Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 100-102 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai penolakan atas permintaan orang-orang zalim. Kedua berbicara mengenai sembilan mukjizat Nabi Musa as. Ketiga berbicara mengenai kekafiran Fir’aun.
Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 97-99
Ayat 100
Pada ayat ini, Allah swt menerangkan sebab-sebab mengapa Dia tidak memperkenankan permintaan orang-orang zalim itu, yaitu walaupun diperkenankan, mereka tetap tidak akan beriman, berlaku kikir, dan tidak mau memberikan sebagian kecil hartanya kepada orang lain yang memerlukannya.
Mereka takut kenikmatan-kenikmatan yang telah diperoleh akan lenyap dari mereka. Padahal nikmat Allah tidak akan pernah habis seberapa pun manusia mengambilnya. Allah juga telah menjanjikan orang-orang yang menginfakkan harta mereka dengan imbalan yang berlipat ganda dari apa yang mereka infakkan.
Sifat kikir adalah watak dan tabiat manusia dengan kadar yang berbeda. Watak dan tabiat yang tidak baik itulah yang menyebabkan manusia mendurhakai perintah Allah dan enggan memperhatikan larangan-larangan-Nya. Firman Allah:
وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ ;
Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan. (al-Fajr/89: 20)
وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ
Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan. (al-‘Adiyat/100: 8)
Baca juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya
Ayat 101
Ayat ini menerangkan bahwa Allah swt telah memberikan sembilan macam mukjizat kepada Musa a.s. sebagai bukti kerasulannya, ketika diutus kepada Fir’aun dan kaumnya.
Namun demikian, Fir’aun dan kaumnya tetap menolak seruan Nabi Musa untuk beriman pada Allah Sang Pencipta. Dalam ayat yang lain diterangkan bagaimana Firaun dan kaumnya mengingkari seruan Musa.
Allah swt berfirman:
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14)
Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud dari sembilan ayat tersebut di atas. Menurut Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Razzaq, Sa’id bin Mansur, Ibnu Jarir at-Tabari, dan Ibnu Munzir, bahwa sembilan ayat tersebut adalah tongkat, tangan, topan, belalang, kutu, katak, darah, musim kemarau, dan kekurangan buah-buahan. Pendapat ini disetujui oleh jumhur ulama.
Mufasir yang lain, seperti ar-Razi, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sembilan ayat tersebut di atas adalah berbagai larangan. Ia mendasar-kan pendapatnya dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmizi, al-Baihaqi, At-Tabrani, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Safwan bin Asal al-Muradi, ketika beliau ditanya oleh orang Yahudi, bahwa yang dimaksud dengan sembilan ayat di sini ialah sembilan macam larangan, yaitu: jangan mempersekutukan Allah, jangan membunuh jiwa kecuali dengan hak, jangan berzina, jangan mencuri, jangan menyihir, jangan makan riba, jangan memfitnah orang yang tidak bersalah kepada penguasa, jangan menuduh wanita yang baik berzina, dan melanggar aturan pada hari Sabat. Ibnu Syihab Al-Khafaji mengatakan, “Inilah tafsir yang diikuti dalam menafsirkan ayat ini.”
Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menanyakan tentang kisah Musa kepada orang-orang Yahudi yang hidup di masanya, seperti Abdullah bin Salam dan lain-lain, niscaya mereka akan membenarkannya.
Pengakuan mereka terhadap kebenaran risalah Nabi Musa akan menambah iman dan keyakinannya. Hal itu juga bertujuan agar Nabi saw yakin bahwa kisah itu juga terdapat dalam kitab mereka.
Tanyakanlah kepada orang-orang Yahudi, tentu mereka akan menerangkan bahwa Musa a.s. telah datang kepada Fir’aun membawa agama tauhid dan mengemukakan berbagai mukjizatnya. Akan tetapi, Fir’aun mengingkarinya, bahkan mengatakan bahwa Musa adalah orang yang rusak akalnya, sehingga mengaku-ngaku sebagai seorang rasul Allah.
Ayat 102
Musa mengatakan kepada Fir’aun bahwa sesungguhnya Fir’aun telah mengetahui bahwa yang menurunkan ayat-ayat ini adalah Tuhan yang memiliki langit dan bumi. Hal itu dijelaskan Nabi Musa sebagai bukti dan keterangan bahwa yang diserukannya itu adalah suatu kebenaran.
Hanya orang yang bersih hatinya yang dapat menerima seruan tersebut. Lebih lanjut Nabi Musa mengatakan kepada Fir’aun bahwa hatinya yang kotor dan tidak mempunyai kesediaan untuk menerima seruan itu. Kebenaran apapun yang dikemukakan kepadanya tetap tidak akan membuatnya menerima seruan tersebut.
Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 103-105
(Tafsir Kemenag)