Euforia tahun baru masih begitu terasa, beribu harapan dilangitkan dalam menyongsong masa depan yang lebih bermakna. Setiap individu bermuhasabah diri atas apa yang telah dilewati, dengan tekad mempertahankan segala hal baik yang berhasil diraih serta memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Setiap manusia pasti mendambakan kebahagiaan, baik itu kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Di setiap awal tahun, tentu masing-masing memiliki harapan agar kebahagiaan selalu mengiringi di sepanjang tahun. Hanya saja, roda kehidupan yang terus berputar membuat kebahagiaan harus berbagi tempat dengan kesedihan, yang seringkali muncul saat ujian dan cobaan datang. Lantas, apakah datangnya ujian dan cobaan hanya akan memunculkan kesedihan? Bagaimana agar kunci kebahagiaan tetap dapat dirasakan ketika ujian dan cobaan datang menghampiri?
Baca juga: Tafsir Kontekstual Gus Dur Seputar Moderasi Islam
Ujian adalah keniscayaan hidup
Dalam Q.s. Al-Baqarah ayat 155, Allah Swt. Berfirman:
وَلَنَبلُوَنكُمْ بِشَيْئٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثمَرَاتِ, وَبَشرِ الصابِرِيْنَ
Dan sungguh kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit perasaan takut dan lapar, serta kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.
Wahbah Al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam Tafsīr al-Munīr menyatakan bahwa lafal (وَلَنَبلُوَنكُمْ) menunjukkan bahwa Allah Swt. bersumpah. Menurut Al-Zuhaili, lafal tersebut bermakna لَنُصِيْبَنكُمْ (menimpakan), dan damir (كُمْ) dalam lafal tersebut ditujukan khusus kepada orang mukmin, karena ayat ini memiliki munasabah dengan Q.s. Al-Baqarah ayat 153. Pemilihan kata “menimpakan” menunjukkan bahwa ujian dan cobaan dalam pandangan Al-Zuhaili berpotensi memberatkan manusia.
Pendapat berbeda datang dari Imam ‘Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H), dalam Latā`if al-Isyārat Al-Qusyairi menyatakan bahwa ujian tidak hanya berpotensi memberatkan, melainkan juga ada yang menyenangkan. Al-Qusyairi membagi ujian dari Allah Swt. secara garis besar menjadi dua bentuk, yakni ujian berupa ni’mah (kenikmatan) dan ujian berupa mihnah (kesengsaraan). Beliau mengatakan:
ابْتَلاَهُمْ بِالنِعْمَةِ لِيُظْهِرَ شُكْرَهُمْ وَابْتَلاَهُمْ بِالْمِحْنَةِ لِيُظْهِرَ صَبْرَهُمْ
Allah Swt. menguji hambaNya dengan kenikmatan untuk menampakkan rasa syukur mereka, dan menguji dengan kesengsaraan untuk menampakkan kesabaran mereka.
Ujian dan cobaan seringkali hanya dibatasi hal-hal yang tidak disenangi, padahal bisa jadi hal-hal yang disenangi juga merupakan sebuah ujian, seperti dalam Q.s. Al-Anfal[8]: 28,
Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu adalah sebuah cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah Swt. terdapat pahala yang agung.
Dalam lanjutan Q.s. Al-Baqarah [2]: ayat 155, disebutkan macam-macam ujian untuk manusia, di antaranya berupa sedikit rasa takut (al-khauf), lapar (al-jū’), kekurangan harta (naqs min al-amwāl), jiwa (al-anfus), dan buah-buahan (al-tsamarāt).
Baca juga: Keutamaan Ilmu dalam al-Quran dan Kiat Memiliki Seorang Anak yang Alim
Hikmah dibalik ujian
Al-Qusyairi merinci satu persatu macam ujian yang disebutkan. Dalam pandangan Al-Qusyairi, dalam setiap ujian tersebut terkandung hal-hal positif. Antara lain:
Dalam ujian yang berupa Khauf , di dalamnya terkandung penyucian hati (tasfiyat li sudūrihim). Makna Khauf, sebagaimana yang dijelaskan Al-Isfahani (w. 502 H) dalam Mufradāt Alfāz al-Qur`ān adalah “prediksi akan terjadinya hal yang tidak disenangi dari adanya indikasi baik itu indikasi yang sekedar dicurigai maupun yang telah diketahui”. Dan ketakutan ini berlaku atas hal-hal duniawi maupun ukhrawi. Berbeda dengan khasyyah yang merupakan rasa takut yang disertai pengagungan.
