BerandaTokoh TafsirPenafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid

Tafsir Maqasidi bukan lagi istilah yang asing di telinga para pengkaji studi Al-Qur’an beberapa tahun terakhir. Beberapa tokoh modern ternama, seperti Ibnu ‘Asyur, Rasyid Ridha, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, dan Taha Jabir al-Alwani memberi banyak kontribusi terhadap pendekatan maqasidi dalam membaca teks-teks Al-Qur’an dan hadis.

Sederhananya, Tafsir Maqasidi bisa dipahami sebagai tafsir yang menguak makna-makna logis yang terkait ayat-ayat Al-Qur’an. Embrio Tafsir Maqasidi sudah bisa ditemukan sejak masa Nabi saw. dan para sahabat. Praktik Nabi saw. yang pernah tidak menjatuhkan hukum potong tangan menjadi salah satu argumentasi penting akan keniscayaannya. Kala itu Nabi saw. mempertimbangkan mudarat yang lebih besar jika sang pencuri dijatuhi hukuman potong tangan, ia akan melarikan diri ke kubu musuh lalu membocorkan rahasia-rahasia umat Islam yang kala itu sedang berperang dengan orang kafir.

Era sahabat pun demikian, Umar dengan berbagai kebijakannya dalam menerapkan beberapa hukum, seperti menolak pembagian ganimah karena ingin membaginya ke khalayak lebih luar agar tidak segelintir orang saja yang menikmatinya dan tidak memberi hukuman potong tangan kepada pencuri saat masa paceklik. Setelah masa sahabat, diskusi mengenai Maqasid ini semakin berkembang hingga dirumuskan konsep al-Maslahah al-Mursalah, lalu dirumuskannya konsep al-Darurat oleh al-Juwaini dan al-Ghazali, hingga dimatangkan oleh al-Syatibi. Demikian perkembangan singkat konsep Maqasid yang kala itu bernuansa fikih, perkembangan mutakhir kemudian mengambil konsep Maqasid ini untuk digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak lagi terbatas dalam kajian fikih belaka.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani

Jika merunut ke konteks yang dekat dengan Indonesia, penulis menemukan Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu mufassir ternama Nusantara juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid ayat-ayat Al-Qur’an dalam salah satu kitabnya, Marah Labid. Namun, harus digaris bawahi penafsiran tersebut tidak secara eksplisit menggunakan terma Maqasid maupun derivasinya. Seperti ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 238 tentang perintah menjaga salat secara konsisten. Dengan analisis bahasa, Syekh Nawawi menafsirkan bahwa kata hafizu yang pada ayat tersebut yang memiliki wazan musyarakah memiliki arti kesalingan antara hamba dan Tuhan dalam menjaga. Ketika hamba menjaga salatnya, maka Tuhan pun akan menjaga hambanya (Marah Labid, 1:84).

Maqasid ayat juga dijelaskan Syekh Nawawi ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 115 dan 142 tentang peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Ia menjelaskan bahwa tidak ada kekhususan satu arah dalam ibadah karena sejatinya semua arah adalah milik Allah swt. Kiblat bukanlah tujuan ibadah, namun Allah swt. sebagai pemberi perintah menghadap kiblatlah yang menjadi tujuan ibadah. Di sini Syekh Nawawi menegaskan bahwa yang disembah ketika salat bukanlah Ka’bah, melainkan menyembah Dia yang memberi perintah menghadap Ka’bah (Marah Labid 1:40-41 dan 49).

Dalam ayat-ayat tentang puasa, Syekh Nawawi juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 183, dijelaskan bagaimana puasa bisa mencapai derajat takwa. Puasa sebagai sarana untuk melawan nafsu makan dan nafsu syahwat bisa mengantar kepada derajat takwa yang kedua nafsu ini notabene adalah godaan terberat bagi manusia. Ketika dua godaan ini sudah teratasi, maka godaan-godaan lainnya pun akan terasa lebih mudah dihindari. Demikianlah Syekh Nawawi menguak bagaimana puasa menjadi salah satu sarana penting dalam pemeliharaan jiwa (Tarbiyah al-Nafs) (Marah Labid 1: 60).

Baca juga: Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Demikianlah beberapa penafsiran Maqasidi ala Syekh Nawawi. Pada titik ini, penulis ingin menekankan keniscayaan Tafsir Maqasidi, sehingga penafsiran tidak lagi hanya terbatas pada penjelasan makna, namun lebih jauh menelusuri apa sebenarnya tujuan dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini pula yang nampaknya ingin disampaikan Syekh Nawawi dalam tafsir Marah Labidnya, ia tidak hanya membatasi penafsiran makna-makna luar saja. Namun, penafsiran logis yang menjelaskan tujuan suatu ayat juga tak lupa ditampilkan dalam tafsirnya.

Fikru Jayyid Husain
Fikru Jayyid Husain
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, minat kajian studi Islam dan Studi Tafsir secara khusus
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...