dari keadaan hina lewat kesempatan untuk hidup. Diberikannya kehidupan adalah kesempatan untuk membuat diri memperoleh derajat mulia. Kemuliaan ini dapat kita peroleh tidak di dunia semata, tapi juga di akhirat. Oleh karena itu, kita harus bisa memanfaatkan kehidupan agar bisa memperoleh tambahan kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jangan sampai justru membuat diri hina dan menderita.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Larangan Melakukan Bunuh Diri dalam Al-Quran

Kesimpulan

Uraian di atas memberi tahu kita untuk tidak menganggap sepele kehidupan dunia, apalagi sampai dengan mudahnya menghilangkan nyawa, hanya karena problem yang sama sekali tidak sebanding dengan segala nikmat yang masih dapat kita rasakan saat masih hidup. Perilaku seperti bunuh diri hanya akan membuat kita menyesal dan semakin menderita di akhirat kelak. Allah Swt sendiri melalui QS. An-Nisa’ [4] 29-30 telah mengancam akan memasukkan pelaku bunuh diri ke dalam neraka.

Kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk merasakan kehidupan, seharusnya dapat menjadi pendorong kita untuk selalu bersyukur. Bersyukur dengan cara mendayagunakan nikmat tersebut untuk ketaatan, bukan untuk bermaksiat atau mendurhakai-Nya. Pantaskah kita menyia-nyiakan pemberian terbesar ini, hanya karena kehilangan hal-hal kecil yang tak sepadan dengan nikmat yang sedang atau akan dapat kita miliki? Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Bom Bunuh Diri Termasuk Mati Syahid?: Surah An-Nisa’ Ayat 29-30

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU