BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Surah Altaubah ayat 84: Telaah Larangan Menyalati Jenazah Orang Munafik

Tafsir Surah Altaubah ayat 84: Telaah Larangan Menyalati Jenazah Orang Munafik

Melabeli kemunafikan pada seseorang terkesan dilematis dan rumit. Bagaimana mungkin seorang manusia mengetahui kemunafikan pada seseorang yang tentu hanya Allah saja yang mengetahui. Memang di dalam Alquran terdapat larangan yang jelas untuk menyalati jenazah orang munafik, sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S Altaubah [9]: 84 berikut,

وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖۗ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ

Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, larangan ini bersifat umum, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin orang-orang munafik. Ibnu Katsir menukil riwayat dari Imam Bukhari mengenai kronologinya.

Bermula dari kabar kematian Abdullah bin Ubay bin Salul. Putranya datang menemui Rasulullah dan meminta gamis Rasul untuk dijadikan kain jenazah. Ia juga memohon Rasulullah agar berkenan menshalati jenazah ayahnya. Kemudian Rasulullah pun bersiap-siap untuk menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, hingga akhirnya Umar berdiri dan menarik baju Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau akan menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, sedangkan Allah telah melarang untuk menyalatinya?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt telah memberikan pilihan kepadaku.”

Baca Juga: Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

Lalu beliau membacakan ayat yang berbunyi, “Kamu memohonkun ampun bagi orang-orang munafik atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka, maka hal itu adalah sama saja. Sekalipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali (Qs. Altaubah [9]: 80). Oleh karena itu, aku akan menambah istighfar lebih dari tujuh puluh kali untuknya.”

Umar bin Khaththab berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Ia adalah orang munafik?.” Tetapi, rupanya Rasulullah tetap saja menyalatinya, hingga Allah menurunkan ayat Alquran, “Janganlah kamu sekali-kali menyalati jenazah seorang di antara orang-orang munafik dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya.” (Qs. Altaubah [9]: 84). (Lihat HR. Bukhari no. 4302)

Ada semacam kompleksitas pemahaman dalam mengaktualisasikan larangan di atas. Di sisi lain, Imam Al-Ghazali dalam Bidayah Al-Hidayah mengatakan, hendaknya tidak memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah Swt. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah Swt,

وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ ٱلْأَعْرَابِ مُنَٰفِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ ٱلْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا۟ عَلَى ٱلنِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ

Dan di antara kalian, dari orang-orang Arab Badui ada mereka yang munafik, dan juga dari sebagian penduduk Madinah. Mereka keterlaluan di dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka. Pastilah Kami akan menghukum mereka dua kali lebih berat, kemudian mereka dikembalikan kepada azab yang berat. (QS. Altaubah [9]: 101).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Tanpa berita dan wahyu dari Allah, selevel Rasulullah saja tidak mengetahui bagaimana isi hati dan kemunafikan seseorang. Apalagi karena kemuliaan akhlaknya yang bersih dari berprasangka buruk. Dilihat dari runtut kronologinya saja, bisa dinilai kebaikan hati Rasul.

Saat kabar kematian Abdullah bin Ubay, putranya meminta gamis Rasul untuk menjadi kain kafan sang ayah, dan Rasul memberikannya. Kebersihan hati Rasul dari sifat dendam juga tampak dari kesediaan Rasul menyolati jenazah Abdullah bin Ubay, meski sempat mendapat protes dari Umar bin Khathab. Hingga turunlah wahyu dari Allah yang secara tegas melarang menyolati jenazah orang-orang munafik.

Ada sebuah hadis dari Ummu Salamah ra. yang dapat menjadi bahan refleksi dan renungan bersama. Rasululah Saw bersabda, “Kalian menyerahkan persengketaan kalian kepadaku. Namun bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang karena kelihaian argumennya itu, lalu aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka. Oleh karena itu hendaknya jangan mengambil hak orang lain”. (HR. Bukhari no. 2680, Muslim no. 1713).

Berkenaan hadis di atas, Imam Nawawi menjelaskan, dalam riwayat lain terdapat lafadz ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘, kemudian beliau berkomentar, makna sabda Nabi ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘, maksudnya adalah penekanan tentang sifat manusiawinya, yaitu bahwa seorang manusia tidak bisa mengetahui hal tersembunyi. Nabi saw hanya menghukumi sesuatu sesuai apa yang zhahir (nampak), karena hanya Allah yang mengetahui perkara yang tersembunyi (Syarh Muslim, 12/5).

Jika Nabi Saw yang maksum saja tidak mampu menghukumi sesuatu yang tersembunyi, apalagi umatnya yang hanya manusia biasa. Perkara munafik adalah perkara tersembunyi, sekalipun ada manusia tertuduh munafik, tidak ada yang tahu bagaimana akhir hidupnya, mungkin saja sudah bertaubat kepada Allah Swt.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

Akhir kata, larangan menyalati jenazah ini memang berlaku umum untuk kaum munafik. Label kemunafikan di masa Rasul sifatnya tidak samar lagi karena Allah menginformasikannya melalui wahyu. Bentuk kehati-hatian juga dicontohkan Rasul. Misalnya dapat dilihat dari sabab nuzul turunnya surah Almunafiqun ayat 8-10 tentang Abdullah bin Ubay menyebarkan propagranda dan api kebencian terhadap kaum Muhajir di hadapan kelompoknya.

Kata Abdullah bin Ubay, kaum Muhajir telah membenci penduduk Madinah dan banyak dari mereka yang bermukim di Kota Madinah. Berita ini terdengar Zaid bin Arqam dan sampai kepada Rasulullah. Umar yang saat itu sedang di samping Rasul meminta izin hendak membunuh Abdullah bin Ubay, Rasul mencegahnya. Barulah setelah wahyu turun, Rasul diberitahu kemunafikan Abdullah bin Ubay dan membenarkan Zaid (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad).

Kehati-hatian Rasul sangat nampak jelas. Hal-hal yang belum terbukti kebenarannya, sekalipun itu tentang kemunafikan seseorang, lantas tidak menjadikan Rasul seketika membenarkannya. Barulah setelah wahyu turun, Rasul membenarkan.

Oleh karena itulah, dalam konteks masa kini, berpegang untuk mengutamakan kehati-hatian serta meninggalkan hal samar yang belum jelas kepastiannya lebih baik. Jenazah sesama umat Islam hendaknya disalati sesuai tuntunan syariat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa
Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...