Semua orang pasti menginginkan keberuntungan dan menampik kesialan. Namun, ada sebagian orang tidak mengetahui bagaimana cara menggapai keberuntungan tersebut. Mereka mengangap bahwa nasib baik hanyalah kebetulan belaka, tanpa ada sebab-akibat. Sehingga, cukup baginya berdiam diri menunggu keberuntungan datang dengan sendirinya.
Penulis ingat sewaktu di pesantren, Romo Kiai pernah mengeluarkan pernyataan, “Wong pinter iku kalah karo wong bejo”. Artinya orang pintar (memiliki kecerdasan intelektual) masih kalah dengan orang yang beruntung. Pernyataan tersebut hemat penulis ada benarnya, sebab dalam kehidupan ini, masyarakat masih memercayai keberuntungan. Maka tidak sedikit generasi terdahulu mengatakan, “Sebenarnya saya tidak pintar-pintar amat, tapi nasib baik ada di tangan saya sehingga saya bisa lolos CPNS,” misalnya.
Masih menjadi misteri, keberuntungan itu di tangan siapa, dan kapan keberuntungan tersebut datang? Selanjutnya bagaimana cara menggapai keberuntungan tersebut?
Baca juga: Tiga Kriteria Keberuntungan Seseorang dalam Surah Al-Ashr Ayat 1-3
Alquran sebagai pedoman hidup manusia memberi jawaban atas pertanyaan di atas. Di dalamnya banyak istilah yang digunakan untuk menyebut orang beruntung seperti: muflih, rabih, najin, said, dan faiz. Bisa panjang lebar jika satu persatu kosa kata beruntung ini diulas. Oleh karena itu, pembahasan di sini hanya akan memfokuskan pada satu ayat Alquran saja, yaitu Q.S. Almaidah ayat 35 untuk menjawab pertanyaan di atas. Berikut bunyi ayatnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah (berjuang) di jalannya, agar kamu beruntung (Q.S. Almaidah [5]: 35).
Tafsir Q.S. Almaidah Ayat 35
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (juz 3 hal. 103) mengemukakan bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepadanya. Takwa secara bahasa bisa diartikan “menjaga, memelihara, atau menghindari”. Sedangkan secara istilah para ulama mendefinisikan sebagai berikut.
اِمْتِثَالُ اَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ سِرًّا وَعَلَا نِيّةَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Melaksanakan segala perintah Allah dan menjahui segala larangannya baik dalam keadaan sepi maupun ramai; lahir dan juga batin.
Kemudian perintah takwa diikuti dengan mencari wasilah (perantara). Artinya perantara di sini adalah suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagaimana yang diinterpretasikan oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya bahwa perintah kedua setelah takwa ini mendorong manusia mencari perantara sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhanya (Tafsir Al-Qurtubi, juz 6 hal. 159).
Baca juga: Tafsir Surah Al-A’la Ayat 14-15: Idul Fitri sebagai Momentum Manusia yang Beruntung
Seorang muslim terkadang memiliki banyak aktivitas yang melalaikan status kehambaanya. Dengan mencari wasilah tersebut diharapkan mampu menopang perintah pertama untuk selalu bertakwa.
Sedangkan Imam Al-Baidhawi menggabungkan kedua perintah di atas (takwa dan mencari washilah) dengan mengatakan:
Yaitu perantara menggapai pahala dari Allah dan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuat taat dan meninggalkan maksiat. Dari perantara itulah dia bisa mendekatkan diri kepada Allah (Anwaru at-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz 2 hal. 125).
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Beruntunglah bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya
Perintah ketiga merupakan perintah untuk jihad fisabilillah. Dalam Tafsir Jalalain (hal. 143) ditegaskan maksud dari jihad di sini adalah mengangkat dan meninggikan agama Allah.
Pungkasnya, ayat ini ditutup dengan la’allakum tuflihun (agar kamu beruntung). Laalla memiliki faedah tarajji, yaitu meminta atau mengharapkan sesuatu yang disenangi. Sedangkan tuflihun merupakan akar dari kata falah, Imam As-Sa’di menafsirkan kata falah sebagai suatu keberuntungan, kemenangan dari perkara yang seseorang cari dan harapkan, serta pertolongan dari perkara yang ia takuti. Hakikatnya falah adalah keberuntungan yang abadi dan kenikmatan yang menetap (Taisiru Al-Karim Al-Rahman, hal. 230).
Refleksi
Dalam dunia pesantren dikenal istilah riyadha atau tirakat yang merupakan suatu bentuk usaha spiritual yang dilakukan santri untuk mencapai keberhasilan dalam menuntut ilmu. Para kiai juga mendoktrin santrinya agar tidak cukup bersungguh-sungguh dalam belajar saja. Namun, juga harus dibarengi dengan usaha batin yang diyakini menentukan nasib keberhasilan seorang santri.
Riyadha merupakan implementasi dari kandungan Q.S. Almaidah ayat 35. Artinya suatu bentuk usaha untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dengan cara melaksanakan tiga perintah.
Pertama, takwa, yaitu bentuk penghambaan kepada Tuhan dengan melaksanakan segala bentuk perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Kedua, mencari aktivitas yang mendorong untuk dekat dengan Allah. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim menjelaskan bahwa ilmu merupakan salah satu jalan untuk menuju ketakwaan kepada Allah.
Ketiga, merupakan bukti penghambaan kepada Allah, dengan cara menegakkan syariat Islam dan berjuang melestarikannya secara utuh. Jihad tidak diartikan perang saja, tetapi banyak kegiatan atau profesi yang merupakan bagian dari jihad, seperti menjadi guru, bekerja mencari nafkah untuk keluarga, mencari ilmu, bahkan berbakti kepada orang tua bagian dari jihad.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Perintah Tirakat dalam Menuntut Ilmu
Selain usaha lahiriyyah, untuk mencapi keberhasilan, usaha bathiniyyah merupakan bentuk “merayu” Tuhan agar apa yang dicita-citakan dimudahkan dan diberi keberkahan.
Praktiknya dengan berusaha menjadi hamba Allah yang baik, melakukan ibadah-ibadah sunah seperti puasa, salat tahajud, berzikir dengan ikhlas, dan istikamah. Juga memperbaiki hubungan dengan sesama makhluk Allah dengan suka berderma, suka menolong, dan selalu berprasangka baik kepada siapapun.
Dengan begitu salah satu mencari keberuntungan adalah dengan riyadha atau tirakat. Namun perlu dicatat, para ulama tafsir menafsirkan keberuntungan yang hakiki sebenarnya adalah kelak di akhirat, yaitu ketika Allah telah rida dengan hamba-Nya. Wallahuaalam.