BerandaTafsir TahliliTafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 3)

Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 3)

Setelah masa kodifikasi tersebut, al-Quran kemudian disebarkan keseluruh penjuru negeri agar bisa dipelajari oleh umat Muslim di dunia. Adapun bagian akhir dari Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 3) adalah penegasan sekaligus pembuktian bahwa kemurnian al-Qur’an masih tetap terjaga hingga kini, dengan keragaman metode yang digunakan oleh para ulama untuk menjaganya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 2)


Berikut dalam Tafsir Surah al-Hijr Ayat 9 (Part 3) akan dijelaskan tentang usaha menjaga al-Quran dan perbedaan dialek, serta sekilas tentang perjalanan aksara al-Quran.

Ayat 9 (Part 3)

Kemudian usaha menjaga kemurnian Al-Qur’an itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.

Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an itu di Indonesia dilakukan dalam bermacam-macam usaha, di antaranya ialah:

  1. Membentuk “Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an” yang bertugas antara lain meneliti semua mushaf yang akan dicetak sebelum diedarkan ke masyarakat. Tim berada di bawah pengawasan Menteri Agama.
  2. Pemerintah telah mempunyai naskah Al-Qur’an yang menjadi standar dalam penerbitan Al-Qur’an di Indonesia, yang telah disesuaikan dengan Mushaf al-Im±m.
  3. Mengadakan Musabaqah Tilawatil Qur’an setiap tahun yang ditangani dan diurus oleh negara.
  4. Usaha-usaha lain yang dilakukan oleh masyarakat muslim, seperti membentuk lembaga pendidikan, kajian, dan tahfiz Al-Qur’an;Kedua:

Setelah ‘Utsman bin ‘Affan wafat, al-Mushaf al-Imam tetap dianggap sebagai pegangan satu-satunya oleh umat Islam dalam bacaan Al-Qur’an.

Meskipun demikian, terdapat juga beberapa perbedaan dalam bacaan tersebut. Sebab-sebab timbulnya perbedaan itu dapat disimpulkan dalam dua hal:

Pertama : Penulisan Al-Qur’an itu sendiri yang belum sempurna.

Kedua : Perbedaan dialek orang-orang Arab.

Penulisan Al-Quran itu dapat menimbulkan perbedaan karena al-Mushaf al-Imam ditulis oleh sahabat-sahabat yang tulisannya belum dapat dikatakan tulisan yang sempurna karena belum mendapat tanda baca dan titik.

Sebagaimana yang diterangkan Ibnu Khaldun dalam bukunya “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, ia berkata:

“Perhatikanlah akibat-akibat yang terjadi karena tulisan mushaf yang ditulis sendiri oleh para sahabat dengan tangannya. Tulisan itu belum sempurna, sehingga kadang-kadang terjadi beberapa kesalahan dalam memahami bacaan dari tulisan tersebut karena tanpa titik dan baris.”


Baca Juga : Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab


Adapun perbedaan dialek orang-orang Arab yang telah ditoleransi oleh Rasulullah menimbulkan macam-macam qira’at (bacaan), sehingga pada tahun 200 Hijriah muncullah ahli-ahli qira’at yang tidak terhitung banyaknya.

Di antara dialek-dialek bahasa Arab yang terkenal ialah lahjah Quraisy, Huzail, Tamim, Asad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad. Pada waktu itu muncullah para ahli qira’at yang masyhur, dan yang termasyhur ada tujuh orang, yaitu: ‘Abdullah bin Amir, Abu Ma’bad ‘Abdullah bin Katsir, Abu Bakar Ashim bin Abi an-Najud, Abu Amr bin A’la, Nafi’ bin Abi Nu’aim, Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah al-Kisā’i, Abu Jarah bin Habib Ibnu Zayyat/Hamzah. Qira’at-qira’at itu dipopulerkan orang dengan nama “Qira’at Sab’ah” (bacaan yang tujuh).

Sebagaimana diterangkan di atas, Al-Qur’an mula-mula ditulis tanpa titik dan baris, namun hal ini tidak mempengaruhi bacaan Al-Qur’an karena para sahabat dan para tabi’in selain hafal Al-Qur’an juga orang-orang yang fasih dalam bahasa Arab.

Oleh sebab itu, mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan Arab memeluk agama Islam, sulit bagi mereka membaca Al-Qur’an tanpa titik dan baris. Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan kesalahan dalam bacaan Al-Qur’an.

Maka Abul Aswad Ad-Du’ali mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda baca dalam Al-Qur’an dengan tinta yang berlainan warnanya. Tanda titik ialah titik di atas untuk fathah, titik di bawah untuk kasrah, titik sebelah kiri atas untuk «amah, dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib.

Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nasr bin A¡im, dan Yahya bin Ya’mar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Al-Qur’an untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad-Du’ali dengan titik yang baru ini.

Titik Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan titik Nasr bin A¡im adalah titik huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa Bani Umayyah, dan pada permulaan kerajaan Abbasiyah, bahkan tetap pula dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad keempat hijriah.

Kemudian ternyata cara pemberian tanda seperti ini masih menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Al-Qur’an karena terlalu banyak titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.

Maka al-Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu wau kecil ( و ) di atas untuk «ammah, huruf alif kecil ( ا ) untuk tanda fathah, huruf ya kecil ( ي ) untuk tanda kasrah, kepala huruf s³n ( س ) untuk tanda syiddah, kepala ha ( ه ) untuk sukun dan kepala ‘ain ( ع ) untuk hamzah.

Kemudian tanda-tanda ini dipermudah dengan dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.

Demikianlah usaha Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin memelihara dan menjaga Al-Qur’an dari segala macam campur tangan manusia, sehingga Al-Qur’an yang ada pada tangan kaum Muslimin pada masa kini, persis sama dengan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Ini merupakan bukti dari jaminan Allah yang akan tetap memelihara Al-Qur’an untuk selamanya

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Hijr Ayat 10-13


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU