BerandaUlumul QuranTafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

“Uraian Tafsir Ilmi Kemenag Mengenai Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan” akan menjadi pembahasan menarik kali ini. Sebab selain melihat sisi-sisi kosmologis dalam al-Qur’an secara saintis, tafsir ilmi juga memberikan pesan tersirat tentang betapa pentingnya memiliki dan memadukan wawasan keilmuan agama dan sains sebagai panduan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia beragama yang baik.

Dalam Tafsir Ilmi Kemenag ada uraian pembahasan menarik tentang Bumi yang diberi judul “Bumi yang Dinamis”. Sebelum masuk pada penafsiran ayat-ayat yang bekaitan dengan tema bahasan, dalam Tafsir Ilmi Kemenag ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai teori sains bahwa Bumi sejak pembentukannya merupakan planet yang dinamis.

Sebagai planet yang dinamis, tentunya Bumi tidaklah diam. Adanya gerakan-gerakan tektonik yang dipahami sebagai teori tektonik lempeng menjadi bukti bahwa sejatinya bagian kulit bumi yang terdiri dari beberapa lempeng raksasa selalu bergerak dan berinteraksi satu sama lain. Dalam suatu waktu lempeng-lempeng itu bisa saling berbenturan, bersinggungan atau saling menjauh (Kemenag, 2012: 58).

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Indonesia sendiri yang secara geografis terletak di daerah cincin api (ring of fire). Indonesia dikelilingi oleh empat lempeng utama yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Laut Filipina, dan lempeng Pasifik. Sebagai akibat dari proses tektonik yang terjadi, peristiwa gempa sering terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia (Pusat Studi Gempa Nasional, 2012: 2).

Masuk dalam pembahasan ayat, di sini dijelaskan mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pembahasan “tektonik lempeng”. Beberapa ayat yang berkaitan dengan gerak dinamis bumi yang menimbulkan gempa bumi antara lain: Q.S al-Naml [27]: 88; Q.S al-Syura [42]: 32; Q.S al-Tur [52]: 6; Q.S al-Zalzalah [99]: 1-4; Q.S al-Tur [52]: 1-10.

Dalam Q.S al-Naml [27]:  88 misalnya, Allah Swt berfirman:

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

“Dan engkau akan melihat gunung-gunung yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”

Melalui ayat di atas, jelas dikatakan bahwa gunung-gunung tidaklah diam pada tempatnya (jamidah) sebagaimana yang biasanya orang kira. Akan tetapi sejatinya gunung-gunung itu bergerak layaknya awan. Karena itulah dalam Q.S al-Syura [42]: 32 yang lain, Allah menjelaskan tentang salah satu tanda-tanda kekuasaannya yakni kapal-kapal di laut yang berlayar bagai gunung-gunung.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, bahwa gerakan dinamis Bumi-lah yang menjadi penyebab adanya fenomena gempa bumi. Salah satu buktinya adalah adanya penemuan fosil-fosil kehidupan laut di atas pegunungan-pegunungan tinggi (Kemenag, 2012: 60-61).

Gunung-gunung sebagai bagian dari lempengan-lempengan yang disebut sebagai kulit bumi (litosfer), sejatinya mengambang di atas lapisan astenosfer yang cukup panas—tempat magma berada—yang menyebabkan sifatnya menyerupai sifat fluida (cairan/ benda cair)—meskipun sejatinya astenosfer bukanlah benda cair.

Penemuan ini dikonfirmasi oleh al-Qur’an dalam Q.S al-Thur [52]: 6, “dan laut yang di dalam tanahnya ada api”—sebagai perbandingan lihat Q.S. al-Takwir [81]: 6. Penjelasan ini sekaligus menggambarkan bahwa kapal yang mengambang di atas laut itu tidak lebih dari sesuatu yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan ciptaan Allah. Kita dapat membayangkan bagaimana kapal-kapal dalam bentuk benua berlayar dan bergerak (Kemenag, 2012: 63-64).

Contoh selanjutnya adalah penafsiran Q.S al-Zalzalah [99]: 1-4:

                      إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا () وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا () وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا ()    يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

“Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandungnya). Dan manusia bertanya, “Apa yang terajdi pada bumi ini?”. Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya.”

Dijelaskan dalam Tafsir Ilmi Kemenag bahwa kata atsqalaha yang berarti segala isi bumi (ayat ke-2). Maknanya, suatu waktu Bumi akan mengeluarkan isi perut yang dikandungnya baik berupa energi gempa bumi atau melalui erupsi gunung api. Secara umum ayat ini kerapkali dipahami sebagai kejadian di hari akhir kelak.

Namun, sebagian penafsir juga mengemukakan bahwa gambaran kiamat dalam skala yang lebih kecil—parsial dan tidak menyeluruh—itu dapat dilihat pada peristiwa gempa tektonik, yang diperuntukkan sebagai peringatan bagi manusia.

Dalam ayat ke-3, dikatakan bahwa manusia bertanya, “apa yang terjadi pada bumi ini?”. Pada gempa yang terjadi di Aceh ataupun gempa besar lainnya yang terjadi di daerah lain, hampir semua manusia berpikir apakah ini kiamat? Di ayat selanjutnya dikatakan, “pada hari itu bumi menyampaikan beritanya”.

