Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat yang Allah berikan) sepertinya sudah dianggap sebagai anjuran dalam bersosial yang berlaku umum di masyarakat. Menariknya, dalam Alquran ada perintah lain berkaitan dengan nikmat yang secara sekilas bertentangan dengan anjuran tersebut. Di surah Ad-Duha ayat 11, Alquran memerintahkan tahadduts bi an-ni’mah. Di sisi lain, surah Yusuf ayat 5, Alquran seakan melarang untuk menceritakan nikmat.
Perintah menceritakan nikmat
Perintah menceritakan nikmat atau lebih masyhur dengan sebutan tahadduts bi an-ni’mah terdapat dalam surah ad-Duha ayat 11:
وأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. ad-Dhuha: 11)
Al-Qurthubi menjelaskan, pihak yang menjadi obyek pembicaraan (mukhathab) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad, namun hukumnya menyasar manusia secara umum. (Tafsir al-Qurthubi, 20/102)
Kisah tentang Abu Firas Abdullah bin Ghalib menegaskan tentang contoh tahadduts bin ni’mah ini. Syahdan di suatu pagi, dia berkata, “Semalam Allah telah memberikan karunia-Nya kepadaku. Aku membaca (al-Qur’an), Shalat sekian rakaat, berdzikir kepada Allah sekian waktu, dan aku melakukan ini itu.”
Mendengar itu, seorang sahabatnya mengatakan, “Wahai Abu Firas, orang seperti Anda seharusnya tidak mengatakan itu.” Abu Firas menjawab, “Allah memerintahkan agar manusia ber-tahadduts bin-ni’mah, sedangkan kamu melarangnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 20/102).
Akan tetapi, Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir saat menafsirkan surah ad-Dhuha ayat 11, beliau menyampaikan kekhawatirannya tentang fitnah dan ‘ujub (memuji diri sendiri sendiri) yang akan timbul dari tahadduts bi an-ni’mah. Oleh karena itu, menurutnya nikmat yang diperoleh oleh seseorang itu lebih baik tidak perlu diceritakan ke orang lain.
Mufasir yang lain, sebut saja Syaikh Abdurrahman As-Sa’di. Dalam tafsirnya beliau menulis, “Pujilah Allah atas kenikmatan agama dan kenikmatan dunia. Sebutlah jenis kenikmatan itu jika di dalamnya terdapat maslahat. Jika tidak, maka sebutlah nikmat-nikmat Allah secara umum.”
Baca Juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur
Perintah untu tidak menceritakan nikmat
Adapun perintah untuk tidak menceritakan nikmat terdapat dalam surah Yusuf ayat 5,
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.” (Q.S. Yusuf ayat 5)
Imam al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, sebelum Nabi Yusuf menceritakan perihal mimpi tersebut, Nabi Ya’qub sudah mengetahui adanya gelagat rasa iri dari anak-anaknya yang lain terhadap Nabi Yusuf. Oleh karena itu Nabi Ya’qub mengetahui, hal terbaik yang bisa beliau sarankan kepada Nabi Yusuf adalah dengan menyembunyikan mimpi tersebut.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan kebolehan menyembunyikan nikmat. Hal ini dikhawatirkan memicu dengki dan kebencian seseorang. Cara paling aman agar terhindar dari kedengkian seseorang adalah menyembunyikan nikmat yang diperolehnya. (Fatawa Ibnu Taimiyah: 18/15).
Penjelasan
Tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat) dalam kitab Firdaus an-Na’im harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) apabila bertujuan untuk bersyukur, (2) apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain, dan (3) apabila selamat dari rasa sombong.
Dalam Tafsir Mujahid, yang dimaksud tahadduts bi an-ni’mah yaitu sebuah amal yang dilakukan seseorang kemudian dia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan tujuan dia mampu meniru dan melakukan hal serupa.
Tentunya, tahadduts bi an-ni’mah ini memiliki batasan. Ia tidak sama dengan riya’. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah dan ingin ditambah nikmatnya, maka termasuk tahaduts bi an-ni’mah.
Artinya, inti dari menceritakan nikmat di sini adalah manifestasi dari rasa syukur. Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, tujuan menceritakan nikmat tidak lain adalah untuk menunjukan rasa syukur dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Lantas apa hubungannya tahadduts bin ni’mah dalam surah adh-Dhuha dengan surah Yusuf ayat 5? Surah Yusuf ayat 5 mengingatkan bahaya hasad (dengki), yang faktornya dilatarbelakangi oleh menampakan nikmat dan menceritakannya yang dikhawatirkan menumbuhkan hasad.
Satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dan Abu Nu’aim juga berkaitan dengan kehati-hatian dalam menceritakan pencapaian seseorang. Hadis ini juga dikutip oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya.
اِسْتَعِيْنُوْا عَلَى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ بِكِتْمَانِهَا، فَإِنَّ كُلَّ ذِيْ نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ
“Berusahalah memperoleh kebutuhanmu dengan cara menyembunyikannya. Sesungguhnya setiap nikmat memiliki pendengkinya tersendiri.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir No. 183)
Membaca dua pendapat dan argumen yang berbeda seperti disinggung di awal, barangkali tidak ada pertentangan antara pesan keduanya. Yang pertama, perintah menceritakan nikmat tentu sebagai wujud syukur dengan syarat tanpa ada rasa kesombongan. Artinya, menampakan nikmat tentu dibolehkan, selama niatnya benar dalam rangka bersyukur dan memotivasi orang lain.
Kedua, menyembunyikan nikmat sebagai cara aman dari efek buruk menampakkannya. Beberapa ulama mengingatkan kita agar berhati-hati dari dampak buruk menampakkan nikmat, sehingga beberapa dari mereka lebih menyarankan untuk menyembunyikan nikmat, sebagaimana hikmah dari kisah Nabi Yusuf dan sudara-saudaranya.
Baca Juga: Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah
Kesimpulan dari diskusi tahadduts bi an-ni’mah adalah kembali pada niat. Hal itu boleh dilkakukan dengan segala batasan-batasan yang telah disebutkan. Batasan dan aturan ini diperlukan untuk terhindar dari riya’ dan ujub, dan hal lain yang tidak dinginkan, misal iri dan dengki dari orang lain.
Bila tahadduts bi an-ni’mah dirasa bisa mendatangkan maslahat, maka silakan dilakukan. Namun jika malah menghadirkan mafsadat, maka lebih baik berhati-hati, tidak tahadduts bi an-ni’mah sepertinya menjadi pilihan yang lebih aman. Wallah a’lam