Hubungan sosial merupakan konsekuensi logis yang harus dibangun manusia sebagai makhluk sosial. Bagaimanapun, manusia senantiasa terikat oleh hukum moral di lingkungan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, interaksi sosial yang dilakukan manusia haruslah memiliki patokan dan dasar yang menghendaki keharmonisan sosial.
Harmonisasi sosial adalah kunci utama dalam membangun orkestra kehidupan yang indah dan bahagia. Harmonisasi tersebut akan sulit terwujud manakala manusia dengan manusia lainnya tidak memupuk integrasi koherensial, baik secara emosional maupun ritual keagamaan. Maka dalam konteks ini, Islam selalu hadir sebagai solusi. Islam datang sebagai wahyu langit yang menampakkan berbagai kebijaksanaannya dalam realitas bumi.
Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya datang dengan konsep-konsep ritual transendental, ia juga membawa konsep-konsep luhur tentang kehidupan sosial. Dalam konteks hubungan sosial, Islam banyak mengatur mengenai etika dan tatakrama manusia dalam bersosial, di antaranya tergambar pada firman Allah surah Al-A’raf ayat 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).
Ayat tersebut secara eksplisit memberikan penjelasan spesifik mengenai dasar-dasar langkah dalam membangun harmonisasi sosial. Menurut al-Zuhaili, ayat ini mencakup pembahasan tentang dasar-dasar seluruh sifat mulia yang merupakan konsep tasyri’ yang berada di urutan kedua setelah konsep akidah tauhid. Setidaknya ada tiga konsep utama yang diisyaratkan dalam ayat ini, yakni:
Menjadi Insan Pemaaf
Konsep pertama yang dijelaskan dalam surah Al-A’raf ayat 199 tersebut adalah “khudz al-‘afwa” atau menjadi pemaaf. Menurut Al-Thabari, ada tiga hal yang menjadi bagian dari sifat “al-‘afwa”, yakni: 1) memaafkan orang yang berbuat aniaya kepadamu (an ta’fuu man dzolamaka); 2) memberi kepada orang yang kikir (thu’thi man haromaka); dan 3) bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu (tashilu man qotho’aka).
Selain itu, Al-Zuhaili juga memberikan komentar bahwa sifat al’afwa juga tercermin dalam perilaku lemah lembut terhadap sesama, yakni dengan selalu toleran dan penuh santun dalam berbagai hal, termasuk juga tidak terlalu kaku dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta. Menurutnya, jika manusia merawat sikap kaku dan keras justru akan membawanya jauh dari keharmonisan sosial, bahkan orang-orang akan pergi menjauh darinya (QS. 3: 159).
Beberapa makna al-’afwa tersebut dimaknai oleh Ibnu Jarir sebagai bagian dari hal-hal yang makruf dan merupakan akhlak sosial yang dicontohkan Rasulullah selama hidupnya, yakni dengan menyikapi sesuatu dengan toleran dan kemudahan serta menghindarkan orang lain dari berbagai bentuk kesulitan baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian, sifat pemaaf ini pada dasarnya memang menjadi dasar fundamental bagi manusia untuk dapat membangun harmonisasi dalam kehidupan sosialnya.
Baca juga: Surah Al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Mengedukasi Hal-Hal Baik
Konsep kedua yang dijelaskan dalam surah Al-A’raf ayat 199 adalah “wa`mur bi al-‘urf” atau memerintahkan hal-hal yang baik dan indah. Menurut Al-Zuhaili, definisi makruf di sini adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh agama, dikenal oleh manusia sebagai sebuah kebaikan, dan dipandang indah oleh setiap orang yang berakal sehat. Dengan kata lain, makruf merupakan sesuatu yang mencakup segala kebaikan yang berupa ketaatan, bakti, dan santun kepada manusia lainnya.
Selain itu, kata makruf disini dimaknai oleh Quraish Shihab sebagai nilai-nilai dasar yang bersifat lokal dan temporal. Menurutnya, istilah makruf berbeda dengan istilah “khair” yang maknanya lebih mendasar dan universal. Artinya, makruf adalah hasil kesepakatan yang memuat nilai-nilai sosial. Dengan kata lain, sikap maruf terbangun karena adanya interaksi dan kesepakatan di antara masyarakat.
Pada sisi lain, dalam ayat ini juga kita dapat melihat bagaimana Allah lebih cenderung menyuruh manusia untuk menegakan hal makruf daripada mencegah hal munkar. Hal ini semakin mempertegas bahwa edukasi tentang hal-hal baik lebih diutamakan daripada melakukan perbuatan nahyi al-munkar yang memiliki risiko cukup besar apabila dilakukan dengan secara sembrono.
Oleh karena itu, Imam Ghazali dalam Ihya` juga mewanti-wanti kita sebagai umat muslim agar senantiasa mengajak manusia kepada kebaikan terlebih dahulu sebelum menjelaskan larangan-larangan dalam berbuat munkar.
Baca juga: Teladan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Nabi Ibrahim yang Elegan, Tanpa Kekerasan
Berpaling dari Orang Jahil
Konsep ketiga yang dijelaskan dalam surah Al-A’raf ayat 199 adalah “wa a’ridh ‘an al-jahilin” atau berpaling dari orang-orang jahil. Term Al-Jahil dalam ayat ini menurut Quraish Shihab tidak hanya berarti orang yang tidak tahu (bodoh), namun juga orang yang kehilangan kontrol diri, sehingga melakukan hal-hal buruk karena nafsu dan egoisme pribadi atau dalam kata lain disebut orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai ilahi.
Berpaling dari orang jahil dalam konteks ini menurut Al-Zuhaili adalah dengan cara tidak membalas kebodohan mereka dengan kebodohan serupa, menjaga diri dari sifat buruk mereka, tidak bergaul dan basa-basi dengan mereka, dan selalu sabar menahan diri menghadapi perilaku mereka yang buruk. Artinya, apabila ada orang jahil mengucapkan sesuatu yang tidak menyenangkan kita, sebaiknya kita menghindari dan menyikapinya dengan penuh rasa maaf dan toleran (QS. 3: 134).
Perintah untuk berpaling dan menghindar dari orang-orang jahil dalam ayat ini dimaknai sebagai perintah untuk menghindari kejahatan dan sifat buruk mereka, sehingga kita tidak terbuai atau bahkan menampakkan emosi dan dendam karena perilakunya. Syahdan, konsep ketiga dalam ayat ini pada hakikatnya adalah perintah kepada manusia untuk senantiasa mengontrol dirinya secara baik agar terhindar dari perilaku fujur (buruk) atau bahkan perilaku emosional terhadap sesama manusia.
Demikian artinya, meskipun ayat ini memiliki redaksi yang sangat singkat namun kandungannya begitu universal dan komprehensif. Ayat ini memuat dasar-dasar kesalehan sosial yang mesti dilakukan manusia jika mengharapkan kehidupan sosial yang harmonis, sehingga manusia dapat mencapai kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup karena kesalehannya, tentunya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Wallahu a’lam.
Baca juga: Tafsir Surah Fussilat Ayat 34: Balas Dendam Terbaik Versi Al-Qur’an