Dalam Tafsir Ilmi Kemenag ini, diuraikan bahwa yang dimaksud dengan berita yang disampaikan adalah rekam jejak mengenai peristiwa gempa bumi baik melalui tubuh batuan atau tanah maupun melalui fosil-fosil terumbu karang. Sebagaimana bukti rekam jejak gempa yang ditemukan oleh LIPI yang bekerja sama dengan Caltech di kepulauan Mentawai (Kemenag, 2012: 67-71).

Adapun pada Q.S al-Thur [52]: 1-10, salah satu penjelasan per-kata yang diangkat adalah kata al-masjur (ayat ke-6). Kalimat wa al-bahr al-masjur pada ayat ke-6 biasanya dimakna dengan laut yang dijadikan bergelombang oleh Allah yang penyebab langsungnya dapat berupa angin atau akibat patahan di dasar laut dan letusan gunung api yang dapat menimbulkan gelombang tsunami.

Namun kata masjur sendiri jika telaah secara bahasa adalah isim maf’ul (bentuk objek) dari fi’il (kata kerja) sajara, yang bermakna dipancarkan atau dinyalakan/ dipanaskan. Maka setelah dilakukannya penelitian ditemukan bahwa di dasar laut juga terdapat aliran lava yang kemudian menimbulkan gunung api dasar laut yang dapat meletus layaknya gunung api di daratan. Maka berdasar fenomena inilah ada alternatif terjemahan atas Q.S. al-Thur [52]: 6 yakni “dan laut yang di dalam tanahnya ada api”.

Relevansi Bagi Kehidupan

Setelah membaca tafsir tematik tentang “Bumi yang Dinamis” ataupun tafsir-tafsir ilmi lainnya lalu apa yang akan didapati pembaca? Apa kira-kira manfaat yang bisa diambil (istifadah) melalui penafsiran yang bercorak ilmi dan apa kiranya yang membedakan dengan tafsir-tafsir bercorak lain?

Penulis akan berusaha menguraikan beberapa hal untuk menjawabnya. Pertama, tafsir ilmi dapat memberikan penjelasan yang scientific mengenai fenomena atau gejala-gejala alam yang terjadi di sekitar manusia. Dalam fenomena gempa misalnya, penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan fenomena ini akan membuka wawasan masyarakat akan realitas geografis Indonesia serta apa yang disebut dengan “tektonik lempeng” atau gerak dinamis Bumi.

Ini akan menyadarkan masyarakat bahwa Indonesia memang terletak di kawasan yang disebut ring of fire, yang tepat berada di atas empat lempeng besar dunia sehingga sangat rentan terkena bencana gunung meletus, gempa bumi maupun tsunami. Kesadaran ini akan mendorong masyarakat Indonesia untuk senantiasa mengikuti pelatihan-pelatihan mitigasi bencana, agar dapat meminimalisir jumlah korban saat bencana terjadi.

Jika dikatakan bahwa bencana-bencana vulkanis-tektonis yang menimpa Indonesia sebagai azab, maka sudah sepantasnya seluruh kawasan negara yang penduduknya gemar bermaksiat bahkan tidak beriman (kafir) ditimpakan azab yang serupa sehingga lenyap orang-orang yang gemar bermaksiat dan tidak beriman pada Allah. Namun sayangnya hal ini dibantah sendiri oleh al-Qur’an dalam Q.S al-Nahl [16]: 61 dan Q.S Fathir [35]: 45.

Kedua, karakteristik tafsir ilmi yang mengkombinasikan antara dimensi teologis dan sains, memberikan penjelasan yang mengarahkan pada penghayatan akan hakikat alam semesta. Menurut Nurcholis Madjid, penjelesan mengenai hakikat alam akan berimplikasi pada sikap apresiatif terhadap alam dan meninggalkan sifat eksploitatif (Madjid, 1992: 55).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 3-4: Prinsip Keseimbangan Hidup dalam Melihat Kuasa Allah

Penghayatan ini juga akan mendorong manusia pada sikap apresiatif terhadap alam semesta. Karena dibaliknya selalu nampak tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagaimana dalam penafsiran Q.S al-Syura [42]: 32.

Ketiga, penjelasan tafsir ilmi yang menafsirkan fenomena-fenonema alam dalam al-Qur’an—yang secara umum dipahami sebagai fenomena di hari kaiamat—sebagai skala kecil dari kiamat, dapat memberikan kesadaran kepada manusia bahwa bencana alam yang sifatnya parsial saat ini adalah gambaran kecil dari kegaduhan alam secara total di hari akhir.

Maka tuntutan bagi manusia adalah bagaimana ia mampu memanfaatkan waktunya secara optimal untuk memenuhi kebutuhan vertikalnya (habl min Allah) dengan terus ber-muhasabah dan menjaga keimanannya, serta memenuhi kebutuhan horizontalnya (habl min al-nas) dengan bersikap sebagai manusia yang memanusiakan manusia serta bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu a’alam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

0
Alquran menyebutkan fenomena alam tidak hanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Salah satu elemen alam yang...