Rahasia dibalik teks al-Quran bagi kalangan sufi –ahli tasawuf- nampaknya tidak akan pernah pudar, dan akan terus melahirkan makna bathiniyah untuk menciptakan jiwa manusia yang suci. Untuk mencapai jiwa yang suci, manusia harus mengetahui elemen yang ada di dalam dirinya, di antaranya, terdapat dua golongan yang mempengaruhi setiap insan. Namun, dua golongan atau pasukan tersebut bersifat kontradiktif sehingga dampaknya berbeda, satu pasukan mengantarkan manusia ke dalam lautan kebahagiaan, sedangkan pasukan yang lain mengantarkan manusia ke jurang kecelakaan.
Tafsir yang beraliran sufistik mengontruksi makna bathiniah tersebut sebagaimana yang ada dalam Q.S Ali Imran [3]: 12-13.
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (12) قَدْ كَانَ لَكُمْ آيَةٌ فِي فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا فِئَةٌ تُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأُخْرَى كَافِرَةٌ يَرَوْنَهُمْ مِثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِأُولِي الْأَبْصَارِ (13)
Katakanlah (hai Muhammad) kepada orang-orang kafir, “Kamu nanti akan dihimpun ke neraka Jahanam, dan itu seburuk-buruk tempat tinggal[12] Sungguh, telah ada tanda bagimu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan Muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada ayat demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati)[13].
Sebab turun ayat tersebut ialah sebagai jawaban dari komentar orang Yahudi tentang kemenangan Rasulullah dan pengikutnya dalam perang Badar. Pada saat itu, Nabi pulang dari perang Badar, kaum Yahudi sedang berkumpul di pasar Bani Qaynuqa; kemudian Nabi menyeru mereka untuk beriman dan mengikuti langkah Rasulullah, serta mengingatkan akibat tidak taat kepada Allah, sebagaimana apa yang diperoleh (kekalahan) kafir Quraisy di perang Badr.
Baca juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran
Akan tetapi, seruan dan ancaman Nabi tidak diindahkan oleh kaum Yahudi bahkan mereka menganggap kekalahan itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan kaum Quraisy tentang perang, sekaligus mereka berkeyakinan tidak akan kalah apabila perang melawan Rasululallah. Dari sikap tersebut turunlah ayat tersebut sebagai jawaban dari keangkuhan kaum Yahudi.
Mengenal Dua Golongan yang Berhadapan
Secara zahir –berdasarkan asbab nuzul- “golongan yang berhadapan” dalam ayat tersebut yaitu antara kaum Muslim dan kafir Quraisy di perang Badr. Perang tersebut dimenangkan oleh kaum Muslim yang secara kuantitas pasukannya di bawah kafir Quraisy; bahkan tidak hanya dalam hal kuantitas, dalam segi persiapan terkait persenjataan dan alat perang kaum Muslim masih kalah.
Pasukan Muslim hanya terdiri dari 313 –atau 314- pasukan, sedangkan dipihak lawan hampir 1000 pasukan. Namun, kemenangan ada di pihak kaum Muslim dengan pertolongan Allah. Imam Ar-Razi dalam mafātīh al-ghaib memberi komentar terkait pertolongan tersebut; bentuk pertolongan Allah kepada kaum Muslim dengan memberikan rasa takut kepada lawan sehingga mereka melihat pasukan Muslim seakan-akan lebih banyak dari mereka. Oleh sebab itu, makna ra’a (ru’yah) “melihat” dalam ayat di atas mengandung makna zan dan husbān “menyangka”. Tafsīr Mafātīh al-Ghaib (7, 157).
Berdasarkan pendapat Ar-Razi di atas, orang yang berpendapat bahwa pasukan Malaikat-lah yang menolongnya atas perintah Allah sehingga pasukan Muslim bertambah banyak adalah lemah; karena yang dimakasud فِي فِئَتَيْنِ (dua golongan) adalah kisah antara kaum Muslim dan kafir Quraisy, sedangkan Malaikat tidak termasuk. Diperkuat dengan melihat asbāb al-nuzūl ayat tersebut.
Alhasil, secara zahir, dua golongan –pasukan- yang berhadapan ialah pasukan kaum Muslim dan pasukan kafir Quraisy. Namun, dikalangan sufi dua pasukan tersebut ditafsirkan melebihi apa yang ditafsirkan oleh kalangan zahir.