Tentu tidak ada yang menginginkan hal buruk terjadi kepada dirinya, sekalipun ia telah melihat atau mengetahui adanya indikasi hal tersebut akan terjadi. Oleh karena itu, setiap orang akan melakukan langkah antisipasi, baik berupa ikhtiar lahir maupun batin yang berupa doa. Ini juga berlaku atas hal yang bersifat ukhrawi, seperti takut terkena azab Allah, takut masuk neraka, dan semacamnya.
Barangkali hal inilah yang ingin disampaikan oleh Al-Qusyairi bahwa ujian berupa takut dapat membuat seorang hamba lebih berhati-hati dalam bertindak dan akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang mampu menghindarkan dari sesuatu yang tidak diinginkan yang salah satunya dapat dilakukan dengan berdoa kepada Allah Swt.
Baca juga: Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid
Dalam ujian yang berupa al-jū’, sebenarnya di dalamnya terkandung pembersihan jasmani (tanqiyat al-abdān). Berdasarkan penjelasan Al-Qusyairi, kemungkinan rasa lapar yang dimaksud adalah puasa, karena sebagaimana diketahui bahwa puasa tidak hanya merupakan ibadah ruhani, namun juga jasmani, di mana banyak sekali manfaatnya bagi kesehatan manusia.
Dalam ujian yang berupa naqs min al-amwāl, sebenarnya melalui hal tersebut seorang hamba sedang menyucikan jiwanya (tazakkū bih nufūsahum). Barangkali maksud dari penyucian jiwa melalui berkurangnya harta adalah dengan hal tersebut jiwa seorang hamba dapat terhindar dari kecintaan terhadap harta yang membuat hatinya menjadi buta.
Dalam ujian yang berupa naqs min al-anfus, sebenarnya melalui hal tersebut Allah Swt. sedang melipatgandakan pahala hambaNya. Sangatlah wajar jika Allah Swt. sampai memberi pahala berlipat, mengingat beratnya momen ketika seseorang kehilangan orang-orang di sekitarnya, khususnya keluarga tercinta.
Terakhir, dalam ujian yang berupa naqs min al-tsamarāt, sebenarnya melalui hal tersebut Allah Swt. hendak memberi ganti dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, buah-buahan di sini dapat diartikan secara harfiah yakni buah dalam arti hasil tanaman ataupun majazi yakni buah dalam arti sebuah pencapaian yang diperoleh dari suatu perjuangan.
Sabar adalah kuncinya
Berdasarkan penjelasan dari Al-Qusyairi yang telah dipaparkan sebelumnya, sudah sewajarnya setiap orang harus senantiasa berpikir positif ketika diuji dengan sebuah cobaan, mengingat selalu ada hikmah di dalamnya. Hikmah-hikmah tersebut tentu tidak akan didapatkan ketika seseorang tidak menyikapi sebuah ujian dengan positif, yakni berusaha bersabar dan menerima segala ujian dan cobaan yang terjadi. Hal itu ditegaskan di penutup ayat: “Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.”
Di sinilah kuncinya, yakni bersabar ketika diuji oleh Allah Swt. Menurut Al-Qusyairi, orang yang sabar ialah orang yang legowo atas takdir yang telah terjadi. Sabar memanglah bukan hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan Al-Zuhaili menyatakan bahwa al-sabr asyaddu syay` batiniy ‘ala al-nafs (sabar merupakan perkara batin yang paling berat bagi jiwa manusia), maka tak heran jika Allah Swt. menjanjikan kabar gembira bagi mereka yang mampu berusaha untuk senantiasa bersabar, yang menurut Al-Zuhaili kabar gembira tersebut berupa surga.
Baca juga: Berapa dan Apa Saja Ayat Mansukh dalam Al-Qur’an? Ini Pendapat Para Ulama
Syihab al-Din Al-Alusi (w. 1270 H) dalam Ruh al-Ma’ani mengutip sebuah maqalah yang berbunyi: “al-sabr miftāh al-faraj” (sabar adalah kunci kebahagiaan). Inilah modal utama dalam menyongsong kehidupan di tahun baru ini dan yang akan mendatang. Karena sejatinya, kebahagiaan bukan tentang berapa banyak kenikmatan yang diperoleh, melainkan bagaimana senantiasa melihat sisi positif dari setiap hal yang terjadi, baik suka maupun duka. Semoga kita semua memperoleh pertolongan Allah dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sabar, sehingga kebahagiaan akan selalu mengiringi langkah kita meski banyak ujian dan cobaan yang silih berganti. Wallahu A’lam[].