BerandaTafsir TahliliTafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1)

Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1)

Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1) berbicara tentang kecaman Allah kepada orang-orang yang mengabaikan al-Quran, atau bahkan mengejek dan meragukan kemurnian al-Quran. Maka dengan tegas Allah menyampaikan bahwa keraguan, ejekan, dan cemoohan mereka terhadap al-Quran dan Rasul-Nya, sama sekali tidak mengurangi kesucian al-Quran tersebut.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah al-Hijr Ayat 7-8


Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1) juga menegaskan bahwa al-Quran akan tetap terjaga sampai hari kiamat tiba, dan kesuciannya pun akan tetap terjamin sepanjang masa. Dimulai dari era Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in hingga generasi-generasi selanjutnya yang Allah jamin sebagai penjaga kesucian al-Quran.

Dan Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1) turut mengisahkan bagaimana perjalan al-Quran itu digaungkan, dibaca, dan dipelajarai, terutama di era Nabi Muhammad Saw. Secara ringkas dan lugas Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 1) akan menjelaskan kisah tersebut dengan cukup sistematis.

Ayat 9 (Part 1)

Ayat ini merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang mengabaikan Al-Qur’an dan tidak percaya bahwa Al-Qur’an itu diturunkan Allah kepada rasul-Nya Muhammad.

Seakan-akan Allah mengatakan kepada mereka, “Kamu ini hai orang-orang kafir sebenarnya adalah orang-orang yang sesat yang memperolok-olokkan nabi dan rasul yang telah Kami utus untuk menyampaikan agama Islam kepadamu.

Sesungguhnya sikap kamu yang demikian itu tidak akan mempengaruhi sedikit pun terhadap kemurnian dan kesucian Al-Qur’an karena Kamilah yang menurunkannya.

Kamu menuduh Muhammad seorang yang gila tetapi Kami menegaskan bahwa Kami sendirilah yang memelihara Al-Qur’an itu dari segala macam usaha untuk mengotorinya dan usaha untuk menambah, mengurangi dan mengubah ayat-ayatnya.

Kami akan memeliharanya dari segala macam bentuk campur tangan manusia terhadapnya.

Akan datang saatnya nanti manusia akan menghafal, membaca, mempelajari, dan menggali isinya, agar mereka memperoleh dari Al-Qur’an itu petunjuk dan hikmah, tuntunan akhlak dan budi pekerti yang baik, ilmu pengetahuan dan pedoman berpikir bagi para ahli dan cerdik pandai, serta petunjuk ke jalan hidup di dunia dan di akhirat nanti.”

Jaminan Allah swt terhadap pemeliharaan Al-Qur’an itu ditegaskan lagi dalam firman-Nya:

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (ash-Shaff/61: 8).

Mengenai jaminan Allah terhadap kesucian dan kemurnian Al-Qur’an serta penegasan bahwa Allah sendirilah yang memeliharanya terbukti dengan memperhatikan dan mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an, cara-cara yang dilakukan Nabi saw ketika menyiarkan, memelihara, dan membetulkan bacaan para sahabat, melarang menulis selain ayat-ayat Al-Qur’an, dan sebagainya.

Kemudian usaha pemeliharaan Al-Qur’an ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin, dan oleh setiap generasi kaum Muslimin yang datang sesudahnya, sampai sekarang ini.

Untuk mengetahui dan membuktikan bahwa Al-Qur’an yang sampai kepada kita sekarang terpelihara kemurniannya, diterangkan dalam sejarah  Al-Qur’an, baik di masa Rasulullah, maupun di zaman sahabat, dan usaha kaum Muslimin memeliharanya pada saat ini.

Di sisi lain otentisitas Al-Qur’an dapat dilacak dari sejarah penulisan dan bacaannya.

Pertama:

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw dalam waktu kurang lebih 23 tahun. Setiap turun ayat, Nabi menyuruh para sahabatnya menghafal dan menuliskannya di batu, kulit binatang, dan pelepah korma.

Nabi memiliki beberapa orang sahabat yang bertugas menulis wahyu dan mendampingi beliau ketika turun ayat. Di antara penulis wahyu itu adalah Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Ubay bin Ka’ab, dan lain-lain.

Setiap ayat turun, Nabi menjelaskan kepada para penulis wahyu di bagian mana dari ayat-ayat yang turun lebih dulu atau di surah apa ayat itu diletakkan dan ditulis.

Beliau melarang para sahabat menulis selain Al-Qur’an, baik itu penjelasannya yang menjadi tafsir dari ayat atau keterangan yang ditulis oleh para sahabat itu sendiri.

Hadis Nabi saw seperti diriwayatkan Abu Sa‘id al-Khudri:

لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّي شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا سِوَى الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (رواه مسلم)

Jangan kalian menulis dariku apapun selain Al-Qur’an. Barang siapa yang menulis selain Al-Qur’an, hendaklah dia menghapusnya. (Riwayat Muslim).

Larangan secara umum itu adalah untuk menjaga kemurnian tulisan Al-Qur’an agar tidak bercampur-baur dengan tulisan-tulisan lain selain Al-Qur’an, baik bersumber dari Nabi saw maupun sahabat.


Baca Juga : Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya


Namun demikian, ada beberapa sahabat yang memang pandai baca tulis, menuliskan ucapan-ucapan Rasul sebagai penafsiran Al-Qur’an dan catatan mereka, seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan lain-lain.

Selain ditulis oleh para penulis wahyu dan sebagian sahabat, Al-Qur’an juga dihafal oleh para sahabat dan diwajibkan membacanya dalam salat.

Mengingat pentingnya peran tulis baca dalam menjaga otentisitas atau kemurnian Al-Qur’an, Nabi sangat menghargai orang-orang yang bisa tulis baca, dan menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk mempelajarinya.

Setelah Perang Badar, Nabi memanfaatkan para tawanan perang Badar yang pandai baca tulis untuk menebus dirinya dengan mengajar baca tulis 10 orang anak-anak muslim. Dengan keputusan Rasul ini, semakin banyak orang yang bisa baca tulis, semakin banyak pula orang yang bisa mencatat dan menghafal Al-Qur’an.

Dengan demikian, ada tiga faktor yang membantu menjaga kelestarian tulisan dan bacaan Al-Qur’an:

  1. Tulisan atau naskah yang ditulis para penulis wahyu.
  2. Hafalan dari para sahabat yang sangat antusias menghafalnya.
  3. Tulisan atau naskah pribadi yang ditulis oleh para sahabat yang sudah lebih dulu pandai baca tulis seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain.

Selain tiga faktor di atas, Malaikat Jibril selalu mengecek bacaan Al-Qur’an Rasulullah setiap tahun. Ketika pengecekan, Rasulullah disuruh mengulang bacaan Al-Qur’an yang telah diturunkan. Bahkan sebelum wafat, Malaikat Jibril mengecek dua kali.

Nabi sendiri sering mengecek bacaan sahabatnya. Mereka disuruh membaca Al-Qur’an di hadapannya, dan beliau membetulkan bacaan mereka.

Nabi wafat sesudah Al-Qur’an selesai diturunkan dan telah dihafal oleh orang banyak menurut tertib susunan Al-Qur’an yang kita baca sekarang ini, sesuai dengan petunjuk yang diberikannya ketika membaca Al-Qur’an, baik di dalam maupun di luar salat.

Dengan cara pengamalan yang praktis di atas, Al-Qur’an bisa terpelihara kemurniannya dan tersebar dengan mudah di masyarakat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Hijr Ayat 9 (Part 2)


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...