Baca juga: Sisi lain dari Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw, Tafsir Alternatif Surah Al-Isra ayat 1
Setiap Manusia Memiliki Dua Pasukan
Tidak hanya bentuknya yang sempurna, manusia diciptakan beserta perlengkapan yang ada di dalam dirinya. Perlengkapan tersebut disiapkan oleh Allah untuk menghadapi tugas manusia sebagai hamba-Nya, yaitu beribadah dan menghambakan diri kepada-Nya. Bahkan dapat dijadikan modal bagi seorang hamba ketika akan menuju kepada Tuhannya. Karena seseorang tidak akan menghadap kepada Tuhannya tanpa ada modal kuat dan lengkap.
Disamping berbuat baik kepada sesama, terutama Tuhannya, manusia harus mengenali apa yang ada di dalam dirinya, terutama hati dan nafsu. Karena dua unsur tersebut yang akan menjadi ‘pasukan’ setiap manusia; namun –sebagaimana makna zahir ayat- dua pasukan tersebut bersifat kontradiktif yang berimplikasi pada status akhir manusia, apakah berada di lautan kebahagiaan (Iman dan Islam) atau jatuh ke dalam jurang kecelakaan (tidak beriman).
Oleh karena hati dan nafsu pasti ada di dalam diri manusia, bagi ahli sufi, hal demikian yang menjadi basis terbentuknya “dua pasukan yang ada dalam diri manusia”.
Lebih Dekat Mengenal “Dua Pasukan”
Ibn Ajibah di dalam al-Bahru al-Madīd fī al-Quran al-Majīd (1, 328) dan Syekh Ismail al-Barousawi dalam Rūh al-Bayān (2, 9) telah membahas secara terperinci bagaimana manusia mengenal “dua pasukan” tersebut. Berawal dari perintah Allah, bahwa kejadian yang terkandung dalam dua surat tersebut penuh dengan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan dan hati, dua tokoh besar sufi tersebut menganalisa kandungan ayat dengan pendekatan sufistiknya. Alhasil, analisa tersebut melahirkan makna “dua pasukan”, yakni جُنْدُ الأَنْوَارِ dan جُنْدُ الأَغْيَارِ.
Pertama, jundu al-anwār “pasukan cahaya”. Yaitu pasukan yang berada di belakang barisan ‘hati’ dan untuk membantunya. Pasukan yang pertama ini bertugas untuk menerangi hati dengan cara mengambil manfaat dari makna yang terkandung dalam nama dan sifat Allah. Tidak sekedar mengetahui dan mengimani banyaknya nama dan sifat Allah, lebih dari itu, manusia harus sanggup memetik buahnya/pelajarannya, tujuannya untuk mengantarkan ruh manusia menuju tempatnya yaitu hadrat al-Asrār.
Baca juga: Masa Mengandung Hingga Persalinan Siti Maryam dalam Al-Quran Surat Maryam Ayat 22-25
Hadrat al-Asrār (حضرة الأسرار) ialah hadirnya segala sesuatu yang tersembunyi sehingga tampak jelas semuanya. Istilah tersebut sering juga diistilahkan dengan hadrat al-Syuhūd (حضرة الشهود), yakni menyaksikan dengan jelas apa yang ia lihat sekaligus mengantarkan hatinya berhadapan dengan Allah swt, seakan-akan ia melihat Allah. Di kalangan sufi (ahli tasawuf) dikenal dengan maqam musyāhadah.
Kedua, jundu al-aghyār “pasukan yang lain”. Maksudnya pasukan yang berlainan dengan fitrah manusia atau yang berada di pihak nafsu, sehingga akan terus menghambakan keinginan –syahwatnya- dan lupa tugas-tugasnya; yang paling parah jiwanya akan gelap karena akhlak tidak baik. Akibatnya, tujuan menghadap Allah tidak tercapai.
Akhirnya, manusia yang bermaksud menghadapkan hatinya kepada Allah akan mengalami perang antara dua pasukan tersebut. Apabila Allah menghendaki kebahagiaan seorang hambah, maka Allah akan memberi kekuatan untuk jundu al-anwār dan melemahkan jundu al-aghyār, sehingga kemenangan ada dipihak jundu al-anwār. Karena itu وَاللَّهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهِ مَنْ يَشَاءُ. Wallahu A’lam.