Tafsir Alquran dan Keteladanan Nabi adalah dua hal yang sangat dekat. Teladan Nabi dalam kesehariannya dapat dikatakan sebagai tafsir pertama terhadap Alquran.
Dikisahkan bahwa seorang sahabat bernama Adi bin Hatim sedang memperhatikan dua benang, yang satu berwarna hitam dan satu lagi putih. Ia terus memperhatikan dengan seksama, seraya berharap ada perubahan atau suatu peristiwa akan terjadi terhadap benang itu. Hingga menjelang tidur, disimpanlah kedua benang tadi di bawah bantalnya. Sampai fajar menyingsing dan Adi bangun dari tidur, ternyata tetap saja tidak ada perubahan.
Pagi harinya, Adi bin Hatim menemui Nabi Muhammad saw diceritakanlah apa yang dialaminya itu. Nabi kemudian merespon, “Wahai Adi, apa yang kamu lakukan itu tidak tepat, yang dimaksud dengan benang hitam dan benang putih adalah siang dan malam (innama dzalika al-lail wa al-nahar).”
Riwayat di atas dapat kita temui dalam kitab-kitab tafsir ketika sampai pada Q.S al-Baqarah ayat 187 yang penggalan ayatnya berbunyi
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر
… Dan makanlah dan minumlah hingga jelas bagimu antara benang putih dan benang hitam dari fajar…
Melalui cerita di atas tergambar bagaimana Nabi Muhammad memberikan penjelasan kepada Adi bin Hatim tatkala ia kurang tepat memahami ayat al-Quran. Inilah salah satu contoh penafsiran Nabi Muhammad terhadap al-Quran.
Contoh lain yang cukup masyhur adalah ketika para sahabat bertanya kepada Nabi mengenai Q.S al-An’am ayat 82, “siapakah di antara kita yang tidak zalim kepada dirinya sendiri?” Nabi saw menjawab, “penjelasan ayat itu bukan seperti yang kalian sangkakan, penafsirannya adalah sama seperti ketika Luqman menasihati putranya: wahai putraku janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah perbuatan dzalim yang amat besar.”
Contoh-contoh lain mengenai penafsiran Nabi atas ayat Alquran dapat kita temukan dalam riwayat hadis yang banyak bertebaran dalam kitab tafsir maupun kitab hadis.
Namun, perlu diketahui pula bahwa tidak seluruh ayat Alquran mendapat penjelasan dari Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan banyak ayat Alquran yang dapat dipahami secara langsung, tanpa perlu mendapatkan penjelasan dari Nabi Saw.
Pertanyaannya kemudian bagaimana semestinya kita memahami Alquran? Jawabannya adalah dengan melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad saw. Ummul Mukminin Aisyah R.A pernah berkata: “akhlak Nabi Muhammad adalah cerminan dari Alquran (Kana Khuluquhu al-Quran).” Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa esensi al-Quran adalah akhlak Nabi.
Kita ambil contoh bagaimana akhlak Nabi harus menjadi naungan ketika memahami Alquran. Dalam kasus rumah tangga misalnya, bagi sebagian laki-laki Q.S al-Nisa ayat 34 yang di dalamnya terdapat kalimat pukullah (wadhribuhunna), seolah menjadi legitimasi kebolehan suami memukul istri. Padahal jika kita memahami Alquran dalam naungan akhlak Nabi, Aisyah R.A mengatakan bahwa Nabi tidak pernah sekali pun memukul istri maupun pembantunya.
Bukankah Nabi saw sebagai penerima wahyu mempunyai hak untuk mengamalkan ayat tersebut tetapi tidak ia lakukan? Disinilah kita harus senantiasa meneladani akhlak Nabi Muhammad saw. Wallahu A’lam.